Share

Bab 2 : Wanita Lain Diantara Kita

Setelah selesai salat subuh, aku sebagai seorang istri harus sudah siap siaga di dapur untuk berkutat dengan alat dapur beserta bahan-bahannya.

Selalu mengingat apa yang selama ini umi katakan, jika seorang istri selalu bangun lebih awal daripada suami lalu dia menyiapkan sarapan yang terbaik untuk suaminya, akan ada kebaikan untuk keduanya.

Belum tahu apa saja yang dia suka dan tidak disukai, memang benar uminya belum pulang lagi ke Kudus tapi aku sangat malu untuk bertanya padanya apa makanan kesukaan suamiku.

“Masak apa, ya, pagi ini? Aku takut dia nggak suka sama yang aku masak,” ucapku sambil melihat isi kulkas.

Menatap wortel, dan daging ayam menjadi semakin bingung harus masak apa, mau bertanya pun rasanya malu.

“Hmm.”

Ku dengar deheman seorang wanita, langsung ku lihat ke arah sumber suara ternyata wanita itu? Apa dia belum pulang? Tidur di mana dia semalam, jadi penasaran.

“Kamu ....” aku tidak boleh menegurnya, pura-pura tak tahu apa-apa.

“Aku Marwah, Mbak. Ada apa subuh-subuh begini seperti kebingungan?” tanya dia.

Kenapa dia bertanya seperti itu sama aku? Memangnya ini rumah siapa? Hmm, nyebelin sekali wanita ini ya Rabb.

“Oh, iya, kamu pasti bingung siapa aku dan kenapa masih ada di rumah kamu, kenalkan aku Marwah ... dan pastinya aku akan pulang kalau umi juga pulang,” ucapnya.

“Umi siapa? Bukannya yang belum pulang itu mertuaku.” Aku mulai gregetan.

“Ya, uminya Gus Yusuf siapa lagi? Lagian aku nggak punya ongkos untuk pulang sendiri ke Kudus, semalam aku tidur bersama umi, salam kenal, ya.”

Terlalu banyak yang dia ucapkan, apa dia tidak sadar diri? Ah astaghfirullah, lebih baik aku abaikan saja dia. Toh, tidak akan lama juga dia di sini.

“Kamu lagi bingung masak apa, ya, untuk Gus?” tanya dia lagi, perasaan dia sok peduli banget.

“Hmm, ya.” Aku hanya jawab singkat masih menatap isi kulkas.

Tiba-tiba aku terkejut melihat dia mengambil beberapa bahan di dalam kulkas, lebih syok lagi dia langsung berkutat di dapur tanpa memedulikan aku? Hei? Dia? Keterlaluan.

“Hei, Mbak Marwah mau apa? Sini, biar ....”

“Udah aku aja yang masak untuk Gus, lagi pula kamu nggak tahu apa-apa.”

“Tapi aku istrinya, Mbak dan ....”

Dia benar-benar bersikukuh untuk masak tanpa membutuhkan bantuan aku yang masih mematung kebingungan.

“Assalamualaikum, loh kalian berdua ada di sini?”

“Waalaikumussalam, Gus?” Aku pun langsung menghampiri Gus Yusuf dan mencium punggung tangannya.

“Sedang apa kamu Marwah?”

Kenapa tidak menghiraukan aku? Kenapa jadi tanya dia.

“Eh, Gus waalaikumussalam. Ini aku lagi masak untuk kamu sarapan pagi ini, istri kamu nggak becus banget, makanya aku masakin deh,” ucap Marwah.

Astaghfirullah, kenapa dia tega bicara seperti itu tentangku pada suamiku sendiri? Memangnya dia siapa? Mertua bukan, umiku juga bukan.

“Kok, kamu bicara seperti itu, ya? Siapa yang nggak becus? Aku ....” ucapan ku terhenti.

“Marwah, kamu tidak boleh bicara seperti itu, dia istri saya, loh. Ayo, minta maaf sekarang!” titah Gus Yusuf.

“Ih, kok belain dia, sih!” Dengan hentakan kaki Marwah langsung pergi begitu saja meninggalkan kami.

Tidak ada yang berbicara sampai akhirnya aku lebih memilih pergi ke arah kamar saja daripada kepala ini pening dengan kejadian tadi.

“Tunggu,” pinta Gus Yusuf menahan tangan ini untuk tidak pergi.

