Share

Pergi ke Club

Penulis: AD07
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-11 09:28:24

Taksi berhenti di depan sebuah klub yang terang-benderang dengan lampu neon warna-warni. Suara musik terdengar samar dari luar, dan antrean beberapa orang terlihat di dekat pintu masuk.

Lura menatap bayangannya di kaca jendela taksi, wajahnya masih basah oleh air mata. Hatinya berteriak dalam kepedihan, tapi suaranya tak bisa keluar. Ia menggigit bibirnya, mencoba menguatkan diri.

“Aku tidak akan menyesal.” Bisiknya pada diri sendiri.

Lura mengeluarkan beberapa lembar uang, menyerahkannya kepada sopir sebelum keluar dari mobil. Angin malam menyambutnya, tapi tidak cukup dingin untuk membuatnya sadar dari keterpurukan.

Langkahnya goyah saat berjalan menuju pintu klub. Ia tidak tahu apakah itu karena sepatunya, kelemahan tubuhnya, atau hatinya yang begitu hancur hingga tak bisa menopang tubuhnya dengan benar.

Sebuah tangan terangkat di depannya.

“Tunggu sebentar, Nona.”

Lura mendongak. Seorang petugas keamanan berdiri di depannya, menatapnya dengan penuh selidik.

“Kartu identitas, tolong.”

Lura mengerjap, sedikit bingung.

“Kenapa?” tanyanya dengan suara parau.

Petugas itu menatapnya dari atas ke bawah. “Kau baru pertama kali ke sini, kan?” matanya menyipit. “Dan jujur saja, kau lebih terlihat seperti pelajar daripada seseorang yang datang untuk minum.”

Lura terdiam sejenak, lalu dengan tangan gemetar, ia merogoh tasnya dan mengeluarkan kartu identitas.

Petugas itu mengambilnya, meneliti sebentar, lalu mengangguk dan mengembalikannya. “Silakan masuk.”

Lura mengambil kembali kartunya, lalu melangkah masuk melewati pintu.

Cahaya remang, asap rokok, dan aroma alkohol langsung menyambutnya.

Semuanya terasa asing.

Semakin ia berjalan masuk, suara dentuman musik semakin keras, menghantam dadanya seperti gelombang yang tak berujung.

Lura berdiri terpaku.

Ini pertama kalinya ia pergi ke tempat seperti ini. Dan untuk pertama kalinya juga, ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Dalam kepalanya, hinaan Danu yang mengatainya naif dan kolot bergema. 

Lura menelan ludah, matanya menyapu sekeliling klub yang penuh dengan orang-orang asing. Semua tampak begitu bebas—tertawa, berdansa, menikmati malam tanpa beban. Sesuatu yang tidak pernah bisa ia lakukan.

Dengan nafas yang masih berat, ia melangkah menuju bar, mengikuti orang-orang yang berdiri atau duduk di sana. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menenangkan guncangan di dalam hatinya.

Ia memilih duduk di bangku bagian tengah, tepat di depan bartender yang sedang sibuk melayani pelanggan lain.

Saat akhirnya giliran Lura, bartender—seorang pria berusia sekitar 30-an dengan kemeja hitam dan lengan tergulung—mengernyit saat melihatnya.

“Baru pertama kali ke sini?” tanyanya sambil mengelap gelas kosong.

Lura menatapnya sekilas sebelum menarik napas dalam. Ia tidak ingin berbasa-basi. Ia tidak ingin bertanya tentang menu. Ia hanya ingin lupa.

“Beri aku minuman yang sekali teguk langsung mabuk.”

Bartender menatapnya lebih lama kali ini, mencoba membaca ekspresi di wajahnya. Lura terdengar putus asa, tapi tatapannya penuh tekad.

Pria itu menghela napas, meletakkan gelas yang tadi ia lap di meja. “Kau yakin?”

Lura mengangguk. Tanpa ragu.

“Baiklah,” bartender berkata, lalu mulai meracik sesuatu di balik meja.

Tanpa Lura sadari, sedari awal dia masuk, sepasang mata mengamatinya dengan tajam sambil menyesap minumannya.

Lura kembali diserang, lebih intim, lebih intens.

Tangan pria itu menyusuri tubuhnya tanpa ragu, tanpa hambatan. Sentuhan pertama yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Dalam setengah kesadaran, Lura merasakan dressnya melonggar, satu per satu lapisan kain yang selama ini melindungi dirinya terlepas.

