Share

Pergi ke Club

Penulis: AD07
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-11 09:28:24

Taksi berhenti di depan sebuah klub yang terang-benderang dengan lampu neon warna-warni. Suara musik terdengar samar dari luar, dan antrean beberapa orang terlihat di dekat pintu masuk.

Lura menatap bayangannya di kaca jendela taksi, wajahnya masih basah oleh air mata. Hatinya berteriak dalam kepedihan, tapi suaranya tak bisa keluar. Ia menggigit bibirnya, mencoba menguatkan diri.

“Aku tidak akan menyesal.” Bisiknya pada diri sendiri.

Lura mengeluarkan beberapa lembar uang, menyerahkannya kepada sopir sebelum keluar dari mobil. Angin malam menyambutnya, tapi tidak cukup dingin untuk membuatnya sadar dari keterpurukan.

Langkahnya goyah saat berjalan menuju pintu klub. Ia tidak tahu apakah itu karena sepatunya, kelemahan tubuhnya, atau hatinya yang begitu hancur hingga tak bisa menopang tubuhnya dengan benar.

Sebuah tangan terangkat di depannya.

“Tunggu sebentar, Nona.”

Lura mendongak. Seorang petugas keamanan berdiri di depannya, menatapnya dengan penuh selidik.

“Kartu identitas, tolong.”

Lura mengerjap, sedikit bingung.

“Kenapa?” tanyanya dengan suara parau.

Petugas itu menatapnya dari atas ke bawah. “Kau baru pertama kali ke sini, kan?” matanya menyipit. “Dan jujur saja, kau lebih terlihat seperti pelajar daripada seseorang yang datang untuk minum.”

Lura terdiam sejenak, lalu dengan tangan gemetar, ia merogoh tasnya dan mengeluarkan kartu identitas.

Petugas itu mengambilnya, meneliti sebentar, lalu mengangguk dan mengembalikannya. “Silakan masuk.”

Lura mengambil kembali kartunya, lalu melangkah masuk melewati pintu.

Cahaya remang, asap rokok, dan aroma alkohol langsung menyambutnya.

Semuanya terasa asing.

Semakin ia berjalan masuk, suara dentuman musik semakin keras, menghantam dadanya seperti gelombang yang tak berujung.

Lura berdiri terpaku.

Ini pertama kalinya ia pergi ke tempat seperti ini. Dan untuk pertama kalinya juga, ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Dalam kepalanya, hinaan Danu yang mengatainya naif dan kolot bergema. 

Lura menelan ludah, matanya menyapu sekeliling klub yang penuh dengan orang-orang asing. Semua tampak begitu bebas—tertawa, berdansa, menikmati malam tanpa beban. Sesuatu yang tidak pernah bisa ia lakukan.

Dengan nafas yang masih berat, ia melangkah menuju bar, mengikuti orang-orang yang berdiri atau duduk di sana. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menenangkan guncangan di dalam hatinya.

Ia memilih duduk di bangku bagian tengah, tepat di depan bartender yang sedang sibuk melayani pelanggan lain.

Saat akhirnya giliran Lura, bartender—seorang pria berusia sekitar 30-an dengan kemeja hitam dan lengan tergulung—mengernyit saat melihatnya.

“Baru pertama kali ke sini?” tanyanya sambil mengelap gelas kosong.

Lura menatapnya sekilas sebelum menarik napas dalam. Ia tidak ingin berbasa-basi. Ia tidak ingin bertanya tentang menu. Ia hanya ingin lupa.

“Beri aku minuman yang sekali teguk langsung mabuk.”

Bartender menatapnya lebih lama kali ini, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. Lura terdengar putus asa, tapi tatapannya penuh tekad.

Pria itu menghela napas, meletakkan gelas yang tadi ia lap di meja. “Kau yakin?”

Lura mengangguk. Tanpa ragu.

“Baiklah,” bartender berkata, lalu mulai meracik sesuatu di balik meja.

Tanpa Lura sadari, sedari awal dia masuk, sepasang mata mengamatinya dengan tajam sambil menyesap minumannya.

Lura kembali diserang, lebih intim, lebih intens.

Tangan pria itu menyusuri tubuhnya tanpa ragu, tanpa hambatan. Sentuhan pertama yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Dalam setengah kesadaran, Lura merasakan dressnya melonggar, satu per satu lapisan kain yang selama ini melindungi dirinya terlepas.

