“Kau benar-benar tahu cara memuaskanku. Tidak seperti kakakmu, Jelita.”
Jelita menoleh, tersenyum penuh kepuasan. “Aku merasa tersanjung. Aku senang memuaskanmu.”
“Dia terlalu lemah. Bahkan untuk urusan ranjang, ia masih meminta menunggu hingga pernikahan. Aku pria, bukan pertapa.”
Tawa lirih keluar dari bibir Jelita. Ia menyandarkan tubuh polosnya ke dada Danu, membiarkan selimut melorot perlahan. “Aku tahu. Sejak tadi pun kau sudah membuktikannya.”
Danu menyeringai tipis. “Karena itu, aku memilih wanita yang tahu cara memanjakan pria.”
Tiba-tiba terdengar suara keras—bruk!—pintu kamar hotel terbuka begitu saja.
Keduanya serentak menoleh. Di ambang pintu, Lura berdiri mematung. Bola matanya membelalak. Nafasnya terengah. Tatapannya jatuh pada dua sosok di ranjang, hanya tertutup selimut. Tunangannya. Dan adik kandungnya.
“Apa yang kalian…? Jelita?” Suaranya nyaris pecah.
Jelita buru-buru menarik selimut menutupi tubuhnya, pura-pura takut dan merasa bersalah.
Lura menatap Danu, suaranya bergetar hebat. “Kau tunanganku. Apa yang sedang kau lakukan?!”
Danu hanya terdiam sesaat sebelum tersenyum sinis. Tidak tampak penyesalan sedikit pun di wajahnya.
“Kau datang di waktu yang kurang tepat,” katanya datar. “Bukan salahku kau melihat semua ini, sayang.
“Selama ini kalian telah…?”
“Sudah cukup lama,” jawab Danu dingin. “Jelita memberiku sesuatu yang kau tolak habis-habisan.”
Lura memandangi adiknya dengan luka yang sulit dilukiskan. Air matanya mengalir tanpa bisa ditahan. “Kau bukan hanya merusak pertunanganku… kau menghancurkan hidupku.”
Danu duduk lebih tegak, selimut hanya menutupi bagian bawah tubuhnya. Ekspresinya tak berubah, tetap tenang.
Lura melangkah maju, matanya merah, tubuhnya bergetar hebat. Dia menjerit histeris. “Dasar brengsek! Kau bajingan tak tahu diri!”
Danu tidak bergeming. Bahkan ekspresinya tetap tenang, seolah tidak merasa bersalah sedikitpun.
“Kau pria hina! Bertahun-tahun aku mencintaimu! Aku pikir kau juga mencintaiku!” Suaranya pecah, dada naik turun menahan amarah dan luka yang tumpah sekaligus.
Danu justru menghela napas malas. “Aku mencintaimu, tapi kau terlalu naif, Lura. Terlalu polos untuk dunia nyata.”
Ada jeda sesaat, sebelum Danu melanjutkan, “Jika saja kau bersedia memberi sedikit keleluasaan selama hubungan kita,” Danu menatapnya tajam, “mungkin aku tidak perlu mencari pelampiasan di tempat lain.”
Lura menahan napas. “Karena aku tidak menyerahkan tubuhku, kau mengkhianatiku?”
Danu menoleh ke arah ranjang. Jelita masih memeluk selimut erat-erat.
“Lihat adikmu itu,” lanjut Danu. “Dia tahu apa yang dibutuhkan seorang pria. Dia tidak bersembunyi di balik nilai moral palsu.”
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Danu. Suaranya menggema di dalam kamar.
Danu menoleh perlahan, wajahnya memerah di satu sisi. Tatapannya tidak marah, justru mengejek.
“Lega?” tanyanya pelan. “Atau kau ingin menamparku lagi karena kau gagal jadi wanita yang dibutuhkan kekasihmu?”
Lura terdiam. Tangannya masih tergenggam kencang, tubuhnya gemetar antara ingin menjerit atau menangis sejadi-jadinya.
Lura mengangkat tangannya, menunjuk tepat ke wajah Danu. “Aku akan membatalkan pernikahan ini!” serunya lantang. “Apa pun risikonya, aku tidak akan menikahi pria sebusuk kau!”
