Ana menatap ke arah gedung pencakar langit itu. Ia datang lebih awal hari ini, namun ia masih belum menemukan informasi mengenai pria itu. Sial.
"Baiklah, aku akan berpasrah diri saja pagi ini. Lagi pula aku memang tak ingin bekerja di sini," gumam Ana sembari berjalan menuju ke arah dalam dari gedung tersebut. Semuanya nampak sepi, belum terdapat satu pun pegawai di sana. Ana kembali melirik ke arah arlojinya, masih pukul 6 pagi. Ia datang sangat awal sekali rupanya. "Baiklah, aku tidak peduli," gumam Ana dan setelah itu bergegas menuju ke arah lift. Ia akan menunggu di ruang wawancara yang sempat ia datangi kemarin. Ana memejamkan kedua matanya sejenak ketika ia berada di dalam lift itu. Rasanya sangat melelahkan, padahal ia hanya mencari identitas dari pria itu. "Ternyata sulit sekali, aku bahkan tak bisa menemukan informasi apa pun soal dirinya," gumam Ana, bersamaan dengan terbukanya pintu lift tersebut. Ia berjalan beberapa langkah ke depan dan mencoba mengingat kembali ruangan yang sempat ia datangi kemarin. "Pintunya hampir sama semua. Apakah mereka tak ingin mengubahnya agar terlihat berbeda?" gumam Ana seketika. Dengan keyakinan yang bulat, ia pun membuka asal sebuah pintu yang saat ini berada di hadapannya. Seketika itu juga Ana memberhentikan langkahnya. Sepertinya ia baru saja menginjak sesuatu yang keras di kaki kanannya kali ini. Ana menundukkan kepalanya sejenak dan setelah itu memeriksa keadan di bawah sana. Rupanya sebuah flashdisk. Ia pun segera memungutnya, walaupun dalam keadaan yang malas, tapi tetap saja ia melakukannya. Dihadapannya kali ini sudah terlihat sosok yang menyebalkan bagi Ana sejak kemarin. Ya, ia adalah sosok yang telah menyuruh Ana mencari identitasnya yang begitu sulit untuk di dapat itu. Namun, kali ini pria itu nampak kebingungan sambil mencoba untuk memeriksa sebuah lemari yang berada di hadapannya. Kali ini ia telah membelakangi Ana dan mungkin saja tak mengetahui kehadiran dirinya. "Ehem.." Pria itu terdiam sejenak saat mendengar suara yang dihasilkan dari Ana. Ia menoleh ke arah belakangnya dan saat ini membulat lebar, "Kau? Kenapa berada di sini?" "Aku ingin wawancara kembali, sesuai dengan perintahmu, tapi aku belum mendapatkan-" "Tahan di sana. Aku sedang mencari sesuatu yang amat penting sejak semalaman," potong Nath seketika. Ana mengernyit. Ia lalu duduk di kursi yang berada di hadapannya saat ini, "Sebuah flashdisk hitam?" "Ya, benda kecil itu berwarna hitam," jawab Nath kemudian. Namun, setelah sadar akan hal tersebut, pria itu seketika memberhentikan kegiatannya dan mulai menatap ke arah Ana sejenak, "Tunggu, bagaimana bisa kau mengetahuinya?" Dengan rasa yang begitu mengantuk sekali, Ana lantas memperlihatkan benda yang telah dicari oleh pria yang satu ini, "Apakah ini? Ia terjatuh di dekat pintu ruanganmu. Jadi, aku mengambilnya tadi." Nath nampak menghela napas lega dan ia tersenyum lebar. Saat Nath ingin mengambil kembali miliknya, tiba-tiba saja Ana menarik kembali tangannya dan menatap ke arah pria itu. Nath nampak berantakan pagi ini, sepertinya ia tak kembali ke rumahnya semalaman penuh, begitu pikir Ana beberapa saat. Tapi, pria ini tetap