Zita sibuk menghitung total goodybag untuk dibagikan ke acara santunan anak yatim piatu, tak tanggung-tanggung, lima ratus bingkisan disiapkan para perkumpulan ibu-ibu itu. Dety juga sudah mengantarkan makanan untuk Zita, mereka juga berangkat bersama menuju Aula utama.
Jika para wanita berkumpul, maka tak hanya tangan yang bergerak, tapi juga mulut, betul? Jadilah ajang rumpi masal. Selain memang mereka mau membahas acara sunatan masal yang menjadi agenda selanjutnya. Sepertinya para ibu ini begitu aktif dan selalu mau berkegiatan. Jiwa darmawanitanya luar biasa.
"Ta, Zita," panggil Dety. Zita menoleh, menghentikan gerakan tangannya mencatat di buku yang sudah disiapkan panitia untuknya.
"Apa, Mbak?" Zita beranjak.
"Ini, ada yang antar surat, keselip nama kamu, dari Pandu!" Dety yang kalau bicara tak bisa pelan, membuat Zita di goda semua orang.
"Awww... Zita, Mas Pandu romantis banget kirim surat, jadul banget caranya," ledek salah satu ibu-ibu itu. Zita hanya bisa senyum-senyum sambil gerutu di dalam hati.
Apa-apaan Mas Pandu, bikin malu, hih!. Kesal sekali Zita. Ia duduk kembali ditempatnya, mulai membuka surat itu.
Zita,
Maaf, aku kirim surat, bukan apa-apa, aku dapat kabar mau ada badai di sini, semua jaringan komunikasi bisa terputus sementara. Ini salah satu resiko lainnya, Zit. Biasanya nggak sampai berhari-hari, maksimal satu malam, tapi ya, namanya cuaca, kita nggak bisa prediksi.
Hati-hati di rumah ya, aku titip surat ini karena pas surat ini sampai di kamu, di sini semua komunikasi untuk ke darat mulai off. Aku kabarin kamu kalau semua udah normal.
Mas Pandu.
Begitu isi surat itu, Zita diam seketika. Ia sudah kesal duluan padahal belum membaca isi surat itu.
"Bu Rima, emang kalau di laut lagi ada badai, komunikasi keputus atau off sementara?" tanya Zita.
"Iya, kenapa, Zita? Pandu kirim surat untuk kasih tau hal itu ya?" Rima menatap Zita yang menjawab dengan anggukan kepala.
"Nggak apa-apa, semua bisa diatasi, memang resiko kita begini, kalau udah berhadapan dengan cuaca, cuma bisa berdoa yang terbaik untuk suami kita di tengah laut. Tenang, jangan khawatir, ya." Rima mengusap lengan Zita. Istri Pandu itu kembali melanjutkan kegiatannya walau ia mendadak kepikiran.
Cuaca berubah mendung, berita badai itu sepertinya bukan hoax, kata Dety, imbas di darat paling hujan deras mati padam listrik. Zita mengecek perlengkapan jika listrik padam seperti lilin, senter dan lampu emergency jika dibutuhkan. Ia juga mengecas ponsel hingga penuh untuk jaga-jaga jika hening menyelimuti malamnya yang dipastikan tak ditemani Pandu videocall.
Awan gelap begitu pekat, padahal masih jam lima sore, ia sudah di rumah, duduk di ruang tamu mengintip langit abu-abu dari balik tirai.
"Tante Zita!" teriak anak sulung Maya. Zita keluar, berjalan menghampiri.
"Ya, Bang, ada apa?" tanya Zita dengan wajah panik.
"Ini, Bunda baru selesai bikin sop ayam, buat Tante Zita makan, Ado taroh sini ya, Tan, langitnya serem!" pekik Ado sembari berlari. Meletakkan mangkuk berisi sop ayam di atas tembok pembatas rumah yang tingginya hanya sebatas pinggang Zita.
"Makasih Ado! Kak Maya!" teriak Zita yang bergegas masuk ke dalam rumah ia juga mengunci pintu. Televisi ia nyalakan, menghalau sepi dirinya sembari menikmati makanan dari Maya.
Terdengar suara rintik hujan yang turun perlahan dan tak lama deras. Membuat suara televisi tak terdengar. Zita mengintip lagi, awan begitu pekat, membuatnya bergidik. Di darat saja sudah sekelabu itu, belum lagi angin yang kencang. Bagaimana di laut.
