Hay, salam kenal dari author. Terimakasih sudah berpartisipasi dalam cerita author. Jangan lupa tinggalkan jejak ya gaes. Peluk jauh dari author.
Annisa Yuzawa sedang berkeliling mall bersama Denis. Ia telah menghabiskan waktu setengah hari penuh di tempat perbelanjaan tersebut. Dari mulai berbelanja pakaian, perhiasan, hingga singgah ke tempat permainan yang disediakan mall. Denis dengan telaten membawakan kantong belanjaan milik Annisa. Ia sangat bertanggung jawab akan tugasnya menjaga sang anak bos. Denis sebenarnya lebih merasa iba pada sosok Annisa Yuzawa. Meski Annisa terlahir dari keluarga bergelimang harta, tetapi ia tak bisa menikmatinya lahir batin. Kebahagiaan yang Annisa rasakan kala itu menulari relung batin Denis. Meskipun Denis sudah lelah, ia tak mengeluhkannya sama sekali. Jarang ia bisa melihat tawa renyah Annisa Yuzawa. Banyak pasang mata yang menatap aneh ke arah mereka berdua. Ya, karena tempat itu merupakan taman bermain yang dikhususkan untuk anak-anak. Annisa memainkan beberapa permainan sampai yang terakhir adalah street basketball. "Kak, aku kayak lihat Beby dan Mami, Papi juga," seru Annisa, ia tib
Di kediaman Berli Astrata Bustomi sedang digelar acara adat Betawi Malam Pacar. Nusantara memang memiliki banyak kebudayaan, termasuk dalam hal pernikahan. Salah satunya adalah adat Betawi. Malam pacar merupakan ritual pemakaian pacar oleh sang piare dan keluarga serta teman dekat. Ritual ini adalah salah satu rentetan acara adat sebelum acara puncak pernikahan dimulai. Malam pacar adalah istilah Betawi yang digunakan untuk menyebut acara pewarnaan kuku mempelai perempuan. Seperti Midodareni untuk istilah adat Jawa. Perlengkapan yang diperlukan untuk malam pacar yakni daun pacar yang telah ditumbuk halus. Meski di era modern sekarang ini sudah banyak produk yang lebih praktis seperti kutek instan, namun Astra memilih mengikuti adat yang sesungguhnya. Dan masih banyak beberapa bahan lain seperti bakulan lengkap dengan isian di dalamnya, kue basah khas betawi serta tak ketinggalan bantal beralas daun pisang yang diukir guna alas tangan sang mempelai perempuan.
Di dalam kamar hotel, Astra menangis tergugu. Ia tak percaya, kebahagiannya menjadi petaka. Barra sangat sabar menunggu Astra sampai tak mengucapkan apapun sampai Astra berhenti dari isakannya."Kak, apa semua yang dikatakan perempuan tadi itu benar??" Tanya Astra dengan suara parau."Bersa,, bukankah aku sudah menunjukkan surat cerai itu padamu dan Papa? Percayalah, aku tidak pernah berniat mempermainkanmu, sungguh aku mencintaimu." Barra merengkuh tubuh mungil Astra ke dalam pelukannya. Bersa merupakan panggilan sayang Barra untuk Astra, yang berarti Berli sayang.Astra mengangguk, ia menyeka sisa bulir beningnya. Hatinya sudah lebih tenang. Pikirannya kembali berputar normal."Sekarang, coba hubungi Kak Zen. Bagaimana kondisi Papa saat ini." Lanjut Barra, Astra kembali mengangguk patuh.Astra mulai sibuk dengan ponselnya, sedang Barra mengganti pakaiannya."Papa sudah di rumah, Kak." Seru Astra ketika ia menyudahi teleponnya."Cepa
Hari demi hari Astra jalani sebagai seorang istri Barra Farzan. Genap satu minggu ia benar-benar di rumah tanpa melakukan aktivitas yang lain di luar. Untuk pekerjaan rumah seperti yang dilakukan seorang ibu rumah tangga, Astra belajar dari suaminya. Maklum, anak sultan tak pernah menyentuh pekerjaan kasar. Barra fokus mengembangkan rumah makan Minang, sedang dua adiknya sibuk merampungkan tugas kuliahnya. Astra kini tengah mencoba untuk membersihkan cumi. Ia ingin sekali memakan seafood. Namun, ia berpikir ulang untuk mendatangi restoran. Sejak Astra keluar dari rumah Pak Abbas dan memilih Barra sebagai prioritasnya, detik itu juga Alfa Zen memutuskan hubungan kerja dengan Astra juga Barra. Ya, kini Astra dipaksa untuk mandiri. Pagi tadi ia sudah meminta Barra membelikan sekilo cumi berukuran jumbo. Matanya seketika bersinar kala melihat cumi tersebut. Astra membuka kulkas, mengambil cumi yang masih dalam wadah plastik. Belum dibersihkan, pasalnya Ba
