“Ada dua cara kehilangan diri sendiri. Pertama: karena kau tersesat. Kedua: karena seseorang menggiringmu ke jurang itu sambil berkata, ‘aku mencintaimu.’”
--- Ruang Sidang Kampus Suara hujan mengetuk jendela kaca ruang sidang. Tipis, berulang, menyelinap masuk seperti detak jantungku yang tak kunjung tenang. Gemetar, tidak stabil. Tapi tetap berdetak, entah bagaimana caranya. Ruang itu penuh. Tapi dingin. Sangat dingin. Dingin bukan karena pendingin ruangan, tapi karena tidak ada satu pun mata yang menawarkan kehangatan. Semua menatap, menilai, menghakimi dalam diam yang lebih tajam dari hinaan paling kasar. Aku duduk di kursi saksi. Di sampingku, pengacara kampus. Di seberang ruangan, poster kode etik mahasiswa menempel rapi di dinding. Ironis, karena semua tulisan tentang moral dan integritas itu kini hanya jadi dekorasi. Kosong makna. Hari ini, aku bukan mahasiswi berprestasi. Bukan ketua kelas. Bukan panitia seminar. Hari ini, aku hanya seorang perempuan yang akhirnya memilih bersuara. Dan dia Reza duduk tak jauh dariku. Dengan kemeja biru muda yang terlalu formal untuk laki-laki yang baru saja dihantam laporan pelanggaran etik berat. Dasi hitamnya cocok dengan wajahnya yang dingin dan tenang, seolah sidang ini hanya formalitas kecil. Senyum tipis masih bermain di bibirnya. Menyebalkan. Dia tidak berubah. Bahkan sekarang, saat semua ini terbongkar, dia masih bisa duduk santai seolah ini cuma kesalahpahaman kecil. Tapi aku bukan lagi gadis yang bisa ditipu oleh senyumnya atau dibutakan oleh pujian manisnya. Hari ini, aku berdiri. Bukan untuk mengemis keadilan, tapi untuk merebut kembali harga diriku yang sempat ia renggut tanpa ampun. “Silakan sampaikan pernyataan pribadi Anda,” ujar Pak Arfan, dosen senior yang ditunjuk sebagai panelis utama. Suaranya netral, profesional. Tapi di balik itu, aku bisa rasakan atmosfer yang mendidih. Dosen-dosen lainnya duduk tegang. Beberapa mahasiswa BEM yang hadir sebagai pengamat hanya melirik cepat. Beberapa bahkan mencatat. Aku berdiri. Kakiku gemetar, tapi aku paksa tetap tegak. Tanganku terasa dingin, tapi tidak ku sembunyikan. Biarlah mereka lihat aku apa adanya: rapuh, tapi tidak menyerah. “Saya Nadia Azzahra, mahasiswi jurusan Manajemen Tahun 2022.” Kalimat pertamaku lirih. Tapi setelah itu, aku menegakkan kepala. Mataku menyapu ruangan, memandang satu per satu wajah yang sebelumnya membuatku merasa kecil. Kini tidak lagi. “Beberapa bulan lalu, saya menjalani hubungan dengan Reza. Saya pikir kami saling mencintai. Tapi kini saya tahu, yang saya jalani bukan hubungan cinta melainkan hubungan yang penuh kebohongan, manipulasi, dan eksploitasi emosional.” Aku berhenti sejenak. Menelan ludah. Menstabilkan napas. “Saya dibohongi. Saya dimanfaatkan secara finansial dan emosional. Saya diseret masuk dalam bisnisnya tanpa persetujuan. Dan yang paling menyakitkan… saya dibiarkan percaya bahwa semuanya atas nama cinta.” Beberapa dosen saling melirik. Aku tahu, sebagian dari mereka mungkin menganggap ini drama. Tapi biarlah. Biarkan mereka menilai. Hari ini, aku tidak bicara untuk menyenangkan siapa pun. “Reza bilang ayahnya bangkrut. Katanya dia kesulitan makan. Saya percaya. Saya bayari makan siang. Saya pinjamkan alamat rumah saya untuk pengiriman barang-barangnya. Bahkan saya ikut bantu membungkus barang dagangan saat dia bilang butuh bantuan. Karena saya pikir, saya pasangannya. Saya pikir, saya sedang membangun masa depan