Beranda / Romansa / Dimanja Suami Kontrak / Bersama Pria tak Dikenal

Share

Bersama Pria tak Dikenal

Penulis: AD07
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-11 09:29:45

Lalu, kata-kata berikutnya menghancurkan sisa harga diri yang ia miliki.

“Semalam, kau mengizinkanku melakukan sampai selesai.”

Lura hanya bisa membeku.

Jari-jarinya mencengkram selimut lebih erat. Nafasnya tercekat di tenggorokan.

Hancur.

Harga dirinya hancur sudah.

Lura menelan ludah, matanya melirik ke bawah, ke lantai di sisi ranjang.

Di sana, pakaian-pakaiannya teronggok begitu saja.

Dress yang semalam ia kenakan tampak kusut, berserakan bersama dengan pakaian dalamnya yang ikut terjatuh. Saksi bisu dari apa yang telah terjadi.

Ia menggigit bibir bawahnya, jari-jarinya di bawah selimut bergerak gelisah. Ingin meraihnya.

Tapi tubuhnya terlalu kaku.

Hanya dengan sedikit gerakan saja, nyeri di bawah sana mengingatkannya apa yang telah ia lakukan semalam.

Dari sudut matanya, Lura menyadari ada pergerakan dari sebelah.

Pria itu, yang bahkan namanya tidak ia tahu, beranjak dari tempat tidur.

Ia hanya mengenakan jubah tidur, memperlihatkan sebagian dadanya yang kokoh dan perutnya yang masih berjejak samar bekas kuku Lura.

Jantung Lura berdegup lebih cepat saat pria itu dengan santai berjalan ke sisi tempat tidurnya, lalu mengambil pakaian yang ada di lantai.

Tanpa banyak bicara, ia menyerahkannya kepada Lura.

Sejenak, Lura hanya menatap pakaian itu di tangan pria itu. Lalu, dengan tangan gemetar, ia mengulurkan tangannya dan menerimanya.

Dipeluk erat.

Seolah kain kusut itu bisa menutupi rasa malu dan kehancuran yang membungkus dirinya.

“T-Terima kasih…” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Pria itu tidak merespons, hanya menatapnya sebentar sebelum berbalik, membiarkan Lura dengan pikirannya sendiri.

Dan di saat itulah, tangis yang ia tahan akhirnya jatuh kembali. Lura masih memeluk pakaiannya erat, tubuhnya gemetar. Namun, perlahan pikirannya mulai bekerja.

Semuanya sudah terjadi.

Menyesal? Untuk apa? Air mata tidak akan mengubah apa pun.

Kesalahan ini adalah kebodohannya sendiri.

Ia sendiri yang datang ke klub. Ia sendiri yang meminta pria ini membawanya pergi. Ia sendiri yang menyerahkan dirinya tanpa peduli akibatnya.

Aib ini biarlah ia tanggung sendiri.

Lura menghela napas berat, mencoba menerima kenyataan yang baru saja ia ciptakan untuk dirinya sendiri.

Namun, detik berikutnya…

Matanya membeku.

Tatapannya tertuju pada jam yang berada di atas nakas.

Pukul sepuluh pagi.

Jantungnya seakan berhenti berdetak.

Pemberkatan pernikahan seharusnya dimulai pukul delapan tadi.

Tangannya mencengkeram selimut lebih erat, tubuhnya menegang seketika.

Keluarganya pasti sudah murka.

Lura meremas rambutnya sendiri, panik mulai menyerangnya.

Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana ia bisa seceroboh ini?

Mereka pasti mencarinya.

Danu. Jelita. Ayah dan ibunya. Semua tamu undangan yang datang ke gereja.

Mereka pasti menunggu dan menyadari dia tidak ada.

Lura menggigit bibirnya kuat-kuat, mencoba meredam kepanikan yang semakin merayap ke seluruh tubuhnya.