tampan. Ana mengerjap, ia tersadar sementara dari rasa kantuknya kali ini, "Sebelum kau menerima kembali barang milikmu ini, aku ingin meminta satu permintaan kepadamu." "Kau ingin bekerja langsung di kantorku ini? Tentu saja, kesempatan terbuka untukmu langsung tanpa apa pun, kau sudah membantuku untuk menemukan benda penting ini. Lagi pula sekretarisku telah menghubungimu kemarin, kau juga sudah diterima di sini,” potong Nath yang tak sabaran sekali. "Aku ingin menarik kembali lowonganku. Sepertinya aku sudah tak berminat untuk bekerja di sini. Bagaimana?" tanya Ana seketika. Nath membulat lebar, "Apa? Kau aneh sekali. Ketika orang menginginkan pekerjaan ini, tapi kau justru mengundurkan diri begitu saja." "Aku tak suka dengan CEO di sini. Jadi, aku akan menarik lowonganku kembali. Terima kasih, anggap saja aku tak pernah melamar pekerjaan di sini," jawab Ana seketika meletakkan benda hitam tersebut. Ana lalu bangkit berdiri dan pergi berlalu dari posisinya saat ini. Saat berada di luar ruangan itu, ia bertemu dengan Jesica yang hendak masuk ke dalam ruangan yang sama. "Selamat pagi, Ana. Kau datang lebih awal rupanya. Tapi, apakah Tuan Hamilton sudah ada di dalam?" tanya Jesica kepadanya. Ana mengangguk, "Selamat pagi. Jika maksudmu adalah pria menyebalkan itu, tentu saja, ia sudah berada di dalam sana sejak... entahlah." "Ah, baiklah. Sepertinya ia tak kembali pulang kemarin," gumam Jesica seorang diri. Ia lalu menatap kembali ke arah Ana, "Oh ya, ruangan untuk wawancara sama seperti kemarin. Hari ini kau juga akan di wawancarai oleh manager kami. Ruangannya di sana, seperti kemarin." Ana lantas menatap ke arah sebuah ruangan yang berada di hadapannya saat ini. Ah, rupanya sejak tadi Ana telah memasuki ruangan yang salah. Pantas saja cukup asing. "Terima kasih, Jes. Tapi aku sudah bertemu dengan bosmu itu dan mengatakan langsung bahwa aku menarik kembali lamaranku. Aku menolak semuanya," jawab Ana. Jes yang mendengar nya lantas begitu terkejut, "T-tapi, kenapa? Bahkan kau sangat memenuhi kualifikasi sekali untuk posisi itu, Ana." "Ia menyebalkan," bisik Ana dan setelah itu pergi berlalu. Ia sudah tak peduli lagi dengan yang namanya attitude. Peduli setan! Setelah kedua pintu lift itu tertutup, Jes lantas masuk ke dalam ruangan milik Nath. Di sana nampak pria itu yang sepertinya hendak pergi saat ini. "Selamat pagi, Tuan Hamilton." Nath menatapnya, "Selamat pagi, Jes. Bagaimana dengan jadwalku hari ini?" "Tidak ada jadwal apa pun sampai besok, Tuan. Hanya ada beberapa berkas yang perlu di tandatangani," jawab Jes seraya meletakkan beberapa berkas di sana. "Biarkan saja di mejaku. Aku akan kembali lagi nanti," jawab Nath dan setelah itu pergi berlalu dari dalam ruangannya. Ia juga tak menggunakan jasnya, hanya membawanya saja. Jes hanya mengangguk saja sambil menatap langkah kepergian Nath yang saat ini telah pergi berlalu dari ruangannya. "Sepertinya ia sangat sibuk. Tapi ngomong-ngomong, kenapa Ana menolak pekerjaan itu tiba-tiba? Hanya karena Nath menyebalkan? Tapi tidak juga, ia justru sangat pendiam, bahkan berbeda jauh dengan Ayahnya yang dulu sempat menjadi CEO beberapa tahun yang lalu. Sangat