bersama.” Suaraku mulai naik, tapi air mata belum tumpah. Aku tahan. Aku ingin mereka tahu: aku tidak datang untuk meratap. Aku datang untuk mengingatkan mereka bahwa harga diri bisa direbut kembali—bahkan dari puing-puing. “Tapi ternyata saya salah. Saya bukan pasangan. Saya bukan penopang. Saya cuma alamat pengiriman. Saya hanya alat bantu. Saya cuma wajah yang dia pajang ketika butuh simpati, tubuh yang ia sentuh ketika butuh validasi, dan nama yang dia pinjam ketika butuh kedok legalitas.” Dosen wanita di dekat hakim tampak menegang. Mahasiswa di bangku belakang yang tadi sibuk main HP kini menunduk, pura-pura menulis. Tapi aku tahu mereka dengar. Dan aku ingin mereka dengar. Aku membuka map. Kertas-kertas itu terasa berat di tanganku, seolah setiap lembar membawa kembali malam-malam penuh luka. “Ini bukti invoice. Email. Catatan pesanan dengan alamat rumah saya. Semua ini menunjukkan bahwa bisnis yang saya kira baru dirintis bersama, ternyata sudah jalan lama tanpa saya tahu. Saya bukan rekan. Saya bukan kekasih. Saya cuma tameng.” Aku serahkan dokumen ke hakim. “Reza bilang aku bagian dari masa depannya. Tapi nyatanya, aku cuma bagian dari strategi pemasarannya.” --- Aku masih ingat jelas malam itu. Reza meminjam laptopku. Katanya, butuh cek stok barang. Aku percaya. Seperti biasa. Seperti setiap kali dia bilang ‘percayalah, aku cuma butuh sedikit waktu.’ Tapi esok paginya, saat aku membuka laptopku, emailnya masih terbuka. Aku tidak berniat mengecek. Tapi mata ini melihat sendiri: laporan penjualan bulanan, grafik pertumbuhan, detail pengiriman. Dan satu invoice mencantumkan: "Custom case promo by RZ Project. Dikirim via alamat Nadia. No label." Tanganku membeku di atas touchpad. Rasanya seperti ditampar. Tapi tidak ada suara. Tidak ada darah. Hanya... hampa. Malam itu, aku duduk diam di lantai. Menatap layar. Menahan tangis. Menahan kenyataan bahwa aku telah dipakai. Tanpa sadar. Karena ternyata aku bukan pacar. Aku adalah alamat. --- Aku tahu bagian ini yang paling berat. Tapi aku harus ucapkan. “Saya percaya pada kata-katanya bukan karena saya bodoh... tapi karena dia membuat saya merasa diinginkan. Diistimewakan. Dan ketika seseorang memperlakukan tubuhmu seperti miliknya dan kau biarkan karena kau pikir itu cinta... kau akan membenci dirimu sendiri saat tahu itu cuma permainan.” Wajah-wajah di sekeliling mulai berubah. Beberapa menegang. Beberapa menunduk. Dosen wanita yang tadi mematung kini menggenggam jemarinya sendiri. “Saya tidak akan membeberkan apa yang terjadi di balik pintu kamar. Tapi saya akan katakan ini: saya merasa hancur bukan hanya sebagai kekasih... tapi sebagai manusia. Karena saya merasa tubuh saya bukan lagi milik saya sendiri.” Aku menarik napas dalam-dalam. “Dan rasa jijik itu... tidak hilang. Sampai sekarang. Setiap kali saya bercermin, saya lihat perempuan yang bodohnya percaya... bahwa disentuh berarti dicintai.” Hening. Tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang berani bicara. Tapi aku tahu... kata-kataku menggema. Bukan dari mulut. Tapi dari luka. Dari bekas luka yang selama ini kubungkam. --- Setelah Sidang Aku melangkah keluar. Hujan masih turun. Langit seolah ikut menyeka luka-luka yang tak tampak. Tapi tubuhku masih kedinginan. Bukan karena udara, tapi karena trauma. Di ujung lorong, Dimas berdiri. Dengan payung hitam. Tatapannya penuh tanya, tapi tidak menghakimi. Ia mendekat, membuka jasnya dan menutupkannya ke