Khailas menatap Lura yang wajahnya sedang diliputi kebimbangan. Sorot matanya penuh ketenangan, tapi tegas, seolah ingin memberi istri yang dicintainya itu sandaran paling kokoh. Suaranya rendah namun tajam, “Keputusan ada di tanganmu. Pilih penyesalan yang lebih kecil,” ucapnya lagi.Lura mengerutkan kening, menoleh penuh tanya pada Khailas. “Apa maksudmu? Katakan lebih jelas,” pintanya, karena ia tahu, setiap kata Khailas selalu memiliki bobot yang dalam.Khailas menarik napas dan membuangnya pelan, kemudian berkata, “Coba tanya hatimu. Kalau kau tetap bertahan dengan pilihanmu sekarang, apakah di kemudian hari kau akan menyesalinya atau tidak? Sebab bisa jadi ini pertemuan terakhir. Dan kalau itu terjadi, penyesalan itu tidak bisa ditebus sampai kapan pun.” Ucapannya terukur, namun cukup menusuk Lura.Wanita itu menunduk, hatinya dilanda badai. Ia sadar benar arah pembicaraan ini, ayahnya. Pertemuan terakhir yang masih ia ragu untuk hadiri. Dengan suara lirih ia berbisik, “Kau seo
Lura masih berada dalam dekapan Khailas, tubuhnya lelah, namun ada sinar cinta yang terpancar jelas dari matanya. Nafasnya teratur meski berat, lalu dengan suara yang bergetar namun penuh ketulusan, ia berkata, “Terima kasih karena mengizinkanku mencintaimu. Terima kasih juga karena memilihku menjadi satu-satunya wanita dalam hidupmu. Jujur, aku tidak lagi meratapi nasibku setelah bertemu denganmu… setelah jatuh cinta padamu. Aku justru berterima kasih pada Tuhan karena mentakdirkanku menjadi aku, menjadi Lura. Lura yang akhirnya dipertemukan denganmu. Yang dijadikan istri, yang begitu dimanjakan olehmu. Walaupun pernikahan kita ini dulu hanya berdasarkan kontrak.”Suara itu lirih, namun penuh kekuatan. Ada haru yang memancar dari cara Lura menatap Khailas, seakan seluruh luka masa lalunya luruh, terganti dengan rasa syukur. Ia merasakan dirinya tak lagi seorang perempuan yang tak dianggap, melainkan seorang istri yang dipeluk dengan seluruh keberadaan.Khailas, yang sejak tadi mengus
Lura menarik tangan Khailas hingga ke lantai dua, melewati koridor panjang yang familiar namun asing baginya. Kakinya berhenti tepat di depan sebuah pintu yang pernah menjadi tempat ia menghabiskan sebagian besar masa mudanya. Dengan ragu, ia memutar gagang pintu. Begitu pintu terbuka, aroma parfum yang sangat dikenalnya menyambut lembut.Lura tertegun, seolah ditarik kembali pada masa lalu. Sudah berbulan-bulan kamar ini tak ditempati, sejak ia pergi dari rumah itu. Bagaimana mungkin aroma parfumnya masih tertinggal? pikirnya. Ia menoleh cepat pada Khailas, tatapannya penuh tanda tanya. “Kau yang melakukannya?” tanyanya lirih, tapi penuh keyakinan.Khailas tidak langsung menjawab. Pria itu melangkah masuk lebih dulu, pandangannya menyapu setiap sudut kamar. Kamar itu luas, tapi tidak cukup mewah untuk ukuran rumah sebesar ini. Perabotannya sederhana, lebih mirip kamar tamu daripada kamar putri keluarga kaya. Khailas mengangkat wajah, menatap Lura sambil bertanya dengan nada tenang, “
Lura menutup pintu ruangan ayahnya dengan tenang, langkah anggunnya terdengar pelan di atas lantai marmer. Di ranjang, Kuncoro terbaring dengan wajah pucat, tubuhnya rapuh, namun matanya masih menyala ketika menatap anak sulungnya. Ada keterkejutan, ada ketidakpercayaan. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia melihat Lura dari sudut pandang berbeda.“Kau terlihat seperti ibumu,” ucapnya serak, seolah baru menyadari sesuatu. “Kau menuruni segalanya darinya. Baguslah.”Lura menatap datar, tatapannya menusuk tanpa amarah, hanya dingin yang penuh luka. Bibirnya bergerak pelan, “Satu-satunya yang kusyukuri terlahir sebagai anakmu adalah… aku memiliki semua yang ibuku miliki. Dan aku juga bersyukur tidak menuruni apapun darimu.”Kuncoro terdiam. Kata-kata itu lebih menyakitkan daripada hinaan, karena ia tahu, itu adalah kebenaran yang lahir dari luka panjang.Lura mengalihkan pandangan, menatap sekeliling kamar yang penuh fasilitas mewah, ruangan terbaik rumah sakit, dengan peralatan medis te
Lura berjingkat kaget ketika merasakan kehangatan tubuh Khailas menyelimuti dari belakang. Pelukan itu tidak menekan, namun kokoh, seperti dinding yang melindungi dari segala badai. Nafas pria itu berhembus lembut di sisi telinganya saat ia bertanya dengan suara rendah, lembut, namun tetap membawa ketegasan yang khas.“Apa yang kau pikirkan, Allura? Hm… atau apa yang kau inginkan dariku? Katakan, kau akan mendapatkannya, sesuai sumpahku.”Tubuh Lura perlahan merileks. Dari kaku dan tegang, ia mulai melebur dalam dekapan itu. Tatapannya jatuh pada tangan Khailas yang bertengger di perutnya, tangan kokoh, hangat, yang seolah bisa menenangkan gemuruh di dadanya. Ia menarik napas pelan sebelum berbisik, “Aku tidak menginginkan apa pun yang mudah kau berikan.”Khailas menunduk sedikit, mengecup lembut pundaknya sebelum bertanya lagi, “Lalu… apa yang sulit kudapatkan tapi kau inginkan?”Dengan gerakan pelan, Lura berbalik. Pinggulnya bersandar pada pagar balkon, wajahnya kini menghadap Khai
Kuncoro terdiam di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat, nafasnya tersengal, namun matanya terpaku pada sosok yang berdiri tegak di hadapannya. Tatapan itu, tatapan yang memandangnya dari atas, tanpa ampun, membuatnya semakin sulit berkata-kata. Dalam kepalanya, pertanyaan berputar tanpa henti, bagaimana mungkin pria ini… pria dengan aura dingin, berwibawa, dan kharisma yang mematahkan keangkuhan siapapun, adalah suami putrinya?Selama ini, ia mengira Allura hanya menjadi simpanan seorang pria tua kaya, atau paling banter, peliharaan sementara yang akan dibuang setelah bosan. Ia bahkan pernah meyakinkan dirinya bahwa itulah takdir anaknya, takdir yang pantas untuknya. Tapi kini, semua persepsi itu runtuh.Khailas berdiri di sana, mengenakan jas hitam yang jatuh sempurna di tubuh tegapnya, tangan terlipat di depan dada. Pandangannya menembus Kuncoro, seolah bisa membedah seluruh lapisan jiwa dan menemukan bagian yang paling rapuh, lalu menginjaknya tanpa ragu.“Aku mengerti tatapan itu,