Share

Kepergok

Author: Reina Putri
last update Last Updated: 2024-04-29 15:48:54

Ucapan ibu tadi malam membuat aku tak bisa tidur semalaman, ditambah lagi, aku juga kepikiran soal kondisi Dara, meskipun Mas Adnan sudah memberitahuku kalau dia baik-baik saja, namun tetap saja aku belum juga tenang.

Hari ini Dokter Imam sudah menegaskan kalau aku harus kembali menjalani perawatan barang beberapa hari lagi, namun ketidak sabaran ku untuk segera pulang membuat aku akhirnya memutuskan untuk kabur.

Mas Adnan yang tau kalau aku belum bisa pulang tidak datang ke rumah sakit dan hal itu sangat menguntungkan ku, karena jika dia tau rencanaku sudah pasti Mas Adnan melarangnya.

Beruntungnya, Mas Adnan sudah sempat membawakan aku baju ganti, jadi aku langsung mengganti baju rumah sakit dan memakai baju tersebut lalu keluar dari kamar secara diam-diam. Namun ternyata ramainya orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit membuatku leluasa untuk keluar tanpa ada yang curiga.

Sepanjang perjalanan aku terus menatap keadaan kota yang ku rasa memang sudah berubah, aku bahkan belum mengerti dan masih ragu kenapa bisa aku koma selama itu padahal nyatanya ku rasa kondisiku baik-baik saja.

Ckiiit ...!

Taksi yang ku tumpangi tiba-tiba berhenti. Rem yang diinjak secara mendadak membuatku terhuyung sampai keningku terbentur kursi depan. Aku langsung protes pada pak supir, namun terlihat sebuah mobil yang menghalangi jalan kami membuatku mengernyitkan dahi.

"Inara, buka!" seru seseorang seraya mengetuk kaca di sebelahku.

Aku segera membuka pintu dan menatap jengkel pada seorang pria yang kini sedang melipat kedua tangannya di dada seraya menggelengkan kepalanya.

"Pindahkan mobilmu, aku mau lewat!" titahku ketus.

"Dokter Imam bilang kamu belum boleh pulang. Kenapa ada di sini, hah?" tanyanya seraya mengangkat sebelah alisnya.

"Aku ini sudah sehat, aku ingin pulang. Kalian gak ada hak buat nahan aku di sana," sahutku seraya memalingkan wajah.

"Kami bukan bermaksud menahan. Hanya saja, menurut pemeriksaan, kamu memang masih butuh perawatan. Tapi, jika kamu memang mau pulang, bukan berarti harus kabur seperti ini juga," jelasnya.

Mas Feri meraih tangan kananku, sedangkan dengan cepat aku menepisnya seraya memberikan tatapan garang padanya.

"Inara, aku hanya ingin melihat bekas jarum infus di tanganmu. Kamu mencopotnya sendiri, aku khawatir akan menimbulkan pendarahan dari bekas tusukannya," jelasnya membuatku sedikit malu. Pasalnya, kupikir dia berniat yang lain.

"Aku bisa mengatasinya sendiri. Kamu gak usah so peduli!" ketusku seraya memalingkan wajah.

Tanganku memang sempat mengeluarkan banyak darah saat tadi aku mencopot infus dengan sembarangan. Bekas darah yang berceceran di lantai kamar juga yang mungkin jadi penyebab Feri dapat menyusul ku sampai sini. Dia pasti sudah bisa menebak kalau aku kabur dari rumah sakit.

"Jika kamu tetap ingin pulang, ayo! Biar aku antar," ucap Feri seraya berjalan menuju mobilnya.

"Tidak usah! Aku naik taksi saja," tolakku seraya kembali membuka pintu taksi.

"Inara, aku mengantarmu karena Adnan. Tolong jangan tolak niat baikku," ucapnya seraya menyodorkan uang pada supir taksi dan menyuruhnya agar membiarkan aku turun di sini.

Dengan kesal, akhirnya akupun membiarkan taksi tersebut pergi dan segera masuk ke dalam mobilnya. Ini adalah kali pertama kami duduk satu mobil berdua setelah kami putus beberapa tahun yang lalu. Sepanjang perjalanan, tak ada yang aku maupun Mas Feri bicarakan. Kami hanya diam, aku sibuk dengan pikiranku sendiri sedang dia juga nampaknya fokus mengemudi.

Setelah sampai di depan rumahku, aku sama sekali tak melihat ada yang berubah dengan halaman juga teras depan. Taman bunga yang ku buat di halaman rumah nampak masih indah dan terawat, begitupun dengan teras rumah, tak ada satupun benda yang bergeser dari tempatnya.

Aku hanya bisa tersenyum seraya menghembuskan nafas lega, itu tandanya ucapan ibu di rumah sakit tidaklah benar. Di rumah ini pasti belum ada pengganti diriku, karena jika memang sudah ada, aku tak yakin kalau selera kita akan sama.