Nafasnya tersengal, matanya berkabut. Ia hanya bisa mengikuti alur tanpa berpikir panjang.

Lalu tubuhnya didorong ke kasur.

Punggungnya menyentuh permukaan empuk, kepalanya bergetar karena efek alkohol yang masih berputar dalam pikirannya.

Dengan samar, Lura menatap pria itu di atasnya.

Untuk pertama kalinya, ia melihat pria tanpa lapisan apa pun. Sama polosnya dengan dirinya.

Namun, sebelum pikirannya bisa memproses apa yang terjadi—

Rasa sakit menusuk menerjangnya.

Lura menjerit.

Suara itu keluar spontan, tanpa bisa ia kendalikan. Tangannya mendorong dada pria itu dengan kekuatan yang tersisa.

Gerakan itu pun berhenti.

Suasana mendadak membeku.

Pria itu menegang, diam di tempat. Nafasnya kasar, tetapi matanya menatap Lura dengan keterkejutan yang tidak bisa ia sembunyikan.

Baru saat itu, ia sadar.

Lura bukan hanya mabuk.

Lura tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Ini pertama kalinya untuk Lura.

Sebuah kutukan lolos dari bibir pria itu. Matanya berubah. Bukan karena nafsu. Bukan karena dominasi.

Tapi karena ia tidak menyangka. Teringat kembali racauan Lula tentang kekasih dan adiknya. Jadi, itu benar. Bukan racauan tak berdasar.

Air mata mengalir deras di pipi Lura, tetapi tidak ada ketakutan dalam tatapannya.

Tangannya mencengkeram sprei di bawahnya, nafasnya tersengal.

Dengan suara bergetar, ia berbicara.

“Selesaikan.”

Pria di atasnya masih membeku. Matanya menatap Lura dalam kebisuan, seakan menimbang sesuatu.

Namun, Lura tidak ingin berhenti di sini.

Tangisannya tidak terhenti, tapi pinggulnya geliat mencari kembali sesuatu yang tadi sempat hilang.

Pria itu menggeram kuat.

Matanya terpejam erat, rahangnya mengatup.

Ia sedang berusaha menahan diri. Berusaha menarik batas terakhir.

Namun saat tubuh Lura kembali menekan, batas itu runtuh. Dengan sebuah tarikan napas tajam, ia melanjutkan.

Malam itu, di bawah temaram cahaya penthouse, dua manusia asing menyatu dalam kehancuran.

Suara mereka bercampur, napas yang terengah, bisikan yang terdengar samar, gumaman yang semakin liar.

Semua bercampur menjadi satu.

Hingga akhirnya, mereka mencapai puncak yang meledakkan keduanya dalam gelombang yang tidak terhentikan.

Malam yang penuh dengan luka, pelampiasan, dan kenikmatan yang memabukkan.

**

Cahaya matahari menembus celah jendela besar, menerangi ruangan mewah yang masih diselimuti keheningan.

Di atas ranjang luas itu, Lura menggeliat pelan.

Namun, begitu tubuhnya sedikit bergerak, rasa perih langsung menyerang. Rintihannya lolos tanpa sadar.

Ia mengernyit, nafasnya tercekat. Ada nyeri yang menusuk di tempat yang sebelumnya tidak pernah terasa seperti ini.

Kelopak matanya perlahan terbuka, mengatur kesadaran yang masih kacau. Pandangannya buram sesaat sebelum akhirnya bisa fokus.

Ruangan asing.

Langit-langit tinggi dengan lampu kristal menggantung. Perabotan mahal. Bau samar maskulin yang memenuhi udara.

Ini bukan kamarnya.

Lura terdiam, mencoba memahami. Kemudian, sesuatu membuatnya tersentak.

Ia sedang berbaring di ranjang seseorang.

Tangannya langsung meraih selimut, menutupi dadanya yang terbuka. Napasnya memburu saat otaknya berusaha menyusun kepingan ingatan yang masih samar.

Lalu semuanya muncul, seperti kilatan-kilatan cepat yang menghantam kesadarannya.

Ciuman panas. Tangan-tangan kuat yang menjelajah. Desahan. Tubuh yang saling melilit.

Lura meneguk ludah kasar. Demi apa…

Dia telah melakukannya.

Dan dengan pria asing.

Tubuhnya langsung menegang, panik mulai menyergap.