bahuku. “Gimana rasanya?” tanyanya pelan. Aku menghela napas. Suaraku nyaris tak terdengar. “Kayak lari marathon sambil berdarah.” Dia mengangguk pelan. Menatapku dengan sorot yang mengerti. “Tapi kamu sampai.” Aku tersenyum. Tipis. Rapuh. Tapi nyata. “Aku gak tahu ini kemenangan atau bukan... Tapi aku lega. Itu cukup.” --- Malam Itu Aku duduk di depan laptop. Folder “Cafe Notes” masih ada. Masih lengkap. Foto-foto Reza makan nasi padang di warung, selfie di taman kampus, screenshot chat penuh emoji lucu. Semua yang dulu membuatku tertawa, kini seperti pameran jenazah kenangan. Aku menatapnya lama. Tidak menangis. Tidak lagi. Karena sekarang aku mengerti… Begini rasanya disakiti orang yang kau cintai: Bukan darah yang mengalir dari luka. Tapi ingatan. Kenangan. Janji-janji yang dulu terasa manis tapi kini menyesakkan. Dan kenyataan yang paling menampar: semua itu… tidak pernah nyata. ---Pagi berikutnya datang tanpa ampun. Aku bangun sebelum matahari sepenuhnya muncul, dan mendapati perasaan resah masih menggantung di dada. Alika masih tertidur di sofa, tubuhnya meringkuk seperti anak kecil yang kelelahan setelah perang panjang. Selimut tipis menutupi tubuhnya, dan wajahnya untuk pertama kalinya terlihat damai.Aku berjalan ke dapur, menyeduh kopi, lalu berdiri lama di depan jendela. Jakarta masih setengah terjaga. Tapi hatiku sudah bersiap untuk perang hari ini. Kami tahu mereka akan melawan balik.“Pagi,” suara berat Dimas memecah keheningan. Ia datang dari kamar, mengenakan kaus gelap dan celana training, matanya masih mengantuk tapi sorotnya tajam.“Pagi,” balasku pelan.Dia berdiri di sebelahku, lalu menyesap kopi dari cangkirku tanpa izin. “Hari ini kita harus mulai identifikasi siapa-siapa saja yang mungkin bisa kita ajak bersaksi.”Aku mengangguk. “Aku terus mikir soal mahasiswi yang dulu sempat hilang. Namanya Tania. Waktu itu dia mahasiswa FE, satu angkatan
Pagi itu, berita tentang Yusuf mulai muncul di media sosial. Bukan hanya karena video Alika, tapi juga karena beberapa akun aktivis perempuan ikut menyuarakan kasus yang selama ini dibungkam. Hashtag dengan namaku dan Alika muncul di mana-mana. Foto tangkapan layar pesan Yusuf ke Alika tersebar. Wajah tampan yang dulu dielu-elukan di kampus kini dibanjiri hujatan.Aku membuka layar ponselku sambil menyesap kopi yang bahkan tak terasa di lidah.“Kita harus bergerak cepat,” ujar Dimas dari balik laptopnya. “Sebelum keluarganya mulai main kotor lagi.”“Ardi bilang pengacara mereka sudah mulai sibuk ngelobi,” tambahnya, menoleh padaku. “Kita harus siapkan konferensi pers. Bukan hanya bukti, tapi suara. Kita buat publik tahu siapa sebenarnya Yusuf dan keluarganya.”Aku mengangguk. “Kamu yakin Alika siap bicara di depan umum?”Dimas mengangguk. “Dia bilang, kalau kamu ada di sampingnya, dia siap. Kita nggak akan biarkan dia sendirian.”Aku tersenyum tipis. “Kalau begitu, ayo kita mulai."--
Langit siang itu terasa lebih muram dari biasanya, seakan menyerap semua perasaan yang tadi berkecamuk dalam ruangan sempit berjeruji besi itu. Aku melangkah keluar dari ruang kunjungan penjara dengan langkah berat. Udara terasa berbeda di luar lebih lapang, tapi juga lebih sunyi. Dimas menyusul di sampingku, diam-diam. Wajahnya tak banyak bicara, tapi aku tahu dia menahan sesuatu. Mungkin emosi. Mungkin amarah. Atau sekadar bingung harus memelukku atau membiarkanku diam. Kami berjalan sejajar, menyusuri koridor menuju pintu keluar. Tidak ada satu kata pun yang terlontar, tapi suara langkah kaki kami seakan bergema lebih keras dari biasanya. Aku akhirnya membuka suara. "Terima kasih sudah ikut masuk tadi..." suaraku lirih. Dimas mengangguk. "Aku nggak mau kamu sendirian." Aku berhenti di tangga luar gedung itu. Mataku masih terasa berat. Reza menangis. Reza meminta maaf. Reza menyebut-nyebut ibunya dan dosa-dosa masa lalunya. Tapi tak ada yang bisa menghapus kenyataan. Tak ada a
