Share

02. Dilabrak

"Bunda!" Sasi menjerit dari dalam rumah.

Mentari segera menutup pintu dari luar. Dia menatap nyalang satu per satu ketiga perempuan yang mengganggu ketenangannya itu. Ada tiga orang. Dua di antaranya yang melemparinya dengan telur batusan. Satu sisanya merekam aksi keji itu.

Mentari sontak mengepalkan tangan. Bau busuk dari telur menusuk penciuman. Dia sebenarnya sangat mual. Namun, rasa itu masih kalah dari kekesalannya. "Apa-apaan ini?" bentak Mentari.

"Wanita jalang penggoda suami orang sepertimu memang pantas diperlakukan seperti ini. Rasakan!" ucap salah satu dari mereka sambil melempari Mentari lagi, diikuti yang lainnya.

"Dia adalah janda gatal yang hobi menggoda para laki-laki. Parahnya, suami orang juga dia embat," ucap perempuan yang memegang ponsel.

Mentari segera berlari menghampiri mereka dengan sekujur tubuh yang bau, basah, dan kotor. Tangannya lalu bergerak cepat merebut ponsel yang sedang merekam, lantas membantingnya ke paving blok. Mentari tidak segan menginjak benda itu berkali-kali sampai layarnya retak.

"Kurang ajar!" Pemiliknya sontak menjerit marah yang memekakkan telinga.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Mentari. Tidak sampai di situ, kerudungnya dipaksa lepas. Rambutnya dijambak dari berbagai arah. Ketiga perempuan itu bekerja sama menyerang Mentari.

"Mbak Tari!" Itu suara Ranggi.

Tubuh Mentari kemudian tertarik ke belakang. Ranggi berdiri melindunginya dengan kedua tangan yang terentang lebar. "Saya bisa melaporkan perbuatan kalian ke polisi." Pria itu mengancam.

"Siapa kamu? Gigolo si sundal?"

"Bundaku perempuan baik-baik. Berhenti memanggilnya seperti itu!" pekik Sasi dengan suara bergetar. Gadis berusia lima belas tahun itu lekas memeluk Mentari sambil terisak.

"Jangan, Bulanku. Bau," ucap Mentari lirih.

Namun, Sasi menggeleng.

"Ibu kamu itu memang lacur! Pelakor! Dia sudah menggoda suamiku."

"Mana buktinya?" tanya Sasi berteriak. "Jangan asal menuduh!"

"Aku tidak asal menuduh. Suamiku justru menyebut namanya saat kami sedang bersama!" ucap perempuan yang sejak awal paling vokal mengata-ngatai Mentari.

Dia hendak menyerang Mentari lagi. Namun, Ranggi lebih sigap mencekal tangannya.

"Mana buktinya?" Ranggi mengulangi pertanyaan Sasi.

"Ya, itu tadi!"

"Itu bukan bukti, Bu. Itu asumsi. Siapa yang menyebut nama Mbak Tari? Suami Anda, kan? Hal itu tidak berarti Mbak Tari ada hubungannya," ucap Ranggi.

Ranggi melanjutkan, "Kenapa tidak menyalahkan suami Anda saja yang justru memikirkan perempuan lain? Kenapa tidak bertanya kepada diri sendiri kenapa suami Anda sampai mengabaikan Anda?"

"Sudah jelas itu karena dia!"

"Bisa jadi karena Anda memang tidak menarik di mata suami Anda, karena bagi saya, Anda sama sekali tidak menggairahkan," kata Ranggi.

"Jangan asal bicara kamu, ya!" Perempuan lain membela.

"Om Ranggi tidak asal bicara!" ujar Sasi di belakang tubuh Ranggi.

"Sasi!" Mentari segera memperingati putrinya itu.

Namun, Sasi tidak mendengarkan peringatan ibunya. "Sudah pasti suami ibu lebih menyukai bunda saya. Ngaca, dong! Itu bedak apa tepung terigu? Pakai makeup bukannya cantik malah cemong."

"Sasi!" Mentari terpaksa mencubit pinggang Sasi. Bukannya tidak senang dibela anak. Mentari hanya tidak ingin Sasi menjadi sasaran kemarahan mereka.

"Anak dan ibu sama saja. Sok cantik. Pasti besarnya mengikuti jejak jadi pelakor," ucap perempuan yang ponselnya dibanting Mentari sambil menunjuk-nunjuk Sasi dengan tatapan garang.

"Iya, benar. Akan kurebut suami Ibu nanti." Sasi justru semakin menjadi-jadi.

Ya ampun! Tanpa banyak bicara Mentari segera menarik Sasi ke dalam rumah. Mereka masih mencoba menyerang Mentari. Akan tetapi, semuanya dihentikan oleh Ranggi.

Entah apa yang Ranggi katakan kepada mereka sampai akhirnya mereka mau pergi. Pria itu kemudian menyusul ke dalam. "Sudah aman, Mbak," ucapnya.

"Kenapa mereka jahat sekali ke kita, Bun?" tanya Sasi sambil terisak.

"Di dunia ini tidak hanya diisi orang baik," jawab Mentari.

