Home / Romansa / SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI / Bab 2 – Ketika Harga Diriku Mulai Retak

Share

Bab 2 – Ketika Harga Diriku Mulai Retak

Author: Pandandut
last update Last Updated: 2025-06-21 09:11:28

Hari itu aku datang terlalu pagi. Kampus masih sepi, langit diguyur embun, dan rumput halaman basah seperti baru selesai menangis semalaman. Tapi dadaku justru penuh degup. Ini hari pertama aku resmi menjadi mahasiswa.

Aku mengenakan kemeja putih bersih dan rok panjang biru tua. Rambutku kukuncir rapi. Tidak ada yang spesial, kecuali semangat dalam hatiku dan sedikit rasa takut yang menempel di ujung-ujung jari.

Aku memilih duduk di baris tengah aula auditorium, berharap bisa berbaur, tidak terlalu terlihat tapi juga tidak sepenuhnya tersembunyi. Tapi tetap saja, rasanya semua mata menilai. Mulai dari tasku yang tidak bermerek, sepatu putih yang sedikit belel, hingga cara aku duduk yang terlalu tegak karena gugup.

Lalu, suara lantang menyapaku dari samping.

“Sendirian juga?”

Aku menoleh. Seorang gadis berambut sebahu dengan gaya santai duduk di sebelahku. Wajahnya cerah, percaya diri, seperti seseorang yang sudah terbiasa menyambut dunia dengan kepala tegak.

“Eh, iya. Aku Nadia,” jawabku ragu.

“Aku Sarah. Ini temanku, Rina,” katanya sambil menunjuk ke arah cewek berkacamata dengan poni rapi yang duduk di sebelahnya.

“Eh, hai! Akhirnya ada yang tampil normal,” kata Rina sambil tertawa. “Tadi banyak yang kayak lagi ikut casting iklan skincare. Semua putih glowing dan tasnya bisa buat bayar UKT ulang.”

Aku tidak bisa menahan tawa. Itu lucu, dan jujur. Mungkin mereka dua orang pertama yang membuatku merasa tidak sendirian di tengah auditorium penuh orang asing.

Hari itu, kami jadi teman.

---

Sesi perkenalan kelompok membuat ruangan gaduh. Semua mahasiswa baru dipanggil satu per satu oleh panitia. Aku mencatat nama-nama, mencoba mengingat wajah.

Lalu, mataku tertuju pada seorang cowok yang duduk di seberang. Hoodie hitam, rambut sedikit acak, wajahnya tenang tapi... dingin. Tatapannya seperti orang yang sudah terlalu lama hidup dalam dunia yang membuatnya muak. Ada jarak dalam auranya, seperti tembok yang dibangun tinggi dan tebal.

Panitia menyebut namanya.

“Reza Akbar!”

Dia hanya mengangkat tangan sedikit dan menjawab singkat, “Yo.”

Tidak senyum. Tidak basa-basi. Tapi justru karena itu, Sarah langsung berbisik padaku.

“Gila, cool banget sih tuh cowok. Dingin. Tapi berkarisma.”

Aku tidak komentar. Tapi diam-diam, aku penasaran. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku ingin tahu lebih banyak. Tapi saat itu, pikiranku masih jauh dari semua itu. Aku hanya ingin fokus bertahan hari demi hari.

Sesi selesai. Semua mahasiswa baru diminta mengurus dokumen dan form di bagian belakang aula. Aku berdiri, menatap map di tanganku. Bingung.

“Map putih kamu harusnya ke meja D, bukan sini.”

Aku menoleh.

Seorang cowok tinggi mengenakan jas almamater rapi berdiri di belakangku. Wajahnya bersih, rahangnya tegas. Matanya tenang, penuh ketertarikan. Nama di dada jasnya tertulis: Ardi – BEM Fakultas.

“Oh... maaf, Kak. Aku salah lihat petunjuk,” jawabku gugup.

Dia tersenyum tipis.

“Tenang. Ayo, aku antar sekalian.”

Kami berjalan beriringan. Aku menunduk, merasa kikuk.

“Kamu dari kelas A, ya?” tanyanya ramah.

“Iya, Kak.”

“Baru masuk kuliah, pasti masih adaptasi. Tapi kamu kelihatan tenang. Jarang yang duduk sendiri dan santai kayak kamu tadi.”

Aku tertawa kecil.

“Sebenernya gugup banget, Kak. Cuma pura-pura tenang.”

Dia menoleh dan tersenyum lebih lebar.

“Itu namanya pintar jaga citra. Aku suka.”

Aku hanya bisa membalas dengan senyum malu-malu. Dalam hatiku, ada rasa hangat yang tumbuh tanpa izin.

