Share

Dinikahi Asisten Papa
Dinikahi Asisten Papa
Penulis: Vieyan Opit

BAB 1

“Pokoknya aku enggak mau menikah sama Bian. Dia kan Cuma asisten Papa, enggak selevel sama aku!” seru Ajeng sembari melipat kedua tangannya di dada. Tidak terima dijodohkan dengan pegawai papanya.

“Harus! Keputusan papa tidak bisa diganggu gugat lagi, Ajeng. Bian adalah lelaki yang tepat untuk kamu,” tegas Himawan.

“Papa kok gitu, sih? Yang mau menikah kan aku.” Ajeng berulang kali mengembuskan napas dengan kasar. Dadanya naik turun, menahan kesal.

“Menikah dengan Bian atau semua fasilitas kamu akan papa tarik!” ancam Himawan. Sudah cukup dirinya memanjakan Ajeng. Himawan ingin agar anaknya bisa berubah. Untuk itu, dia meminta Bian untuk menjadi suami Ajeng.

Himawan berharap Bian bisa membimbing dan mengubah sikap Ajeng menjadi lebih baik.

“Papa mengancamku? Oke, silakan! Kita lihat saja, Papa atau aku yang menang.” Ajeng balik mengancam.

Dia percaya kalau ucapan papanya hanya gertakan saja. Selama ini Ajeng sudah sering diancam seperti itu, dan nyatanya tidak pernah terjadi. Ajeng merasa yakin, papanya tidak akan tega membuat anak kesayangannya menderita.

Ajeng menyambar tas jinjing miliknya yang di letakkan di sofa. Dengan kesal, dia melangkah keluar dari ruang kerja papanya.

“Ajeng?” panggil Himawan. Laki-laki paruh baya itu menyusul Ajeng. Namun berhenti dan berdiri di depan pintu.

Ajeng diam tidak menjawab. Dia terus melangkahkan kakinya menjauh dari ruangan Himawan.

“Kembali Ajeng!” Himawan kembali berseru.

Sementara yang dipanggil lambat laun menghilang dari pandangan.

Himawan menghela napas panjang, tangannya menggenggam erat gagang pintu. Sengaja dia tidak menyusul Ajeng, membiarkan puterinya itu pergi begitu saja.

“Mana mobilku?” Ajeng celingukan setelah sampai tempat parkir.

Satpam di toko furniture milik Himawan menghampiri Ajeng.

“Maaf, Mba Ajeng. Tadi mobilnya dibawa sama mas Bian,” ucapnya.

“Apa?” pekik Ajeng.

“Kok bisa, sih? Dia kan enggak punya kuncinya?” Ajeng berkacak pinggang.

“Katanya disuruh sama Tuan,” jawab si satpam dengan perasaan takut.

“Sialan! Rupanya papa tidak main-main!” gerutu Ajeng. Perempuan itu membalikkan badan, menatap bangunan toko mebel besar milik papanya. Perempuan itu berucap dalam hati, kalau dia akan benar-benar kabur dari rumah.

Saat ini Ajeng tidak tahu apa yang harus dilakukan. Satu-satunya orang yang terlintas di pikirannya adalah Steven, pacar barunya. Ajeng mengambil ponselnya di dalam tas kemudian menghubungi Steven. Dia meminta laki-laki itu untuk menjemputnya sekarang.

Beruntung, Steven langsung mengiyakan permintaan Ajeng dan segera menuju ke tempat Ajeng berada. Tidak butuh waktu lama bagi Ajeng untuk menunggu kedatangan Steven. Laki-laki itu datang dengan kuda besinya berwarna merah maroon. Ajeng langsung masuk ke dalam mobil dengan ekspresi wajah yang merengut. Jelas membuat tanda tanya bagi Steven.

“Ada masalah, sayang?” tanya Steven. Merasa aneh karena melihat wajah Ajeng yang ditekuk cemberut.

“Nanti aku ceritakan. Yang penting kita pergi dari sini,” jawab Ajeng.

Steven menghadap Ajeng. Dia memberikan senyuman termanisnya. “Ya udah, kita mau ke mana?”

“Terserah. Yang penting bisa mencerahkan pikiranku,” ucap Ajeng. Perempuan itu mengurut pelipisnya.

“Bukannya kamu habis liburan dari Singapura, Sayang? Kok malah enggak happy gitu?” tanya Steven.

Ajeng mendesah kasar, lalu menyenderkan bahunya ke belakang.

“Boro-boro liburan. Yang ada disuruh pulang buat nikah,” kesal Ajeng.

“Apa? Nikah?” Kedua mata Steven melebar.

“Papa bohong sama aku. Ternyata dia enggak masuk rumah sakit. Padahal aku udah pengen lihat acara fashion week di sana. Demi papa aku langsung pulang. Enggak tahunya, Cuma akal-akalan papa buat nyuruh aku nikah,” jelas Ajeng. Raut wajahnya semakin terlihat kesal.