Dengan antusias, aku segera melangkah lebih jauh lagi, namun saat tersadar Mas Feri mengikutiku dari belakang aku menghentikan langkahku dan menoleh padanya. Sialnya, sepertinya dia selalu bisa menebak pikiranku.

"Kamu yakin ingin melarangku mampir? Aku mampir untuk Adnan, sahabatku," ucapnya seraya tersenyum.

Mendengar itu aku hanya bisa mendengkus kesal seraya kembali meneruskan langkahku. Namun pemandangan di depan mataku begitu membutku terkejut.

Kulihat Mas Adnan keluar dari rumah diikuti oleh Karin yang sedang menggendong Dara, Karin mencium tangan Mas Adnan dan yang paling mengejutkan Mas Adnan balas mencium kening Karin lalu disusul pada pipi Dara.

Adegan romantis yang biasa dilakukan sepasang suami istri saat suaminya akan bekerja itu sungguh menyayat hatiku. Mereka nampak sekali seperti sebuah keluarga yang berbahagia.

Seketika raut wajah Mas Adnan berubah saat ia menyadari ada aku yang sedang memperhatikannya, sedangkan bersamaan dengan itu mataku langsung memanas hingga membuat pandanganku kabur karen air mata yang sudah meronta untuk mengalir.

"I-inara, sayang ... k-kamu ..."

Mas Adnan nampak begitu gugup hingga ia bahkan tak dapat berkata-kata dan melanjutkan ucapannya. Aku langsung melangkah meski kedua kaki terasa kehilangan tulangnya. Ku hampiri pria yang kurang lebih sudah tiga tahun menjadi suamiku itu dengan air mata yang terus mengalir. Sungguh, saat ini aku sangat membutuhkan penjelasan darinya meskipun kutau itu akan sangat menyakitkan.

"Katakan, siapa sebenarnya Karin?" tanyaku tanpa memalingkan pandanganku dari kedua matanya. Saat ini aku sungguh tak ingin dibohongi dengan alasan apapun juga.

Mas Adnan hanya diam seribu bahasa, bibirnya tertutup rapat sedang kedua tangannya langsung menggenggam erat kedua bahuku. Ia mencoba untuk memelukku namun aku menolaknya. Karena saat ini bukan pelukan yang aku butuhkan melainkan sebuah penjelasan dan kejujuran.

"Karin, siapa suamimu? Mana mungkin, kamu menyalami majikanmu dan membiarkan ia mencium keningmu jika suamimu bukan suamiku, iya 'kan?" tanyaku dengan bergetar menahan emosi.

Wanita itu hanya diam seraya menunduk, sesekali kulihat ia melirik pada Mas Adnan.

"Sudah kepergok mesra, apa kamu belum mengerti juga, Inara? Aku yakin, kamu tidak sebodoh itu," ucap ibu seraya keluar dari rumah.

Ia menatap sinis ke arahku lalu tersenyum penuh arti sedangkan aku yang sudah tak sanggup lagi menerima kenyataan pahit ini langsung berjingklak meninggalkan mereka bertiga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dimadu Saat Koma   Mengunjungi Toko

    "Loh, Inara? Kamu, kok-"Mas Adnan nampak terkejut dengan kehadiranku di toko. Ia yang tadi nampak sedang berbicara serius dengan salah satu kariyawannya langsung menghentikan pembicaraan dan meminta pria itu pergi."Ada yang bisa aku bantu, mas?" tanyaku.Aku melangkah seraya mendorong stroller Dara kemudian duduk di depan Mas Adnan yang juga sudah duduk di kursinya.Mas Adnan hanya menghela nafas, detik berikutnya ia malah meraih buku dari meja dan segera menaruhnya dengan cepat kedalam laci. Tingkahnya seolah aku tak ingin melihat isi dari buku tersebut."Ada masalah?" lagi aku bertanya seraya memicingkan mata padanya."Nggak, kok," sahut Mas Adnan singkat. Detik berikutnya ia tersenyum."Dari tadi kamu tanya masalah, sedangkan kamu sendiri belum jawab pertanyaan mas. Kamu kenapa kesini?" kali ini Mas Adnan mulai terlihat rileks."Mulai hari ini aku akan bantu mas di toko," sahutku."Nggak usah, kamu di rumah saja," ucapnya cepat. Ia berdiri lalu menggendong Dara dari stroller, mem