Namun, sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, suara bariton serak terdengar dari samping.

“Jangan bereaksi seperti itu.”

Lura tersentak, membeku di tempat.

Pria yang masih berbaring di sebelahnya menatapnya dengan mata setengah terbuka.

Rambutnya berantakan, garis rahangnya terlihat lebih tajam di bawah sinar matahari. Namun yang paling membuat Lura semakin ingin tenggelam adalah tatapan santainya, seolah semua ini bukan masalah besar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
SAKURA
penasaran, Khailash di cafe itu ngapain? apa dia gak sengaja ketemu Lura atau lagi iseng?
goodnovel comment avatar
Fitri Eko Lestari
Kak Ado,namanya unik2 yaaa ...
goodnovel comment avatar
Fitri Eko Lestari
Siapakah Khailash,kak? ada judul lain,kah?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dimanja Suami Kontrak   Tidak Bisa Hancur Seperti Ini

    Jelita menatap nyalang ke arah pria yang kini berdiri di depannya, tubuhnya masih menegang setelah diseret masuk ke dalam apartemen murahan itu—ruang sempit yang lembab, pengap, dan berbau seperti koreng yang tak pernah dibersihkan. Tom menutup pintu di belakang mereka, keras, lalu berjalan mendekat sambil tertawa kasar.“Teriakanmu barusan menggelikan,” katanya, suaranya serak seperti batu yang tergores. “Bukan baru sekali aku menyentuhmu, Jelita. Jangan sok suci di hadapanku.”Jelita mengangkat telunjuknya, matanya berapi. “Jaga bicaramu, Tom! Kau tidak punya hak bicara seperti itu padaku!”Tom menyipitkan mata, memandangnya seperti sesuatu yang tak lagi berharga. “Oh, aku tidak punya hak? Lalu selama ini aku apa? Anjing peliharaanmu yang siap menjilat setiap kau suruh? Tugas terakhirku belum kau bayar, dan aku membawamu ke sini hanya untuk menagih apa yang menjadi hakku.”Ia mendekat, napasnya memburu.“Setelah ini,” lanjut Tom dengan dingin, “aku tidak akan lagi menyentuhmu. Aku

  • Dimanja Suami Kontrak   Jangan berani Menyentuhku!

    Lura berdiri tegak di depan tiga sosok yang selama ini membentuk luka-luka paling dalam dalam hidupnya. Angin sore meniup rambutnya lembut, sementara orang-orang berlalu-lalang di sekitar mereka tanpa tahu bahwa pertemuan ini seperti percikan api di atas genangan bensin, berbahaya, mudah terbakar. Ia baru saja keluar dari Azmara.Di hadapannya, ayahnya, ibu tiri dan Jelita, saudari tiri yang tak pernah bertingkah sebagai saudara.“Begitukah cara bicara pada ayahmu?”Lura tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai ejekan ketimbang sapaan hormat. Ia menatap pria itu dari ujung kaki ke kepala, mantel lusuh, sepatu usang, dan rambut yang tak terurus. Dulu, Kuncoro adalah pria yang tak bisa keluar rumah tanpa setelan jas mahal. Kini bahkan nafasnya pun terdengar seperti beban hidup.“Lalu bagaimana aku harus bicara padamu?” Lura bertanya tenang, nyaris berbisik, tapi tajam. “Dengan lembut? Dengan rindu? Dengan penuh bakti seperti yang selalu kau tuntut tapi tak pernah kau beri?”Kuncor

  • Dimanja Suami Kontrak   Aku Muak dengan Kalian

    Irene tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Ia duduk di hadapan Khailas, seperti masa-masa lalu yang pernah mereka habiskan dalam diam dan percakapan yang tak pernah sembarangan. Tapi kali ini berbeda. Sangat berbeda. Tidak ada keteduhan dalam tatapan Khailas. Tidak ada sisa-sisa kasih yang pernah tumbuh, atau rasa bersalah atas kisah mereka yang karam tanpa pamit.Yang ada hanyalah dingin yang membekukan.Pertemuan ini diminta oleh Khailas sendiri, melalui asistennya yang datang dengan sopan tapi tegas, menyerahkan jadwal dan lokasi. Irene pikir, walaupun hanya sekilas, bahwa mungkin, hanya mungkin, pria itu ingin memperbaiki sesuatu. Atau sekadar menjalin kembali percakapan yang dewasa tentang masa lalu yang pernah mereka bagi sebelum dan sesudah perpisahan.Namun yang terjadi justru lebih menyakitkan dari sekadar penolakan.“Jauhi Allura.”Dua kata. Dua kata yang menghantam lebih keras daripada kalimat panjang penuh penjelasan.Khailas mengucapkannya dengan tenang, tap