Danu hanya tertawa kecil. Ia mengelus pipi yang tadi ditampar, lalu menatap Lura penuh ejekan. “Pernikahan tetap akan berlangsung sesuai rencana.”
“Omong kosong!”
“Tidak ada yang perlu dibatalkan, Sayang,” ujar Danu santai. “Kita tetap akan menikah. Kejadian malam ini… itu tidak cukup kuat untuk menghentikan segalanya.”
“Gila kau!” Lura memekik marah. “Kau benar-benar gila!”
“Tidak ada gunanya kau mengamuk seperti ini.” Danu mendekat, menatap Lura dengan nada datar. “Tak ada yang berubah. Ingat baik-baik, pernikahan ini sangat menentukan masa depan keluargamu.”
Lura terdiam sejenak, napasnya tersengal karena emosi yang tak tertahan. Matanya menatap Danu, lalu berpindah ke arah Jelita yang masih membungkus dirinya dengan selimut.
“Kalian…” Lura menunjuk keduanya satu per satu dengan tangan bergetar. “Silahkan menikah. Kalian pantas untuk satu sama lain. Sama-sama hina.”
Danu mencengkeram pergelangannya kuat hingga Lura meringis. “Aku hanya akan menikah denganmu. Camkan itu.”
“Lepaskan aku!” teriak Lura, mencoba menarik diri.
Danu semakin mendekat, tatapannya tajam, dingin. “Kau Tidak ada yang bisa kau batalkan.”
Lura menatapnya penuh benci. “Sinting!”
“Aku serius.” Suara Danu terdengar rendah tapi mengancam. “Kau tidak akan bisa membatalkan pernikahan.”
Lura tertawa miris. Air matanya jatuh, tapi senyum sinis terbit di sudut bibirnya. “Kau sudah menghancurkan semuanya, Danu! Kau robek hatiku tanpa ampun. Dan kau pikir aku akan tetap tunduk?”
Danu diam. Genggamannya masih erat.
“Aku tidak akan pernah sudi hidup dengan pria sejahat kau,” lanjut Lura lirih, namun tajam. “Lebih baik aku jatuh di jurang daripada menikah denganmu!”
“Kau tidak punya pilihan lain.”
“Aku punya.” Lura menatapnya tanpa gentar. “Dan aku akan membuktikannya. Aku akan batalkan pernikahan ini. Apapun caranya.”
Danu mempererat cengkramannya, namun Lura balas menatap dengan sorot membara—penuh luka, namun tak sudi dikalahkan.
Lura kembali meronta. “Lepaskan aku! Kau tidak berhak menyentuhku!”
Namun Danu tetap mencengkeram pergelangannya, lebih keras dari sebelumnya.
“Asistenku akan segera datang,” ucap Danu datar. “Ia akan mengantarmu pulang. Anggap saja kau tidak pernah melihat apa pun di sini. Maka semuanya akan jauh lebih mudah untuk kita semua.”
Lura membelalak. “Kau pikir aku bisa menelan semua ini?!”
Ia meronta lebih keras. Kali ini, dengan segenap tenaga, ia berhasil melepaskan tangannya dari genggaman Danu.
“Tidak akan pernah!” jeritnya parau, suara nyaris serak. “Pernikahan itu tidak akan pernah terjadi! Tidak sekarang! Tidak besok! Tidak selamanya!”
Danu mematung. Sorot matanya menggelap.
“Sudah kubilang, kau tidak bisa melakukan apapun,” desisnya.
“Kau salah besar.” Nafas Lura memburu. “Kali ini kau tidak akan bisa mengendalikan apa pun. Aku tidak akan tinggal diam. Mengenai keluargaku, jika itu yang kau pikirkan, nikahi saja Jelita!”
Ia menunjuk adiknya yang masih diam membeku di ranjang, tertunduk tanpa suara.
“Kau dan dia, sama menjijikkannya.”
Danu mengepal tangannya. “Jaga ucapanmu.”
“Aku tidak peduli!” Lura menatapnya tajam. “Aku tidak akan pernah sudi menyentuh laki-laki yang sudah menyentuh adikku. Tidak peduli seberapa penting pernikahan ini bagi keluargaku.”
Suaranya melemah, namun sorot matanya tetap kuat. “Fakta itu… sudah cukup menghancurkan aku.”
