“Tante tahu nggak kenapa lebih banyak yang nge-like novel ini daripada yang komen?
Karena kenyataannya lebih banyak di antara kita yang diam-diam menyukai tapi tidak berani mengungkapkan.”
(Sean)
***
Ucapkan selamat tinggal untuk cerita dipaksa menikah ataupun cerita CEO di goodnovel!
Jika kebanyakan novel di luar sana mengisahkan tentang seorang wanita yang jatuh cinta kepada Om-om tampan. Beda halnya dengan Sean. Sean sendiri lebih menyukai wanita yang usianya terpaut beberapa tahun di atasnya karena menurut Sean mereka terlihat matang dan menantang.
“Tante… Tante mau nggak nikah sama aku?” ucap Sean to the point melamar seorang wanita yang sudah disukainya sejak dulu.
Wanita tersebut menutup mulutnya menggunakan ke dua telapak tangan. Bukan karena merasa tersentuh akan lamaran romantis dari Sean. Melainkan karena dia tidak percaya jika semakin hari kelakuan Sean semakin gila saja.
“Bocah ingusan kayak kamu mau ngajakin aku nikah? Yang bener aja! Mau dikasih makan apa anak kita nanti, hah?!” jawab wanita tersebut sambil berdecak kesal.
Memangnya siapa yang tidak kesal jika dilamar oleh berondong yang baru semester tiga!
Anak ini memang benar-benar minta dihajar!
Riki—sahabat karib Sean yang saat ini berada di sampingnya pun juga mengangguk setuju kalau Sean memang sudah tidak waras.
Yang benar saja, Man! Saat ini yang dilamar oleh sahabatnya adalah seorang Tante-Tante. Lebih tepatnya, Tante-tante tersebut tak lain adalah Bu April dari divisi pemasaran yang galaknya bukan main.
Sebenarnya April tidak tua-tua amat. Orang dia baru berumur seperempat abad. Tapi yang membuat Riki keheranan adalah kenapa juga Sean bisa cinta mati dengannya? Seperti tidak ada wanita lain saja di dunia ini.
Sebut saja Fanni, anak jurusan FIB di kampus mereka yang seksinya bukan main. Atau kalau tidak, ya, si imut Yuri dari jurusan management yang wajahnya mirip gadis Jepang. Yuri memiliki gigi kelinci, kulitnya seputih porselen, rambutnya hitam legam sepinggang, tubuhnya tidak terlalu tinggi sangat cocok untuk dipeluk-peluk. Yuri benar-benar kawai.
Tapi kenapa pula pilihan Sean malah jatuh kepada Tante-Tante seperti itu, hah?! Heran.
“Bro. Lu yakin naksir sama Tante-Tante kayak dia?” bisik Riki pelan sambil menyikut lengan Sean, takut apabila April mendengar perkataannya.
“Iya, dong. Gue kasih tahu, nih, ya, sama lo. Tante-Tante itu lebih mantap di ranjaaa... aduuuhhh!” Sean berteriak kencang sambil memegangi tangan April yang tiba-tiba menjambak rambutnya.
“Aduh. Ganas banget, sih, Tante,” ucap Sean mengaduh kesakitan. “Bikin tambah cinta aja,” tambahnya lagi sambil menyengir.
“Jangan ngaco, ya, kamu. Kuliahmu aja belum kelar pakai genit ngelamar cewek segala. Sana pergi. Capek aku ngeladenin bocah kayak kamu!” sembur April dengan kesal. Sean benar-benar kelewatan tengilnya.
“Tenang, Tante. Sean bakalan rajin belajar. Terus nanti habis lulus kuliah, Sean bakalan kerja di perusahaannya Kokonya Sean dan jadi CEO hot kayak di novel-novel romantis, Tante.”
“Najis!”
Sean memegang dadanya sok dramatis. Bahkan sampai berakting mengusap air mata buayanya yang tidak menetes sama sekali di pipi.