Mas Pandu, Zita teringat pria itu. Ia membawa mangkuk kosong ke bak cuci, memeriksa pintu belakang untuk tempat jemur baju sudah terkunci atau belum, ia memastikan sekali lagi lilin, korek, senter, dan lampu emergency. Siaran televisi tak ada yang seru, salah, Zita yang mendadak mood-nya drop, ia menghelana napas gusar, duduknya tak tenang, pikirannya terbang membayangkan apa yang terjadi di tengah laut sana.
Ponsel ia nyalakan, ingin menghubungi Nadin untuk sekedar bercerita, namun, sinyal pun padam, apa badai menyebabkan gangguan itu, dan tak lama listrik padam.
***
Pukul sembilan malam, Zita duduk termenung masih di ruang tamu, ia menatap lilin yang berdiri tegak sendirian, tapi mampu menerangi area sekitar. Jangan tanyakan ke mana lampu emergency, karena lampu lupa di cas Pandu dan tak bisa digunakan. Ke mageran Pandu kalau udah di rumah berimbas kekesalan Zita.
Mati gaya, tak ada yang bisa ia lalukan selain tiduran di sofa sembari memainkan game candy crush yang sudah membuat Zita jenuh karena levelnya nggak selesai-selesai. Hingga kini ia beralih melihat galery foto di ponselnya itu.
Foto-foto saat ia di Yogya, naik sepeda bersama Bagus ke sawah dan kebun lada tetangga, hingga saat Zita sok-sok'an gaya foto di tempat hits kota itu yang ia sambangi sekedar numpang foto, bukan ikut nongkrong. Bagus akan menyeretnya pulang jika ikut nongkrong-nongkrong. Terlalu ketat penjagaan untuk Zita.
Jemarinya berhenti saat melihat foto pernikahan dadakannya dengan Pandu. Zita menatap kamera ponsel saat difoto, namun Pandu justru menatapnya sembari tersenyum. Jelas tampak suaminya itu bahagia. Bergeser ke foto lainnya, yang membuat ia tertawa sendiri. Ternyata Pandu mengirimkan banyak foto pria itu ke ponsel Zita yang memang jarang ia utak atik galerynya.
Ada foto Pandu di tempat kerja, sata bersama Nadin waktu kecil dulu, saat sekolah, kuliah, dan saat mendadak satu foto membuat Zita bengong yaitu. Saat Pandu selfie dengan Zita yang sedang terlelap tidur. Pandu tersenyum tampan, mendadak senyuman itu menular ke Zita, ia menggeser layar lagi, masih dalam momen yang sama, tapi kali ini Pandu mencium keningnya. Zita mengulum senyum melihat foto itu.
Dan, berakhir pada saat Pandu mengabadikan momen Zita sedang berkebun di teras depan, kali ini video, saat Zita berjongkok, menanam bibit bunga mawar, rerumputan baru dan mendongak sembari berkacak pinggang saat melihat pohon kamboja. Terdengar suara pandu cekikikan dalam video itu, dan, selesai.
Zita ingat, momen itu di mana saat Pandu di dapati Zita main PS 5, ternyata diam-diam suaminya itu merekam adegan itu. Ia tersenyum lagi, kantuk melanda, dan Zita memejamkan mata.
***
Zita terbangun, ia melihat cahaya lilin sudah meredup, listrik sudah menyala kembali dan jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Ia duduk, memadamkan lilin dengan ia tiup, lalu mencoba mengirim pesan singkat ke suaminya.
Masih tak terkirim. Bahkan ia mencoba telpon juga tak bisa. Televisi menyiarkan drama korea dini hari, ia memutuskan menonton saja sembari membuat kopi susu hangat, ia juga masih punya roti tawar dan selai cokelat, cocok untuk keadaan genting dengan kegalauan hati yang melandanya.
Di dalam hati, ia terus berdoa untuk keselamatan suaminya, mendadak debaran jantungnya berdetak kencang setelah ia berdoa. Ia memegang dadanya.
Apa aku mulai suka sama Mas Pandu?. Tanyanya dalam hati. Ia akui, jika hidupnya mulai terbiasa dengan adanya Pandu. Pria itu membawa suasana baru bagi hidupnya yang terlalu dilindungi bude dan sepupunya.
Sekali lagi Zita mencoba menghubungi ponsel suaminya, dan lagi-lagi nihil. Saluran TV ia ganti ke berita lokal. Berita tentang badai dan hujan lebat membuat perasaan Zita ketar ketir, tak bisa membayangkan sepanik apa para pekerja di tengah laut mengatasi masalah itu. Gelombang di dalam laut bisa saja membahayakan kegiatan kerja mereka. Gulungan ombak juga pasti tinggi, dan Pandu bertanggung jawab mengawasi sambungan pipa minyak itu bersama timnya yang tak segan turun ke lokasi.
