“Pokoknya aku enggak mau menikah sama Bian. Dia kan Cuma asisten Papa, enggak selevel sama aku!” seru Ajeng sembari melipat kedua tangannya di dada. Tidak terima dijodohkan dengan pegawai papanya.
“Harus! Keputusan papa tidak bisa diganggu gugat lagi, Ajeng. Bian adalah lelaki yang tepat untuk kamu,” tegas Himawan.“Papa kok gitu, sih? Yang mau menikah kan aku.” Ajeng berulang kali mengembuskan napas dengan kasar. Dadanya naik turun, menahan kesal.“Menikah dengan Bian atau semua fasilitas kamu akan papa tarik!” ancam Himawan. Sudah cukup dirinya memanjakan Ajeng. Himawan ingin agar anaknya bisa berubah. Untuk itu, dia meminta Bian untuk menjadi suami Ajeng.Himawan berharap Bian bisa membimbing dan mengubah sikap Ajeng menjadi lebih baik.“Papa mengancamku? Oke, silakan! Kita lihat saja, Papa atau aku yang menang.” Ajeng balik mengancam.Dia percaya kalau ucapan papanya hanya gertakan saja. Selama ini Ajeng sudah sering diancam seperti itu, dan nyatanya tidak pernah terjadi. Ajeng merasa yakin, papanya tidak akan tega membuat anak kesayangannya menderita.Ajeng menyambar tas jinjing miliknya yang di letakkan di sofa. Dengan kesal, dia melangkah keluar dari ruang kerja papanya.“Ajeng?” panggil Himawan. Laki-laki paruh baya itu menyusul Ajeng. Namun berhenti dan berdiri di depan pintu.Ajeng diam tidak menjawab. Dia terus melangkahkan kakinya menjauh dari ruangan Himawan.“Kembali Ajeng!” Himawan kembali berseru.Sementara yang dipanggil lambat laun menghilang dari pandangan.Himawan menghela napas panjang, tangannya menggenggam erat gagang pintu. Sengaja dia tidak menyusul Ajeng, membiarkan puterinya itu pergi begitu saja.“Mana mobilku?” Ajeng celingukan setelah sampai tempat parkir.Satpam di toko furniture milik Himawan menghampiri Ajeng.“Maaf, Mba Ajeng. Tadi mobilnya dibawa sama mas Bian,” ucapnya.“Apa?” pekik Ajeng.“Kok bisa, sih? Dia kan enggak punya kuncinya?” Ajeng berkacak pinggang.“Katanya disuruh sama Tuan,” jawab si satpam dengan perasaan takut.“Sialan! Rupanya papa tidak main-main!” gerutu Ajeng. Perempuan itu membalikkan badan, menatap bangunan toko mebel besar milik papanya. Perempuan itu berucap dalam hati, kalau dia akan benar-benar kabur dari rumah.Saat ini Ajeng tidak tahu apa yang harus dilakukan. Satu-satunya orang yang terlintas di pikirannya adalah Steven, pacar barunya. Ajeng mengambil ponselnya di dalam tas kemudian menghubungi Steven. Dia meminta laki-laki itu untuk menjemputnya sekarang.Beruntung, Steven langsung mengiyakan permintaan Ajeng dan segera menuju ke tempat Ajeng berada. Tidak butuh waktu lama bagi Ajeng untuk menunggu kedatangan Steven. Laki-laki itu datang dengan kuda besinya berwarna merah maroon. Ajeng langsung masuk ke dalam mobil dengan ekspresi wajah yang merengut. Jelas membuat tanda tanya bagi Steven.“Ada masalah, sayang?” tanya Steven. Merasa aneh karena melihat wajah Ajeng yang ditekuk cemberut.“Nanti aku ceritakan. Yang penting kita pergi dari sini,” jawab Ajeng.Steven menghadap Ajeng. Dia memberikan senyuman termanisnya. “Ya udah, kita mau ke mana?”“Terserah. Yang penting bisa mencerahkan pikiranku,” ucap Ajeng. Perempuan itu mengurut pelipisnya.“Bukannya kamu habis liburan dari Singapura, Sayang? Kok malah enggak happy gitu?” tanya Steven.Ajeng mendesah kasar, lalu menyenderkan bahunya ke belakang.