"Bu, tolong ... perutku s-sakit sekali," lirihku dengan sedikit terbata. Aku mengulurkan tanganku yang bergetar padanya berharap ia mau membantuku, sedangkan Karin sudah membawa Dara keluar dari kamarku. Hal itu membuatku juga menjadi cemas takut terjadi sesuatu yang buruk pada Dara, pasalnya kami terjatuh dan terbentur cukup keras.
"Dasar menyusahkan!" rutuknya seraya meraih tanganku.Ibu membangunkan ku dengan kasar hingga dengan refleks aku menjerit saat merasa perutku sakit bagai akan terbelah dua."Astagfirullah! Ada apa ini?" teriak seorang pria dari ambang pintu.Pria berjas putih itu dengan sigap langsung berlari ke arahku, meraih tubuhku dari cengkraman tangan ibu dan membaringkanku ke atas ranjang dengan sangat hati-hati."Maaf, Bu. Tidak seharusnya ibu kasar pada pasien. Sudah jelas dia sedang sakit," ucapnya pada ibu mertuaku. Sedangkan ibu hanya berdecak seraya mengatakan kalau dia tidak bersalah karena aku jatuh sendiri karena kecerobohan ku.Tanpa menanggapi ocehan ibu, pria berkacamata yang ku yakin seorang dokter itu langsung memeriksa keadaanku, ia juga menyuntikkan sesuatu pada cairan infus ku hingga perutku secara berangsur-angsur tidak terasa sakit lagi."Bagaimana sekarang?" tanyanya."Sudah lebih baik, dok!" sahutku seraya mencoba untuk tersenyum.Pandanganku beralih pada pintu, tak terdengar lagi suara tangis Dara, entah kemana Karin membawa putri kecilku itu dan entah bagaimana sekarang kondisinya."Mbak cari siapa?" tanya dokter tersebut. Mungkin dia memperhatikanku."Tadi aku jatuh saat sedang menggendong putriku. Aku khawatir dia kenapa-napa," sahutku."Tadi saya bertemu dengan seorang wanita yang keluar dari kamar ini seraya menggendong anak kecil. Ia sedang menuju ruang periksa," jelasnya.Aku hanya bisa mengusap wajahku dengan penuh rasa sesal, entah setelah ini Dara mungkin akan semakin takut padaku. Tapi, apapun yang terjadi nanti, ku harap saat ini Dara baik-baik saja."Sedikit saran dari saya, sebaiknya mbak jangan memaksakan diri untuk melakukan hal-hal yang berat dulu," ucap dokter tersebut seraya membereskan peralatannya."Iya, dok!" sahutku singkat."Nama saya Imam, saya yang menggantikan dokter Feri untuk memantau kondisi Mbak Inara, jika sampai nanti malam kondisinya masih seperti ini, mungkin besok mbak belum boleh pulang," tuturnya membuatku lagi-lagi merenggut kesal. Padahal, aku sudah tak sabar untuk segera pulang.Dokter Imam berlalu dari kamarku, sedangkan ku lihat ibu kini sedang menatapku dengan sinis."Rasain tuh!" desisnya."Makanya, jadi orang jangan ceroboh! Kamu itu bisanya apa sih? Nyusahin mulu kerjanya!" rutuknya lagi.Ibu menggeser kursi lalu duduk. Ia menatap obat-obatan yang tersusun rapi di atas nakas."Jangan bilang juga kamu gak minum obatnya! Kamu tau gak, biaya pengobatan kamu di sini itu sangat mahal? Adnan sudah menghabiskan banyak uang hanya untuk mempertahankan kamu. Padahal, apa bagusnya sih, wanita seperti kamu?!" ocehnya lagi yang menambah panas hati dan juga telingaku."Ibu kenapa bicara seperti itu? Aku juga gak minta berada dalam kondisi seperti ini, Bu," sahutku setelah sekian lama aku hanya diam saja."Kamu itu gak becus jadi wanita! Terlalu