Share

4. Tertangkap basah?

Hari berikutnya, Barra sengaja bangun sebelum jam menunjuk pukul empat pagi. Barra mengendap-endap seperti seorang maling. Ia sangat hati-hati untuk mencapai pintu keluar, tak ingin gerakannya menimbulkan suara dan akhirnya membangunkan manusia yang tengah merajut mimpi di pulau kapuk.

Sebenarnya Annisa lah seorang yang sangat Barra takutkan. Ia khawatir Annisa akan menyanderanya lagi, sehingga rencana pernikahan yang di gadang-gadang akan hancur total.

Barra tak menginginkan hal seburuk itu terjadi, ia sangat menjaga hati calon permaisurinya. Sepeninggal Barra dari rumah mewah tersebut, Annisa tampak biasa saja. Ia tak mencari keberadaan suami ketiganya. Entah bagaimana bisa seseorang berubah dalam waktu sesingkat itu. Kemarin ia seolah-olah menjadi perempuan penggila Barra Farzan, sedangkan hari selanjutnya, Annisa seperti kehilangan memori  kemarin. 

Bi Sumi satu-satunya orang yang mencari ketiadaan Barra Farzan. Namun, ia memilih bungkam, dan menerka-nerka ada kemungkinan Barra telah kabur dari rumah itu. Menurut perempuan paruh baya tersebut hal utamanya adalah ketenangan Annisa. Kini Annisa menanyakan suami pertamanya. Bersyukur karena Kenzi sudah kembali ke kediaman majikan sekaligus istrinya itu.

Annisa meminta Kenzi untuk diantarkan ke mall, tetapi ia menginginkan Denis yang menemani belanja. Denis adalah suami kedua Annisa, ia merupakan salah satu dari pegawai cleaning servis di kantor Hiro.

Ya, Hiro memilihkan suami untuk Annisa dengan latar belakang keluarga miskin. Hiro sangat memahami kondisi kesulitan bagi orang-orang menengah ke bawah. Selain lebih mudah untuk ditekan dan diancam, kalangan menengah ke bawah akan sangat bergantung pada dirinya yang notabene seorang pengusaha sukses.

Meskipun para suami Annisa berasal dari latar belakang orang susah, mereka memiliki paras yang hampir mendekati kata sempurna. Dari ketiga pria yang menjabat sebagai suami Annisa, tetap Barra Farzan lah yang memegang predikat suami tampan.

* *

Barra melangkahkan kaki lebar-lebar, walaupun ia sampai di rumahnya sudah pukul lima pagi, tapi ia kembali ketiduran karena rasa kantuk yang teramat. Alhasil ia terbangun kesiangan, Ibu dan dua adiknya enggan membangunkan karena merasa kasihan pada tulang punggung keluarga tersebut.

Semua mengira kepergian Barra adalah bagian dari usahanya mencari pundi-pundi rupiah untuk membeli mahar dan hantaran saat pernikahan nanti.

Dugaan tersebut tak sepenuhnya salah, nyatanya Barra memang telah dibayar untuk menjadi budak seks Annisa. Namun, pekerjaan yang ada di dalam pikiran mereka jelas salah besar.

"Tumben telat, Mas Barra?” tukas satpam kantor yang hafal dengan jadwal kedatangan Barra di BPC.

"Iya, Pak. Saya bangun kesiangan. Saya masuk dulu ya, Pak." Barra berlalu cepat meninggalkan satpam yang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Kala itu, Barra merasa ada hal aneh di ruangan divisinya. Ia ingat betul matanya tak salah menangkap jarum jam yang telah menunjuk pukul setengah sepuluh. Akan tetapi, seluruh pegawai divisi pemasaran tak terlihat sebatang pun. Barra berinisiatif menghubungi rekan se-timnya.

Barra semakin bergerak gelisah ketika Butet tak mengangkat telepon. Barra berlari menuju lift, ia akan naik ke lantai atas. Keresahan menumpulkan akal Barra, ia tak mengingat bahwa Astrata calon istrinya merupakan pewaris kedua BPC. Barra justru kebingungan ke sana-kemari mencari rekan kerjanya.