“Mau ajalah Tante nikah sama aku. Aku ini paket komplet. Udah ganteng, tajir, baik hati lagi. Tante nggak bakal nyesel, deh, kalau nikah sama aku.”
“Arghhh!!!” April meremas rambutnya frustrasi. Putus sudah urat kesabarannya. Daripada dia terkena stroke di usia muda, lebih baik dia pergi saja dari sini.
Sean terkekeh sambil menatap punggung April yang semakin lama bergerak semakin menjauh. Setelah April benar-benar pergi, bocah itu mengusap rambutnya ke belakang. Senyumnya masih awet ia sunggingkan.
“Tunggu sebentar lagi, ya, Tante. Tunggu sampai aku lulus kuliah. Maka aku janji bakalan ngelamar kamu lagi dengan lebih serius. Bukan main-main kayak gini,” kata Sean dalam hati.
Dan, kisah manis mereka pun dimulai….
***
*Novel ini draft pertama, minim penyuntingan, tapi nanti versi cetak insyaAllah rapi karena sudah direvisi.
*Follow instagramku @Mayangsu_ untuk mengetahui jadwal update novel ini.
"Kadang aku lebih suka bermimpi.Karena ketika mataku terpejam. Aku bisa lari sejenak dari pahitnya kehidupan."
"Mungkin Tuhan mempertemukan kita karena kau ditakdirkan sebagai pelengkap cerita."(Sean)***
"Pacaran itu sama anak IT.Titik koma coding aja diperhatiin. Apalagi kamu?"(Sean)***Pak Hans mengembuskan napas berat dan menggelengkan kepala.“Nggak mungkin. Mama kamu udah lama nggak ada, Sean. Bahkan kamu tahu itu.”Sean memang sudah kehilangan Mamanya sejak kecil. Terakhir kali ingatan Sean mengenai Mamanya adalah ketika Mamanya menjemputnya saat pulang sekolah. Dari jalan seberang Mamanya terlihat merentangkan tangannya menunggu Sean untuk menyebrang jalan dan memberikan pelukan kepadanya.Namun belum sempat Sean menyebrang, beberapa pria dewasa dengan wajah bengis menarik paksa tangan Mamanya dan membawanya masuk ke dalam mobil hitam.Sejak itulah Mamanya menghilang entah ke mana. Bahkan sampai sekarang pun Sean belum pernah bertemu lagi dengan Mamanya.
"Kamu April, kan?" tanya Sean sambil menunjuk wanita yang sedang dicarinya.Ya, iyalah April! Masak Milea. Huh! Sepertinya keponakan Pak Hans ini agak tidak waras, deh."Apa?!" jawab April dengan ketus. Namun yang diajak bicara malahan tersenyum senang."Eh, iya. Kalau nggak salah katanya kamu lagi nyewain rumah, ya? Nah, kebetulan aku lagi nyari tempat tinggal dan aku mau nempatin rumah kamu.""Nggak! Nggak jadi aku sewain!" kata April sambil memutar badannya menghadap layar komputer lagi.Sean mengernyitkan dahi. Loh, kenapa pula wanita galak ini jadi berubah pikiran seperti itu?Lebih baik April tidak menyewakan rumahnya kepada bocah itu daripada dia mati muda karena darah tinggi."Kenapa? Bukannya tadi kamu bilang lagi nyari orang buat nyewa rumah kamu? Gimana kalau satu juta per bulan?" tawar Sean dengan saksama.Lantaran April itu mata duitan. Mendengar nominal satu juta yang baru saja diucapkan oleh Sean pun mem