  • Dimadu Saat Koma   Melawan Ibu Mertua

    Aku hanya mengangguk tanpa menoleh padanya ataupun mencoba untuk melepaskan pelukannya."Kuharap, dengan tinggal satu atap, lama kelamaan kalian akan mulai terbiasa. Aku suamimu, tapi aku juga suami Karin. Kuharap, seiring berjalannya waktu, tak akan ada lagi rasa cemburu diantara kalian," bisiknya.Dadaku terasa panas mendengar ucapan Mas Adnan barusan. Namun, aku tak ingin berdebat diwaktu sepagi ini. Aku hanya berharap suatu hari Mas Adnan bisa merasakan apa yang kurasa."Mas pamit dulu!" sambungnya lagi.Mas Adnan mencium pipiku lembut. Ia kemudian juga mencium Dara yang masih terlelap. Sedangkan aku sendiri terus berusaha memalingkan wajah agar tak bersitatap dengannya.Barulah setelah Mas Adnan berlalu dan menutup pintu, tangisku kembali pecah."Selamat datang di dunia baru, Inara!" gumamku seraya tersenyum getir.Tok! Tok! Tok!Belum sampai sepuluh menit aku di dalam kamar, pintu kamarku kembali diketuk. Entah ibu atau Karin, yang jelas aku merasa benar-benar risih dengan kehad

  • Dimadu Saat Koma   Kembalinya Sang Madu

    Entah berapa jam aku terlelap, yang jelas rasa sakit dan pusing dibagian kepalaku masih sama seperti sebelumnya.Aku kembali terjaga saat mendengar keributan diluar sana. Suara pintu dan bel berbunyi saling bersahutan. Entah siapa yang bertamu dengan se rusuh itu.Kulirik jam yang tergantung di dinding. Ternyata sudah pukul lima pagi."Siapa sih, yang bertamu subuh-subuh begini?" decakku kesal."Maaf, mbak! Tadi aku abis solat dulu! Biar aku aja yang buka pintunya!" ucap Lila saat kami berpapasan di depan tangga."Ya sudah, kamu lihat siapa yang datang. Aku juga belum solat," sahutku seraya kembali naik keatas.Sesampainya di kamar, aku langsung membersihkan diri di kamar mandi, kuharap dengan itu bisa membuat kepala dan tubuhku lebih segar dari sebelumnya. Usai berpakaian, akupun mengambil alat solat dan mulai menunaikan kewajiban ku. Namun, di akhir solatku, aku kembali terkejut saat kini justru pintu kamarku yang diketuk dengan tak sabar.Tak ingin Dara terbangun lalu rewel, akupun

  • Dimadu Saat Koma   Luka Baru

    Ckiitt!Aku menginjak rem secara mendadak saat tiba-tiba saja mobil Mas Adnan menyalip dan langsung menghadangku.Kulihat Mas Adnan turun dari mobilnya dengan penuh emosi. Ia pun lantas mengetuk kaca mobilku dengan tak sabar."Mas kamu apa-apaan sih? Kalau nabrak gimana?" kesalku seraya keluar dari mobil."Kamu gak usah marah! Disini, harusnya aku yang marah!" tegas Mas Adnan dengan rahang yang mengeras."Pertama, kamu sudah berbohong! Dan kedua, kamu sudah mengingkari janjimu karena diam-diam kembali menjalin hubungan dengan Feri!" sentaknya seraya menunjuk wajahku."Siapa bilang? Aku gak menjalin hubungan dengan Mas Feri!" sanggahku."Lalu, kenapa bisa kalian berduaan di kafe malam-malam begini? Pakai acara pegangan tangan segala, lagi?! Apa namanya kalau tak ada hubungan?!" desaknya."Kamu gak tau yang sebenarnya, mas! Lebih baik, tak usah langsung menyimpulkan," ucapku."Ah, oke! Aku memang gak tau yang sebenarnya. Jadi, mulai besok aku akan selalu mengawasi kamu! Aku akan kembali

  • Dimadu Saat Koma   Bukan Dia!

    Astaga!Aku terkejut saat wanita itu berbalik karena dia memakai cadar. Seluruh bagian wajahnya tertutup kecuali mata.Wanita itu tak bicara. Dia hanya menatapku. Tatapannya seah bertanya, "Ada apa?""Apa tadi kamu memotret aku dan Dokter Feri?" tanyaku langsung.Lagi-lagi, wanita itu masih tak bersuara. Ia hanya menggeleng sebagai tanggapannya atas pertanyaanku barusan."Jangan berbohong! Kenapa kamu gak berbicara?" Aku terus mendesaknya tanpa melepaskan tangannya."Ra, dia siapa?" tanya Dokter Feri yang baru saja sampai mengejarku."Aku yakin, dia yang foto kita tadi," sahutku, namun lagi-lagi wanita itu menggeleng. Ia juga berusaha melepaskan genggaman tanganku darinya."Tunggu!"Dokter Feri meminta kami agar diam. Terutama wanita bercadar itu. Ia lalu menatap kedua mata wanita itu dengan lekat. Namun, detik berikutnya wanita itu langsung memalingkan muka."Ah, iya! Aku tau!" gumamku seraya