“Boro-boro liburan. Yang ada disuruh pulang buat nikah,” kesal Ajeng.“Apa? Nikah?” Kedua mata Steven melebar.“Papa bohong sama aku. Ternyata dia enggak masuk rumah sakit. Padahal aku udah pengen lihat acara fashion week di sana. Demi papa aku langsung pulang. Enggak tahunya, Cuma akal-akalan papa buat nyuruh aku nikah,” jelas Ajeng. Raut wajahnya semakin terlihat kesal.Bagaimana tidak, rencananya untuk liburan selama satu bulan di Singapura harus gagal. Karena papanya sendiri telah memberikan kabar bohong.“Terus, kamu mau?” tanya Steven dengan nada yang tinggi. Dia khawatir, pacarnya mau menikah dengan pilihan orang tuanya.“Ya enggaklah,” jawab Ajeng.“Kamu tahu, kan? Siapa yang sebenarnya aku inginkan? “ Ajeng menoleh lalu memberikan senyuman yang lebar pada Steven.”Udah, buruan kita pergi dulu dari sini. Bawa aku ke mana saja, aku ikut denganmu.” Ajeng menatap lembut Steven. Dia berharap laki-laki itu paham dengan apa yang dimaksudnya.Steven lantas tancap gas, membawa Ajeng menjauh dari toko besar milik papanya.“Papamu kan sayang sama kamu. Mana mungkin dia maksa puterinya buat nikah sama orang yang enggak dicintai.” Satu tangan Steven membelai puncak kepala Ajeng. Satu tangan lagi memegang setir mobil.“Kalau gitu. Aku mau bawa kamu ke tempat di mana kamu lupa sama amarah kamu,” imbuh Steven.“Ke mana?” Mata Ajeng berbinar. Steven tidak menjelaskan mau ke mana, laki-laki itu hanya menjawab dengan senyum yang lebar.Steven semakin menambah kecepatan. Kuda besinya begitu lincah hingga mampu memecah kepadatan jalan raya. Hingga sampailah mereka di klub malam.“Tenang saja. Di sini bukan klub malam murahan pada umumnya. Tamu di sini semua eksklusif, harus punya member atau undangan dari si pemilik.” Steven menjelaskan kepada Ajeng sebelum dia bertanya.“Klub malam ini punya temanku. Jadi, tentu aku punya akses khusus untuk masuk,” imbuh Steven.Ajeng sedikit ragu untuk turun dari mobil. Meskipun dia sering hang out dan keluar malam. Tapi dirinya memang tidak pernah masuk ke klub malam dan sejenisnya. Namun, kali ini pikirannya sedang kacau. Dia ingin menghibur diri dan tempat pilihan Steven tampaknya memang cocok.Sebelum masuk, Steven menunjukkan kartu berwarna hitam kepada penjaga pintu.“Silakan masuk,” ucap si penjaga pintu.Steven masuk lebih dulu kemudian mengulurkan tangan kepada Ajeng. Perempuan itu menyambutnya, menggenggam tangan Steven. Mereka berdua masuk dengan bergandengan tangan. Begitu masuk ke dalam, Steven menggiring Ajeng ke tempat duduk yang ada di sudut ruangan.“Aku ambilin minum, ya?” tanya Steven dan Ajeng membalas dengan anggukan.Steven berjalan menuju meja bartender. Dia memesan dua gelas cocktail. Setelah mendapatkan minumannya, Steven segera membawanya ke pada Ajeng.“Ini, minum dulu! Biar seger.” Steven mengulurkan minuman kepada Ajeng. Perempuan itu langsung meneguknya hingga tersisa setengah gelas.Steven tersenyum smrik. Laki-laki itu duduk, sengaja agak mendekat ke Ajeng.“Hari ini, kamu enggak boleh cemberut. Ada aku di sini yang siap menemani kamu, Ajeng,” ucap Steven. Tangannya membelai lembut pipi Ajeng.“Makasih ya, Stev. Aku benar-benar kesal sama papaku,” balas Ajeng.Steven semakin merapatkan diri. Satu tangannya melingkar di pinggang Ajeng, membawanya perempuan itu lebih dekat ke tubuhnya.Ajeng hanya tersenyum. Tiba-tiba dia merasakan kepalanya seperti berputar dan badannya terasa lemas.