Lura berdiri tegar, meski tubuhnya masih gemetar karena luka dan amarah yang mengoyak.
Lura menatap keduanya untuk terakhir kali. Matanya basah, tapi tatapannya tak lagi gemetar—melainkan tajam seperti belati yang menusuk diam-diam.
“Aku tidak pernah menyangka kalian bisa sehina ini,” ucapnya lirih, nyaris berbisik, namun mengandung luka yang dalam. “Bahkan binatang pun masih tahu batas. Kalian… lebih binatang daripada binatang itu sendiri.”
“Cukup, Lura!” bentak Danu, suaranya membelah udara.
Namun Lura tidak gentar. Ia tidak menoleh lagi, tidak menghiraukan bentakan.
Dengan langkah gemetar namun mantap, ia meninggalkan kamar hotel itu—ruang yang seharusnya menjadi kamar pengantinnya dalam hitungan jam.
Tangisnya pecah sesaat setelah menutup pintu. Ia berjalan di lorong hotel yang sunyi, membiarkan air matanya jatuh tanpa malu, membawa luka yang tidak akan pernah bisa dilupakan.
Dan di balik pintu yang kini tertutup, tidak ada satu pun suara yang menyusul.
Hanya keheningan yang tersisa. Dan kehancuran yang telah terjadi.
Gerakan tangan Lura terhenti di atas meja makan berlapis linen putih. Ia meletakkan sendok dengan sangat hati-hati ke sisi piring porselen yang masih hangat oleh sentuhan sup saffron. Suasana makan malam mereka, yang sejak awal sudah terasa sunyi namun tenang, kini berubah hening dalam cara yang lain. Bukan lagi tenang, melainkan mendebarkan. Suara Khailas barusan seperti menggemakan sesuatu yang terlalu besar untuk langsung dicerna.Lura mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya terpaku pada pria yang duduk di seberangnya, Khailas, lelaki yang selama ini berdiri di balik layar hidupnya, seperti bayangan yang melindungi sekaligus membentuk dirinya. Dan kini, bayangan itu berbicara tentang terang. Terang yang terlalu silau untuk langsung dipercaya.“Ulangi,” bisik Lura, setenang mungkin. Tapi gemetar suaranya tak bisa disembunyikan. “Apa yang tadi kau katakan?”Khailas menatapnya dalam. Penuh makna. Tidak tergesa.“Sudah saatnya kita mengumumkan pernikahan,” ucapnya lagi, kali ini lebih
Jelita menatap nyalang ke arah pria yang kini berdiri di depannya, tubuhnya masih menegang setelah diseret masuk ke dalam apartemen murahan itu—ruang sempit yang lembab, pengap, dan berbau seperti koreng yang tak pernah dibersihkan. Tom menutup pintu di belakang mereka, keras, lalu berjalan mendekat sambil tertawa kasar.“Teriakanmu barusan menggelikan,” katanya, suaranya serak seperti batu yang tergores. “Bukan baru sekali aku menyentuhmu, Jelita. Jangan sok suci di hadapanku.”Jelita mengangkat telunjuknya, matanya berapi. “Jaga bicaramu, Tom! Kau tidak punya hak bicara seperti itu padaku!”Tom menyipitkan mata, memandangnya seperti sesuatu yang tak lagi berharga. “Oh, aku tidak punya hak? Lalu selama ini aku apa? Anjing peliharaanmu yang siap menjilat setiap kau suruh? Tugas terakhirku belum kau bayar, dan aku membawamu ke sini hanya untuk menagih apa yang menjadi hakku.”Ia mendekat, napasnya memburu.“Setelah ini,” lanjut Tom dengan dingin, “aku tidak akan lagi menyentuhmu. Aku