  • Dimanja Suami Kontrak   Hidup Ratusan Tahun Lagi

    Belum sempat Danu mencerna kalimat terakhir yang diucapkan Lura, tentang kebebasan dan ketenangan yang kini dimilikinya, tubuhnya ditarik kasar dari arah belakang. Ia kehilangan keseimbangan, langkahnya terseret, lalu tubuhnya terdorong menabrak dinding. Kerah bajunya dicekal kuat oleh tangan kekar yang dingin dan tanpa ampun.Sebelum ia sempat menoleh, satu pukulan keras menghantam sisi wajahnya.Bughh!Kepalanya terputar, rasa perih menyebar cepat. Ia berdiri dalam keadaan limbung, kaget, tak siap, belum sempat menyiapkan sikap defensifnya. Dan sebelum bisa bertanya siapa yang menyerangnya, suara tenang namun tajam dan dingin terdengar di telinganya:“Kenali aku. Bukankah selama ini kau sangat ingin tahu siapa pria di belakang Allura?”Seketika darah Danu membeku. Suara itu…Tidak asing. Bahkan sangat familiar.Tapi otaknya menolak untuk mempercayai kenyataan. Itu mustahil. Tidak mungkin…Namun realita segera membantah penyangkalannya, karena satu pukulan lagi menghantam perutnya de

  • Dimanja Suami Kontrak   Kau… Siapanya?

    Di salah satu sudut gelap sebuah klub malam yang bising dan dipenuhi lampu berkedip, Danu duduk lunglai di sofa kulit hitam. Botol-botol minuman keras berserakan di atas meja bundar di depannya, sebagian sudah kosong, sebagian masih setengah penuh tapi tak lagi menyegarkan. Asap rokok, parfum, dan bau alkohol bercampur menjadi kabut tipis yang membekap udara. Musik dentum memekakkan telinga, tapi suara-suara itu hanya jadi gema hampa di kepala Danu.Ia meneguk habis satu gelas bourbon, pahitnya bahkan tak terasa di lidahnya yang mati rasa. Luka tembak di kakinya kembali berdenyut, mengingatkan bahwa ia pernah menjadi sasaran. Tapi rasa nyeri itu tak cukup mengalahkan perih yang menggerogoti dadanya sejak pertemuannya dengan Lura siang tadi.Wajah Lura kembali muncul di kepalanya. Tatapan wanita itu. Tenang. Dingin. Tanpa bekas kekaguman. Tanpa jejak cinta.Itu yang membuatnya nyaris menggila.Danu mencengkram rambutnya sendiri, geram. Ia membayangkan ulang momen singkat itu. Lura tida

  • Dimanja Suami Kontrak   Tak lagi Menolehku

    Langkah Lura terhenti seketika. Nafasnya tercekat. Suara yang memanggil namanya itu terlalu dikenal, terlalu akrab, dan terlalu menyakitkan untuk dilupakan. Ia tidak langsung menoleh. Tubuhnya membeku, seperti tidak percaya bahwa suara itu bisa muncul di tempat umum seperti ini, di tengah keramaian pusat perbelanjaan yang modern dan terang.Perlahan, Lura berbalik. Dan disanalah dia.Danu.Penampilannya berantakan. Rambut yang biasanya tertata rapi kini acak-acakan, jas mahalnya lusuh, kemeja dalamnya terbuka dua kancing, dan wajahnya… Tuhan, wajah itu menyimpan amarah, kelelahan, dan kehancuran yang nyaris tak bisa disembunyikan. Tak ada lagi pria flamboyan penuh percaya diri yang pernah ia kenal dulu.Hanya pria yang kalah oleh hidup, atau mungkin oleh dirinya sendiri.Lura mengerjap. Wajahnya dingin. Tanpa rasa bersalah. Tatapannya tajam. Waspada. Ia melirik kanan dan kiri, menghitung kemungkinan. Tempat ini cukup ramai, tapi tak cukup aman jika Danu nekat menyerangnya. Meski kemun

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status