Hari-hari pertama kuliah terasa melelahkan bagi Nadia. Jadwal yang padat, tugas yang mulai berdatangan, serta dosen-dosen dengan berbagai karakter membuatnya harus beradaptasi dengan ritme kehidupan sebagai mahasiswa. Untungnya, ia tidak sendirian. Bersama Rina dan Sarah, dua teman yang ia kenal sejak hari pertama kuliah, segalanya terasa lebih ringan.
Setiap pagi, mereka bertemu di kantin fakultas sebelum masuk kelas. Kantin Fakultas Ekonomi dan Bisnis berada di lantai dasar, dengan deretan meja panjang dan suasana yang selalu ramai. Di sanalah mereka berbagi cerita, mulai dari keluhan soal dosen killer, tugas yang menumpuk, hingga obrolan ringan seputar tren fashion atau drama Korea terbaru yang disukai Sarah. “Gila, tugas Pengantar Ekonomi kemarin bener-bener bikin pusing,” keluh Rina sambil mengaduk es teh manisnya. “Aku sampai nanya abangku yang udah kerja.” Sarah menaikkan alis. “Terus, dia bantuin?” “Nggak juga. Dia cuma bilang, ‘Ya pelajarin sendiri, kan udah kuliah.’ Nyebelin banget, kan?” Nadia tersenyum kecil. “Memang dosen kita sengaja kasih tugas berat di awal biar kita nggak santai.” Sarah menghela napas panjang. “Fix, kita harus sering belajar bareng. Kalau enggak, kita bisa ketinggalan.” Di tengah obrolan itu, seseorang tiba-tiba menarik kursi dan duduk di meja mereka tanpa permisi. Itu Reza. Seperti biasa, ia mengenakan kaos polos dan celana jeans yang sedikit longgar. Sneakersnya terlihat sedikit lusuh, tapi ia tidak terlihat peduli. Ia membuka bungkus roti dan mulai makan tanpa berkata apa-apa. Sarah menatapnya dengan alis terangkat. “Lo nggak punya temen lain ya, Reza?” Reza mengangkat bahu. “Kebetulan aja gue lihat meja kalian kosong satu.” Rina terkikik. “Ya ampun, santai banget. Kita tuh belum resmi nerima lo di sini, tau.” Reza hanya tersenyum tipis. “Gue nggak butuh pengesahan, kok.” Nadia tidak banyak bicara, tetapi dalam hati ia mulai terbiasa dengan kehadiran Reza. Awalnya, ia hanya duduk di dekat mereka saat kuliah. Tapi lama-kelamaan, ia mulai bergabung saat makan siang, lalu ikut saat belajar kelompok. Namun, kehidupan Nadia di kampus tidak hanya diwarnai oleh pertemanan dengan Rina, Sarah, dan Reza. Suatu siang, ketika ia sedang berjalan sendirian menuju perpustakaan, seorang laki-laki tinggi dengan kemeja putih yang digulung lengannya menghentikan langkahnya. “Nadia, kan?” Nadia menoleh dan mengangguk. Ia mengenali pria itu. Namanya Ardi, mahasiswa tingkat tiga yang aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). “Iya, Kak Ardi?” Ardi tersenyum ramah. “Aku lihat kamu di acara pengenalan mahasiswa baru kemarin. Gimana kuliahnya? Lancar?” “Masih adaptasi, sih, Kak. Tapi sejauh ini lumayan,” jawab Nadia sopan. “Baguslah. Kalau butuh apa-apa, jangan ragu tanya ya. Aku sering nongkrong di sekret BEM.” Nadia mengangguk lagi, sedikit bingung dengan perhatian yang tiba-tiba ini. Ia tidak begitu mengenal Ardi, tetapi ia sudah sering mendengar namanya. Ardi cukup populer di fakultas, dikenal sebagai mahasiswa cerdas dan aktif di berbagai kegiatan kampus. Semenjak pertemuan itu, Ardi mulai sering menyapa Nadia setiap kali mereka bertemu di kampus. Sesekali, ia juga mengirim pesan menanyakan kabarnya atau sekadar mengajak ngobrol. Suatu sore di kantin, Rina menatap Nadia dengan penuh selidik. "Jadi, lo sama Kak Ardi gimana?" tanyanya sambil menyeruput jus alpukatnya. Sarah ikut menimpali. "Iya, dia kan udah sering nyariin lo. Bahkan tadi pas gue lewat depan sekret BEM, dia nanya lo di mana." Nadia mengangkat bahu sambil mengaduk minumannya. "Ya... biasa aja sih. Dia baik, ramah, tapi gue juga nggak tahu dia gitu ke semua orang atau emang ada maksud lain." Rina menatap Nadia dengan mata berbinar. "Nggak mungkin, Nad. Lo tuh nggak sadar kalau sebenarnya lo cukup menarik. Lo mungkin bukan cewek yang langsung bikin cowok jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi lo punya daya tarik sendiri. Lo tuh murah senyum, ramah, dan nggak membosankan buat diajak ngobrol." Sarah mengangguk setuju. "Iya! Kak Ardi itu tipikal cowok yang nggak mungkin buang-buang waktu buat cewek yang nggak dia suka." Nadia tersenyum kecil. "Yaelah, kalian lebay deh. Lagian, gue juga nggak terlalu mikirin itu. Kalau dia emang suka, pasti bakal kelihatan lama-lama." Rina dan Sarah bertukar pandang lalu tertawa kecil. "Terserah lo deh, Nad. Tapi kalau lo tiba-tiba jalan berdua sama dia, jangan lupa traktir kita," goda Rina. Nadia tertawa, meski dalam hati ada sedikit perasaan aneh yang ia rasakan. Ia tidak bisa memungkiri kalau perhatian Ardi membuatnya sedikit tersanjung. Tapi di sisi lain, ada Reza. Reza mungkin bukan cowok yang penuh perhatian seperti Ardi, tapi entah kenapa, ia selalu ada di sekitar Nadia. Entah itu saat kuliah, saat belajar kelompok, atau bahkan hanya untuk sekadar makan siang bersama. "Eh, lo sadar nggak, kalau akhir-akhir ini Reza lebih sering nongkrong sama kita?" tanya Sarah tiba-tiba. Rina mengangguk. "Iya. Padahal awalnya dia lebih suka sendiri. Gue curiga dia ada maunya." Nadia hanya terkekeh. "Paling juga karena dia udah nyaman aja. Lagian, dia kan lumayan pinter, jadi kita juga kebantu buat belajar." "Tapi lo nggak ada feeling apa-apa sama dia?" tanya Rina, mencoba menggoda. Nadia langsung menggeleng. "Nggak, biasa aja. Gue malah nggak ngerti kenapa dia bisa betah duduk bareng kita terus." Sarah mendecak. "Mungkin lo yang nggak sadar, Nad." Nadia hanya tersenyum kecil, memilih tidak terlalu memikirkan hal itu. Bagi Nadia, Reza hanya teman. Tidak lebih. Namun, ia tidak menyadari bahwa Reza justru yang pertama kali mendekatinya.Malam itu langit Jakarta mendung. Tapi di dalam apartemen Reza, semuanya hangat. Senyuman Nadia tidak pernah selembut itu. Dan Reza… Reza terlihat seperti pria yang siap menatap masa depan bersama. Mereka tertawa kecil di atas karpet, membicarakan target bisnis, liburan impian, dan mimpi-mimpi yang belum terwujud. Dan saat malam menua, obrolan menjadi bisu. Reza memegang tangan Nadia. Lalu membelai pipinya, dengan cara yang tak terburu-buru. Tatapan mereka saling bertemu dalam, lama, dan penuh isyarat. Lalu bibir mereka bersentuhan. Tidak seperti ciuman pertama. Ini bukan tentang ragu. Tapi tentang menyerah pada rasa percaya. Nadia tak mengatakan "aku siap". Tapi ia tidak mundur. Mereka melangkah ke ranjang. Bukan dengan gairah yang meledak-ledak, tapi dengan tenang dan penuh kesepakatan diam. Setiap sentuhan adalah janji tanpa kata. Setiap tarikan napas adalah harapan yang disulam perlahan. Malam itu, Nadia menyerahkan sesuatu yang tak bisa diambil ulang kepercayaan yang ut
Beberapa Minggu Kemudian Hidup Reza berubah lebih cepat dari yang ia bayangkan. Ia mulai terbuka pada teman-temannya, bahkan ikut jadi pengisi seminar kecil tentang kewirausahaan mahasiswa. Beberapa dosen mulai memperhatikannya, dan salah satu menawarkan program inkubasi bisnis dari fakultas. Nadia tak langsung kembali seperti dulu. Tapi ia hadir dalam percakapan singkat selepas kelas, dalam kehadiran diam saat Reza butuh semangat, dan dalam senyum kecil yang kini mulai muncul lagi saat mereka saling bertemu. Hubungan mereka tumbuh kembali, kali ini lebih pelan, tapi nyata. Suatu malam, setelah selesai membantu persiapan acara kampus, Reza dan Nadia duduk berdua di bangku taman dekat gedung F. Tak banyak kata, hanya obrolan ringan soal tugas dan rencana semester depan. "Lo tahu, Nad…" Reza berkata sambil menatap bintang, "Gue dulu pikir gue harus jadi orang lain biar lo suka." Nadia tersenyum tipis. "Dan sekarang?" "Kalau lo bisa terima versi Reza yang dulu, apalagi sekarang… gu