Nafasnya tersengal, matanya berkabut. Ia hanya bisa mengikuti alur tanpa berpikir panjang.

Lalu tubuhnya didorong ke kasur.

Punggungnya menyentuh permukaan empuk, kepalanya bergetar karena efek alkohol yang masih berputar dalam pikirannya.

Dengan samar, Lura menatap pria itu di atasnya.

Untuk pertama kalinya, ia melihat pria tanpa lapisan apa pun. Sama polosnya dengan dirinya.

Namun, sebelum pikirannya bisa memproses apa yang terjadi—

Rasa sakit menusuk menerjangnya.

Lura menjerit.

Suara itu keluar spontan, tanpa bisa ia kendalikan. Tangannya mendorong dada pria itu dengan kekuatan yang tersisa.

Gerakan itu pun berhenti.

Suasana mendadak membeku.

Pria itu menegang, diam di tempat. Nafasnya kasar, tetapi matanya menatap Lura dengan keterkejutan yang tidak bisa ia sembunyikan.

Baru saat itu, ia sadar.

Lura bukan hanya mabuk.

Lura tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Ini pertama kalinya untuk Lura.

Sebuah kutukan lolos dari bibir pria itu. Matanya berubah. Bukan karena nafsu. Bukan karena dominasi.

Tapi karena ia tidak menyangka. Teringat kembali racauan Lula tentang kekasih dan adiknya. Jadi, itu benar. Bukan racauan tak berdasar.

Air mata mengalir deras di pipi Lura, tetapi tidak ada ketakutan dalam tatapannya.

Tangannya mencengkeram sprei di bawahnya, nafasnya tersengal.

Dengan suara bergetar, ia berbicara.

“Selesaikan.”

Pria di atasnya masih membeku. Matanya menatap Lura dalam kebisuan, seakan menimbang sesuatu.

Namun, Lura tidak ingin berhenti di sini.

Tangisannya tidak terhenti, tapi pinggulnya geliat mencari kembali sesuatu yang tadi sempat hilang.

Pria itu menggeram kuat.

Matanya terpejam erat, rahangnya mengatup.

Ia sedang berusaha menahan diri. Berusaha menarik batas terakhir.

Namun saat tubuh Lura kembali menekan, batas itu runtuh. Dengan sebuah tarikan napas tajam, ia melanjutkan.

Malam itu, di bawah temaram cahaya penthouse, dua manusia asing menyatu dalam kehancuran.

Suara mereka bercampur, napas yang terengah, bisikan yang terdengar samar, gumaman yang semakin liar.

Semua bercampur menjadi satu.

Hingga akhirnya, mereka mencapai puncak yang meledakkan keduanya dalam gelombang yang tidak terhentikan.

Malam yang penuh dengan luka, pelampiasan, dan kenikmatan yang memabukkan.

**

Cahaya matahari menembus celah jendela besar, menerangi ruangan mewah yang masih diselimuti keheningan.

Di atas ranjang luas itu, Lura menggeliat pelan.

Namun, begitu tubuhnya sedikit bergerak, rasa perih langsung menyerang. Rintihannya lolos tanpa sadar.

Ia mengernyit, nafasnya tercekat. Ada nyeri yang menusuk di tempat yang sebelumnya tidak pernah terasa seperti ini.

Kelopak matanya perlahan terbuka, mengatur kesadaran yang masih kacau. Pandangannya buram sesaat sebelum akhirnya bisa fokus.

Ruangan asing.

Langit-langit tinggi dengan lampu kristal menggantung. Perabotan mahal. Bau samar maskulin yang memenuhi udara.

Ini bukan kamarnya.

Lura terdiam, mencoba memahami. Kemudian, sesuatu membuatnya tersentak.

Ia sedang berbaring di ranjang seseorang.

Tangannya langsung meraih selimut, menutupi dadanya yang terbuka. Napasnya memburu saat otaknya berusaha menyusun kepingan ingatan yang masih samar.

Lalu semuanya muncul, seperti kilatan-kilatan cepat yang menghantam kesadarannya.

Ciuman panas. Tangan-tangan kuat yang menjelajah. Desahan. Tubuh yang saling melilit.

Lura meneguk ludah kasar. Demi apa…

Dia telah melakukannya.

Dan dengan pria asing.

Tubuhnya langsung menegang, panik mulai menyergap.

Namun, sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, suara bariton serak terdengar dari samping.