Ia tidak bisa memberi tahu mereka apa yang terjadi.

Ia tidak bisa memberitahu mereka bahwa Danu mengkhianatinya.

Ia tidak bisa memberi tahu mereka bahwa adiknya sendiri menusuknya dari belakang.

Dan sekarang, ia bahkan tidak bisa menjelaskan mengapa dirinya menghilang di hari pernikahannya sendiri.

Tangannya mengepal di atas kepalanya, rasa putus asa kembali menerjang.

Ia benar-benar telah menghancurkan segalanya.

“Semua kerumitan mu bisa ku selesaikan.”

***

Tamparan keras menghantam pipi Lura.

Bunyi telapak tangan yang bertemu dengan kulit menggema di seluruh ruangan, membuat semua orang menahan napas.

Tubuh Lura terhempas keras ke lantai marmer yang berambal mewah. Nafasnya tercekat, pipinya berdenyut panas.

Ia masih terkejut, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Namun, sebelum bisa berpikir lebih jauh, suara hardikan tajam membelah udara.

“Anak tidak tahu diri!”

Suara ayahnya.

Lura mendongak dengan mata penuh air mata, melihat sosok pria paruh baya yang sangat marah.

Wajah sang ayah merah padam, rahangnya mengatup keras, dan telunjuknya teracung langsung ke wajah Lura.

Matanya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan yang tidak bisa ditahan.

“Kau membuat malu keluarga! Membuat dua keluarga besar kita dipermalukan di hadapan para tamu!”

Lura meremas tangannya sendiri, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

Sakit.

Sakit sekali.

Bukan hanya pipinya yang terasa panas dan nyeri, tapi hatinya.

Ia tahu. Ia sadar.

Menghilang di hari pernikahannya tanpa kabar adalah kesalahan besar.

Namun, bagaimana ia bisa menjelaskan pengkhianatan Danu dan Jelita?

Bagaimana ia bisa mengatakan ia menghabiskan malam di ranjang pria asing demi melupakan rasa sakitnya?

Ia tidak bisa.

Ia hanya bisa menangis.

Di sudut ruangan, Danu hanya berdiri dengan santai.

Tanpa ekspresi. Tanpa rasa bersalah. Tanpa niat menolongnya.

Ia bahkan tidak berusaha membela Lura, tidak berusaha menjelaskan apa yang terjadi.

Karena baginya, ini bukan masalahnya.

Ini adalah kesalahan Lura sendiri.

Dan saat ayahnya kembali menghardiknya dengan kata-kata yang lebih tajam, Lura sadar…

Tidak ada seorangpun yang akan menyelamatkannya.

“Lihat Jelita!”

Suara ayahnya kembali menggema, menusuk jauh ke dalam hati Lura.

Lura masih terisak, kedua tangannya mencengkeram ujung gaunnya yang kusut. Pipinya masih panas akibat tamparan tadi, tapi hatinya jauh lebih sakit.

“Dia jauh lebih baik darimu, lebih pantas, lebih terhormat! Tapi sayangnya, Danu hanya menginginkanmu!”

Kata-kata itu menusuk seperti belati yang diputar di dalam luka.

Jelita, yang berdiri tidak jauh dari Danu, menundukkan kepala pura-pura sedih. Tapi Lura bisa melihat sudut bibirnya yang tertarik samar.

Ia menikmati ini.

Ayahnya tidak berhenti di sana. Kemarahan yang ia tahan sejak pagi kini meledak sepenuhnya.

“Dan apa yang kau lakukan?! Menghancurkan semua harapan! Melempar kotoran ke wajah kami semua!”

Lura semakin mengecil di tempatnya. Ia ingin berteriak, ingin membela diri.

Tapi ia tahu…

Tidak akan ada yang percaya.

Tiba-tiba, ayahnya melangkah mendekat.

Tangannya meraih lengan Lura dengan kasar, menariknya hingga tubuhnya terdorong ke depan.

