Share

02. Dilabrak

Author: Noorie
last update Last Updated: 2023-10-13 08:35:08

"Bunda!" Sasi menjerit dari dalam rumah.

Mentari segera menutup pintu dari luar. Dia menatap nyalang satu per satu ketiga perempuan yang mengganggu ketenangannya itu. Ada tiga orang. Dua di antaranya yang melemparinya dengan telur batusan. Satu sisanya merekam aksi keji itu.

Mentari sontak mengepalkan tangan. Bau busuk dari telur menusuk penciuman. Dia sebenarnya sangat mual. Namun, rasa itu masih kalah dari kekesalannya. "Apa-apaan ini?" bentak Mentari.

"Wanita jalang penggoda suami orang sepertimu memang pantas diperlakukan seperti ini. Rasakan!" ucap salah satu dari mereka sambil melempari Mentari lagi, diikuti yang lainnya.

"Dia adalah janda gatal yang hobi menggoda para laki-laki. Parahnya, suami orang juga dia embat," ucap perempuan yang memegang ponsel.

Mentari segera berlari menghampiri mereka dengan sekujur tubuh yang bau, basah, dan kotor. Tangannya lalu bergerak cepat merebut ponsel yang sedang merekam, lantas membantingnya ke paving blok. Mentari tidak segan menginjak benda itu berkali-kali sampai layarnya retak.

"Kurang ajar!" Pemiliknya sontak menjerit marah yang memekakkan telinga.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Mentari. Tidak sampai di situ, kerudungnya dipaksa lepas. Rambutnya dijambak dari berbagai arah. Ketiga perempuan itu bekerja sama menyerang Mentari.

"Mbak Tari!" Itu suara Ranggi.

Tubuh Mentari kemudian tertarik ke belakang. Ranggi berdiri melindunginya dengan kedua tangan yang terentang lebar. "Saya bisa melaporkan perbuatan kalian ke polisi." Pria itu mengancam.

"Siapa kamu? Gigolo si sundal?"

"Bundaku perempuan baik-baik. Berhenti memanggilnya seperti itu!" pekik Sasi dengan suara bergetar. Gadis berusia lima belas tahun itu lekas memeluk Mentari sambil terisak.

"Jangan, Bulanku. Bau," ucap Mentari lirih.

Namun, Sasi menggeleng.

"Ibu kamu itu memang lacur! Pelakor! Dia sudah menggoda suamiku."

"Mana buktinya?" tanya Sasi berteriak. "Jangan asal menuduh!"

"Aku tidak asal menuduh. Suamiku justru menyebut namanya saat kami sedang bersama!" ucap perempuan yang sejak awal paling vokal mengata-ngatai Mentari.

Dia hendak menyerang Mentari lagi. Namun, Ranggi lebih sigap mencekal tangannya.

"Mana buktinya?" Ranggi mengulangi pertanyaan Sasi.

"Ya, itu tadi!"

"Itu bukan bukti, Bu. Itu asumsi. Siapa yang menyebut nama Mbak Tari? Suami Anda, kan? Hal itu tidak berarti Mbak Tari ada hubungannya," ucap Ranggi.

Ranggi melanjutkan, "Kenapa tidak menyalahkan suami Anda saja yang justru memikirkan perempuan lain? Kenapa tidak bertanya kepada diri sendiri kenapa suami Anda sampai mengabaikan Anda?"

"Sudah jelas itu karena dia!"

"Bisa jadi karena Anda memang tidak menarik di mata suami Anda, karena bagi saya, Anda sama sekali tidak menggairahkan," kata Ranggi.

"Jangan asal bicara kamu, ya!" Perempuan lain membela.

"Om Ranggi tidak asal bicara!" ujar Sasi di belakang tubuh Ranggi.

"Sasi!" Mentari segera memperingati putrinya itu.

Namun, Sasi tidak mendengarkan peringatan ibunya. "Sudah pasti suami ibu lebih menyukai bunda saya. Ngaca, dong! Itu bedak apa tepung terigu? Pakai makeup bukannya cantik malah cemong."

"Sasi!" Mentari terpaksa mencubit pinggang Sasi. Bukannya tidak senang dibela anak. Mentari hanya tidak ingin Sasi menjadi sasaran kemarahan mereka.

