“Ini undangan siapa Tis,” Rina melirik undangan yang diletakkan Atisha dengan hati-hati di sampingnya. “Rin, lo jangan marah ya ...” Bujuk Atisha. “Ngapain gue mesti marah? Oh iya seragam bridesmide lo ada di mobil gue. Entar lo ambil ya, ingetin gue.” Rina terlihat sangat lahap dengan soto ayamnya. Sementara Atisha, menenggak ludahnya pun terasa berat. “Kenapa lo? Dari tadi ngeliatin gue mulu, lo bohong ya kalau sudah makan?” “Eh, enggak kok. Beneran gue sudah makan kok, tadi bareng suster Dewi.” Perempuan itu tersenyum. Berdoa dalam hati, semoga sahabatnya tidak mencekiknya setelah membaca undangan itu. “Eh, undangan siapa sih nih? Cantik banget.” Setelah menghabiskan sotonya, Rani kembali mengalihkan perhatiannya ke arah undangan gold yang tampak mewah itu. Sementara Atisha semakin menunduk sambil menggigit bibirnya. “Khuuuk…!!!” Rani tersedak lalu menyemburkan es tehnya kearah Atisha saat membaca nama calon pengantin wanita dalam undangan, dr. Atihsa Namira. Rani membaca na
“Mbak Atisha memang dasarnya cantik banget, jadi cuma di poles sedikit mak-up aja sudah tampak luar biasa! Benarkan Mbak?” perias itu menatap takjub pada Atisha, kemudian menoleh pada Rina yang duduk di atas tempat tidur menatap sahabatnya lekat. Bagaimana perasaanmu saat melihat sahabat yang teramat kamu sayangi menikah, senang atau sedihkah? Jelas perasaan itu sulit di lukiskan, terlebih sahabatmu itu selama ini hampir tak pernah terlihat sedang menjalin hubungan asmara dengan pria manapun. Pada akhirnya bukan Atisha yang lebih dulu menangis tersedu ditinggal nikah sahabatnya, namun Rina yang terus mengelap sudut matanya, Atisha mendahuluinya dengan cara yang sadis. “Lo jahat banget sama gue, rencanaain pernikah nggak bilang gue dulu. Padahal saat Rian ngelamar gue, elo yang pertama gue kabarin … Kesal!” Perempuan itu cemberut namun tetap memeluk Atisha yang telah memakai gaun pengantinnya. Atisha hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya. “Gue ngambek mati-matian, sampai bersump
Atisha berjalan tergesa saat tiba di depan rumahnya, entah mengapa hatinya menjadi terasa sangat gamang saat tiba di undakan tangga pertama. Melihat beberapa pasang sandal yang berjajar di depan teras rumah minimalis itu. Terasa seperti ada desakan yang membuatnya sontak berlari memasuki rumah menuju kamar sang Oma. “Bi…!” Panggilnya dengan suara bergetar pada asisten rumah tangga yang tengah duduk di samping neneknya yang tampak lelap. Beberapa orang tetangga menatapnya dengan linangan air mata. “Kenapa? Oma kenapa?” Tanpa menjawab pertanyaan Atisha, perempuan yang dipanggilnya bibi itu justru memeluknya dengan erat disertai dengan raungan tangis pilu. Tak ada satu katapun yang mampu terucap di mereka namun justru membuat Atisha membeku, jantungnya seakan lolos dari tempatnya. Perempuan itu lalu berjalan pelan, mendekat ke pembaringan sang Oma, mendekap jasad yang masih hangat itu dalam diam. ~ “Kita pulang ya Atisha,” Rina duduk mendekap sahabatnya, menatap gundukan tanah merah
“Istri aku mana Ma?” Pemuda itu menyalimi tangan sang ibu, Baru pulang kantor. Ia melonggarkan dasinya lalu menggulung lengan kemejanya.“Sudah kangen saja kamu Raf,” Raisa menatap kearah putranya sambil tersenyum jail.“Kerja saat weekend itu menyebalkan.” Raffan mengeluh. Padahal sebelum menikah, pria itu tidak ada masalah bekerja saat weekend.“Coba deh lihat ke samping taman samping, tadi Atisha lagi duduk di gazebo.” Raffan mengangguk, lalu kemudian berjalan menuju tempat yang dimaksud. Tak dipungkiri, sebulan terakhir sejak pernikahan mereka, Atisha telah menjadi obat mujarab untuk menghapus letihnya. Bahkan hingga kini pria itupun tak tau mengapa dengan mudahnya keakraban mereka terjalin, kebersamaan mereka selalu dilingkupi dengan kenyamanan dan kedamaian yang begitu ia nikmati. Pemuda itu tersenyum kala mendapati gadis bercadar yang sedang duduk di bawah naungan pohon pinus. Istrinya telah konsisten memakai cadar sejak pernikahan mereka. Atisha berayun malas, dengan kedua k