Prok ... prokk ... prokk ...

Suara tepukan tangan menggema dari aula yang telah ia lewati. Barra tak menoleh ke kanan-kiri setelah menginjakkan kaki di lantai lima belas, ia ngibrit berjalan cepat demi menemukan jawaban atas kekosongan kubikel-kubikel kantor BPC.

"Wah-wah-wah ... hebat sekali pegawai satu ini. Baru menjabat sebagai karyawan sudah berangkat seenaknya sendiri. Apalagi kalau dia menjabat sebagai pimpinan?" Sindiran pedas menyambut kedatangan Barra Farzan. Astra yang kala itu berada di samping Alfa Zen Bustomi hanya menunduk malu pada karyawan lain. Zen tersenyum sinis, seringainya terlihat mengerikan.

Alfa Zen Bustomi merupakan CEO perusahaan yang bergerak di bidang properti tersebut. Ia Kakak tunggal dari Astra Bustomi. Ia terkenal dengan sebutan Macan Asia. Kedisiplinannya tak bisa diganggu gugat.

"Selamat pagi, Pak. Mohon maaf saya terlambat datang hari ini." Sebelumnya Barra Farzan mencondongkan sedikit tubuh untuk memberi hormat, lalu ia mengungkapkan permintaan maaf. Barra sangat memahami kepemimpinan bosnya. Tak ada kata maaf tanpa hukuman.

"Kamu sama sekali nggak masuk kriteria calon pemimpin!" Kembali Zen melontarkan kalimat pedas, Barra semakin menciut. Astra berusaha menyikut sang Kakak yang memiliki mulut pedas seperti emak-emak 62.

"Kak, tolong jangan permalukan Barra," bisik Astra dengan sangat pelan.

Barra melangkah sedikit demi sedikit dengan kepala tetap tertunduk malu.

"Apa aku sudah mengizinkanmu masuk?" Zen mengatakannya datar, tak lagi menggunakan intonasi tinggi. Namun, bukan Zen kalau tak menyusahkan.

Barra seketika menghentikan langkah, pria itu mematung. Dengan kaki kanan berada di depan kaki kiri. Ia benar-benar membeku di tempatnya. Banyak karyawan ikut tegang menyaksikan tontonan gratis itu. Banyak juga yang menahan untuk tak mengeluarkan suara tawa. Mereka ingin menertawakan reaksi Barra ketika terkejut. Kalau saja boleh menghidupkan ponsel masing-masing, mungkin mereka tak akan menyia-nyiakan momen menegangkan sekaligus lucu secara bersamaan.

"Bersihkan seluruh ruangan di lantai dua puluh. Sapu, pel, lap kaca dan debu seluruh furnitur, jangan lupa bersihkan seluruh toilet di sana dan ... satu lagi, setelah selesai, kamu bisa membuatkan kopi untuk semua penghuni lantai itu," ucap Zen santai.

Barra menyumpahi bosnya dalam hati. Astaga, cleaning servis pun memegang masing-masing pekerjaan. Lalu, apa sebutan yang cocok untuk seorang Barra Farzan yang kini diganjar dengan hukuman tak lazim. Zen menyembunyikan gelak tawanya, ia tahu Astra sedang memelototi kegilaannya.

Barra mengangguk patuh, meski ingin sekali ia menolak dan mengumpat di depan CEO gila tersebut.

"Kenapa masih berdiri di situ? Cepat kerjakan! Yang lain, kembali bekerja!" perintah Zen lagi. Ia tak membiarkan calon adik iparnya semena-mena. Hanya dirinya yang berhak terlambat dan berlaku sesuka hati. Mungkin Zen sudah tak waras.

Barra meninggalkan Aula kantor, ia menuju ruangan cleaning servis untuk mengganti pakaian dan mengambil alat tempur.