"Anak dan ibu sama saja. Sok cantik. Pasti besarnya mengikuti jejak jadi pelakor," ucap perempuan yang ponselnya dibanting Mentari sambil menunjuk-nunjuk Sasi dengan tatapan garang.

"Iya, benar. Akan kurebut suami Ibu nanti." Sasi justru semakin menjadi-jadi.

Ya ampun! Tanpa banyak bicara Mentari segera menarik Sasi ke dalam rumah. Mereka masih mencoba menyerang Mentari. Akan tetapi, semuanya dihentikan oleh Ranggi.

Entah apa yang Ranggi katakan kepada mereka sampai akhirnya mereka mau pergi. Pria itu kemudian menyusul ke dalam. "Sudah aman, Mbak," ucapnya.

"Kenapa mereka jahat sekali ke kita, Bun?" tanya Sasi sambil terisak.

"Di dunia ini tidak hanya diisi orang baik," jawab Mentari.

"Kita, kan, tidak pernah berbuat jahat ke mereka."

"Hidup memang kelihatan tidak adil. Tapi, segala sesuatu pasti ada balasannya."

Setelah itu Mentari membersihkan dirinya dibantu Sasi. Dia mempersilakan Ranggi untuk pergi. Namun, pria itu bersikeras ingin tetap tinggal. Mentari tidak berniat mendebat karena sudah tidak tahan dengan bau busuk yang menyelimuti tubuhnya.

"Aku rasa Bunda memang harus menikah," ucap Sasi sambil mengeringkan rambut Mentari menggunakan hairdryer.

"Menikah bukan solusi untuk semua masalah, Bulanku, Putriku."

"Tapi menikah adalah solusi untuk masalah kita, Bundaku, Matahariku." Sasi tidak mau kalah.

"Tidak semudah itu," ujar Mentari.

Setelah rambutnya benar-benar kering, dan Mentari memakai kerudung, keduanya segera keluar. Ranggi yang masih berada di ruang tamu mendongak menatap mereka.

"Aku sudah menyiapkan rumah untuk kalian berdua," tutur pria itu.

Mentari sontak mengernyit. "Apa maksud kamu?"

"Mbak, keberadaan kalian di sini sudah tidak aman. Kalian harus segera pergi. Mbak tidak memperhatikan sekitar, kan, saat ada tiga perempuan tadi?"

"Memangnya kenapa?" tanya Mentari.

"Tetangga Mbak Tari semuanya hanya menonton. Beberapa ibu bahkan ada yang tersenyum seolah puas melihat Mbak Tari diperlakukan seperti itu. Setidaknya pikirkan Sasi, Mbak."

"Jangan menjadikan Sasi sebagai alibi." Mentari menatap tidak suka kepada lawan bicaranya.

"Tapi, Om Ranggi benar, Bunda. Aku takut banget tadi."

Hanya berselang satu detik setelah Sasi mengutarakan pendapatnya, ketiga orang yang berada di dalam rumah itu menjengit kaget karena kaca jendela tiba-tiba pecah, diikuti Ranggi yang langsung mengaduh kesakitan.

"Aw!" Pria itu meringis sambil memegangi pelipisnya.

"Ranggi?" Mentari berujar panik. Sebuah batu berukuran sekepalan tangan orang dewasa teronggok di lantai setelah mengenai Ranggi.

Mentari semakin membelalak lebar saat darah merembes dari balik tangan pria itu.

"Ya ampun!" serunya sambil beranjak mengambil kotak P3K.

Mentari segera mengobati luka Ranggi. Pria itu hanya bisa meringis kesakitan.

"Bunda, aku takut." Sasi merengek dengan air mata bercucuran.

"Mbak Tari, kalian benar-benar harus segera pergi dari sini," ucap Ranggi lagi setelah luka di pelipis kanannya dibalut kain kasa.

"Iya, Bunda." Sasi menyetujui, padahal dia biasanya paling malas pindah-pindah rumah.

Mentari menelan ludah. Dia lantas mengangguk. Perempuan itu tidak punya pilihan lain demi keselamatan putrinya.

Dibantu Ranggi, mereka langsung pindah siang harinya. Untuk urusan data kependudukan nanti saja, yang terpenting mereka aman dulu dari sekumpulan emak-emak barbar. Namun, Mentari masih menyempatkan diri berpamitan kepada RT dan RW setempat.