Lura meringis, menahan rasa sakit di lengannya.

“Katakan, Lura! Dari mana saja kau semalaman?!”

Suara ayahnya begitu tajam, begitu dingin.

“Kenapa kau menghilang?! Apa masalahmu sampai harus mempermalukan keluarga seperti ini?!”

Lura menggigit bibirnya kuat.

Dia tidak bisa menjawab.

Dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Bahwa tunangannya mengkhianatinya dengan adiknya sendiri. Bahwa ia menghabiskan malam di tempat yang tidak seharusnya, dengan pria yang bahkan namanya tidak ia ketahui.

Bahwa ia telah menghancurkan dirinya sendiri karena sakit hati.

Tidak.

Mereka tidak akan percaya.

Mereka hanya akan melihatnya sebagai gadis bodoh yang menghancurkan pernikahannya sendiri.

Lura hanya menggeleng lemah.

Tapi ayahnya tidak puas dengan itu.

“Seluruh negeri menertawakan kita!” raungnya, gemetar karena amarah.

“Danu dihina! Keluarga kita dihina! Dan semua karena ulahmu!”

Lura terisak.

Tangannya mengepal, kukunya menancap di telapak tangannya yang dingin. Napasnya pendek, dadanya sesak.

Dia tidak bisa bicara.

“Ambil cambuk!”

Suara ayahnya menggelegar di seluruh ruangan, membuat semua orang terpaku di tempat. Udara mendadak membeku. Tidak ada yang berani bergerak, tidak ada yang berani menentang. Mata semua orang membulat, terkejut, tetapi tak satupun dari mereka bersuara.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ucis Boo
Kasian Lura... Tega bgt ayahnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dimanja Suami Kontrak   Murka Keluarga

    Lura membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir. Matanya membulat ketakutan saat menyadari bahwa ayahnya tidak main-main. Ia menelan ludah, tubuhnya gemetar, seakan kakinya tidak lagi mampu menyangga dirinya sendiri.“A-Ayah…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar. Ia menggeleng cepat, air matanya semakin deras, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. “Jangan… A-Ayah, aku mohon…”Namun, pria itu seperti kesetanan. Mata ayahnya merah oleh kemarahan, rahangnya mengatup keras, dadanya naik-turun karena nafas yang memburu. Tidak ada belas kasihan di wajahnya, hanya amarah yang meluap-luap.Salah satu pelayan yang mendengar perintah itu menelan ludah, wajahnya pucat pasi. Dengan tangan gemetar, ia segera berbalik, melangkah menuju ruangan lain untuk mengambil benda yang diperintahkan tuannya.Sementara Danu tetap berdiri dengan tenang, menyaksikan semua itu dengan tatapan dingin. Tidak ada keterkejutan di wajahnya. Bahkan, di balik sorot matanya yang tajam, ada kepuasan yang terpendam.

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-11
  • Dimanja Suami Kontrak   Ia Mencium Lura

    Tanpa ragu, ia merogoh dompetnya dan membayar tagihan taksi. Setelah itu, dengan langkah terseok, ia keluar dari mobil, menyeret koper kecilnya menuju pos pengamanan di depan gerbang.Seorang penjaga berdiri tegak di sana, mengamati kedatangannya dengan ekspresi netral.Lura tidak banyak bicara. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengulurkan kartu nama yang sejak tadi ia genggam erat.Penjaga itu melirik kartu nama tersebut, lalu tanpa bertanya lebih lanjut, ia menekan tombol di panel keamanan. Gerbang besar itu terbuka.“Silakan masuk, Nona. Saya bisa membawakan koper anda,” ucapnya dengan sopan.Lura menggeleng lemah. “Tidak perlu, terima kasih.”Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia melangkah masuk, mengikuti jalan setapak yang mengarah ke pintu utama rumah itu.Setibanya di depan pintu, seorang pelayan paruh baya sudah berdiri menunggunya. Wajahnya ramah, tetapi tetap formal. Tanpa bertanya, pelayan itu membuka pintu dan mengisyaratkan agar Lura mengikutinya.Langkah Lura te