galak," gumam Jes sejetika. Di sisi lain, saat ini Nath ingin menyantap sarapannya pagi ini. Semalaman tak menyentuh makanannya lantas membuatnya cukup lapar hingga pagi ini. Ia melirik arlojinya sejenak dan setelah itu tersenyum, "Sepertinya ia sudah pergi ke cafetaria itu pagi ini. Mungkin aku bisa mengunjunginya sekarang. Sesekali menerima tawarannya tak akan menjadi masalah ***Nath menatap ke arah sebuah cafetaria yang berada tepat di sebelah kirinya saat ini. "Hm, tak begitu buruk. Semoga saja makanan di dalam sana sesuai dengan apa yang selalu ia katakan kepadaku selama ini," gumam Nath dan setelah itu keluar dari dalam mobilnya.Ia sempat mengintip beberapa saat ke arah dalam untuk memastikan jika pria itu sudah berada di dalam sana.Dan rupanya tepat sekali, terlihat sosok pria tampan yang sedang melayani seorang wanita di dalam sana. Ia menahan senyumannya sambil berjalan masuk dan mendekati meja kasir itu."Kau lebih cocok bekerja seperti ini, nampak ramah," ucap Nath seketika dan hal tersebut membuat David Hamilton - adik kandungnya itu menatap ke arah Nath seraya terkekeh."Apakah tampangku tak cocok untuk menjadi seorang polisi?" goda David seketika."Cocok, kau juga genit," jawab Nath kemudian.David terkekeh kembali, "Well, sepertinya kau tak kembali pulang semalaman. Mau menyantap sesuatu? Sesuai dengan perkataanku, semuanya lezat. Kau bisa mem
Ana menatap ke arah gedung pencakar langit itu. Ia datang lebih awal hari ini, namun ia masih belum menemukan informasi mengenai pria itu. Sial."Baiklah, aku akan berpasrah diri saja pagi ini. Lagi pula aku memang tak ingin bekerja di sini," gumam Ana sembari berjalan menuju ke arah dalam dari gedung tersebut.Semuanya nampak sepi, belum terdapat satu pun pegawai di sana. Ana kembali melirik ke arah arlojinya, masih pukul 6 pagi. Ia datang sangat awal sekali rupanya."Baiklah, aku tidak peduli," gumam Ana dan setelah itu bergegas menuju ke arah lift. Ia akan menunggu di ruang wawancara yang sempat ia datangi kemarin.Ana memejamkan kedua matanya sejenak ketika ia berada di dalam lift itu. Rasanya sangat melelahkan, padahal ia hanya mencari identitas dari pria itu."Ternyata sulit sekali, aku bahkan tak bisa menemukan informasi apa pun soal dirinya," gumam Ana, bersamaan dengan terbukanya pintu lift tersebut.Ia berjalan beberapa langkah ke depan dan mencoba mengingat kembali ruangan
"Nasi campur dan es jeruk." Ana terlihat menahan dirinya untuk tak memesan menu sapi panggang atau pun ayam panggang yang tertera di sana. "Semuanya Rp18.000, ada tambahan lagi?" tanya sang kasir. Ana menggeleng. Ia lalu menyerahkan uang miliknya dan nampak menatap sang kasir yang tentu saja sangat tak asing baginya. "Ah, kau lagi rupanya. Apakah waktumu untuk bekerja adalah tiap waktu di sini?" tanya Ana. Pria itu mengangguk sambil memberikan uang kembalian milik Ana, "Tentu. Aku sedang mencari uang tambahan di kota ini. Rupanya sangat sulit sekali." Ana mengangguk setuju saat mendengarnya, "Kau benar sekali. Ngomong-ngomong, aku Ana. Senang bisa bertemu denganmu kembali. Kau bahkan telah memberikanku sebuah informasi penting tentang diskon besar-besaran itu kemarin." "Namaku Gab. Dengan senang hati, aku akan memberitahukan mengenai diskon itu lagi kepadamu, bagaimana?" tawaran itu tentu saja membuat Ana mengangguk antusias. "Kau bisa menyimpan nomor ponselku. Biarkan