Pak RW sangat terkejut dengan kejadian yang menimpa Mentari. Dari reaksinya dia tidak tahu menahu soal petisi itu. Pak RW juga sempat menahan Mentari dan berjanji akan mendinginkan suasana. Akan tetapi, Mentari menolaknya.

Ranggi membawa mereka ke sebuah rumah bergaya split level di sebuah kompleks. Kata pria itu saat di jalan, rumah ini baru selesai diperbaiki. Ranggi membelinya secara cash beberapa bulan lalu. Dia sendiri tinggal di rumah yang berada di blok lain.

"Ini benaran rumah Om?" tanya Sasi.

Mereka bertiga menaiki tangga di luar yang menuju pintu utama ke ruang tamu.

"Iyalah," jawab Ranggi seraya mengeluarkan kunci dari saku jaketnya.

Mentari menangkap kebanggaan dari nada bicara pria itu.

"Kamu bisa menganggap rumah ini seperti rumah sendiri, Calon Anak," sambung Ranggi.

"Kita hanya sementara, mungkin sampai Sasi beres ujian." Mentari menyahut.

"Selamanya juga tidak apa-apa, Mbak. Aku justru lebih senang begitu."

Alih-alih menanggapi ocehan Ranggi barusan, Mentari memilih bertanya hal lain. "Ranggi, apa yang kamu lakukan kepada tiga perempuan tadi sampai mereka akhirnya pergi?"

"Oh ... itu." Ranggi menggaruk bagian belakang kepalanya. Dia lalu tersenyum lebar. "Aku bilang kalau aku itu calon suami Mbak Tari, jadi mereka tidak perlu takut Mbak Tari akan mengganggu rumah tangga mereka."

Mentari sontak terperanjat. "Apa?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dinikahi Berondong Bucin   100

    "Reta?"Mentari terperanjat ketika mendapati gadis itu mengunjungi kediamannya. Reta memang pernah ke sini saat mereka berkemah di halaman. Akan tetapi, waktu itu dia bersama Ranggi, tidak seorang diri seperti hari ini."Silakan duduk, Reta," ucap Mentari aasedikit canggung. "Mau dibuatkan minuman apa?"Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak usah. Aku tidak akan lama. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."Mentari lantas mengambil tempat di seberang Reta. Dia bertanya-tanya hal apa yang membawa Reta sampai menemuinya. "Ada apa?""Ini soal Om Ranggi.""Ranggi?""Iya. Sebenarnya aku tidak punya hak membicarakan hal ini. Tapi, karena aku menduga aku menjadi penyebabnya, mau tidak mau aku harus terlibat.""Apa sesuatu terjadi lagi kepada Ranggi?" Mentari sontak panik. Dia sedikit trauma jika ada orang lain yang ingin memberikan kabar soal pria itu kepadanya. Dulu Xavier saat Ranggi kecelakaan. Belum lama ini Sasi memberi tahu jika mantan suaminya tersebut dibegal."Om Ranggi masih mencintai And

  • Dinikahi Berondong Bucin   99

    Sasi pikir Lukman akan memiliki pandangan buruk kepadanya karena menyembunyikan pernikahan. Namun, pria itu justru khawatir. Sasi benar-benar terkejut. Pesan Lukman belum Sasi balas. Selain karena tidak tahu harus menjawab apa, Sasi juga harus segera membersihkan diri lantaran Emir sudah keluar. Keterlambatannya itu ternyata semakin membuat Lukman cemas hingga dia kembali mengirim pesan. Lukman : [Sasi, aku harap kamu baik-baik saja.] Pria itu mungkin tidak akan tenang sebelum Sasi menjawabnya. Sasi : [Aku baik-baik saja, Kak.] Lukman : [Benarkah?] Sepertinya Lukman benar-benar peduli kepada Sasi. Perempuan itu refleks terenyum. Sasi : [Iya.] "Ada apa, Babe?" Ah! Sasi lupa jika dia sedang berada di dalam mobil bersama Emir. Sasi lantas menunjukkan foto Rai yang sedang mengikuti acara outbond. Sasi sengaja meminta foto Rai kepada Mentari karena merindukan adiknya itu. "Sepertinya aku kenal tempat itu." "Iya. Di Nuraga Park. Sekolah Rai sedang mengadakan study tour ke sana."