Langit mendung menyelimuti Jakarta sore itu. Awan menggantung berat, seolah menahan hujan yang tak kunjung jatuh. Di pelataran sunyi sebuah rumah tahanan negara, sebuah mobil hitam berhenti. Mesin dimatikan, namun detak jantung di dalamnya masih nyaring.Dimas duduk di kursi pengemudi. Di sebelahnya, Nadia diam menatap lurus ke depan. Wajahnya tenang, tapi matanya menyimpan badai.Tangannya digenggam erat oleh Dimas. Bukan sekadar genggaman, tapi janji yang tak diucapkan: Kau tidak sendirian.“Kamu yakin mau ketemu dia?” Dimas bertanya pelan, nadanya lembut tapi dalam, seolah kata-katanya disaring dari kekhawatiran.Nadia menoleh sedikit, namun tidak sepenuhnya menatap. Matanya tetap mengarah ke kejauhan. “Aku nggak datang buat dia,” ucapnya lirih. “Aku datang buat diriku sendiri.”Dimas mengangguk. Ia tahu, keputusan ini bukan sekadar keberanian ini adalah titik balik.Langkah kaki mereka menggema di lorong panjang lembaga pemasyarakatan. Bau logam, cat tembok tua, dan udara lembap m
Pagi itu, tak satu pun dari kami benar-benar tidur. Telepon Dimas dan Ardi terus-menerus berdering sejak subuh. Grup W******p tim pendamping hukum tak berhenti menampilkan notifikasi. Beberapa pesan datang dari media, sisanya dari jaringan LSM yang ingin bergabung atau menawarkan dukungan. Namun yang paling mengejutkan: dua pengacara senior dari Jakarta secara sukarela menghubungi kami, mengatakan mereka siap ikut mendampingi kasus Alika pro bono. Dunia luar mulai bergerak. Tapi kami di sini… tetap terjebak di ruang yang sama ruang penuh kelelahan, trauma, dan pertanyaan yang belum terjawab. Alika duduk di depan jendela, masih dalam balutan jaket abu-abu longgar milik Dimas. Tangannya memeluk lutut, wajahnya menatap ke luar jendela apartemen seolah ingin melihat langit tapi tak sanggup menengadah. Matanya sembab, kelopak matanya bengkak, dan bibirnya pecah karena terlalu sering digigit untuk menahan tangis. Tapi tak satu pun dari kami menyuruhnya berhenti menangis. Karena kami tahu
Pagi berikutnya, udara Jakarta masih menyimpan sisa mendung. Tapi aku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin karena teh hangat semalam, atau karena ciuman kecil di kening yang lebih menenangkan daripada semua obat tidur yang pernah aku coba. Aku baru saja menyelesaikan sarapan seadanya roti panggang dan telur setengah matang ketika bel apartemen berbunyi. Tiara yang membukakan pintu. Di baliknya, berdiri seorang perempuan muda berjaket denim dan ransel lusuh. Matanya cekung, wajahnya pucat. “Alika?” suaraku tercekat. Dia mengangguk pelan. “Aku… mau bantu. Tapi aku takut.” Aku langsung berlari ke arahnya, memeluk tubuh ringkih itu dengan hati-hati. “Tenang, kamu aman di sini. Kita nggak akan biarkan mereka menyentuh kamu lagi.” Tiara menutup pintu cepat, menguncinya dua kali. Dimas muncul dari kamar dengan ekspresi kaget. “Gimana dia bisa sampai sini?” Alika menunjuk ponselnya. “Ada sopir ojek online yang bawa aku. Kata kakak Rara, ini tempat paling aman buat aku sekaran