Lura berdiri tegak di depan tiga sosok yang selama ini membentuk luka-luka paling dalam dalam hidupnya. Angin sore meniup rambutnya lembut, sementara orang-orang berlalu-lalang di sekitar mereka tanpa tahu bahwa pertemuan ini seperti percikan api di atas genangan bensin, berbahaya, mudah terbakar. Ia baru saja keluar dari Azmara.Di hadapannya, ayahnya, ibu tiri dan Jelita, saudari tiri yang tak pernah bertingkah sebagai saudara.“Begitukah cara bicara pada ayahmu?”Lura tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai ejekan ketimbang sapaan hormat. Ia menatap pria itu dari ujung kaki ke kepala, mantel lusuh, sepatu usang, dan rambut yang tak terurus. Dulu, Kuncoro adalah pria yang tak bisa keluar rumah tanpa setelan jas mahal. Kini bahkan nafasnya pun terdengar seperti beban hidup.“Lalu bagaimana aku harus bicara padamu?” Lura bertanya tenang, nyaris berbisik, tapi tajam. “Dengan lembut? Dengan rindu? Dengan penuh bakti seperti yang selalu kau tuntut tapi tak pernah kau beri?”Kuncor
Irene tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Ia duduk di hadapan Khailas, seperti masa-masa lalu yang pernah mereka habiskan dalam diam dan percakapan yang tak pernah sembarangan. Tapi kali ini berbeda. Sangat berbeda. Tidak ada keteduhan dalam tatapan Khailas. Tidak ada sisa-sisa kasih yang pernah tumbuh, atau rasa bersalah atas kisah mereka yang karam tanpa pamit.Yang ada hanyalah dingin yang membekukan.Pertemuan ini diminta oleh Khailas sendiri, melalui asistennya yang datang dengan sopan tapi tegas, menyerahkan jadwal dan lokasi. Irene pikir, walaupun hanya sekilas, bahwa mungkin, hanya mungkin, pria itu ingin memperbaiki sesuatu. Atau sekadar menjalin kembali percakapan yang dewasa tentang masa lalu yang pernah mereka bagi sebelum dan sesudah perpisahan.Namun yang terjadi justru lebih menyakitkan dari sekadar penolakan.“Jauhi Allura.”Dua kata. Dua kata yang menghantam lebih keras daripada kalimat panjang penuh penjelasan.Khailas mengucapkannya dengan tenang, tap
Belum sempat Danu mencerna kalimat terakhir yang diucapkan Lura, tentang kebebasan dan ketenangan yang kini dimilikinya, tubuhnya ditarik kasar dari arah belakang. Ia kehilangan keseimbangan, langkahnya terseret, lalu tubuhnya terdorong menabrak dinding. Kerah bajunya dicekal kuat oleh tangan kekar yang dingin dan tanpa ampun.Sebelum ia sempat menoleh, satu pukulan keras menghantam sisi wajahnya.Bughh!Kepalanya terputar, rasa perih menyebar cepat. Ia berdiri dalam keadaan limbung, kaget, tak siap, belum sempat menyiapkan sikap defensifnya. Dan sebelum bisa bertanya siapa yang menyerangnya, suara tenang namun tajam dan dingin terdengar di telinganya:“Kenali aku. Bukankah selama ini kau sangat ingin tahu siapa pria di belakang Allura?”Seketika darah Danu membeku. Suara itu…Tidak asing. Bahkan sangat familiar.Tapi otaknya menolak untuk mempercayai kenyataan. Itu mustahil. Tidak mungkin…Namun realita segera membantah penyangkalannya, karena satu pukulan lagi menghantam perutnya de
Di salah satu sudut gelap sebuah klub malam yang bising dan dipenuhi lampu berkedip, Danu duduk lunglai di sofa kulit hitam. Botol-botol minuman keras berserakan di atas meja bundar di depannya, sebagian sudah kosong, sebagian masih setengah penuh tapi tak lagi menyegarkan. Asap rokok, parfum, dan bau alkohol bercampur menjadi kabut tipis yang membekap udara. Musik dentum memekakkan telinga, tapi suara-suara itu hanya jadi gema hampa di kepala Danu.Ia meneguk habis satu gelas bourbon, pahitnya bahkan tak terasa di lidahnya yang mati rasa. Luka tembak di kakinya kembali berdenyut, mengingatkan bahwa ia pernah menjadi sasaran. Tapi rasa nyeri itu tak cukup mengalahkan perih yang menggerogoti dadanya sejak pertemuannya dengan Lura siang tadi.Wajah Lura kembali muncul di kepalanya. Tatapan wanita itu. Tenang. Dingin. Tanpa bekas kekaguman. Tanpa jejak cinta.Itu yang membuatnya nyaris menggila.Danu mencengkram rambutnya sendiri, geram. Ia membayangkan ulang momen singkat itu. Lura tida