  • Dinikahi Berondong Bucin   98

    "Papi, Mami kenapa tidak pulang-pulang?" Danta bertanya sambil berurai air mata. Dia pasti sangat merindukan Vanya.Ranggi segera merangkul tubuh kecil anak itu. "Urusan mami kamu belum selesai. Sabar, ya? Kan, ada Papi, ada Kak Reta juga.""Mau Mami." Danta menggeleing.Ranggi belum bisa menceritakan keadaan Vanya. Danta masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi."Kalau sekarang kita main ke rumah Kak Rai, gimana? Mau, kan?"Danta berpikir sejenak. Dihapusnya air mata menggunakan punggung tangan, lalu mengangguk pelan. "Mau," jawabnya.Ranggi tersenyum lega. Dia lantas membawa anak itu menemui Rai. Kesedihan Danta perlahan berkurang saat dia bekerja sama merakit lego bersama kakaknya."Mbak, apa malam ini Rai boleh menginap di rumahku? Mungkin Danta tidak akan terlalu kepikiran Vanya kalau ada anak seumurannya," kata Ranggi kepada Mentari."Aku tidak keberatan kalau anaknya mau. Tapi, Rai susah tidur di tempat asin

  • Dinikahi Berondong Bucin   97

    "Hanya karena aku menerima keadaanku, itu tidak berarti aku akan menceraikanmu, Sasi. Aku tetap tidak akan membiarkanmu bersama lelaki lain yang wajahnya sempurna, sedangkan aku seperti ini."Perkataan Emir menampar Sasi dengan telak. Seharusnya dia yang memiliki wajah rusak. Seharusnya dia yang tidak percaya diri hingga tidak ingin bertemu orang lain. Seharusnya dia juga yang saat ini sibuk perawatan dengan biaya mahal.Bagaimana mungkin Sasi sempat berpikir akan terbebas dari pernikahan ini saat ucapan terima kasih dan kata maaf saja tidak akan cukup untuk membayar tindakan Emir?Sasi akan menjadi orang yang tidak tahu diuntung."Aku mengerti," sahutnya."Jangan pernah membahas perceraian lagi denganku!" kata Emir tegas."Iya." Sasi kemudian menyentuh pipi Emir yang terkena siraman air keras. Bulan depan pria itu akan menjalani operasi terakhir.Tatapan Emir melembut. Dia menahan tangan Sasi agar tetap berada di pipinya. "Maaf, aku

  • Dinikahi Berondong Bucin   96

    "Jadi, Emir, kapan kamu akan mentalakku?"Pertanyaan tersebut keluar dari bibir mungil Sasi. Dia mengatakannya dengan santai, seolah-olah hal itu perkara sangat sepele tanpa tahu dampak yang akan dialami oleh si pendengar. Untuk sesaat, Emir merasa jantungnya berhenti berdetak.Pria yang sedang menonton siaran ulang pertandingan voli itu seketika mengetatkan rahang. Dicengkeramnya kuat-kuat remot yang berada digenggaman."Kamu lupa, ya? Toko buka minggu depan. Besok kita harus mulai mengundang tamu-tamu untuk pembukaan nanti," jawab Emir. Tatapannya tetap menatap layar yang memperlihatkan dua tim lokal sedang bertanding. Namun, hatinya remuk redam."Oh, iya juga." Helaan napas terdengar.Apa Sasi kecewa? Rupanya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri dari Emir, padahal perasaan pria itu sudah berubah. Ternyata selama ini cinta Emir tidak bersambut. Menyedihkan. Mungkinkah dia sedang dihukum karena dengan sengaja menikahi Sasi hanya untuk membuatnya

  • Dinikahi Berondong Bucin   95

    Lukman : [Sasi, kamu sudah punya pacar?]Seharusnya pertanyaan itu mudah. Namun, Sasi justru kesulitan menjawab. Jari-jarinya terhenti begitu saja di atas layar. Dia mendadak sesak. Entah kenapa Sasi enggan memberi tahu statusnya saat ini.Alih-alih memberi jawaban, dia malah balik bertanya.Sasi : [Memangnya kenapa, Kak?]Lukman : [Tidak. Takutnya ada yang marah kita berbalas pesan begini.]Perempuan itu seketika menoleh ke arah pintu kamar mandi. Guyuran shower terdengar dari dalam sana. Dia merasa Emir tidak memiliki alasan untuk marah karena hal ini. Lagi pula, Sasi dan Lukman hanya berkirim pesan. Itu juga membahas pekerjaan, meskipun sedikit keluar konteks.Sasi : [Tidak, kok.]Lukman : [Syukurlah.]Pria itu mengirim emoji senyum, yang membuat Sasi turut menarik kedua sudut bibirnya.Lukman : [Untuk logonya benar tidak ada yang harus direvisi? Kalau menurut kamu ada yang kurang, katakan saja.]Sasi : [Sudah