“Steven ... aku ....”“Hari ini, kamu harus menjadi milikku, Ajeng,” bisik Steven di telinga Ajeng.Perempuan itu hanya membalas dengan senyuman seraya menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Tidak mengerti apa maksud dari perkataan Steven.“Stev ... kepalaku ....” Ajeng mengurut pelipisnya. Pandangannya mulai kabur. Dia ingin mengatakan kepada Steven kalau kepalanya tiba-tiba terasa pusing.Sementara Steven terus menatap Ajeng dan tersenyum miring. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya kepada Ajeng. Benar saja, sebelum memberi tahu Steven apa yang sedang dirasakan. Ajeng sudah lebih dulu pingsan di dalam pelukan Steven.Steven membelai lembut pipi Ajeng lalu berkata, “Maaf, Ajeng. Aku tidak sanggup menyia-nyiakan perempuan cantik sepertimu. Aku ingin memilikimu seutuhnya sebelum laki-laki lain memilikimu,” ucap Steven sembari membelai pipi Ajeng dengan punggung tangannya.Ajeng terkejut melihat Bian tiba-tiba pingsan di depannya. "Bian? Bangun! Pagi-pagi nggak usah bercanda, deh!" Ajeng mengguncang-ngguncang tubuh Bian, tapi tidak ada respon. Ajeng kemudian menempelkan tangan ke dahi Bian."Astaga, panas banget badannya," ucap Ajeng panik. Tanpa ragu Ajengmembawa Bian ke dalam kamar. Susah payah Ajeng memapah Bian lalu membaringkannya di tempat tidur. Kemudian berusaha menghubungi Mba Ratri untuk meminta bantuan, tapi tidak diangkat. Ajeng semakin khawatir karena Bian menggigau. "Tenang, Ajeng. Tenang." Ajeng menenangkan dirinya sendiri agar tidak semakin panik.Perempuan itu memutuskan untuk mencari informasi di internet, mengenai penanganan dan pertolongan pertama pada orang yang mengalami demam tinggi.Selesai membaca semua informasi, Ajeng keluar dari kamar dan menuju ke dapur untuk merebus air.Ajeng kembali menghubungi Mba Ratri dan hasilnya masih nihil, tidak ada jawaban. "Oke, aku bisa sendiri." Ajeng meyakinkan dirinya.Setelah airn
"Sengaja mau nunjukin kekuasaan kamu, ya? Atau biar kelihatan kaya suami yang sayang sama istrinya?" Ajeng berucap dengan nada sinis. Ajeng tidak terima saat Bian tiba-tiba muncul, menurutnya Berlagak sangat peduli, menawarkan kepadanya agar memilih apa saja yang ingin dibeli. "Kemarin katamu aku ini kejam, aku ini enggak ngerti perasaan kamu. Sekarang aku mau nurutin apa yang kamu malah dibilang sok peduli. Jadi orang yang konsisten," balas Bian dengan perasaan kesal. Padahal niatnya memang baik, tapi Ajeng salah mengartikan.Bian memang berniat meninggalkan Ajeng dan kembali ke kantor, tapi mengurungkan niatnya karena merasa khawatir dan memutuskan mengikuti Ajeng.Timbul iba di hati Bian saat melihat Ajeng menatap sebuah dress. Dan Bian yakin Ajeng sangat menyukai dress tersebut karena terus menatapnya. "Ya kalau ngerti aku harusnya tuh kasih uang. Kartu kreditku jangan diblokir. Ngenes banget sih hidup aku, punya suami kagak pernah kasih uang," sinis Ajeng. Perempuan itu menghe