lelet, terlalu lemah, dan bisanya cuma merepotkan Adnan. Harusnya, kamu itu gak usah bangun aja sekalian!" sentaknya membuat dadaku terasa sesak.Apa benar, ibu sebenci itu padaku? Sampai-sampai dia mengharapkan aku untuk tidak bangun lagi.Tak terasa air mataku tiba-tiba lolos begitu saja, entah kenapa rasanya sakit sekali mendengar ucapan ibu barusan. Padahal, seharusnya aku sudah terbiasa dengan sikap dan kata-kata pedas dari ibu, karena sejak dulu ibu memang tidak suka padaku. Entah apa sebabnya, akupun belum tau, padahal selama ini aku rasa aku selalu bersikap baik padanya, bahkan aku juga sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri karena aku memang sudah ditinggalkan oleh ibuku sejak masih duduk di sekolah dasar.Sejak aku menikah dengan Mas Adnan, ibu tak pernah sekalipun bersikap atau berkata baik padaku, baginya aku bukanlah menantu yang dia inginkan. Bahkan secara terang-terangan ia selalu meminta Mas Adnan untuk mencari istri baru dengan alasan aku terlalu lama memberinya cucu. Namun beruntungnya Mas Adnan tak pernah menggubrisnya.Sekarang, ku pikir setelah aku memberikannya cucu, ia akan berubah baik padaku, namun nyatanya dia justru mengharapkan aku untuk tak kembali ke kehidupannya. Sungguh sangat menyedihkan."Bu, jika ibu ke sini hanya untuk marah-marah, aku minta dengan sangat lebih baik ibu keluar saja. Kepalaku pusing, Bu. Aku ingin istirahat," ucapku pelan seraya menyeka sudut mataku."Apa kamu bilang? Kamu berani ngusir saya dari sini?! Dasar menantu kurang ajar! Gak tau diri!" sentaknya dengan mata berkilat penuh emosi."Maaf, Bu. Bukan maksud mengusir, hanya saja, aku rasa aku memang perlu istirahat," ucapku lagi."Cih, alasan! Ternyat kamu itu memang gak punya sopan santun sama mertua. Untung saja Adnan sudah ...-""Inara, kamu gak apa-apa 'kan?!"Seketika ocehan ibu terputus saat Mas Adnan berseru seraya berlari menghampiriku. Ia bahkan sampai menyenggol bahu ibu saking terburu-burunya."Adnan! Dimana matamu?! Apa kamu tidak melihat ada ibu di sini?!" sentaknya, membuat pandangan Mas Adnan langsung beralih pada ibu."Maaf, Bu. Aku buru-buru, tadi Dokter Imam telpon katanya Inara jatuh. Tapi, kamu gak apa-apa 'kan sayang?" jelasnya seraya kembali menoleh padaku."Aku gak papa, mas. Tapi, aku gak tau bagaimana kondisi Dara saat ini. Maaf mas, aku sudah membuatnya terluka, aku tak sengaja. Tadi, perutku tiba-tiba saja sakit saat sedang menggendongnya," jelasku panjang lebar."Kamu gak usah khawatir, Karin bilang Dara tidak papa, mereka sekarang sudah pulang," ucap Mas Adnan membuat hatiku lega."Manjain aja terus! Kamu tau, gara-gara sikapmu yang seperti ini, dia jadi ngelunjak?! Bahkan, tadi dengan beraninya dia mengusir ibu dari sini," oceh ibu disela pembicaraan kami."Sudah, Bu! Jangan bersikap seperti ini terus, Inara sedang sakit, dia baru saja tersadar dari masa-masa kritisnya. Tolong, beri dia sedikit saja support supaya dia bisa cepat sembuh dan kembali ke rumah," tutur Mas Adnan yang malah disambut cebikan bibir dari ibu."Rumah udah gak butuh dia lagi, di sana sudah ada Karin yang cekatan dalam mengurus segalanya," sinis ibu kemudian berlalu.Pandanganku langsung tertuju