  • Dimadu Saat Koma   Mengejar Mata-mata

    [Mas, sepertinya kita harus bertemu. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu.]Sebuah chat kukirimkan pada Dokter Feri.Kuharap, setelah kejadian kemarin, ia masih mau bertemu denganku. Setidaknya, kali ini sebagai seorang teman.Ya, hanya teman!Tak menunggu waktu lama, chat sudah dibaca olehnya.[Iya, Ra. Kapan dan dimana?] balasnya.[Terserah kamu mas! Aku akan menunggu waktu senggang mu.] sahutku.[Kebetulan sekarang juga lagi ada waktu, jika kamu mau, aku bisa jemput kamu sekarang juga.][Gak usah jemput, mas. Kamu kasih tau aja tempatnya, nanti aku kesana.][Tapi ini sudah malam, Ra!][Gak papa, aku berangkat sendiri saja!]Aku bersikeras menolak tawaran Dokter Feri yang ingin menjemputku karena aku tak mau ada lagi tetangga rese yang nanti mungkin saja akan kembali mengadukan kami pada Mas Adnan.Akhirnya setelah berdebat lumayan panjang, Dokter Feri mengalah juga. Ia me

  • Dimadu Saat Koma   Cerita Dari Lila

    "Mbak Karin itu ...-"Lila menggantung ucapannya."Siapa, La? Kamu kenal?" tanyaku tak sabar."Dia adalah mantan kekasih almarhum Mas Kevin, kakakku!" sahut Lila."Almarhum?" beoku.Lila hanya mengangguk, sorot kesedihan kini terpancar dari kedua matanya."Maaf jika aku telah membuka luka lama," cicitku.Lila langsung menoleh, dengan cepat diapun menggeleng."Nggak, kok mbak, nggak papa! Hanya saja, sepertinya mbak harus hati-hati padanya," tutur Lila seraya menggenggam tanganku."Maksud kamu, Karin?" tanyaku seraya memicingkan mata."Dia itu perempuan licik, mbak!" geram Lila. Ia terlihat memendam kebencian yang mendalam."Apa kamu mau cerita sedikit saja tentang Karin dan masalalunya bersama kakakmu?" tanyaku hati-hati.Lila nampak menarik nafas dalam, pandangannya lurus kedepan seolah sedang menerawang dan mengingat kembali kemasa lampau."Dulu, orang tua kami terb

  • Dimadu Saat Koma   Teman Baru

    Merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, aku memutuskan untuk pulang saja. Namun, saat aku berdiri Karin kembali mendongakkan wajahnya padaku."Aku akan terima jika Mas Adnan memilih menceraikan ku, tapi ... sampai kapanpun aku tidak akan memintanya," ucapnya.Aku hanya tersenyum tipis kemudian berlalu. Kurasa bermain bersama Dara jauh lebih penting dari pada berbicara dengan Karin. Mantan kekasih yang sepertinya masih sangat mencintai Mas Adnan, kurasa pantas saja jika dia sampai mengabaikan dan tak mau mengerti perasaanku.Apa aku terlalu egois?Terserah apa katanya![La, apa Dara rewel?]Kukirimkan sebuah chat pada Lila, sepertinya aku harus tau kondisi ibu terlebih dahulu sebelum aku pulang ke rumah. Soalnya, tadi kulihat lukanya lumayan parah, aku takut ibu kenapa-napa. Meskipun selama ini ibu tidak menyukaiku, namun tetap saja aku peduli dan sayang padanya.[Dara anteng kok mbak. Mbak gak usah khawatir!]Bal

  • Dimadu Saat Koma   Fakta Mengejutkan

    "Adnan, kita ini sudah lama bersahabat, kurasa ... kamu sudah tau bagaimana sifatku. Aku, tidak mungkin menusukmu dari belakang. Hanya saja, jika kamu memberikan kesempatan, aku tidak mungkin menyia-nyiakan begitu saja. Saranku, jika kamu sudah tak peduli dengan perasaan Inara, lebih baik kamu lepaskan saja dia. Aku dengan senang hati akan kembali menjaganya seperti dahulu. Hanya saja, soal kejadian tadi malam, jangan pernah berpikir bahwa aku akan mengambil sesuatu yang bukan hakku! Aku hanya ingin mendengarkan keluh kesah Inara seperti biasanya, karena setelah kamu mendua, ia kehilangan tempat untuk bercerita," lagi Dokter Feri bicara panjang lebar."Aku tau, berlaku adil itu tidaklah gampang. Aku yakin kamu sudah berusaha, tapi jika masih ada salah satu yang menangis karena merasa terasingkan, kenapa kamu gak memilih untuk menyerah saja?" sambungnya membuat Mas Adnan nampak semakin emosi."Kalian memang pengkhianat!" geramnya dengan tangan me

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status