“Jangan bereaksi seperti itu.”

Lura tersentak, membeku di tempat.

Pria yang masih berbaring di sebelahnya menatapnya dengan mata setengah terbuka.

Rambutnya berantakan, garis rahangnya terlihat lebih tajam di bawah sinar matahari. Namun yang paling membuat Lura semakin ingin tenggelam adalah tatapan santainya, seolah semua ini bukan masalah besar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ucis Boo
Omo..omo..omo.. apakah pria asing itu Khailash? ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dimanja Suami Kontrak   Bersama Pria tak Dikenal

    Lalu, kata-kata berikutnya menghancurkan sisa harga diri yang ia miliki.“Semalam, kau mengizinkanku melakukan sampai selesai.”Lura hanya bisa membeku.Jari-jarinya mencengkram selimut lebih erat. Nafasnya tercekat di tenggorokan.Hancur.Harga dirinya hancur sudah.Lura menelan ludah, matanya melirik ke bawah, ke lantai di sisi ranjang.Di sana, pakaian-pakaiannya teronggok begitu saja.Dress yang semalam ia kenakan tampak kusut, berserakan bersama dengan pakaian dalamnya yang ikut terjatuh. Saksi bisu dari apa yang telah terjadi.Ia menggigit bibir bawahnya, jari-jarinya di bawah selimut bergerak gelisah. Ingin meraihnya.Tapi tubuhnya terlalu kaku.Hanya dengan sedikit gerakan saja, nyeri di bawah sana mengingatkannya apa yang telah ia lakukan semalam.Dari sudut matanya, Lura menyadari ada pergerakan dari sebelah.Pria itu, yang bahkan namanya tidak ia tahu, beranjak dari tempat tidur.Ia hanya mengenakan jubah tidur, memperlihatkan sebagian dadanya yang kokoh dan perutnya yang m

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-11
  • Dimanja Suami Kontrak   Murka Keluarga

    Lura membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir. Matanya membulat ketakutan saat menyadari bahwa ayahnya tidak main-main. Ia menelan ludah, tubuhnya gemetar, seakan kakinya tidak lagi mampu menyangga dirinya sendiri.“A-Ayah…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar. Ia menggeleng cepat, air matanya semakin deras, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. “Jangan… A-Ayah, aku mohon…”Namun, pria itu seperti kesetanan. Mata ayahnya merah oleh kemarahan, rahangnya mengatup keras, dadanya naik-turun karena nafas yang memburu. Tidak ada belas kasihan di wajahnya, hanya amarah yang meluap-luap.Salah satu pelayan yang mendengar perintah itu menelan ludah, wajahnya pucat pasi. Dengan tangan gemetar, ia segera berbalik, melangkah menuju ruangan lain untuk mengambil benda yang diperintahkan tuannya.Sementara Danu tetap berdiri dengan tenang, menyaksikan semua itu dengan tatapan dingin. Tidak ada keterkejutan di wajahnya. Bahkan, di balik sorot matanya yang tajam, ada kepuasan yang terpendam.

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-11
  • Dimanja Suami Kontrak   Ia Mencium Lura

    Tanpa ragu, ia merogoh dompetnya dan membayar tagihan taksi. Setelah itu, dengan langkah terseok, ia keluar dari mobil, menyeret koper kecilnya menuju pos pengamanan di depan gerbang.Seorang penjaga berdiri tegak di sana, mengamati kedatangannya dengan ekspresi netral.Lura tidak banyak bicara. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengulurkan kartu nama yang sejak tadi ia genggam erat.Penjaga itu melirik kartu nama tersebut, lalu tanpa bertanya lebih lanjut, ia menekan tombol di panel keamanan. Gerbang besar itu terbuka.“Silakan masuk, Nona. Saya bisa membawakan koper anda,” ucapnya dengan sopan.Lura menggeleng lemah. “Tidak perlu, terima kasih.”Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia melangkah masuk, mengikuti jalan setapak yang mengarah ke pintu utama rumah itu.Setibanya di depan pintu, seorang pelayan paruh baya sudah berdiri menunggunya. Wajahnya ramah, tetapi tetap formal. Tanpa bertanya, pelayan itu membuka pintu dan mengisyaratkan agar Lura mengikutinya.Langkah Lura te

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-11
  • Dimanja Suami Kontrak   Itu Sumpahku