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-11
  • Dimanja Suami Kontrak   Itu Sumpahku

    Khailash membaringkan Lura dengan sangat hati-hati di atas ranjang besar berlapis seprai linen putih bersih. Gerakannya pelan, nyaris lembut, seolah takut menyakiti wanita yang kini telah sah menjadi istrinya.Wajah Lura masih pucat, napasnya berat dan tidak stabil. Matanya tertutup rapat, tubuhnya tak bergerak.Tanpa berkata apa pun, Khailash berdiri, lalu melepas jasnya dan melemparkan asal ke kursi di sudut ruangan. Tangan terampilnya membuka dua lapis rompi satu per satu, kemudian dua kancing atas kemejanya, membiarkan udara dingin ruangan menenangkan kulitnya yang mulai terasa tegang.Ia lalu berlutut, melepas sepatu Lura perlahan, hati-hati, sebelum menarik selimut hingga menutupi tubuh mungil istrinya yang tampak kelelahan luar biasa.Setelah memastikan Lura nyaman, ia melangkah ke arah pintu dan memanggil asistennya yang sudah menunggu di luar.“Panggilkan dokter Willi. Segera.”Nada suaranya dalam dan tegas, tidak membuka ruang tunda sedikit pun.Asisten itu segera mengangguk

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-01
  • Dimanja Suami Kontrak   Masihkah Kau Menganggapnya Ayah?

    Lura perlahan membuka mata saat bertemu tatap dengan Khailash, napasnya masih lemah, namun kesadarannya mulai pulih sedikit demi sedikit. Pandangannya kabur sesaat, tapi sosok tegap di hadapannya tak mungkin ia salah kenali.Khailash baru saja keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk putih yang melilit rapi di pinggangnya. Tetes air masih mengalir di kulitnya, membentuk jejak di otot-otot dadanya yang bidang dan perut berotot sempurna.Lura menatapnya lirih, matanya berkedip pelan, nyaris tidak percaya dengan pemandangan di depannya.Khailash berjalan mendekat dengan langkah tenang dan percaya diri. Ia menyadari bahwa Lura sudah terjaga. Dengan ekspresi tenang namun penuh penegasan, ia berkata, “Kita suami istri. Mulai sekarang, kau harus terbiasa dengan apa pun yang akan kau lihat dariku.”Kata-katanya tidak bernada keras, namun jelas. Bukan sekadar peringatan, tapi pernyataan akan kedekatan yang tidak bisa dihindari—karena ikatan mereka kini sah.Khailash lalu menunduk sedik

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-02
  • Dimanja Suami Kontrak   Kasih Sayang Khailash

    Mungkin di antara semua pagi yang pernah Lura lewati dalam hidupnya—pagi-pagi penuh perintah, amarah, atau diam dingin yang mencekam di rumah keluarganya—pagi ini adalah yang paling berbeda, paling tenang, dan mungkin… paling indah.Untuk pertama kalinya, ia terbangun bukan karena teriakan, bukan karena paksaan, dan bukan karena ketakutan yang menggumpal di dada. Melainkan karena sinari matahari yang menyusup lembut lewat tirai sutra tipis, menyapa wajahnya dengan hangat.Aroma harum menguar dari sudut kamar. Perpaduan wangi lavender, bunga segar, dan kayu manis menyatu dengan kehangatan tempat tidur yang empuk. Ketika Lura membuka matanya perlahan, dunia yang menyambutnya terasa begitu asing—namun bukan dalam makna buruk. Asing yang menyamankan. Asing yang menenangkan.Dan di tengah keheningan pagi yang hampir magis itu, Lura mendapati kepala pelayan dan dua orang pelayan lainnya telah berada di dalam kamar.Mereka semua berpakaian rapi dan bergerak dengan sopan dalam koordinasi yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-03
  • Dimanja Suami Kontrak   Ini, Baru Nyonya Muda