---

Minggu-Minggu Awal yang Penuh Warna

Seminggu berjalan, aku, Sarah, dan Rina makin akrab. Kami mulai terbiasa makan siang bareng, saling curhat soal tugas, dosen, dan mahasiswa yang bikin gemas termasuk soal Ardi.

“Eh, kamu sering chat-an sama Kak Ardi ya?” tanya Sarah sambil menggoda.

“Apa sih, enggak...” jawabku cepat, pipiku memanas.

“Please, Nad. Kak Ardi itu the real kampus crush. Tinggi, rapi, pinter. Gak heran kalau dia suka cewek kayak kamu.”

Aku menggeleng cepat.

“Jangan gitu, ah. Aku cuma mahasiswa biasa.”

Tapi jauh di dalam hati, aku... berharap.

Ada harapan kecil yang tumbuh, bahwa mungkin benar aku bisa disukai oleh seseorang seperti Kak Ardi. Mungkin, aku pantas dilihat, dipilih.

---

Beberapa minggu kemudian, aku dan Kak Ardi bertemu lagi. Dia mengajakku ngobrol ringan di taman kampus.

Kami duduk berdua. Bicara soal banyak hal. Dari organisasi, musik, buku, hingga cara kami melihat masa depan.

“Kamu suka baca buku?” tanyanya.

“Suka. Terutama novel. Tapi akhir-akhir ini lebih sering baca berita kampus,” jawabku, tertawa kecil.

“Aku suka cara kamu jawab. Penuh jeda. Tapi tepat,” katanya.

Kata-katanya membuatku merasa... terlihat. Aku bukan hanya mahasiswa biasa. Aku adalah pribadi yang dia ajak bicara, dia dengarkan.

Dan saat itulah aku mulai nyaman. Tapi kenyamanan itu tidak lama.

Suatu siang, aku diminta mengantar surat kegiatan ke ruang BEM. Tapi sebelum masuk, aku mendengar suara dua perempuan dari dalam. Salah satunya aku kenal Agnes. Kakak tingkat paling populer.

Suaranya tajam. Penuh penilaian.

“Si Ardi deket banget sama Nadia itu, ya? Serius deh, nggak banget sih selera Ardi kalau emang suka."

"Lo liat aja deh. Anaknya pendek, kulit biasa, baju kayak anak kos pinggir kota. Gak banget. Terlalu kampungan untuk seorang Ardi.”

“Dia tuh cocoknya jadi babunya, bukan pacarnya. Gak level.”

Tawa kecil menyusul. Tertahan, tapi menusuk.

Tanganku gemetar. Map di tanganku nyaris jatuh. Aku mundur pelan. Pergi tanpa suara.

Sejak hari itu, aku berhenti ke ruang BEM. Berhenti membalas chat Kak Ardi. Menolak semua ajakannya diskusi tugas atau sekadar makan siang.

Bukan karena dia salah. Tapi karena aku merasa... aku tak cukup.

“Kalau dia tahu omongan teman-temannya, dia juga akan sadar... aku bukan pilihan yang pantas.”

Hari-hariku jadi lebih sunyi. Tapi aku belajar tersenyum. Setidaknya di depan orang lain.

---

Kemunculan Reza

Dan di saat itulah, Reza mulai mendekat.

Suatu hari di kantin, dia duduk di mejaku tanpa izin.

“Sendirian mulu. Gak bosan?”

Aku mengangkat bahu. “Udah biasa.”

“Gue Reza.”

“Nadia.”

Dan entah kenapa, perkenalan itu seperti lubang kecil yang perlahan membesar dan menelanku.

Reza mulai sering cerita soal hidupnya. Tentang keluarganya. Tentang masa lalu yang kelam.

Suatu hari, dia menatapku dengan wajah lesu.

“Ayah gue bangkrut. Gagal proyek properti. Sekarang gue tinggal sama om. Lagi berat banget.”

Aku menatapnya. “Terus kamu gimana? Ada uang buat makan?”

“Ada, tapi gak banyak, Nad…” katanya lirih.

Aku kasihan. Apalagi saat dia beberapa kali minta maaf karena telat bayar makan di kantin.

Akhirnya aku mulai membayari makan siangnya. Kadang dia juga minta tolong pesan makanan pakai aplikasi di HP-ku. Aku bilang gak masalah. Karena kupikir... itulah cinta. Membantu.

Lalu dia mulai cerita soal trauma. Tentang kesepian. Tentang orang-orang yang selalu mengecewakannya.

“Gue suka ngobrol sama lo, Nad. Lo beda. Tenang. Gak nge-judge.”