Barra mulai bergerak lincah dengan senjata sapu ijuk. Ia memang biasa mengerjakan semua itu. Namun, yang tak biasa adalah besarnya lantai petinggi perusahaan tidaklah mudah untuknya menyelesaikan sendiri.

Seluruh jajaran petinggi menghambur keluar dari dalam lift khusus pejabat kantor, termasuk Astra di dalamnya. Astra menyusul Barra yang tengah kepayahan mengelap jendela kaca. Astra ingin membantu calon suaminya.

"Berli! Masuk ruangan." perintah keras Zen tak bisa disanggah. Zen melarang keras Astra membantu Barra dengan dalih agar karyawan lain tak mengikuti jejak Barra.

"Tapi, Kak." Astra berusaha memprotes kebijakan yang jauh dari kata bijak tersebut. Astra yakin Zen hanya mencari kesempatan untuk mengerjai Barra.

Semua karyawan yang berada di bawah kendali Zen, memasuki ruang kerja masing-masing. Lalu Barra ... ia kembali berkutat dengan lap dan air.

Barra menghabiskan hampir lima jam dengan gagang sapu dan kain pel. Ia sangat kelelahan hari itu, usai membuatkan kopi untuk bos besar, Barra menjatuhkan tubuh ke lantai.

Tulang-tulang Barra terasa seperti mau patah. Ia acuh pada lirikan aneh orang-orang yang melewatinya. Barra terlalu lemah untuk mengamati wajah para petinggi. Ia menyandarkan punggung di dinding dan meluruskan kaki yang ngilu. Barra melupakan satu hal, ia bersandar di samping pintu kandang Macan jantan.

Ceklek ... pintu terbuka perlahan. Menampilkan sosok cantik gadisnya. Astra ter jingkat kaget kala  ujung matanya menemukan tubuh Barra teronggok di lantai yang menurutnya kotor. Miris, tapi ia bersyukur bukan Zen yang menemui keadaan mengenaskan itu. Jika Zen, habislah Barra. Namun, Barra tak mengetahui hal itu, ia sudah tertidur di sana.

Astra memandangi setiap inci wajah Barra, seketika ia teringat kalau tempat itu tak aman untuk Barra. Astra membangunkan pria tersebut, kemudian dengan langkah sempoyongan, Barra  berjalan di belakang Astra. Keduanya melanjutkan rencana yang sempat tertunda kemarin.

* *

Di sinilah mereka berakhir. Salah satu mall terbesar di ibukota. Sebelum menuntaskan hasrat berbelanja, Astra lebih dahulukan menuju salah satu restoran di mall tersebut. Ia tahu Barra menghabiskan banyak energi untuk melakukan semua aktivitas hukumannya. Sekalipun Barra tak melewatkan makan siangnya, Astra yakin kalau pria itu tengah menahan lapar dan dahaga.

Barra memakan dengan rakus, tampak seperti orang kelaparan. Astra hanya menemani, ia sudah kenyang melihat cara Barra menyantap makanan. Lima belas menit berlalu, Barra mengusap perutnya.

Usai dari restoran, Astra dan Barra berkeliling mencari toko perhiasan langganan gadis itu. Kaki Barra tiba-tiba tersendat, Barra menarik lengan Astra dengan gerakan cepat. Bersembunyi di balik maneken. Astra mengerutkan kening, alisnya saling bertautan akibat sikap aneh yang Barra tunjukkan.

"Kak? Ada apa?" tanya Astra kaget.

Barra celingak-celinguk, ia merasa keberadaannya terancam. Barra melihat dengan jelas kalau Annisa memergoki dirinya. Ia mengapit lengan Astra, berjalan dengan waspada tanpa memedulikan pertanyaan Astra.

"Astaga," ucap Barra terkejut. Barra sangat takut kalau ia tertangkap basah oleh Annisa.

* *

diara_di

Hay, salam kenal dari author. Terimakasih sudah berpartisipasi dalam cerita author. Jangan lupa tinggalkan jejak ya gaes. Peluk jauh dari author.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status