    Dengan sabar dan telaten, kepala pelayan membuka kancing piyama Lura satu per satu. Tangannya bekerja tenang, tidak tergesa, dan sangat hati-hati.Lura sempat menahan napas, tubuhnya kaku. Meski ia tahu pelayan itu hanya menjalankan tugas, rasa malu tetap menyeruak.Namun saat mata mereka bertemu, kepala pelayan hanya menatapnya dalam, penuh pengertian, tanpa penilaian.Tatapan itu seolah berkata: “Tak perlu malu, Nyonya. Anda aman di sini.”Dan dengan sedikit anggukan kecil, Lura akhirnya melepaskan rasa canggungnya. Piyama yang lembut akhirnya terlepas dari tubuhnya yang ramping dan penuh luka.Dalam pantulan kaca besar kamar mandi, terlihat jelas bekas-bekas cambukan di punggungnya.Warna merahnya sudah memudar, tapi garis-garis panjang itu masih tampak nyata. Beberapa bagian mulai sembuh, namun tetap meninggalkan nyeri seperti bara yang belum padam.Lura menunduk, menahan rasa sesak yang kembali naik ke dada. Tapi kepala pelayan tidak bersuara apa-apa. Ia hanya memberi isyarat lem

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-04
  • Dimanja Suami Kontrak   Mereka Mencarimu

    Khailash lalu meremas lembut kedua pundak Lura, jemarinya yang besar terasa hangat namun tak menekan.Ia menatap Lura melalui pantulan cermin—pandangan dalam, penuh dominasi namun tak mengandung kekerasan.“Aku sengaja pulang lebih awal,” ucapnya rendah, hampir seperti bisikan, “karena ingin makan siang bersamamu. Jangan buat aku menunggu lebih lama, hm?”Nada suaranya tak memaksa, namun penuh bobot.Lura spontan mengangkat wajah, mata membulat, lalu mengangguk cepat.“I-ya… tentu.”Ia segera bangkit dari kursinya, gerakannya sedikit terburu-buru—seolah keinginan Khailash adalah perintah mutlak yang tak boleh ditunda.Namun baru selangkah ia menjauh, tangan kuat Khailash menangkap pinggulnya dan menariknya kembali dalam rengkuhan.Lura terkesiap, tubuhnya menegang. Nafasnya tercekat oleh kedekatan mereka yang begitu mendadak. Tapi sebelum ia sempat menyusun pikiran, suara pria itu kembali menyusup ke telinganya, lembut namun menancap.“Jangan gugup… apalagi takut.”Khailash memiringka

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-05
  • Dimanja Suami Kontrak   Karena Kau Istriku

    Tubuh Lura menegang saat mendengar ucapan Khailash yang barusan. Suasana ruang keluarga yang hangat dan megah itu mendadak terasa menekan. Meski ruangannya bergaya minimalis dengan sentuhan elegan—lantai marmer krem, jendela besar yang menghadap taman, dan perapian tenang di sudut ruangan—namun kata-kata pria itu mengguncang lebih dalam dari api mana pun.“Mereka mencarimu,” ulang Khailash, nada suaranya tetap tenang, tapi tajam dan tak terbantahkan.Lura tersadar dari lamunannya. Ia berbalik menatap Khailash, duduk di ujung sofa besar berwarna gelap, dengan tubuh tegap bersandar santai namun penuh kendali.“Mereka… yang kau maksud?”Khailash mengangguk, matanya tak lepas dari wajah Lura.“Pria yang kau sebut ayah. Dan bajingan yang pernah kau sebut kekasih, atau calon suami.”Lura menunduk, menggenggam jemarinya sendiri.“Aku… aku sangat malu.” Suaranya bergetar.“Malu karena pernah menganggapnya pria paling baik.”Tatapannya beralih ke Khailash, mata yang dulu sering merendah, kini

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-06

Bab terbaru

  • Dimanja Suami Kontrak   Bisakah… Aku?