Sejak hari itu, Reza tak lagi melihat Nadia sesering dulu. Ia mencoba menghubungi, tapi pesan-pesannya hanya dibaca, tak pernah dibalas. Di kampus, Nadia bersikap biasa, tapi ada jarak yang jelas. Tak ada lagi obrolan panjang di kantin, atau sekadar duduk diam di taman bersama. Namun Reza tidak tinggal diam. Ia mulai memperbaiki sikapnya. Ia berhenti menerima traktiran siapa pun. Mulai membawa bekal dari rumah, dan terlihat lebih aktif mengikuti berbagai kegiatan kampus, terutama yang berkaitan dengan sosial dan kewirausahaan. Ia bahkan mulai mengajar adik tingkat tentang manajemen keuangan sederhana. Banyak yang memuji perubahan Reza, tapi ia hanya berharap satu hal: dilihat kembali oleh Nadia. Sampai akhirnya, suatu sore, Nadia menerima sebuah pesan singkat dari Reza. > Reza: "Besok sore, dateng ke aula belakang gedung F kalau kamu masih punya sedikit rasa percaya. Cuma lima belas menit. Kalau kamu nggak datang, gue ngerti." Nadia menatap pesan itu lama. Rasa kecewa masih ada
Malam itu, Nadia tidak bisa tidur. Pikirannya terus memutar kejadian demi kejadian. Kebaikan Reza, perhatian yang ia berikan, semua tampak begitu tulus. Tapi kenapa ada rasa ganjil yang makin lama makin sulit diabaikan? Keesokan harinya, di kampus, Nadia memilih untuk menyendiri di perpustakaan. Ia butuh waktu memikirkan semuanya. Namun, tak lama kemudian, Rina datang menghampiri, membawa dua cup kopi instan. "Aku tahu kamu pasti di sini," katanya sambil menyerahkan satu cup pada Nadia. Nadia tersenyum tipis. "Thanks, Rin." Rina duduk di sampingnya, lalu bertanya hati-hati, "Kamu lagi mikirin Reza, ya?" Nadia menoleh, kaget. "Kok kamu tahu?" "Karena kamu akhir-akhir ini kayak… terlalu mikirin dia. Dan kamu beda. Terlihat bingung." Nadia menghela napas. Ia akhirnya menceritakan semua—tentang pengakuan Reza, kebiasaan makan yang berubah, tapi juga soal hal-hal mencurigakan yang ia lihat belakangan ini. Rina mendengarkan tanpa menyela, lalu berkata pelan, "Nad, kamu tahu kan, aku
Sejak insiden dengan Ardi dan Agnes, Nadia mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan Reza. Awalnya, ia berpikir bahwa kedekatan mereka hanya sebatas persahabatan, tetapi semakin hari, Reza semakin menunjukkan perhatian lebih kepadanya. Ia selalu ada, mendengarkan keluh kesahnya, dan entah bagaimana, kehadiran Reza membuatnya merasa lebih nyaman. Namun, semakin dekat dengan Reza, Nadia mulai memperhatikan sesuatu yang aneh. Suatu siang, saat mereka duduk di kantin bersama Sarah dan Rina, Nadia menyadari bahwa Reza hanya membeli air mineral. "Za, lo nggak makan?" tanyanya sambil menatap cowok itu dengan alis berkerut. Reza tersenyum tipis. "Nggak laper." Sarah yang duduk di seberang langsung menimpali. "Hah? Lo tadi pagi juga nggak makan pas di kelas, kan?" Rina mengangguk setuju. "Iya, biasanya lo yang paling doyan makan. Ada apa sih?" Reza hanya terkekeh dan mengangkat bahu. "Lagi nggak nafsu aja, guys." Namun, Nadia merasa ada yang janggal. Ini bukan pertama kaliny
Pencarian Ardi Ardi berjalan cepat menyusuri koridor kampus, matanya menelusuri setiap sudut dengan gelisah. Setelah kejadian tadi dengan Agnes, ia tahu Nadia pasti terluka. Ia tidak bisa membiarkan Nadia merasa sendirian dalam situasi ini. Setelah bertanya kepada beberapa teman Nadia, akhirnya ia menemukannya sedang duduk di bangku kosong di sudut kampus. Namun, bukan hanya Nadia yang ada di sana. Di sampingnya, Reza duduk dengan ekspresi datar, tapi dari caranya bersandar ke belakang dengan tangan terlipat, Ardi tahu bahwa cowok itu sedang dalam mode ‘protektif’. Nadia menunduk, memainkan ujung lengan jaketnya. Matanya sembab, jelas menunjukkan bahwa ia baru saja menangis. Reza melirik Ardi sekilas, lalu menghela napas. "Lo nyari dia?" tanyanya tanpa basa-basi. Ardi mengangguk. "Iya." Reza memutar bola matanya sebelum berdiri. "Gue kasih kalian waktu buat ngobrol," katanya. Namun, sebelum pergi, ia menepuk bahu Ardi dengan cukup keras. "Tapi jangan bikin dia nangis lagi.