    Khailash membaringkan Lura dengan sangat hati-hati di atas ranjang besar berlapis seprai linen putih bersih. Gerakannya pelan, nyaris lembut, seolah takut menyakiti wanita yang kini telah sah menjadi istrinya.Wajah Lura masih pucat, napasnya berat dan tidak stabil. Matanya tertutup rapat, tubuhnya tak bergerak.Tanpa berkata apa pun, Khailash berdiri, lalu melepas jasnya dan melemparkan asal ke kursi di sudut ruangan. Tangan terampilnya membuka dua lapis rompi satu per satu, kemudian dua kancing atas kemejanya, membiarkan udara dingin ruangan menenangkan kulitnya yang mulai terasa tegang.Ia lalu berlutut, melepas sepatu Lura perlahan, hati-hati, sebelum menarik selimut hingga menutupi tubuh mungil istrinya yang tampak kelelahan luar biasa.Setelah memastikan Lura nyaman, ia melangkah ke arah pintu dan memanggil asistennya yang sudah menunggu di luar.“Panggilkan dokter Willi. Segera.”Nada suaranya dalam dan tegas, tidak membuka ruang tunda sedikit pun.Asisten itu segera mengangguk

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-01
  • Dimanja Suami Kontrak   Masihkah Kau Menganggapnya Ayah?

    Lura perlahan membuka mata saat bertemu tatap dengan Khailash, napasnya masih lemah, namun kesadarannya mulai pulih sedikit demi sedikit. Pandangannya kabur sesaat, tapi sosok tegap di hadapannya tak mungkin ia salah kenali.Khailash baru saja keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk putih yang melilit rapi di pinggangnya. Tetes air masih mengalir di kulitnya, membentuk jejak di otot-otot dadanya yang bidang dan perut berotot sempurna.Lura menatapnya lirih, matanya berkedip pelan, nyaris tidak percaya dengan pemandangan di depannya.Khailash berjalan mendekat dengan langkah tenang dan percaya diri. Ia menyadari bahwa Lura sudah terjaga. Dengan ekspresi tenang namun penuh penegasan, ia berkata, “Kita suami istri. Mulai sekarang, kau harus terbiasa dengan apa pun yang akan kau lihat dariku.”Kata-katanya tidak bernada keras, namun jelas. Bukan sekadar peringatan, tapi pernyataan akan kedekatan yang tidak bisa dihindari—karena ikatan mereka kini sah.Khailash lalu menunduk sedik

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-02
  • Dimanja Suami Kontrak   Kasih Sayang Khailash

    Mungkin di antara semua pagi yang pernah Lura lewati dalam hidupnya—pagi-pagi penuh perintah, amarah, atau diam dingin yang mencekam di rumah keluarganya—pagi ini adalah yang paling berbeda, paling tenang, dan mungkin… paling indah.Untuk pertama kalinya, ia terbangun bukan karena teriakan, bukan karena paksaan, dan bukan karena ketakutan yang menggumpal di dada. Melainkan karena sinari matahari yang menyusup lembut lewat tirai sutra tipis, menyapa wajahnya dengan hangat.Aroma harum menguar dari sudut kamar. Perpaduan wangi lavender, bunga segar, dan kayu manis menyatu dengan kehangatan tempat tidur yang empuk. Ketika Lura membuka matanya perlahan, dunia yang menyambutnya terasa begitu asing—namun bukan dalam makna buruk. Asing yang menyamankan. Asing yang menenangkan.Dan di tengah keheningan pagi yang hampir magis itu, Lura mendapati kepala pelayan dan dua orang pelayan lainnya telah berada di dalam kamar.Mereka semua berpakaian rapi dan bergerak dengan sopan dalam koordinasi yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-03
  • Dimanja Suami Kontrak   Ini, Baru Nyonya Muda

    Dengan sabar dan telaten, kepala pelayan membuka kancing piyama Lura satu per satu. Tangannya bekerja tenang, tidak tergesa, dan sangat hati-hati.Lura sempat menahan napas, tubuhnya kaku. Meski ia tahu pelayan itu hanya menjalankan tugas, rasa malu tetap menyeruak.Namun saat mata mereka bertemu, kepala pelayan hanya menatapnya dalam, penuh pengertian, tanpa penilaian.Tatapan itu seolah berkata: “Tak perlu malu, Nyonya. Anda aman di sini.”Dan dengan sedikit anggukan kecil, Lura akhirnya melepaskan rasa canggungnya. Piyama yang lembut akhirnya terlepas dari tubuhnya yang ramping dan penuh luka.Dalam pantulan kaca besar kamar mandi, terlihat jelas bekas-bekas cambukan di punggungnya.Warna merahnya sudah memudar, tapi garis-garis panjang itu masih tampak nyata. Beberapa bagian mulai sembuh, namun tetap meninggalkan nyeri seperti bara yang belum padam.Lura menunduk, menahan rasa sesak yang kembali naik ke dada. Tapi kepala pelayan tidak bersuara apa-apa. Ia hanya memberi isyarat lem