    Suara desahan menggema samar, bercampur dengan nafas memburu dan gesekan sprei satin yang kusut, di dalam kamar apartemen mewah milik Jelita—apartemen yang dibelikan langsung oleh Danu untuk memanjakannya.Namun malam ini berbeda.Danu menggila.Bukan karena gairah, bukan karena rindu… tapi karena amarah yang membuncah.Tubuh Jelita berada di bawahnya, dalam posisi yang biasanya membuatnya merasa diinginkan. Tapi kali ini, ada sesuatu yang menyesakkan—energi yang keluar dari Danu bukan suka atau nafsu, tapi pelampiasan.“Kak Danu…” suara Jelita serak, mencoba mengatur nafas, tangannya menahan dada pria itu.“Tunggu… pelan sedikit. Ini—bukan seperti biasanya…”Namun Danu tak menjawab. Ia terus bergerak liar, rahangnya mengeras, matanya tak lagi memandang wajah Jelita, melainkan kosong, tajam, penuh bara.“Aku akan menghapus setiap bayang pria sialan itu dari tubuh Lura…” gumamnya seperti kerasukan, suaranya dingin dan tak terarah.Jelita tercengang, tubuhnya menegang.Lura. Lagi-lagi L

  • Dimanja Suami Kontrak   Karena Kau Istriku

    Tubuh Lura menegang saat mendengar ucapan Khailash yang barusan. Suasana ruang keluarga yang hangat dan megah itu mendadak terasa menekan. Meski ruangannya bergaya minimalis dengan sentuhan elegan—lantai marmer krem, jendela besar yang menghadap taman, dan perapian tenang di sudut ruangan—namun kata-kata pria itu mengguncang lebih dalam dari api mana pun.“Mereka mencarimu,” ulang Khailash, nada suaranya tetap tenang, tapi tajam dan tak terbantahkan.Lura tersadar dari lamunannya. Ia berbalik menatap Khailash, duduk di ujung sofa besar berwarna gelap, dengan tubuh tegap bersandar santai namun penuh kendali.“Mereka… yang kau maksud?”Khailash mengangguk, matanya tak lepas dari wajah Lura.“Pria yang kau sebut ayah. Dan bajingan yang pernah kau sebut kekasih, atau calon suami.”Lura menunduk, menggenggam jemarinya sendiri.“Aku… aku sangat malu.” Suaranya bergetar.“Malu karena pernah menganggapnya pria paling baik.”Tatapannya beralih ke Khailash, mata yang dulu sering merendah, kini

  • Dimanja Suami Kontrak   Mereka Mencarimu

    Khailash lalu meremas lembut kedua pundak Lura, jemarinya yang besar terasa hangat namun tak menekan.Ia menatap Lura melalui pantulan cermin—pandangan dalam, penuh dominasi namun tak mengandung kekerasan.“Aku sengaja pulang lebih awal,” ucapnya rendah, hampir seperti bisikan, “karena ingin makan siang bersamamu. Jangan buat aku menunggu lebih lama, hm?”Nada suaranya tak memaksa, namun penuh bobot.Lura spontan mengangkat wajah, mata membulat, lalu mengangguk cepat.“I-ya… tentu.”Ia segera bangkit dari kursinya, gerakannya sedikit terburu-buru—seolah keinginan Khailash adalah perintah mutlak yang tak boleh ditunda.Namun baru selangkah ia menjauh, tangan kuat Khailash menangkap pinggulnya dan menariknya kembali dalam rengkuhan.Lura terkesiap, tubuhnya menegang. Nafasnya tercekat oleh kedekatan mereka yang begitu mendadak. Tapi sebelum ia sempat menyusun pikiran, suara pria itu kembali menyusup ke telinganya, lembut namun menancap.“Jangan gugup… apalagi takut.”Khailash memiringka