pada Mas Adnan, aku sungguh tak mengerti kenapa ibu bisa sampai bicara seperti itu padaku. Apa benar Karin sudah menggantikan posisiku di rumah? Tapi, bukannya Karin sendiri bilang kalau dia juga sudah punya suami?"K-karin hanya seorang pengasuh. Sampai kapanpun, aku dan Dara akan selalu membutuhkanmu, sayang. Cepat sembuh, ya!" ucap Mas Adnan sedikit terbata."Bu, aku mencintaimu sebagai ibuku. Ibu telah melahirkan, merawat dan juga membesarkanku dengan penuh kasih sayang, mana mungkin aku tidak mencintaimu?""Ibu dan Inara dalah dua wanita yang paling berharga dalam hidupku. Cintaku pada kalian memang berbeda, tapi ... tentu saja sama besarnya. Kalian sama berartinya dalam hidupku. Aku selalu mencintai kalian dengan adil."Mas Adnan mengangkat wajah ibu dan menyeka air mata diwajahnya."Bu, seandainya sejak awal ibu mau mengerti, mungkin semuanya tidak akan serumit ini. Ibu pikir, dengan memiliki dua istri, aku tidak terbebani?" keluhnya.Mas Adnan beranjak tanpa menunggu jawaban ibu. Ia pergi dengan langkah gontai.Sedangkan di depanku, ibu dan Karin masih terdiam di tempat mereka. Mungkin, mereka masih merenungi kesalahan mereka masing-masing. Atau, justru ada hal lain lagi yang sedang mereka rencanakan?Entahlah!Untuk saat ini aku tak mau memikirkan mereka dulu. Dengan membersihkan nama baikku saja, untuk saat ini sudah cukup.Aku ber
Lembar demi lembar terus Mas Adnan baca dengan teliti. Hingga di lembar terakhir ia langsung melempar semua kertas itu ke atas meja dan mengorek-ngorek tas yang selalu ia bawa."Adnan, surat apa sih? Kok wajah kamu tegang gitu?" tanya ibu dengan mata yang terus mengikuti gerak gerik Mas Adnan.Sedangkan di samping itu, Mas Adnan sama sekali tak menjawab, dia tak bersuara namun wajahnya kental sekali dipenuhi dengan emosi yang membuat siapa saja yang melihatnya merasa segan."Sial!"Kalimat pertama yang terucap dari mulutnya setelah ia menyamakan berkas-berkas yang baru dibacanya dengan berkas-berkas lama yang masih ia simpan."Kariin?!" suara Mas Adnan menggema di ruangan.Ibu menoleh padaku, ia nampaknya terkejut dengan sikap anaknya itu. Namun akupun hanya bisa melakukan hal yang sama. Berpura-pura tak tau apa-apa, padahal dalam hati sungguh senang karena rencanaku berjalan sempurna."Kariin?!" lagi, Mas Adnan berteriak memanggil nama istri keduanya."Karin gak ada. Tadi dia pamit k
Sepertinya keberuntungan sedang berpihak padaku, karena tanpa disengaja aku langsung bisa mendapatkan sebuah bukti yang luar biasa untuk menguak siapa Karin yang sebenarnya.Tak ingin menyianyiakan kesempatan ini, aku harus segera mencari tau tentang keasliannya.Untuk memastikan keaslian surat ini, kuputuskan untuk mampir ke rumah sakit tempat Mas Feri kerja. Aku yakin, pria itu bisa menentukan mana surat asli atau palsu yang dikeluarkan oleh rumah sakit."Jadi, menurut mas gimana?" tanyaku sesaat setelah Mas Feri melihat semua berkas yang kubawa."Sepertinya ini asli kok. Nih, ada stempelnya," sahut Mas Feri seraya menunjuk stempel di pojok bawah surat tersebut.Aku mengernyitkan dahi. Mencoba untuk berpikir bagaimana caranya bisa memberitahu Mas Adnan tentang surat ini. Pasalnya, surat yang dulu aku tak pernah tau, apa mungkin dulu juga bentuknya sama seperti ini?"Inara?!"Aku sedikit terkejut saat Mas Feri melambaikan tangannya didepan wajahku."Kok malah melamun?" tanyanya."Aku