Ana masih mencoba untuk menjernihkan isi otaknya saat ini. Ia benar-benar masih tak menyangka sama sekali dengan apa yang ia lihat di saat ini juga. "J-jadi, supir yang bernama Ucup itu adalah atasanku yang sebentar lagi akan melakukan sesi wawancara kepadaku? Yang benar saja?" gumam Ana di dalam hatinya. Astaga, ia benar-benar tak menyangka sekali. "Selamat pagi, bisa kita mulai sesi wawancara untuk hari ini?" tanya Nath yang telah menduduki kursi singgahsananya itu kali ini sambil menatap ke arah Ana yang tetap tak berkutik di hadapan Nath. Ana mencoba untuk berpikir jernih. Ia lalu menghela napas sejenak, "Selamat pagi. Tentu saja." "Padahal seharusnya ia tak perlu memastikan apa pun lagi kepadaku, mulai saja wawancara, banyak bicara," gerutu Ana di dalam hatinya. Seorang wanita cantik berambut pirang nampak menyapa Ana dengan seulas senyuman manisnya. Menurutnya, ia sangat galak dan disiplin, mungkin saja menjadi salah satu wanita yang disukai oleh atasannya itu. Lihatlah
"Astaga, aku terlambat!" Ana terbangun karena ia mendengar suara yang berdering sangat keras sekali dari arah ponselnya. Tentu saja itu adalah bunyi dari alarm miliknya. Tak ada yang bisa ia lakukan lagi selain mempersiapkan dirinya dan juga menyantap sarapannya itu. Untung saja ia masih memiliki satu menu makanan yang kemarin ia simpan. Hanya perlu menghangatkannya saja setelah ini. Ana lalu menatap ke arah jam dindingnya saat ini sambil menyantap sarapannya itu. Ia hanya memiliki waktu 30 menit saja sebelum sesi wawancara itu di mulai hari ini. "Semuanya sudah siap, tak usah menggunakan lipstik, sudah tak sempat untuk melakukannya," gumam Ana kemudian. Setelah ia membawa seluruh berkas dan juga perlengkapan miliknya itu, Ana lalu memutuskan untuk memesan ojek online. Tentu saja waktunya sudah sangat mepet sekali saat ini. Apalagi jarak kantor itu cukup jauh, belum lagi keadaan yang akan tersendat akibat banyaknya orang yang hendak pergi untuk bekerja pagi ini. "Seharusnya
Anastasia Ville - perempuan berusia 23 tahun itu tengah memeriksa ulang semua berkas yang telah ia unggah ke dalam formulir online tersebut. Sudah satu jam lamanya ia berkutat dengan semua itu, bahkan untuk sarapan saja ia masih belum sempat melakukannya. "Baiklah, Ana, sebentar lagi semuanya selesai. Kau bisa melanjutkan kegiatanmu pagi ini dengan sarapan di luar sana, tapi tetap saja kau harus mencari makanan yang murah," gumam Ana seorang diri. Seulas senyuman manisnya pun terbit. Perempuan berambut cokelat itu lantas segera menekan tombol enter pada laptopnya. Alhasil, semua berkas yang telah ia masukkan pun sudah tak terlihat kembali. Ana menghela napas lega. Ia lalu menutup kembali laptop pribadinya itu dan segera beranjak dari posisinya saat ini. Sebentar lagi ia harus pergi ke salah satu cafetaria yang berada di dekat rumahnya itu. Ana mencoba untuk menghirup aroma tubuhnya sejenak. Ia mengedikkan kedua bahunya setelah itu, "Semuanya aman. Tubuhku masih wangi dan tent