Arlene yang sedang digendong Sean pun cemberut dan berkata dengan nada lembut, "Papa, ada paman aneh yang mengikuti Mama sejak kemarin, dia bilang ada orang yang ingin bertemu dengan Mama. Saat itu Mama dijemput Kakek pergi, tapi tadi aku lihat dia masih mengikuti Mama di bandara."Setelah mengatakan itu, Arlene mengangkat tangannya yang lucu dan meletakkannya di wajah Sean yang dingin. "Papa, kamu harus melindungi Mama ya."Kata-kata Arlene membuat Sean mengernyitkan alisnya, lalu memalingkan wajahnya ke arah Tiffany untuk memastikan kebenarannya.Tiffany yang tidak memiliki pilihan lain lagi hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan pasrah, lalu menganggukkan kepala untuk mengiakan. "Ya. Tapi, hari ini dia mungkin bukan untuk mengikutiku, hanya kebetulan saja. Dia bilang tuannya mengenalku karena dulu kami teman sebangku."Setelah mengatakan itu, Tiffany tersenyum dengan pasrah. "Aku nggak menanggapinya dengan serius. Saat sedang belajar di Kota Maheswari, teman-temanku semuanya pend
Karena pernikahan Xavier dan Miska sudah selesai dan Xavier sendiri juga sudah sadar, Tiffany berpikir dia harusnya bisa kembali menjalani hidupnya dengan baik. Bagaimanapun juga, dia sudah tidak masuk kerja di lembaga penelitian selama setengah bulan lebih.Namun, Tiffany tidak menyangka akan bertemu dengan pria berpakaian hitam yang semalam mencarinya di pintu keluar setelah pesawat mendarat di bandara Kota Aven."Nona Tiffany, kita bertemu lagi. Sungguh kebetulan," sapa pria berpakaian hitam itu sambil menatap Tiffany dengan tatapan yang tetap ramah."Kebetulan ya?" kata Tiffany. Dia tidak merasa pertemuan ini hanya kebetulan, dia pasti sudah diikuti.Pria itu tersenyum. "Nona Tiffany nggak perlu begitu waspada, aku datang ke Kota Aven hanya untuk mengurus tugas dari tuanku. Benar-benar hanya kebetulan."Setelah itu, pria itu tersenyum pada Tiffany. "Aku pergi dulu ya."Selesai mengatakan itu, pria itu langsung pergi meninggalkan Tiffany.Tiffany yang berdiri di tempat pun cemberut,
Tiffany mengernyit, benar-benar tidak bisa mengingat kapan dirinya pernah punya teman sebangku yang punya latar belakang sehebat ini. Saat dia hendak menolak lagi, Bronson sudah mengemudikan mobil keluar dari area basemen.Dia menggigit bibir. Sambil menggandeng dua anaknya ke mobil, dia menoleh ke arah pria berbaju hitam di belakangnya dan berucap, "Tolong sampaikan pada tuanmu, aku masih punya urusan pribadi yang harus diurus. Kalau dia mau mencariku, serahkan saja semuanya kepada takdir."Setelah itu, Tiffany langsung membuka pintu dan masuk ke mobil.Si pria berbaju hitam mengernyit, hendak mengatakan sesuatu, tetapi mobil Bronson sudah melaju pergi."Orang tadi siapa?" tanya Bronson sambil menyetir. Suaranya terdengar tenang.Tiffany menggeleng. "Nggak kenal. Katanya, tuannya ingin bertemu denganku. Dia juga bilang dulu kami pernah jadi teman sebangku."Dia mengangkat bahu dengan tak berdaya. "Waktu aku sekolah dulu, semua teman sebangkuku adalah anak-anak dari desa sekitar Kota M
"Jangan keras kepala ya!"Tiffany tak tahu harus tertawa atau menangis. "Ayah, bukankah dulu Ayah bilang jangan terlalu mudah berdamai dengan Sean?"Bronson mengernyit. "Memang dulu aku bilang begitu, tapi kamu juga nggak dengar. Sekarang aku sudah paham.""Seumur hidupku, aku nggak pernah menghargai waktu bersamamu dan ibumu. Itulah kenapa sekarang aku menyesal dan merasa sangat sedih.""Kamu berbeda. Kamu dan Sean masih punya masa depan yang panjang. Kalau bisa bersama terus, jangan pernah berpisah."Tiffany hanya bisa menggeleng dengan pasrah. "Sebenarnya aku berniat pulang besok."Kemudian, dia melirik Bronson dengan kesal. "Aku cuma ingin lebih lama satu hari sama Ayah. Ayah nggak senang ya? Kenapa malah usir aku?""Bukan mau usir." Bronson menarik napas dalam-dalam. "Aku juga berniat tinggalkan Kota Zimbab besok.""Tentang kebenaran insiden yang menimpa ibumu dulu dan dendam terhadap Keluarga Tanuwijaya, sudah saatnya aku menjelaskan semuanya pada orang-orang di rumah. Selain itu
Setelah makan siang, Bronson mulai bersiap membawa semua orang pergi ke Cartoon City. Meskipun Tiffany sangat ingin mengganti baju dan gaya rambutnya, semua orang tidak setuju.Bronson berkata, "Kamu kelihatan cantik banget seperti ini."Sean berujar, "Jangan diganti, sesekali merasa muda lagi itu bagus juga."Arlo mendengus. "Hmph, ganti baju itu merepotkan. Bu Tiffany, jangan buat ribet!"Arlene memelas, "Huhu .... Mama jangan ganti ya. Mama kelihatan cantik banget kayak Arlene!"Tiffany sungguh kehabisan kata-kata menghadapi empat orang yang tidak bisa dilawannya ini. Walaupun dalam hati agak kesal, Tiffany hanya bisa menurut. Dengan memakai gaun putri dan rambut dikepang dua, dia naik ke mobil.Cartoon City tidak jauh dari hotel tempat Bronson menginap, jadi keluarga kecil itu sampai dalam waktu singkat.Sesampainya di sana, Tiffany menggendong Arlene, Sean menggandeng tangan Arlo, dan Bronson berjalan di belakang mereka. Melihat anak-anak di hadapannya, senyuman kecil muncul di su
"Adikku masak untuk istrinya, aku punya suami yang masak untukku, kenapa aku harus marah?" Selesai berkata begitu, Sanny mendongak memandang Conan. "Makanannya sudah siap belum? Aku lapar."Conan tertegun sejenak. "Su ... sudah."....Di hotel, saat Sean meletakkan hidangan terakhir di atas meja, Bronson baru saja selesai mengepang rambut Tiffany. Dua kuncir kepang yang persis dengan Arlene.Meskipun Tiffany sudah berusia 25 tahun, wajah bulatnya yang imut seperti boneka membuatnya tampak seperti siswi SMA yang berusia belasan tahun saat dikepang seperti itu.Untuk menyempurnakan penampilan tersebut, Bronson bahkan mengambil gaun kecil yang sudah disiapkan sebelumnya dan menyuruh Tiffany memakainya."Sayang." Dengan gaun putih model putri dan rambut dikepang dua, Tiffany berdiri malu-malu di depan Sean dan menatapnya. "Aku kelihatan ... kekanak-kanakan nggak sih?"Saat berusia 16 atau 17 tahun, dia bahkan belum pernah memakai gaun seperti ini. Waktu itu, dia hidup di desa. Penghasilan