Bagaimana tidak, rencananya untuk liburan selama satu bulan di Singapura harus gagal. Karena papanya sendiri telah memberikan kabar bohong.

“Terus, kamu mau?” tanya Steven dengan nada yang tinggi. Dia khawatir, pacarnya mau menikah dengan pilihan orang tuanya.

“Ya enggaklah,” jawab Ajeng.

“Kamu tahu, kan? Siapa yang sebenarnya aku inginkan? “ Ajeng menoleh lalu memberikan senyuman yang lebar pada Steven.

”Udah, buruan kita pergi dulu dari sini. Bawa aku ke mana saja, aku ikut denganmu.” Ajeng menatap lembut Steven. Dia berharap laki-laki itu paham dengan apa yang dimaksudnya.

Steven lantas tancap gas, membawa Ajeng menjauh dari toko besar milik papanya.

“Papamu kan sayang sama kamu. Mana mungkin dia maksa puterinya buat nikah sama orang yang enggak dicintai.” Satu tangan Steven membelai puncak kepala Ajeng. Satu tangan lagi memegang setir mobil.

“Kalau gitu. Aku mau bawa kamu ke tempat di mana kamu lupa sama amarah kamu,” imbuh Steven.

“Ke mana?” Mata Ajeng berbinar. Steven tidak menjelaskan mau ke mana, laki-laki itu hanya menjawab dengan senyum yang lebar.

Steven semakin menambah kecepatan. Kuda besinya begitu lincah hingga mampu memecah kepadatan jalan raya. Hingga sampailah mereka di klub malam.

“Tenang saja. Di sini bukan klub malam murahan pada umumnya. Tamu di sini semua eksklusif, harus punya member atau undangan dari si pemilik.” Steven menjelaskan kepada Ajeng sebelum dia bertanya.

“Klub malam ini punya temanku. Jadi, tentu aku punya akses khusus untuk masuk,” imbuh Steven.

Ajeng sedikit ragu untuk turun dari mobil. Meskipun dia sering hang out dan keluar malam. Tapi dirinya memang tidak pernah masuk ke klub malam dan sejenisnya. Namun, kali ini pikirannya sedang kacau. Dia ingin menghibur diri dan tempat pilihan Steven tampaknya memang cocok.

Sebelum masuk, Steven menunjukkan kartu berwarna hitam kepada penjaga pintu.

“Silakan masuk,” ucap si penjaga pintu.

Steven masuk lebih dulu kemudian mengulurkan tangan kepada Ajeng. Perempuan itu menyambutnya, menggenggam tangan Steven. Mereka berdua masuk dengan bergandengan tangan. Begitu masuk ke dalam, Steven menggiring Ajeng ke tempat duduk yang ada di sudut ruangan.

“Aku ambilin minum, ya?” tanya Steven dan Ajeng membalas dengan anggukan.

Steven berjalan menuju meja bartender. Dia memesan dua gelas cocktail. Setelah mendapatkan minumannya, Steven segera membawanya ke pada Ajeng.

“Ini, minum dulu! Biar seger.” Steven mengulurkan minuman kepada Ajeng. Perempuan itu langsung meneguknya hingga tersisa setengah gelas.

Steven tersenyum smrik. Laki-laki itu duduk, sengaja agak mendekat ke Ajeng.

“Hari ini, kamu enggak boleh cemberut. Ada aku di sini yang siap menemani kamu, Ajeng,” ucap Steven. Tangannya membelai lembut pipi Ajeng.

“Makasih ya, Stev. Aku benar-benar kesal sama papaku,” balas Ajeng.

Steven semakin merapatkan diri. Satu tangannya melingkar di pinggang Ajeng, membawanya perempuan itu lebih dekat ke tubuhnya.

Ajeng hanya tersenyum. Tiba-tiba dia merasakan kepalanya seperti berputar dan badannya terasa lemas.

“Steven ... aku ....”

“Hari ini, kamu harus menjadi milikku, Ajeng,” bisik Steven di telinga Ajeng.

Perempuan itu hanya membalas dengan senyuman seraya menyelipkan rambut ke belakang telinganya. Tidak mengerti apa maksud dari perkataan Steven.

“Stev ... kepalaku ....” Ajeng mengurut pelipisnya. Pandangannya mulai kabur. Dia ingin mengatakan kepada Steven kalau kepalanya tiba-tiba terasa pusing.

Sementara Steven terus menatap Ajeng dan tersenyum miring. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya kepada Ajeng. Benar saja, sebelum memberi tahu Steven apa yang sedang dirasakan. Ajeng sudah lebih dulu pingsan di dalam pelukan Steven.

Steven membelai lembut pipi Ajeng lalu berkata, “Maaf, Ajeng. Aku tidak sanggup menyia-nyiakan perempuan cantik sepertimu. Aku ingin memilikimu seutuhnya sebelum laki-laki lain memilikimu,” ucap Steven sembari membelai pipi Ajeng dengan punggung tangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status