Karena tak ingin berdosa, aku pun menatapnya dengan malu. Apa dia akan membela wanita itu lagi? Atau ... astaghfirullah jangan berpikir seperti itu.

“Mau masakin saya sarapan, kan?” tanya Gus Yusuf.

Aku hanya bisa mengangguk saja karena tak ingin memperpanjang masalah tadi, tidak penting juga membahas wanita seperti Marwah.

“Di dalam kulkas ada apa saja?” tanyanya lagi.

“Banyak, Gus.”

“Hmm, ada wortel sama daging ayam yang masih mentah?” Gus Yusuf pun membuka pintu kulkas.

Aku langsung tersenyum mendengar itu, kok bisa satu pemikiran? Wortel dan daging ayam?

“Masakin saya sop daging pakai wortel, ya, kebetulan ini ada bahan nya.”

“Bismilah, aku mau, Gus. Kebetulan memang ini yang aku pikirkan tadi,” ucapku.

Dia tersenyum dan membelai kepala ini kemudian merapalkan doa-doa yang langsung aku aamiinkan, sangat tersentuh oleh sikap serta perlakuannya.

“Terima kasih, Ning. Sudah, jangan dipikirkan ucapan Marwah tadi, saya percaya kalau kamu bisa masak, kenapa begitu? Karena suami memang harus percaya istri daripada orang lain.”

“Harusnya aku yang berterima kasih, Gus. Sudah nggak apa-apa kok, aku mulai masak, ya.”

Akhirnya masalah pagi ini terselesaikan dengan baik walaupun awalnya aku sudah berprasangka buruk kepada suamiku.

***

Semua masakan sudah ku siapkan semuanya di meja makan, menunggu semuanya berkumpul tapi ke mana suamiku? Hanya dia dan Marwah yang belum ada.

“Ning, ke mana suamimu? Cepat panggil,” titah umiku.

Hanya mengangguk dan langsung pergi mencari suamiku, ke mana? Kenapa di saat aku bahagia dia justru membuat hati ini sakit.

Sudah mencarinya di kamar tidak ada, entah ada dorongan apa aku langsung melangkah menuju dapur. Ada apa sebenarnya dengan pikiran ini?

Astaghfirullah, aku lihat mereka berduaan lagi? Aku dengarkan saja apa yang seharusnya didengarkan.

“Kenapa, sih, tadi kamu belain dia! Nggak bela aku, Gus.”

“Ya salam, kamu ini kenapa tidak bisa kontrol emosi? Memangnya ini di mana? Ini bukan rumah kita, jangan sampai kamu buat keributan di rumah ini,” ucap Gus Yusuf.

“Ya aku tahu itu, hanya saja aku kesal sama istrimu, Gus. Gimana kalau hari ini kita ke Kudus berdua saja? Ayo, kita ....”

“Istighfar kamu, Marwah. Cinta kita sudah tak sehat, tidak seharusnya ada lagi. Jangan berharap lebih lagi, siang ini kamu harus pulang bersama umi, tidak ada kata tapi!”

Ku lihat dan mendengar dengan jelas, kini Gus Yusuf tengah berjalan menuju ke tempat persembunyian ku, gimana ini? Bakalan ketahuan tidak, ya.

Aku pejamkan kedua mata dan ku bekap mulut ini, jangan sampai ketahuan oleh siapapun.

“Ning, ayo, kita sarapan. Jangan pikirkan apa yang kamu dengarkan.” Aku mendengar itu, tangan ini pun ditarik dengan halus olehnya.

Gus Yusuf kok bisa tahu aku sembunyi di sini? Kok bisa, sih?

“Ning, kenapa diam? Ayo, kita makan.”

Tetap saja perasaan seorang wanita tidak bisa dibohongi oleh senyuman ataupun kata baik-baik saja, apalagi sekarang aku sudah ketahuan sedang bersembunyi oleh suamiku, entah dari mana dia tahu, aku hanya bisa diam tidak tahu harus bagaimana dalam menyikapinya.

Walaupun sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin sekali aku tanyakan kepadanya, tetapi semua itu aku urungkan terlebih dahulu sampai situasi benar-benar kembali membaik, dan hatiku pun siap melewatinya.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Herlisdayanti Piongan
mantap ceritanya
goodnovel comment avatar
Emeli Emelia
suka ceritanya ayo ayo semangat
goodnovel comment avatar
Ratu Halu
Terima kasih Kak...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status