“Hm! Memangnya kenapa? Aku kan juga putrinya.”Nada suara Adelia terdengar dingin tapi penuh kepastian, matanya menatap tajam ke arah Nayla yang berdiri membeku di depannya bersama Evan. “Memangnya salah, kalau aku ingin menggantikan posisi ayahku sendiri, saat kamu, putrinya yang lain tidak mampu?” lanjut Adelia dengan enteng, seolah berkata sesuatu yang sudah jelas dan tak terbantahkan.Nayla mematung, dadanya berdebar tak menentu. Wajahnya yang biasa tenang kini berubah menjadi campuran antara kesal yang sulit ditahan. Dia menundukkan kepala sebentar, mencoba menahan amarah yang mulai membara.Di samping Adelia, Marissa melangkah maju dengan langkah mantap. Senyum sinis terlukis di bibirnya, sorot matanya tajam dan penuh kemenangan. “Iya, benar yang dikatakan Adelia,” ucap Marissa dengan nada congkak, seolah ingin menegaskan dominasi mereka di hadapan Nayla dan Evan. “Dia juga kan putri di rumah ini,” tambah Marissa lagi, menegaskan status Adelia sebagai bagian dari keluarga, me
“Jadi, selama ini kamu berpura-pura buta?”Nayla tertegun menatap Evan dengan rasa tak percaya, matanya yang mulai berkaca-kaca dan penuh amarah sekaligus kekecewaan. Tapi amarahnya mulai mereda, diganti oleh kebingungan yang mendalam. Dia menatap Evan semakin dalam, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya. Tidak buta? Semua ini adalah sebuah kebohongan?Evan mengangguk, matanya menatap Nayla dengan penuh penyesalan. “Aku melakukannya untuk memastikan kebusukan anggota keluargaku sendiri, Nayla. Aku harus tahu, apakah mereka benar-benar keluargaku, atau hanya lintah yang ingin menghisap darahku sampai habis.”“Keluargamu?” Nayla mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Evan menarik napas dalam, mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan semuanya. “Iya, keluargaku sendiri. Aku banyak kecurigaan terhadap keluargaku sendiri, terutama paman. Semenjak kematian Ibu dan ayahku, dia selalu ingin menguasai perusahaan. Dia melakukan banyak hal yang tidak benar secara diam-diam, te
“Evan, bagaimana kalau setelah ini, kita liburan?”Nayla mengusulkan dengan suara bersemangat yang hampir tak bisa disembunyikan. Matanya berbinar penuh harap, seolah membayangkan kebahagiaan yang akan mereka petik bersama. Evan membalas dengan senyum tipis, penuh kehangatan yang jarang tampak di wajahnya. Perlahan, tangannya menyentuh pinggang Nayla, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka bersatu dalam pelukan hangat. Dan Evan menatap dalam mata Nayla dengan penuh hasrat.“Apa kamu ingin kita merencanakan bulan madu, Nayla? Emmc ….”Kalimat Evan terhenti saat Nayla tiba-tiba mendorong dadanya dengan lembut tapi tegas, membebaskan Nayla dari pelukan yang mulai membuat istrinya itu merasa malu. Pipi Nayla memerah, tatapannya melirik ke sekelilingnya, menyadari keberadaan beberapa pasang mata yang diam-diam mengamati mereka. “Evan, mereka melihat ke arah kita!” bisik Nayla pelan, suaranya sedikit bergetar karena menahan rasa malu. Nayla menundukkan kepala sejenak, menarik napas d
“Maaf. Aku tidak bermaksud ….”Kalimat Evan menggantung, mencerminkan ketidaknyamanannya atas kesalahannya sendiri. Dia lalu menoleh pada Nayla, raut wajahnya menunjukkan penyesalan yang mendalam.“Maaf, Nay. Aku salah bicara,” kata Evan mengulangi.Dia tahu kalau perkataannya tadi memang kurang tepat, dan telah melukai perasaan Nayla dan Vania.Vania menghela napas panjang. Tatapannya dalam dan penuh kasih kepada Evan, diiringi dengan suaranya yang mengalun lembut.“Evan, jangan merasa rendah diri. Nenek mohon!” kata Vania, suaranya sedikit bergetar namun penuh penekanan. “Kamu harus ingat, Nayla tidak akan sampai bisa di titik ini, tanpa dukunganmu, suaminya.”Vania menghela napas panjang, dan menjeda kata-katanya sejenak. Tatapannya semakin dalam, sebelum dia akhirnya melanjutkan lagi.“Justru, Nenek sangat bersyukur karena Nayla mendapatkan sosok suami sebaik kamu?” lanjut Vania, senyum dan tatapannya tulus, memancarkan rasa terima kasih pada Evan.Nayla ikut menyambung. “Benar it
“Dia di ruangannya?” Nayla menatap pelayan dengan mata yang berbinar-binar, seolah ingin memastikan kabar itu benar. Pelayan itu mengangguk pelan, tanpa kata. Senyum Nayla langsung merekah, penuh semangat yang tak terbendung. “Evan!” seru Nayla.Langkahnya ringan saat dia menyusup masuk ke ruang Evan. Di dalam, Evan yang sedang duduk terkejut mendengar suara itu, cepat menoleh ke arah Nayla. “Nayla.” Suara Evan pelan. Namun, raut wajahnya penuh keterkejutan.Senyum Nayla merekah sesaat, lalu mengendur perlahan ketika melihat Evan meraba wajahnya tanpa bisa melihat. Dia tahu, tak ada gunanya menunjukkan ekspresinya sekarang. “Sayang, kamu sudah pulang?” tanya Evan.Tangannya meraba-raba mencoba mencari tangan Nayla. Nayla mendekat, menggenggam tangan suaminya dengan lembut. “Iya, aku sudah pulang, Evan,” ucap Nayla.Dia membimbing Evan kembali ke kursi dengan hati-hati. Mata Evan tetap menelusuri ruang di sekitar mereka.“Bagaimana kata dokter Viranda? Apa semuanya baik-baik s
“Evan … kamu ….”“Syuutt … kamu istirahat saja, Nay. Jangan bergerak dulu.”Evan duduk di samping tempat tidur Nayla, jari-jarinya perlahan menyisir rambut yang terbungkus perban tebal. Matanya menatap tajam tapi penuh lembut, seolah ingin menyuntikkan kekuatan lewat tatapannya. “Nay ...” Evan kembali bersuara dengan nada pelan, seolah takut membuyarkan suasana tenang di ruang rawat itu. Nayla mengerang pelan, suara seraknya pecah. “Bagaimana operasinya?” tanya Nayla.Tersirat kecemasan yang tersimpan di balik kelopak mata yang mulai berkaca. Evan tersenyum tipis, senyum yang jarang tampak, kini terlihat jelas dan lebih ramah, lebih hangat dari biasanya. “Tenang saja, Nay. Operasinya lancar. Semua akan baik-baik saja,” ujar Evan, nada suaranya mengalir lembut.Nayla menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca, seolah beban di dadanya sedikit terangkat. Dia menatap langit-langit putih yang dingin, tubuhnya masih terikat perban, tapi hatinya mulai merasakan harapan.Evan mengan