"Ini, mah, kandang Ayam!" teriak Sean seketika.April sebal. Keponakan Pak Hans ini terlalu banyak protes, deh."Ya, udah kalau nggak mau nggak usah tinggal di sini!" teriak April tak kalah kerasnya lantaran merasa kesal.Dengan cemberut Sean duduk di sofa panjang yang berada di depan dinding salah satu kamar. Ia pasrah. Mungkin sofa panjang ini digunakan April ketika dia menonton TV."Ini kamar kamu nantinya. Udah ada kamar mandinya di dalem," kata April ketika membuka kamar yang berada di belakang sofa tempat duduk Sean saat ini.Karena merasa penasaran, Sean pun berdiri untuk melihat isi dari kamar yang hendak ditempatinya nanti.Langsung saja dahi Sean mengeryit lagi. Kamar ini jelek, hanya ada satu lemari kayu berwarna cokelat, meja belajar di sebelahnya, dan tempat tidur yang untungnya sudah darispring bed."Oh, iya, aku kelupaan sesuatu. Satu juta tujuh ratus ribu itu belum termasuk biaya listriknya, loh, ya. Nan
“Gimana? Jadi nggak aku masakin tapi bayar dua puluh ribu?” ulang April lagi.“Yaudah, yaudah.”Cuma dua puluh ribu saja, kok. Enteng,batin Sean menyombongkan diri.Dengan perasaan senang April menyalakan kompornya yang sudah lama tidak ia gunakan.Masih bisa tidak, ya? Ah, untung saja masih mau menyala.Memang April membeli kompor dan mejikom. Jaga-jaga kalau dia kabur dari rumah maka dia masih bisa masak sendiri daripada beli makanan karena menurut April memasak sendiri lebih hemat.Sekiar sepuluh menitan April berkutat di dapur mungilnya tersebut untuk membuat dua mangkuk mie rasa ayam bawang dengan telur ceplok setengah matang.“Udah jadi!”April tersenyum senang dan menaruh dua mangkuk mie buatannya di atas meja lipat panjang. Mereka berdua saat ini seperti sedang makan di tempat makan lesehan saja. Sean menyantap mie telur ceplok setengah matang buatan April. Enak juga, sih.
Pagi ini April akan memasak sayur bayam dengan tambahan gambas yang dipotong-potong membentuk bulatan kecil, lalu dia juga akan membuat sambal korek serta lauk tempe goreng.April menengok ke belakang hanya untuk melihat sekilas Sean yang sedang bersandar malas di sofa. Makanan yang dimasaknya memang masakan rumahan sederhana. Apa nanti ketika dia membaginya dengan Sean anak itu mau memakan masakannya, ya?April mengedikkan bahunya cuek. Entahlah lidah orang kaya mau atau tidak memakan masakan seperti ini. Tapi kalau sampai Sean mencibir masakannya sebagai makanan ayam pasti April akan menghajar bocah itu betulan.“Halo, Chikaku, Sayang. Apa kabar? Udah lama, ya, kita nggak teleponan lagi. Hari ini kamufreenggak? Nanti malem nonton, yuk, cantik.”Perkataan Sean barusan membuat April yang semula sedang asyik-asyiknya mengulek sambal pun secara otomatis menoleh ke belakang. Oh, ternyata bocah itu sedang bertelepon ria dengan seorang
“Ta-Tara….”Mata April terbeliak saat melihat kedatangan Tara yang tiba-tiba sudah berada di ambang pintu rumahnya.Apalagi saat ini terlihat wajah tampak... tampak sangat marah.Dengan kesusahan April mencoba berdiri dari atas tubuh Sean. Dia merutuki kebodohannya sendiri. Kenapa pula dia bisa jatuh dan berakhir dengan posisi seperti itu. Pasti Tara akan berpikiran macam-macam.“Ta-Tara. Dengerin a-aku....”Bagaimana dia menjelaskan ini semua kepada Tara?Tara tampak mengeratkan rahangnya. Tangannya mengepal kuat-kuat. Ditatapnya Sean dengan pandangan mematikan.“Tar. Ini nggak seperti yang kamu bayang—”Belum sempat April menyelesaikan ucapannya. Dengan langkah cepat Tara menghampiri Sean yang sedang mengusap bajunya kotornya karena terjatuh. Tanpa ba-bi-bu Tara pun mencengkeram erat kerah baju Sean.“Siapa kamu? Apa yang kamu lakuin di rumah tunangan saya, hah?!&r