"Kita, kan, tidak pernah berbuat jahat ke mereka."

"Hidup memang kelihatan tidak adil. Tapi, segala sesuatu pasti ada balasannya."

Setelah itu Mentari membersihkan dirinya dibantu Sasi. Dia mempersilakan Ranggi untuk pergi. Namun, pria itu bersikeras ingin tetap tinggal. Mentari tidak berniat mendebat karena sudah tidak tahan dengan bau busuk yang menyelimuti tubuhnya.

"Aku rasa Bunda memang harus menikah," ucap Sasi sambil mengeringkan rambut Mentari menggunakan hairdryer.

"Menikah bukan solusi untuk semua masalah, Bulanku, Putriku."

"Tapi menikah adalah solusi untuk masalah kita, Bundaku, Matahariku." Sasi tidak mau kalah.

"Tidak semudah itu," ujar Mentari.

Setelah rambutnya benar-benar kering, dan Mentari memakai kerudung, keduanya segera keluar. Ranggi yang masih berada di ruang tamu mendongak menatap mereka.

"Aku sudah menyiapkan rumah untuk kalian berdua," tutur pria itu.

Mentari sontak mengernyit. "Apa maksud kamu?"

"Mbak, keberadaan kalian di sini sudah tidak aman. Kalian harus segera pergi. Mbak tidak memperhatikan sekitar, kan, saat ada tiga perempuan tadi?"

"Memangnya kenapa?" tanya Mentari.

"Tetangga Mbak Tari semuanya hanya menonton. Beberapa ibu bahkan ada yang tersenyum seolah puas melihat Mbak Tari diperlakukan seperti itu. Setidaknya pikirkan Sasi, Mbak."

"Jangan menjadikan Sasi sebagai alibi." Mentari menatap tidak suka kepada lawan bicaranya.

"Tapi, Om Ranggi benar, Bunda. Aku takut banget tadi."

Hanya berselang satu detik setelah Sasi mengutarakan pendapatnya, ketiga orang yang berada di dalam rumah itu menjengit kaget karena kaca jendela tiba-tiba pecah, diikuti Ranggi yang langsung mengaduh kesakitan.

"Aw!" Pria itu meringis sambil memegangi pelipisnya.

"Ranggi?" Mentari berujar panik. Sebuah batu berukuran sekepalan tangan orang dewasa teronggok di lantai setelah mengenai Ranggi.

Mentari semakin membelalak lebar saat darah merembes dari balik tangan pria itu.

"Ya ampun!" serunya sambil beranjak mengambil kotak P3K.

Mentari segera mengobati luka Ranggi. Pria itu hanya bisa meringis kesakitan.

"Bunda, aku takut." Sasi merengek dengan air mata bercucuran.

"Mbak Tari, kalian benar-benar harus segera pergi dari sini," ucap Ranggi lagi setelah luka di pelipis kanannya dibalut kain kasa.

"Iya, Bunda." Sasi menyetujui, padahal dia biasanya paling malas pindah-pindah rumah.

Mentari menelan ludah. Dia lantas mengangguk. Perempuan itu tidak punya pilihan lain demi keselamatan putrinya.

Dibantu Ranggi, mereka langsung pindah siang harinya. Untuk urusan data kependudukan nanti saja, yang terpenting mereka aman dulu dari sekumpulan emak-emak barbar. Namun, Mentari masih menyempatkan diri berpamitan kepada RT dan RW setempat.

Pak RW sangat terkejut dengan kejadian yang menimpa Mentari. Dari reaksinya dia tidak tahu menahu soal petisi itu. Pak RW juga sempat menahan Mentari dan berjanji akan mendinginkan suasana. Akan tetapi, Mentari menolaknya.

Ranggi membawa mereka ke sebuah rumah bergaya split level di sebuah kompleks. Kata pria itu saat di jalan, rumah ini baru selesai diperbaiki. Ranggi membelinya secara cash beberapa bulan lalu. Dia sendiri tinggal di rumah yang berada di blok lain.

"Ini benaran rumah Om?" tanya Sasi.

Mereka bertiga menaiki tangga di luar yang menuju pintu utama ke ruang tamu.

"Iyalah," jawab Ranggi seraya mengeluarkan kunci dari saku jaketnya.

Mentari menangkap kebanggaan dari nada bicara pria itu.

"Kamu bisa menganggap rumah ini seperti rumah sendiri, Calon Anak," sambung Ranggi.

"Kita hanya sementara, mungkin sampai Sasi beres ujian." Mentari menyahut.

"Selamanya juga tidak apa-apa, Mbak. Aku justru lebih senang begitu."

Alih-alih menanggapi ocehan Ranggi barusan, Mentari memilih bertanya hal lain. "Ranggi, apa yang kamu lakukan kepada tiga perempuan tadi sampai mereka akhirnya pergi?"

"Oh ... itu." Ranggi menggaruk bagian belakang kepalanya. Dia lalu tersenyum lebar. "Aku bilang kalau aku itu calon suami Mbak Tari, jadi mereka tidak perlu takut Mbak Tari akan mengganggu rumah tangga mereka."

Mentari sontak terperanjat. "Apa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status