  • Dimanja Suami Kontrak   Ini, Baru Nyonya Muda

    Dengan sabar dan telaten, kepala pelayan membuka kancing piyama Lura satu per satu. Tangannya bekerja tenang, tidak tergesa, dan sangat hati-hati.Lura sempat menahan napas, tubuhnya kaku. Meski ia tahu pelayan itu hanya menjalankan tugas, rasa malu tetap menyeruak.Namun saat mata mereka bertemu, kepala pelayan hanya menatapnya dalam, penuh pengertian, tanpa penilaian.Tatapan itu seolah berkata: “Tak perlu malu, Nyonya. Anda aman di sini.”Dan dengan sedikit anggukan kecil, Lura akhirnya melepaskan rasa canggungnya. Piyama yang lembut akhirnya terlepas dari tubuhnya yang ramping dan penuh luka.Dalam pantulan kaca besar kamar mandi, terlihat jelas bekas-bekas cambukan di punggungnya.Warna merahnya sudah memudar, tapi garis-garis panjang itu masih tampak nyata. Beberapa bagian mulai sembuh, namun tetap meninggalkan nyeri seperti bara yang belum padam.Lura menunduk, menahan rasa sesak yang kembali naik ke dada. Tapi kepala pelayan tidak bersuara apa-apa. Ia hanya memberi isyarat lem

  • Dimanja Suami Kontrak   Kasih Sayang Khailash

    Mungkin di antara semua pagi yang pernah Lura lewati dalam hidupnya—pagi-pagi penuh perintah, amarah, atau diam dingin yang mencekam di rumah keluarganya—pagi ini adalah yang paling berbeda, paling tenang, dan mungkin… paling indah.Untuk pertama kalinya, ia terbangun bukan karena teriakan, bukan karena paksaan, dan bukan karena ketakutan yang menggumpal di dada. Melainkan karena sinari matahari yang menyusup lembut lewat tirai sutra tipis, menyapa wajahnya dengan hangat.Aroma harum menguar dari sudut kamar. Perpaduan wangi lavender, bunga segar, dan kayu manis menyatu dengan kehangatan tempat tidur yang empuk. Ketika Lura membuka matanya perlahan, dunia yang menyambutnya terasa begitu asing—namun bukan dalam makna buruk. Asing yang menyamankan. Asing yang menenangkan.Dan di tengah keheningan pagi yang hampir magis itu, Lura mendapati kepala pelayan dan dua orang pelayan lainnya telah berada di dalam kamar.Mereka semua berpakaian rapi dan bergerak dengan sopan dalam koordinasi yang

  • Dimanja Suami Kontrak   Masihkah Kau Menganggapnya Ayah?

    Lura perlahan membuka mata saat bertemu tatap dengan Khailash, napasnya masih lemah, namun kesadarannya mulai pulih sedikit demi sedikit. Pandangannya kabur sesaat, tapi sosok tegap di hadapannya tak mungkin ia salah kenali.Khailash baru saja keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk putih yang melilit rapi di pinggangnya. Tetes air masih mengalir di kulitnya, membentuk jejak di otot-otot dadanya yang bidang dan perut berotot sempurna.Lura menatapnya lirih, matanya berkedip pelan, nyaris tidak percaya dengan pemandangan di depannya.Khailash berjalan mendekat dengan langkah tenang dan percaya diri. Ia menyadari bahwa Lura sudah terjaga. Dengan ekspresi tenang namun penuh penegasan, ia berkata, “Kita suami istri. Mulai sekarang, kau harus terbiasa dengan apa pun yang akan kau lihat dariku.”Kata-katanya tidak bernada keras, namun jelas. Bukan sekadar peringatan, tapi pernyataan akan kedekatan yang tidak bisa dihindari—karena ikatan mereka kini sah.Khailash lalu menunduk sedik