“Udah cukup, kopinya kebanyakan.” Protes Raffan saat istrinya hendak menyendok bubuk kopi lagi ke portafiliter. Keduanya tengah sibuk di depan coffe maker.“Bubuk kopinya kita padatkan dulu, begini …” Raffan menunjukkan, menekan dan memadatkan bubuk kopi di portafilter menggunakan coffe tamper. Sementara Atisha memperhatikan dengan saksama sambil bertopang dagu, lalu tersenyum. Memerthatikan sang suami, otot bisepsnya tercetak jelas pada kemeja biru muda yang digulung sebatas siku, rambutnya sedikit berantakan namun tetap terlihat awesome.“Atisha …” Raffan menggeleng pelan saat istrinya justru mengangkat kedua tangan membentuk bingkai dengan ibu jari dan telunjuknya, lalu diarahkan pada wajahnya. Raffan hanya mengedik pasrah, saat perempuan itu terlihat serius.“Apa?” Raffan itu menaikkan alisnya. “Bentar deh.” Atisha justru mendekat lalu menyentuh kepalanya, membuat pria itu tercekat menghidu aroma violet dari istrinya. “Rumput.” Atisha menunjukkan sejumput rumput yang tadinya men
Perempuan berjas putih itu menatap pergelangan tangannya, kemudian tersenyum saat waktu sudah menunjukkan jam pergantian shift. Namun tak bertahan lama, saat handphone-nya berdering dan rekan kerjanya, dokter yang harusnya menggantikan shiftnya malam ini, memintanya untuk memperpanjang jam kerjanya karena ada urusan. “Kenapa dok?” Tanya Dewi, perempuan yang selalu kepo dengan urusannya. “Lanjut kerja Dew, dokter Adrian terlambat karena ada acara katanya.” Atisha mengedik, sementara perempuan yang memakai seragam perawat itu terkekeh. “Padahal beberapa menit lalu udah bahagia banget, pingin cepat-cepat pulang ketemu ayang, hihi ...” Perempuan itu menggoda Atisha yang membuat perempuan itu cemberut. “Dok, bagi tips dong. Gimana caranya biar dapat suami super ganteng plus tajir melintir?” Suster itu, menarik kursi dan duduk di samping Atisha. “Seriusan kamu nanya tips itu? Perasaan dua bulan lalu kamu bilang kamu takut nikah deh.” “Ya itu! Saya jadi pingin nikah karena terinspirasi
"Suami!" Panggil Atisha, sambil mengangkat jas putihnya yang tersampir di lengannya. Perempuan itu tersenyum lebar saat mendapati Raffan yang tengah duduk di ruang tengah sambil sedang bermain PS."Capek banget. Tumben Mas Raf, jam segini masih main PS?" Tanya Atisha setelah bergabung disebelah pria itu."Kamu kenapa baru pulang jam segini? Bukannya sift kamu berakhir dua jam lalu? Sekarang sudah hampir tengah malam." Raffan berucap dingin sambil melirik pergelangan tangannya."Khawatir ya?! Cie yang khawatir istrinya pulang terlambat, manis banget sih." Bukannya menjawab pertanyaan Raffan, Atisha justru menggodanya sambil mencolek dagu pria itu. Membuat pria itu mendengus, lalu bangkit dari tempat duduknya. Atisha ikut menyusul pria itu menuju kamar, sambil bergelendot manja di lengannya sang suami."Tadi dokter pengganti aku terlambat karena ada acara keluarga, jadi aku lanjut kerja sampai dia datang."“Siapa nama dokter itu? Lancang sekali membuat kamu pulang selarut ini, apa di
"Jangan bandel Ran." Atisha merebut kembali sushinya dari jepitan sumpit sahabatnya. Membuat Rani mencebik kesal. Keduanya tengah duduk salah-satu sudut restoran Jepang langganan mereka. "Satu aja Tisha, gue ngiler banget pengen makan sushi." Rani berenggut kesal, sementara Atisha mendelik. "Ikan mentah nggak baik untuk kesehatan ibu hamil kayak kamu." Rani berenggut menatap sup jangung di depannya tanpa minat. Perempuan itu tengah berbadan dua setelah satu tahun lebih pernikahannya. Waktu tanpa terasa begitu cepat berlalu, keduanya menikah dengan perbedaan rentang waktu yang hanya berselang beberapa hari. Melihat bagaimana sahabat begitu menikmati masa-masa indah menjadi calon Ibu, membuat Atisha merasakan keinginan seperti apa yang dialami sahabatnya. Namun, ia cukup sadar diri bahwa pernikahannya tidak seperti pernikahan pada umumnya, bahkan menjelang tahun kedua pernikahan mereka. Raffan terlihat sama sekali tidak memiliki minat padanya, sementara Atisha sendiri? Entah jenis pera