Semenjak mendapat sanjungan manis dari suami dan mertua, Astra semakin gencar belajar memasak. Seperti pagi-pagi di hari berikutnya, Astra merecoki Ervi membuat masakan di dapur.Alhasil rendang daging yang biasa mempunyai cita rasa khas, kini berubah menjadi rendang tak sedap. Terpaksa Barra mencari-cari alasan untuk membawa Astra menjauhi dapur.Kini Astra dan Barra sudah berada di rumah makan. Astra tengah mengelap meja dan kursi yang tersedia untuk pelanggan.Astra bahagia menjalani hidup sederhana dengan suami. Sesekali ia mencoba menghubungi nomor rumah dan nomor Zen, ia merindukan keluarganya."Permisi, Uni.. apakah warungnya sudah buka?" Seorang pelanggan berdiri di luar warung.Baru di buka sudah berdatangan penikmat masakan Padang. Ini pengalam baru untuk seorang anak sultan seperti Astra. Ia begitu antusias menjadi pramusaji."Oh, sudah. Kak. Silahkan masuk?" Jawab Astra dengan ramah."Saya pesan nasi telur dadar dua dan na
Barra mengurai pelukan, ia mengusap wajah Astra yang basah karena air mata. Perempuan tersebut tak menunjukkan ekspresi apapun. "Ma'afkan aku, sayang.. aku tidak becus menjaga mu." Ucap Barra yang kemudian membenamkan kembali kepala Astra di dada bidangnya. Astra tak menjawab ataupun merespon dengan gerakan tubuh. Barra belum pernah menemui Astra dalam keadaan kacau seperti saat itu. Barra mengenali Astra sebagai wanita tegas dan ceria. Astra memang pernah menangis, namun perempuan tersebut tak pernah diam membisu. Barra memutuskan untuk menutup warungnya, ia akan membawa gadisnya jalan-jalan. Mencari jajanan kesukaan Astra, itu adalah ide bagus untuk menaikkan mood gadisnya. "Ayo naik." Seru Barra, kala mereka telah berada di pinggir jalan depan warung. Barra baru saja selesai menghidupkan vespa tuanya. Ya, Barra butuh tenaga ekstra untuk menyalakan mesin motor antik tersebut. Astra masih saja melipat wajahnya, dua tangannya bersedekap di dad
Sepeninggal Barra, tanpa bisa dicegah air mata Astra mengaliri pipi putihnya. Sepercayanya Astra tetap saja hati kecil Astra menyimpan keraguan yang seringkali membuat gadis itu terbengong-bengong. Pagi menyapa, masih setia bertahan dengan awan putih yang menyelimuti langit biru. Sampai pagi tiba, matahari seperti enggan menyibakkan awan yang menutup. Astra menggeliat, meregangkan otot-otot yang terasa kaku. Astra menyibak horden yang menutupi cahaya masuk ke dalam. Astra menghela napas berat saat menyadari vespa Barra tak bertengger di halaman rumah. Kretekkk.. Suara pintu kamar yang Astra buka, Ervi juga Alby seketika menoleh ke arah Astra. "Eh, kalian sudah di dapur?" Astra masih mengucek matanya. Ia juga belum membersihkan muka, belum menyikat gigi gingsulnya. Ervi mengangguk, sedang Alby celingukan seperti mencari sesuatu. "Kakak sendiri?" Alby berbalik melayangkan sebuah pertanyaan tanpa menjawab Astra. "Iya, Kak Barra ke
Astra mendahului langkah lebar Alby dengan berlari tergopoh-gopoh di koridor rumah sakit. Ia melesat tanpa mengetahui tujuannya kemana. Ketika berada di perempatan koridor, Astra berhenti. Perempuan luwes itu kebingungan untuk memilih jalur sebelah mana. Alhasil, ia tetap menunggu sang adik ipar yang tengah berlari untuk mensejajarkan langkah dengannya."Papa dimana, By?" Tanya Astra dengan penuh kecemasan.Alby bungkam, ia terlalu lelah untuk bersuara. Napasnya yang naik turun membuat pria berpredikat setia itu memilih diam dan menarik lengan sang Kakak ipar."Pak-- Ab- bas, ada di-- ICU, Kak." Ucap Alby tersengal-sengal. Napasnya belum kembali stabil, ia masih sambil mengatur deru napas ketika mengarahkan Astra dengan menunjuk ke ICU tempat perawatan Pak Abbas.Alby tak berani ikut mendekat, ia cukup tahu diri. Meski Barra tak pernah bercerita perihal kekacauan yang terjadi di resepsi pernikahan. Namun Alby bukanlah sang Ibu, bukan juga Ervi. Alby pria