  • Dimanja Suami Kontrak   Itu Sumpahku

    Khailash membaringkan Lura dengan sangat hati-hati di atas ranjang besar berlapis seprai linen putih bersih. Gerakannya pelan, nyaris lembut, seolah takut menyakiti wanita yang kini telah sah menjadi istrinya.Wajah Lura masih pucat, napasnya berat dan tidak stabil. Matanya tertutup rapat, tubuhnya tak bergerak.Tanpa berkata apa pun, Khailash berdiri, lalu melepas jasnya dan melemparkan asal ke kursi di sudut ruangan. Tangan terampilnya membuka dua lapis rompi satu per satu, kemudian dua kancing atas kemejanya, membiarkan udara dingin ruangan menenangkan kulitnya yang mulai terasa tegang.Ia lalu berlutut, melepas sepatu Lura perlahan, hati-hati, sebelum menarik selimut hingga menutupi tubuh mungil istrinya yang tampak kelelahan luar biasa.Setelah memastikan Lura nyaman, ia melangkah ke arah pintu dan memanggil asistennya yang sudah menunggu di luar.“Panggilkan dokter Willi. Segera.”Nada suaranya dalam dan tegas, tidak membuka ruang tunda sedikit pun.Asisten itu segera mengangguk

  • Dimanja Suami Kontrak   Ia Mencium Lura

    Tanpa ragu, ia merogoh dompetnya dan membayar tagihan taksi. Setelah itu, dengan langkah terseok, ia keluar dari mobil, menyeret koper kecilnya menuju pos pengamanan di depan gerbang.Seorang penjaga berdiri tegak di sana, mengamati kedatangannya dengan ekspresi netral.Lura tidak banyak bicara. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengulurkan kartu nama yang sejak tadi ia genggam erat.Penjaga itu melirik kartu nama tersebut, lalu tanpa bertanya lebih lanjut, ia menekan tombol di panel keamanan. Gerbang besar itu terbuka.“Silakan masuk, Nona. Saya bisa membawakan koper anda,” ucapnya dengan sopan.Lura menggeleng lemah. “Tidak perlu, terima kasih.”Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia melangkah masuk, mengikuti jalan setapak yang mengarah ke pintu utama rumah itu.Setibanya di depan pintu, seorang pelayan paruh baya sudah berdiri menunggunya. Wajahnya ramah, tetapi tetap formal. Tanpa bertanya, pelayan itu membuka pintu dan mengisyaratkan agar Lura mengikutinya.Langkah Lura te

  • Dimanja Suami Kontrak   Murka Keluarga

    Lura membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir. Matanya membulat ketakutan saat menyadari bahwa ayahnya tidak main-main. Ia menelan ludah, tubuhnya gemetar, seakan kakinya tidak lagi mampu menyangga dirinya sendiri.“A-Ayah…” suaranya bergetar, hampir tak terdengar. Ia menggeleng cepat, air matanya semakin deras, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. “Jangan… A-Ayah, aku mohon…”Namun, pria itu seperti kesetanan. Mata ayahnya merah oleh kemarahan, rahangnya mengatup keras, dadanya naik-turun karena nafas yang memburu. Tidak ada belas kasihan di wajahnya, hanya amarah yang meluap-luap.Salah satu pelayan yang mendengar perintah itu menelan ludah, wajahnya pucat pasi. Dengan tangan gemetar, ia segera berbalik, melangkah menuju ruangan lain untuk mengambil benda yang diperintahkan tuannya.Sementara Danu tetap berdiri dengan tenang, menyaksikan semua itu dengan tatapan dingin. Tidak ada keterkejutan di wajahnya. Bahkan, di balik sorot matanya yang tajam, ada kepuasan yang terpendam.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status