“Baiklah. Kalau begitu, kami berdua akan sering menjenguk Ibu. Kami akan memastikan kalau Ibu baik-baik saja di sini.”Evan berkata lembut, mencoba mencairkan suasana. Namun, keheningan terasa menyelimuti ruangan sesaat setelah Evan mengatakan hal itu.Nasyila tersenyum lemah, tangannya masih menggenggam tangan Nayla. Lalu menatap Evan dengan penuh haru sambil mengangguk pelan.“Terima kasih, Nak Evan. Terima kasih banyak,” ucap Nasyila.Setelah beberapa saat berbincang, Nayla dan Evan pamit pulang. Di perjalanan pulang, suasana di dalam mobil terasa berat. Nayla bersandar di bahu Evan, merasakan letih di pikiran juga fisiknya.“Aku merasa tidak berdaya, Evan. Aku tetap nggak bisa tenang, kalau membiarkan ibu tetap bersama mereka,” bisik Nayla.Evan mengusap lembut rambut Nayla. “Aku tahu, Sayang. Tapi kita harus menghormati keputusan Ibu. Kita tidak bisa memaksanya.”Nayla mengangguk pasrah, kepalanya semakin membenam ke dada Evan. Merasakan hangat dan nyaman bersandar di dada bidang
“Tentu saja aku akan membuktikannya!”Nayla menatap tajam ke arah Adelia yang mengerutkan dahinya, sementara Marissa berdiri di depannya dengan senyum sini. Namun, Nayla dengan dada yang sedikit membusung, mengangkat dagunya, menampakkan tekad yang membara menerima tantangan Adelia.Evan masih setia di samping Nayla, bahunya tegap tapi kedua tangannya terkepal erat, mencoba mengontrol emosinya.“Kalau begitu buktikan!” Adelia melangkah maju, ikut membusungkan dadanya, mencoba menekan Nayla dengan tantangannya.Namun, Nayla tidak gentar sedikitpun. Sebaliknya, memperlihatkan bahwa tekanan itu malah membuatnya semakin menunjukkan kemampuan dirinya.Sebelum Nayla sempat membalas kata-kata Adelia, Evan maju selangkah, lalu menyelak dengan tegas.“Tidak perlu kamu suruh juga, dia pasti akan membuktikannya!”Sorot mata tajam Evan mengunci Adelia dari balik kacamata hitamnya.Nayla menghembuskan napas dalam-dalam. “Benar! Nggak perlu kamu suruh juga pasti aku buktikan!” Nayla ikut menambah
“Hm! Memangnya kenapa? Aku kan juga putrinya.”Nada suara Adelia terdengar dingin tapi penuh kepastian, matanya menatap tajam ke arah Nayla yang berdiri membeku di depannya bersama Evan. “Memangnya salah, kalau aku ingin menggantikan posisi ayahku sendiri, saat kamu, putrinya yang lain tidak mampu?” lanjut Adelia dengan enteng, seolah berkata sesuatu yang sudah jelas dan tak terbantahkan.Nayla mematung, dadanya berdebar tak menentu. Wajahnya yang biasa tenang kini berubah menjadi campuran antara kesal yang sulit ditahan. Dia menundukkan kepala sebentar, mencoba menahan amarah yang mulai membara.Di samping Adelia, Marissa melangkah maju dengan langkah mantap. Senyum sinis terlukis di bibirnya, sorot matanya tajam dan penuh kemenangan. “Iya, benar yang dikatakan Adelia,” ucap Marissa dengan nada congkak, seolah ingin menegaskan dominasi mereka di hadapan Nayla dan Evan. “Dia juga kan putri di rumah ini,” tambah Marissa lagi, menegaskan status Adelia sebagai bagian dari keluarga, me
“Jadi, selama ini kamu berpura-pura buta?”Nayla tertegun menatap Evan dengan rasa tak percaya, matanya yang mulai berkaca-kaca dan penuh amarah sekaligus kekecewaan. Tapi amarahnya mulai mereda, diganti oleh kebingungan yang mendalam. Dia menatap Evan semakin dalam, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya. Tidak buta? Semua ini adalah sebuah kebohongan?Evan mengangguk, matanya menatap Nayla dengan penuh penyesalan. “Aku melakukannya untuk memastikan kebusukan anggota keluargaku sendiri, Nayla. Aku harus tahu, apakah mereka benar-benar keluargaku, atau hanya lintah yang ingin menghisap darahku sampai habis.”“Keluargamu?” Nayla mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Evan menarik napas dalam, mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan semuanya. “Iya, keluargaku sendiri. Aku banyak kecurigaan terhadap keluargaku sendiri, terutama paman. Semenjak kematian Ibu dan ayahku, dia selalu ingin menguasai perusahaan. Dia melakukan banyak hal yang tidak benar secara diam-diam, te
“Evan, bagaimana kalau setelah ini, kita liburan?”Nayla mengusulkan dengan suara bersemangat yang hampir tak bisa disembunyikan. Matanya berbinar penuh harap, seolah membayangkan kebahagiaan yang akan mereka petik bersama. Evan membalas dengan senyum tipis, penuh kehangatan yang jarang tampak di wajahnya. Perlahan, tangannya menyentuh pinggang Nayla, menariknya lebih dekat hingga tubuh mereka bersatu dalam pelukan hangat. Dan Evan menatap dalam mata Nayla dengan penuh hasrat.“Apa kamu ingin kita merencanakan bulan madu, Nayla? Emmc ….”Kalimat Evan terhenti saat Nayla tiba-tiba mendorong dadanya dengan lembut tapi tegas, membebaskan Nayla dari pelukan yang mulai membuat istrinya itu merasa malu. Pipi Nayla memerah, tatapannya melirik ke sekelilingnya, menyadari keberadaan beberapa pasang mata yang diam-diam mengamati mereka. “Evan, mereka melihat ke arah kita!” bisik Nayla pelan, suaranya sedikit bergetar karena menahan rasa malu. Nayla menundukkan kepala sejenak, menarik napas d
“Maaf. Aku tidak bermaksud ….”Kalimat Evan menggantung, mencerminkan ketidaknyamanannya atas kesalahannya sendiri. Dia lalu menoleh pada Nayla, raut wajahnya menunjukkan penyesalan yang mendalam.“Maaf, Nay. Aku salah bicara,” kata Evan mengulangi.Dia tahu kalau perkataannya tadi memang kurang tepat, dan telah melukai perasaan Nayla dan Vania.Vania menghela napas panjang. Tatapannya dalam dan penuh kasih kepada Evan, diiringi dengan suaranya yang mengalun lembut.“Evan, jangan merasa rendah diri. Nenek mohon!” kata Vania, suaranya sedikit bergetar namun penuh penekanan. “Kamu harus ingat, Nayla tidak akan sampai bisa di titik ini, tanpa dukunganmu, suaminya.”Vania menghela napas panjang, dan menjeda kata-katanya sejenak. Tatapannya semakin dalam, sebelum dia akhirnya melanjutkan lagi.“Justru, Nenek sangat bersyukur karena Nayla mendapatkan sosok suami sebaik kamu?” lanjut Vania, senyum dan tatapannya tulus, memancarkan rasa terima kasih pada Evan.Nayla ikut menyambung. “Benar it