Tatapan Bian kepada Ajeng kali ini agak berbeda. Ada sedikit rasa kagum dan heran karena istrinya mau membaur dengan karyawan pabrik."Aku tidak salah lihat, kan?" gumam Bian, geleng-geleng kepala dan tersenyum tipis.Bukannya segera menghampiri, Bian justru terpaku melihat Ajeng yang tanpa sungkan membaur dan bercengkerama dengan para karyawan itu. Hingga Bian tidak sadar telah larut dan membuat kembali teringat akan kejadian semalam. Saat Ajeng dengan berani membuat sisi laki-lakinya muncul. "Bian? Sini!" Ajeng berteriak seraya melambaikan tangan.Bian tersentak mendengar Ajeng memanggil namanya. Sadar bahwa dirinya tidak seharusnya mengingat hal seperti itu di siang hari dan di tempat kerja."Ngapain kamu di sini? Ganggu pekerjaan mereka aja!" Bian sengaja menegur di depan para karyawan. Sebenarnya hal itu dilakukan karena merasa salah tingkah sendiri."Siapa yang gangguin? Mereka sendiri yang ngajakin aku, kok," balas Ajeng tidak terima."Ini, kamu ngajakin mereka buat makan. Pa
Ajeng merasa skeptis terhadap niat Danu yang ingin mengajak kerja sama. Dia merasa bahwa Danu hanya ingin menguasai perusahaan papanya dan mengambil alih kendali yang seharusnya menjadi miliknya.Dengan tidak menyetujui kerja sama, Ajeng merasa bahwa tindakan ini adalah langkah yang tepat untuk melindungi perusahaan papanya. Dia tidak ingin perusahaan papanya jatuh ke tangan orang yang tidak bisa dipercaya.Bian sendiri cukup terkejut dengan kehadiran Ajeng yang tidak disangka. Ditambah lagi dengan rasa kesal karena Ajeng mendadak ikut campur dalam perbincangannya dengan Danu. Meskipun begitu, Bian memahami alasan di balik penolakan Ajeng, namun tetap berpendapat bahwa kerja sama dengan Danu dapat memberikan keuntungan besar bagi perusahaan."Ini kesempatan besar bagi perusahaan kita, Ajeng?" tegas Bian"Aku tidak percaya pada orang itu, Bian. Ngajakin kerja sama? Tapi Aku lebih merasa dia hanya ingin menguasai perusahaan papa," sengit Ajeng."Kamu tahu apa, Ajeng? Aku yang bertanggun
“Mba Ratri orang mana? Kok Bian bisa minta Mba Ratri kerja di sini?” Ajeng melempar pertanyaan kepada Ratri yang masih sibuk mencuci piring di dapur. Ratri tidak langsung menjawab dan justru tersenyum geli. Wajar jika Ajeng menginterogasi dirinya. mungkin Bian belum bercerita mengenai siapa dirinya.“Sebenarnya udah lama saya kerja sama mas Bian, Mba. Dulu kedua orang tua saya yang jadi kepercayaan orang tuanya mas Bian. Buat ngurus rumah sama ngurus mas Bian. Tapi, setelah orang tuanya mas Bian meninggal, orang tua saya buka usaha sendiri, kulineran gitu,” jelas Ratri. “Lah, jadi pembantu kok turun temurun sih,” celetuk Ajeng. Sedetik kemudian dia sadar kalau kata-katanya kurang pantas. Namun, Ratri sama sekali tidak tersinggung. Jauh sebelum Ajeng datang ke rumah itu, rupanya Bian sudah menceritakan mengenai Ajeng termasuk kepribadiannya.“Bukan turun temurun sih, Mba. Lebih tepatnya balas budi aja. Saya bisa sekolah dan orang tua saya sampai bisa beli rumah sendiri ya karen
Bian mematung saat Ajeng melingkarkan tangan di lehernya. Awalnya Bian mengira kalau istrinya itu hanya menggertak, ternyata di luar dugaan. Ajeng cukup nekat menempelkan bibirnya ke bibir Bian. Bukan hanya kecupan biasa, melainkan sapuan lembut yang mampu membuat sekujur tubuh Bian menegang.Jika hanya sekali, Bian masih memaklumi. Tapi rupanya Ajeng lebih berani dari dugaan Bian. Istrinya itu lebih dulu memulai permainan yang tidak disangka oleh Bian. Ajeng semakin menarik kepala Bian untuk lebih dekat lagi kepadanya. Sementara Ajeng tidak enggan membuat dirinya sama sekali tidak berjarak dengan Bian.Awalnya Bian hanya mencoba mengikuti permain Ajeng. Namun, tidak sangka dirinya semakin larut. Bagai harimau yang dibangunkan dari tidurnya. Sisi lain dari diri Bian memaksa muncul.“Takut?” Ajeng menarik wajahnya sebentar. Memberi jeda pada permainannya yang tidak dibalas oleh Bian. Perempuan itu masih dengan posisi kepala miring memberikan senyuman smrik pada Bian.Ditantang sepe