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-04
  • Dimanja Suami Kontrak   Mereka Mencarimu

    Khailash lalu meremas lembut kedua pundak Lura, jemarinya yang besar terasa hangat namun tak menekan.Ia menatap Lura melalui pantulan cermin—pandangan dalam, penuh dominasi namun tak mengandung kekerasan.“Aku sengaja pulang lebih awal,” ucapnya rendah, hampir seperti bisikan, “karena ingin makan siang bersamamu. Jangan buat aku menunggu lebih lama, hm?”Nada suaranya tak memaksa, namun penuh bobot.Lura spontan mengangkat wajah, mata membulat, lalu mengangguk cepat.“I-ya… tentu.”Ia segera bangkit dari kursinya, gerakannya sedikit terburu-buru—seolah keinginan Khailash adalah perintah mutlak yang tak boleh ditunda.Namun baru selangkah ia menjauh, tangan kuat Khailash menangkap pinggulnya dan menariknya kembali dalam rengkuhan.Lura terkesiap, tubuhnya menegang. Nafasnya tercekat oleh kedekatan mereka yang begitu mendadak. Tapi sebelum ia sempat menyusun pikiran, suara pria itu kembali menyusup ke telinganya, lembut namun menancap.“Jangan gugup… apalagi takut.”Khailash memiringka

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-05

Bab terbaru

  • Dimanja Suami Kontrak   Bisakah… Aku?

    Suara desahan menggema samar, bercampur dengan nafas memburu dan gesekan sprei satin yang kusut, di dalam kamar apartemen mewah milik Jelita—apartemen yang dibelikan langsung oleh Danu untuk memanjakannya.Namun malam ini berbeda.Danu menggila.Bukan karena gairah, bukan karena rindu… tapi karena amarah yang membuncah.Tubuh Jelita berada di bawahnya, dalam posisi yang biasanya membuatnya merasa diinginkan. Tapi kali ini, ada sesuatu yang menyesakkan—energi yang keluar dari Danu bukan suka atau nafsu, tapi pelampiasan.“Kak Danu…” suara Jelita serak, mencoba mengatur nafas, tangannya menahan dada pria itu.“Tunggu… pelan sedikit. Ini—bukan seperti biasanya…”Namun Danu tak menjawab. Ia terus bergerak liar, rahangnya mengeras, matanya tak lagi memandang wajah Jelita, melainkan kosong, tajam, penuh bara.“Aku akan menghapus setiap bayang pria sialan itu dari tubuh Lura…” gumamnya seperti kerasukan, suaranya dingin dan tak terarah.Jelita tercengang, tubuhnya menegang.Lura. Lagi-lagi L

  • Dimanja Suami Kontrak   Karena Kau Istriku

    Tubuh Lura menegang saat mendengar ucapan Khailash yang barusan. Suasana ruang keluarga yang hangat dan megah itu mendadak terasa menekan. Meski ruangannya bergaya minimalis dengan sentuhan elegan—lantai marmer krem, jendela besar yang menghadap taman, dan perapian tenang di sudut ruangan—namun kata-kata pria itu mengguncang lebih dalam dari api mana pun.“Mereka mencarimu,” ulang Khailash, nada suaranya tetap tenang, tapi tajam dan tak terbantahkan.Lura tersadar dari lamunannya. Ia berbalik menatap Khailash, duduk di ujung sofa besar berwarna gelap, dengan tubuh tegap bersandar santai namun penuh kendali.“Mereka… yang kau maksud?”Khailash mengangguk, matanya tak lepas dari wajah Lura.“Pria yang kau sebut ayah. Dan bajingan yang pernah kau sebut kekasih, atau calon suami.”Lura menunduk, menggenggam jemarinya sendiri.“Aku… aku sangat malu.” Suaranya bergetar.“Malu karena pernah menganggapnya pria paling baik.”Tatapannya beralih ke Khailash, mata yang dulu sering merendah, kini