Aku... terharu. Setelah semua yang terjadi padaku kepergian ayah, beban hidup yang hanya ditanggung aku dan Ibu akhirnya ada seseorang yang bilang aku ‘berarti’.

Ketika Reza bilang, “Gue nyaman sama lo,” aku merasa... diterima.

Ketika dia bilang, “Lo beda dari cewek lain,” aku merasa... istimewa.

Ketika dia bilang, “Lo gak kayak mereka yang cuma lihat dari tampang dan gaya,” aku merasa... dilihat.

Semua luka dari perkataan Agnes... tiba-tiba terasa samar. Seolah Reza sedang menenun tempat aman untukku.

Atau, aku pikir begitu.

---

Tanpa kusadari, aku mulai terbiasa pelan tapi pasti, aku membuka diri pada Reza. Dan dia semakin mendekat. Tapi hal-hal kecil mulai terasa janggal... namun kuabaikan.

“Gue lagi gak bisa bayar makan. Bisa lo bantuin dulu?”

Aku bilang iya. Hari itu. Dan hari berikutnya. Lalu berikutnya lagi.

Dia mulai meminjam HP-ku untuk order barang dropship-nya.

“Kosan gue gak aman buat kiriman. Bisa minta dikirim ke rumah lo aja, Nad?”

Aku mengangguk.

Karena kupikir, cinta itu saling bantu. Saling mengisi. Saling menyembuhkan.

Tapi mungkin... aku terlalu cepat menyimpulkan.

Karena ternyata, dia tidak sedang menenun tempat aman.

Dia sedang mempersiapkan perangkap.

Dan aku dengan bodohnya masuk tanpa sadar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 53 - Badai Balasan

    Pagi berikutnya datang tanpa ampun. Aku bangun sebelum matahari sepenuhnya muncul, dan mendapati perasaan resah masih menggantung di dada. Alika masih tertidur di sofa, tubuhnya meringkuk seperti anak kecil yang kelelahan setelah perang panjang. Selimut tipis menutupi tubuhnya, dan wajahnya untuk pertama kalinya terlihat damai.Aku berjalan ke dapur, menyeduh kopi, lalu berdiri lama di depan jendela. Jakarta masih setengah terjaga. Tapi hatiku sudah bersiap untuk perang hari ini. Kami tahu mereka akan melawan balik.“Pagi,” suara berat Dimas memecah keheningan. Ia datang dari kamar, mengenakan kaus gelap dan celana training, matanya masih mengantuk tapi sorotnya tajam.“Pagi,” balasku pelan.Dia berdiri di sebelahku, lalu menyesap kopi dari cangkirku tanpa izin. “Hari ini kita harus mulai identifikasi siapa-siapa saja yang mungkin bisa kita ajak bersaksi.”Aku mengangguk. “Aku terus mikir soal mahasiswi yang dulu sempat hilang. Namanya Tania. Waktu itu dia mahasiswa FE, satu angkatan

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 52 - Keberanian

    Pagi itu, berita tentang Yusuf mulai muncul di media sosial. Bukan hanya karena video Alika, tapi juga karena beberapa akun aktivis perempuan ikut menyuarakan kasus yang selama ini dibungkam. Hashtag dengan namaku dan Alika muncul di mana-mana. Foto tangkapan layar pesan Yusuf ke Alika tersebar. Wajah tampan yang dulu dielu-elukan di kampus kini dibanjiri hujatan.Aku membuka layar ponselku sambil menyesap kopi yang bahkan tak terasa di lidah.“Kita harus bergerak cepat,” ujar Dimas dari balik laptopnya. “Sebelum keluarganya mulai main kotor lagi.”“Ardi bilang pengacara mereka sudah mulai sibuk ngelobi,” tambahnya, menoleh padaku. “Kita harus siapkan konferensi pers. Bukan hanya bukti, tapi suara. Kita buat publik tahu siapa sebenarnya Yusuf dan keluarganya.”Aku mengangguk. “Kamu yakin Alika siap bicara di depan umum?”Dimas mengangguk. “Dia bilang, kalau kamu ada di sampingnya, dia siap. Kita nggak akan biarkan dia sendirian.”Aku tersenyum tipis. “Kalau begitu, ayo kita mulai."--

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 51 -Luka yang Tak Bisa Disembunyikan