"Astaga, mas! Kamu transfer Karin sebanyak ini?!" pekikku saat melihat keterangan pengeluaran sebesar 30 juta ke rekening Karin.Sontak saja, teriakanku itu membuat Mas Adnan dan beberapa kariyawan yang kebetulan berada dekat kami menoleh secara bersamaan. Tak hanya Mas Adnan yang menatapku penuh tanya, beberapa kariyawan yang sedang membereskan barang pun nampaknya kepo padaku. Namun, saat aku balas menatap mereka, mereka langsung pergi menjauh dari tempatku dan Mas Adnan."Inara, kamu apa-apaan sih?" bisiknya penuh penekanan."Kamu yang apa-apaan mas?! Kamu kurangi jatah bulanan aku dengan dalih keuangan lagi memburuk, tapi pada Karin, kamu malah transfer uang sebanyak ini dan ini ... uang toko!" ucapku tak kalah tegas."Itu bekas biaya rumah sakit saat Karin kemarin keguguran. Semua itu juga gara-gara kamu 'kan?" jelas Mas Adnan seraya memalingkan wajah."Oh, jadi mas masih gak percaya sama aku?! Mas nyalahin aku?" tanyaku tak terima."Ehm, bukan gitu ... ah, sudahlah, mas minta ma
"Loh, Inara? Kamu, kok-"Mas Adnan nampak terkejut dengan kehadiranku di toko. Ia yang tadi nampak sedang berbicara serius dengan salah satu kariyawannya langsung menghentikan pembicaraan dan meminta pria itu pergi."Ada yang bisa aku bantu, mas?" tanyaku.Aku melangkah seraya mendorong stroller Dara kemudian duduk di depan Mas Adnan yang juga sudah duduk di kursinya.Mas Adnan hanya menghela nafas, detik berikutnya ia malah meraih buku dari meja dan segera menaruhnya dengan cepat kedalam laci. Tingkahnya seolah aku tak ingin melihat isi dari buku tersebut."Ada masalah?" lagi aku bertanya seraya memicingkan mata padanya."Nggak, kok," sahut Mas Adnan singkat. Detik berikutnya ia tersenyum."Dari tadi kamu tanya masalah, sedangkan kamu sendiri belum jawab pertanyaan mas. Kamu kenapa kesini?" kali ini Mas Adnan mulai terlihat rileks."Mulai hari ini aku akan bantu mas di toko," sahutku."Nggak usah, kamu di rumah saja," ucapnya cepat. Ia berdiri lalu menggendong Dara dari stroller, mem
Aku hanya mengangguk tanpa menoleh padanya ataupun mencoba untuk melepaskan pelukannya."Kuharap, dengan tinggal satu atap, lama kelamaan kalian akan mulai terbiasa. Aku suamimu, tapi aku juga suami Karin. Kuharap, seiring berjalannya waktu, tak akan ada lagi rasa cemburu diantara kalian," bisiknya.Dadaku terasa panas mendengar ucapan Mas Adnan barusan. Namun, aku tak ingin berdebat diwaktu sepagi ini. Aku hanya berharap suatu hari Mas Adnan bisa merasakan apa yang kurasa."Mas pamit dulu!" sambungnya lagi.Mas Adnan mencium pipiku lembut. Ia kemudian juga mencium Dara yang masih terlelap. Sedangkan aku sendiri terus berusaha memalingkan wajah agar tak bersitatap dengannya.Barulah setelah Mas Adnan berlalu dan menutup pintu, tangisku kembali pecah."Selamat datang di dunia baru, Inara!" gumamku seraya tersenyum getir.Tok! Tok! Tok!Belum sampai sepuluh menit aku di dalam kamar, pintu kamarku kembali diketuk. Entah ibu atau Karin, yang jelas aku merasa benar-benar risih dengan kehad