  • Dimanja Suami Kontrak   Mereka Mencarimu

    Khailash lalu meremas lembut kedua pundak Lura, jemarinya yang besar terasa hangat namun tak menekan.Ia menatap Lura melalui pantulan cermin—pandangan dalam, penuh dominasi namun tak mengandung kekerasan.“Aku sengaja pulang lebih awal,” ucapnya rendah, hampir seperti bisikan, “karena ingin makan siang bersamamu. Jangan buat aku menunggu lebih lama, hm?”Nada suaranya tak memaksa, namun penuh bobot.Lura spontan mengangkat wajah, mata membulat, lalu mengangguk cepat.“I-ya… tentu.”Ia segera bangkit dari kursinya, gerakannya sedikit terburu-buru—seolah keinginan Khailash adalah perintah mutlak yang tak boleh ditunda.Namun baru selangkah ia menjauh, tangan kuat Khailash menangkap pinggulnya dan menariknya kembali dalam rengkuhan.Lura terkesiap, tubuhnya menegang. Nafasnya tercekat oleh kedekatan mereka yang begitu mendadak. Tapi sebelum ia sempat menyusun pikiran, suara pria itu kembali menyusup ke telinganya, lembut namun menancap.“Jangan gugup… apalagi takut.”Khailash memiringka

  • Dimanja Suami Kontrak   Ini, Baru Nyonya Muda

    Dengan sabar dan telaten, kepala pelayan membuka kancing piyama Lura satu per satu. Tangannya bekerja tenang, tidak tergesa, dan sangat hati-hati.Lura sempat menahan napas, tubuhnya kaku. Meski ia tahu pelayan itu hanya menjalankan tugas, rasa malu tetap menyeruak.Namun saat mata mereka bertemu, kepala pelayan hanya menatapnya dalam, penuh pengertian, tanpa penilaian.Tatapan itu seolah berkata: “Tak perlu malu, Nyonya. Anda aman di sini.”Dan dengan sedikit anggukan kecil, Lura akhirnya melepaskan rasa canggungnya. Piyama yang lembut akhirnya terlepas dari tubuhnya yang ramping dan penuh luka.Dalam pantulan kaca besar kamar mandi, terlihat jelas bekas-bekas cambukan di punggungnya.Warna merahnya sudah memudar, tapi garis-garis panjang itu masih tampak nyata. Beberapa bagian mulai sembuh, namun tetap meninggalkan nyeri seperti bara yang belum padam.Lura menunduk, menahan rasa sesak yang kembali naik ke dada. Tapi kepala pelayan tidak bersuara apa-apa. Ia hanya memberi isyarat lem

  • Dimanja Suami Kontrak   Kasih Sayang Khailash

    Mungkin di antara semua pagi yang pernah Lura lewati dalam hidupnya—pagi-pagi penuh perintah, amarah, atau diam dingin yang mencekam di rumah keluarganya—pagi ini adalah yang paling berbeda, paling tenang, dan mungkin… paling indah.Untuk pertama kalinya, ia terbangun bukan karena teriakan, bukan karena paksaan, dan bukan karena ketakutan yang menggumpal di dada. Melainkan karena sinari matahari yang menyusup lembut lewat tirai sutra tipis, menyapa wajahnya dengan hangat.Aroma harum menguar dari sudut kamar. Perpaduan wangi lavender, bunga segar, dan kayu manis menyatu dengan kehangatan tempat tidur yang empuk. Ketika Lura membuka matanya perlahan, dunia yang menyambutnya terasa begitu asing—namun bukan dalam makna buruk. Asing yang menyamankan. Asing yang menenangkan.Dan di tengah keheningan pagi yang hampir magis itu, Lura mendapati kepala pelayan dan dua orang pelayan lainnya telah berada di dalam kamar.Mereka semua berpakaian rapi dan bergerak dengan sopan dalam koordinasi yang

  • Dimanja Suami Kontrak   Masihkah Kau Menganggapnya Ayah?