Ajeng mondar-mandir dengan perasaan kesal dan marah. Di kamar Bian, kamar yang sekarang menjadi tempat tinggalnya. Ajeng terus mengomel tentang sikap Bian yang menurutnya tadi sangat kurang ajar. Laki-laki itu tanpa persetujuan dan tanpa bertanya lebih dulu, seenaknya mendaratkan bibir ke bibirnya. Meskipun peristiwa itu tidak berlangsung lama, dan hanya kecupan biasa. Ajeng merasa bahwa Bian sudah mengambil secuil dari dirinya. Bodohnya, kenapa tadi Ajeng tidak langsung marah dan justru melarikan diri. Perempuan itu sampai lupa tentang pinggangnya yang semula kesakitan. “Kamu enggak tahu bagaimana ekspresi Bian setelah menciumku. Dia tuh kaya mengejekku, Stella. Seolah dia sengaja ingin mempermalukanku.” Ajeng mengepalkan tangan, satu tangan memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga. Ajeng tidak menyia-nyiakan untuk berbagi cerita kepada Stella. “Terus-terus. Kamunya gimana?” balas Stella. Di seberang sana dia sedang menahan tawa mendengar cerita dari Ajeng. “Kok terus? Ya aku
“Sial! Kenapa juga tadi Bian mendengar perkataanku.” Ajeng bergumam dalam hati. Tidak menyangka kalau Bian tiba-tiba datang ke kamarnya dan mendengar percakapannya dengan Stella.Tapi, bukan Ajeng namanya kalau tidak pandai mengalihkan pembicaraan. Perempuan itu memarahi Bian yang menguping pembicaraannya dengan Stella.“Aku tidak menguping. Sengaja lewat dan ada orang yang sebut-sebut namaku. Jadi aku mampir sebentar untuk menyimak.” Bian melipat kedua tangannya, lalu menyenderkan bahu ke pintu.“Itu namanya menguping!” Ajeng langsung mematikan panggilannya dengan Stella.“Se-sejak kapan kamu berdiri di situ?” Ajeng bertanya dengan nada tergagap. “Baru saja. Aku mau ngecek, apa kamu masih butuh barang lagi untuk di bawa?” Bian memilih membicarakan yang lain. Dia tidak memperpanjang masalah tadi. Meskipun tadi sebenarnya Bian mendengar semua ucapan Ajeng kepada Stella.“Enggak ada. Nanti kalau butuh lagi, aku bisa pulang untuk mengambilnya,” balas Ajeng.“Baiklah, kalau sudah tidak a
Ajeng sempat mengira ada pencuri yang masuk ke rumahnya dan mengacak-ngacak kamarnya. Siapa sangka ternyata Bian tengah sibuk merapikan beberapa barang miliknya. Bian mengeluarkan semua baju Ajeng dari dalam lemari, menatanya di beberapa koper milik Ajeng. Sisanya lagi dimasukkan ke kardus. Semua sudah ditata dengan rapi dan diletakkan di ruang tamu. Bahkan semua peralatan make up dan skincare Ajeng yang ada di meja rias juga sudah dipacking Bian dengan rapi. “Bian! Mau kamu apakan barang-barangku?” pekik Ajeng. Perempuan itu marah besar karena Bian tanpa izin menyentuh semua barang-barangnya. “Enggak lihat aku sedang mengepak barang-barangmu? Sisanya kamu rapikan sendiri. Tapi aku rasa itu sudah cukup, kalau perlu yang lain kita bisa beli,” jawab Bian dengan santai. “Maksudnya apa? Kenapa aku harus mengepak sisanya dan kalau butuh yang lain bisa beli? Bisa enggak kamu kasih penjelasan!” tuntut Ajeng. Kedua tangannya berada di pinggang, menatap marah pada Bian. “Mulai hari ini, k