    Langit siang itu terasa lebih muram dari biasanya, seakan menyerap semua perasaan yang tadi berkecamuk dalam ruangan sempit berjeruji besi itu. Aku melangkah keluar dari ruang kunjungan penjara dengan langkah berat. Udara terasa berbeda di luar lebih lapang, tapi juga lebih sunyi. Dimas menyusul di sampingku, diam-diam. Wajahnya tak banyak bicara, tapi aku tahu dia menahan sesuatu. Mungkin emosi. Mungkin amarah. Atau sekadar bingung harus memelukku atau membiarkanku diam. Kami berjalan sejajar, menyusuri koridor menuju pintu keluar. Tidak ada satu kata pun yang terlontar, tapi suara langkah kaki kami seakan bergema lebih keras dari biasanya. Aku akhirnya membuka suara. "Terima kasih sudah ikut masuk tadi..." suaraku lirih. Dimas mengangguk. "Aku nggak mau kamu sendirian." Aku berhenti di tangga luar gedung itu. Mataku masih terasa berat. Reza menangis. Reza meminta maaf. Reza menyebut-nyebut ibunya dan dosa-dosa masa lalunya. Tapi tak ada yang bisa menghapus kenyataan. Tak ada a

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 50 - Mengubur Luka dengan Mata Terbuka

    Langit mendung menyelimuti Jakarta sore itu. Awan menggantung berat, seolah menahan hujan yang tak kunjung jatuh. Di pelataran sunyi sebuah rumah tahanan negara, sebuah mobil hitam berhenti. Mesin dimatikan, namun detak jantung di dalamnya masih nyaring.Dimas duduk di kursi pengemudi. Di sebelahnya, Nadia diam menatap lurus ke depan. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai.Tangannya digenggam erat oleh Dimas. Bukan sekadar genggaman, tapi janji yang tak diucapkan: Kau tidak sendirian.“Kamu yakin mau ketemu dia?” Dimas bertanya pelan, nadanya lembut tapi dalam, seolah kata-katanya disaring dari kekhawatiran.Nadia menoleh sedikit, namun tidak sepenuhnya menatap. Matanya tetap mengarah ke kejauhan. “Aku nggak datang buat dia,” ucapnya lirih. “Aku datang buat diriku sendiri.”Dimas mengangguk. Ia tahu, keputusan ini bukan sekadar keberanian ini adalah titik balik.Langkah kaki mereka menggema di lorong panjang lembaga pemasyarakatan. Bau logam, cat tembok tua, dan udara lembap m

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 49 - Luka Terbuka Lagi

    Pagi itu, tak satu pun dari kami benar-benar tidur. Telepon Dimas dan Ardi terus-menerus berdering sejak subuh. Grup W******p tim pendamping hukum tak berhenti menampilkan notifikasi. Beberapa pesan datang dari media, sisanya dari jaringan LSM yang ingin bergabung atau menawarkan dukungan. Namun yang paling mengejutkan: dua pengacara senior dari Jakarta secara sukarela menghubungi kami, mengatakan mereka siap ikut mendampingi kasus Alika pro bono. Dunia luar mulai bergerak. Tapi kami di sini… tetap terjebak di ruang yang sama ruang penuh kelelahan, trauma, dan pertanyaan yang belum terjawab. Alika duduk di depan jendela, masih dalam balutan jaket abu-abu longgar milik Dimas. Tangannya memeluk lutut, wajahnya menatap ke luar jendela apartemen seolah ingin melihat langit tapi tak sanggup menengadah. Matanya sembab, kelopak matanya bengkak, dan bibirnya pecah karena terlalu sering digigit untuk menahan tangis. Tapi tak satu pun dari kami menyuruhnya berhenti menangis. Karena kami tahu

  • SETELAH AKU HANCUR AKU MEMILIH HIDUP DAN MENCINTAI LAGI   Bab 48 – Ketika Kebenaran Memanggil

    Pagi berikutnya, udara Jakarta masih menyimpan sisa mendung. Tapi aku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena teh hangat semalam, atau karena ciuman kecil di kening yang lebih menenangkan daripada semua obat tidur yang pernah aku coba. Aku baru saja menyelesaikan sarapan seadanya roti panggang dan telur setengah matang ketika bel apartemen berbunyi. Tiara yang membukakan pintu. Di baliknya, berdiri seorang perempuan muda berjaket denim dan ransel lusuh. Matanya cekung, wajahnya pucat. “Alika?” suaraku tercekat. Dia mengangguk pelan. “Aku… mau bantu. Tapi aku takut.” Aku langsung berlari ke arahnya, memeluk tubuh ringkih itu dengan hati-hati. “Tenang, kamu aman di sini. Kita nggak akan biarkan mereka menyentuh kamu lagi.” Tiara menutup pintu cepat, menguncinya dua kali. Dimas muncul dari kamar dengan ekspresi kaget. “Gimana dia bisa sampai sini?” Alika menunjuk ponselnya. “Ada sopir ojek online yang bawa aku. Kata kakak Rara, ini tempat paling aman buat aku sekaran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status