  • Dinikahi Berondong Bucin   94

    Lukman Respati adalah kakak kelas Sasi sejak SMP. Sasi bisa naksir Lukman karena dia berbeda dari anak-anak cowok yang sering menyatakan cinta. Lukman memperlakukan Sasi sama seperti perlakuannya kepada orang lain. Tidak membeda-bedakan, tidak memprioritaskan, hanya karena Sasi cantik.Sasi terkesan pada Lukman. Dia jadi penasaran tipe perempuan seperti apa yang pria itu suka. Sampai SMA Sasi masih diam-diam memperhatikannya. Akan tetapi, sejak pindah sekolah, dia tidak pernah tahu kabar Lukman lagi.Tanpa sadar Sasi tersenyum. Dia teringat hari-hari jatuh cinta saat Lukman selalu menjadi sosok yang Sasi cari di sekolah. Hanya memperhatikannya dari jauh sudah cukup untuk Sasi. Asalkan dalam sehari dia bisa melihat pria itu."Bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia sudah menikah?" Sasi membatin.Dia lalu memeriksa akun Lukman. Di sana pria itu membuka jasa ilustrasi untuk logo brand, sampul buku, dan lain-lain. Dari testimoninya sudah banyak yang memesan dan

  • Dinikahi Berondong Bucin   93

    Jalanan malam cukup lenggang, sehingga Ranggi menambah kecepatan berkendara. Dia ingin segera mengistirahatkan badan dan pikiran setelah masalah yang terjadi dengan Wizurai. Lain kali Ranggi akan lebih berhati-hati dalam memilih partner. Dia juga harus memastikan kejadian seperti ini tidak terulang.Pria itu mendengkus. Meskipun masalah berhasil diselesaikan lantaran Ranggi sudah memberikan kompensasi, kekesalannya tetap ada. Ini adalah kali pertama Wizurai tersandung kasus memalukan. Ilustrator yang bekerja sama dengannya memplagiat karya orang luar negeri. Selain membuat brand Wizurai tercoreng, dia juga membuat negara sendiri ikut terkena tinta hitam.Kedongkolan Ranggi belum menghilang saat seseorang tiba-tiba melintas di depan. Dia sontak membelalak. Beruntung dia berhasil menghentikan mobil sebelum menabrak. Namun, hal itu tetap membuatnya berada dalam masalah.Teman-teman orang yang hampir Ranggi tabrak lekas mengerumuni mobil."Keluar lo! Tanggung

  • Dinikahi Berondong Bucin   92

    "Emir?"Pria itu menatap tepat ke dalam mata perempuan di hadapannya. Dia sudah berusaha menahan diri. Akan tetapi, dorongan itu terus mendesak untuk dituruti.Emir menundukkan kepala. Mengikis ruang kosong di antara dirinya dan Sasi. Gadis itu tersentak. Namun, Emir tidak berhenti. Bagaimanapun juga, dia adalah pria normal. Batas yang selama ini dia bangun untuk membentengi diri sendiri perlahan roboh. Barangkali karena kesadaran jika Sasi adalah istrinya dan mereka selalu bersama.Saat di Amerika, Emir bisa menahan godaan lantaran sejak remaja orang tuanya sudah sering mengajari soal hal-hal yang dilarang agama, beserta dampak buruk dari perbuatan tersebut. Emir bisa tahan banting meskipun banyak perempuan cantik dan seksi, juga kehidupan bebas di sana. Tambah lagi, sang papa diam-diam menyuruh orang mengawasi setiap gerak-gerik Emir. Makin tidak beranilah dia.Akan tetapi, saat ini penghalang yang mengikat naluri biologisnya sudah semakin longgar. Seka

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status