    Lura perlahan membuka mata saat bertemu tatap dengan Khailash, napasnya masih lemah, namun kesadarannya mulai pulih sedikit demi sedikit. Pandangannya kabur sesaat, tapi sosok tegap di hadapannya tak mungkin ia salah kenali.Khailash baru saja keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk putih yang melilit rapi di pinggangnya. Tetes air masih mengalir di kulitnya, membentuk jejak di otot-otot dadanya yang bidang dan perut berotot sempurna.Lura menatapnya lirih, matanya berkedip pelan, nyaris tidak percaya dengan pemandangan di depannya.Khailash berjalan mendekat dengan langkah tenang dan percaya diri. Ia menyadari bahwa Lura sudah terjaga. Dengan ekspresi tenang namun penuh penegasan, ia berkata, “Kita suami istri. Mulai sekarang, kau harus terbiasa dengan apa pun yang akan kau lihat dariku.”Kata-katanya tidak bernada keras, namun jelas. Bukan sekadar peringatan, tapi pernyataan akan kedekatan yang tidak bisa dihindari—karena ikatan mereka kini sah.Khailash lalu menunduk sedik

  • Dimanja Suami Kontrak   Itu Sumpahku

    Khailash membaringkan Lura dengan sangat hati-hati di atas ranjang besar berlapis seprai linen putih bersih. Gerakannya pelan, nyaris lembut, seolah takut menyakiti wanita yang kini telah sah menjadi istrinya.Wajah Lura masih pucat, napasnya berat dan tidak stabil. Matanya tertutup rapat, tubuhnya tak bergerak.Tanpa berkata apa pun, Khailash berdiri, lalu melepas jasnya dan melemparkan asal ke kursi di sudut ruangan. Tangan terampilnya membuka dua lapis rompi satu per satu, kemudian dua kancing atas kemejanya, membiarkan udara dingin ruangan menenangkan kulitnya yang mulai terasa tegang.Ia lalu berlutut, melepas sepatu Lura perlahan, hati-hati, sebelum menarik selimut hingga menutupi tubuh mungil istrinya yang tampak kelelahan luar biasa.Setelah memastikan Lura nyaman, ia melangkah ke arah pintu dan memanggil asistennya yang sudah menunggu di luar.“Panggilkan dokter Willi. Segera.”Nada suaranya dalam dan tegas, tidak membuka ruang tunda sedikit pun.Asisten itu segera mengangguk

  • Dimanja Suami Kontrak   Ia Mencium Lura

    Tanpa ragu, ia merogoh dompetnya dan membayar tagihan taksi. Setelah itu, dengan langkah terseok, ia keluar dari mobil, menyeret koper kecilnya menuju pos pengamanan di depan gerbang.Seorang penjaga berdiri tegak di sana, mengamati kedatangannya dengan ekspresi netral.Lura tidak banyak bicara. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengulurkan kartu nama yang sejak tadi ia genggam erat.Penjaga itu melirik kartu nama tersebut, lalu tanpa bertanya lebih lanjut, ia menekan tombol di panel keamanan. Gerbang besar itu terbuka.“Silakan masuk, Nona. Saya bisa membawakan koper anda,” ucapnya dengan sopan.Lura menggeleng lemah. “Tidak perlu, terima kasih.”Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia melangkah masuk, mengikuti jalan setapak yang mengarah ke pintu utama rumah itu.Setibanya di depan pintu, seorang pelayan paruh baya sudah berdiri menunggunya. Wajahnya ramah, tetapi tetap formal. Tanpa bertanya, pelayan itu membuka pintu dan mengisyaratkan agar Lura mengikutinya.Langkah Lura te

  • Dimanja Suami Kontrak   Murka Keluarga

    Lura membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir. Matanya membulat ketakutan saat menyadari bahwa ayahnya tidak main-main. Ia menelan ludah, tubuhnya gemetar, seakan kakinya tidak lagi mampu menyangga dirinya sendiri.“A-Ayah…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar. Ia menggeleng cepat, air matanya semakin deras, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. “Jangan… A-Ayah, aku mohon…”Namun, pria itu seperti kesetanan. Mata ayahnya merah oleh kemarahan, rahangnya mengatup keras, dadanya naik-turun karena nafas yang memburu. Tidak ada belas kasihan di wajahnya, hanya amarah yang meluap-luap.Salah satu pelayan yang mendengar perintah itu menelan ludah, wajahnya pucat pasi. Dengan tangan gemetar, ia segera berbalik, melangkah menuju ruangan lain untuk mengambil benda yang diperintahkan tuannya.Sementara Danu tetap berdiri dengan tenang, menyaksikan semua itu dengan tatapan dingin. Tidak ada keterkejutan di wajahnya. Bahkan, di balik sorot matanya yang tajam, ada kepuasan yang terpendam.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status