Zita menggigit kuku-kuku jarinya, helaan napas gusar ia hembuskan berkali-kali.
"Mas Pandu, kabarin aku secepatnya, aku khawatir." Lirihnya hingga membuat air matanya menetes. Zita menangis? Sedih karena Pandu. Fix ia jatuh cinta dengan suaminya yang tak ada kabar hampir dua puluh empat jam. Lose contact itu membuat Zita uring-uringan sendiri.
Zita dan Pandu berjalan-jalan di taman yang ada di kota Istanbul, keduanya begitu menikmati hari yang selama ini mereka nantikan. Keempat anaknya sibuk dengan acara jalan-jalannya sendiri bersama saudara sepupu lainnya. Bangku taman itu mereka duduki, Pandu membenarkan kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Zita memberikan es kopi miliknya ke tangan Pandu, karena ia ingin mengambil ponsel miliknya dari dalam tas. "Mas, kita foto-foto dulu, selfie dulu biar keceh..." ujarnya sambil mengarahkan layar ponsel ke arah keduanya. Pandu bahkan tersenyum bahagia, dan ada yang foto sambil mencium pipi istrinya itu. "Zit, kalau rambutku di cet cokelat tua bagus kayaknya, deh," tanya Pandu sambil menyugar rambutnya yang masih lebat. Bagaimana tidak, Zita rajin membalur rambut Pandu dengan ramuan cemceman warisan budenya, dengan minyak kemiri, juga bahan-bahan tradisional lainnya. "Nggak usah. Ngapain, mau centil kamu. Puber ke dua? Iya?"
Hidup manusia itu layaknya roda berputar, itu benar. Pengulangan lingkaran kehidupan itu pasti akan terjadi. Tak jarang, banyak yang berpikir untuk mengubah jalan hidupnya menjadi lebih baik dari pada yang terdahulu, baik orang tua tua sendiri, atau menyangkut jalan hidup anggota keluar lainnya. Pandu dan Zita, menikah begitu cepat, kenalan juga cepat, harus menikah siri lebih dulu sebelum buku nikah diterima di tangan, tapi mampu membangun rasa cinta dua orang asing yang akhirnya, merasa terikat dan begitu saling membutuhkan seumur hidup. Tahun demi tahun mereka lewati, ujian rumah tangga mereka hadapi, pun, saat ujian berganti saat menerpa anak-anak mereka. Duta sempat berkelahi dengan remaja seusianya saat mengganggu Diva dan Dira yang berjalan setelah pulang dari minimarket, tak tedeng aling-aling, Duta main hajar dua remaja itu hingga akhirnya Pandu dan Zita ke rumah sakit karena dua remaja itu terluka cukup parah. Padahal, Datra lah si atlit karate, tapi Datra tak pern
Tidak heran, jika keluarga Pandu dan Zita memang ramai dan heboh. Tahun berganti, kehidupan mereka tak ayal seperti keluarga pada umumnya. Masalah banyak mereka temui, dan bisa terpecahkan dengan sangat baik juga. Ingat Duta yang tak bisa membaca? Kini, di saat triplet sudah menginjak masa sekolah dasar, Duta menunjukkan hal lain yang mampu membuat Zita dan Pandu bangga. Ia juara umum pidato anak kelas 6 SD. Iya, kini mereka sudah besar, waktu berjalan begitu cepat. Zita, apalagi Pandu, semakin tua, tapi, tidak mematikan semangat jiwa muda mereka semua.Pidato dengan tema "Sekolah untuk siapa?" itu, dibuat Duta seorang diri. Materinya ia kumpulkan sendiri sambil banyak menonton berita juga membaca buku. Tuh, kan, jangan meremehkan seseorang. Dulu, Pandu dan Zita bisa saja kesal karena kelihatannya, Duta malas belajar, pemberontak, tapi kini, ia seperti anak yang suka berorasi, menyuarakan pikirannya dengan terbuka, jago debat, dengan cara yang tepat. Datra bahkan kewalahan sa
Pandu pulang kerja dengan keadaan letih, bagaimana tidak, kepalanya seharian itu isinya angka semua. "Ta, Zita..." panggilnya sambil meletakkan kunci mobil di tempat yang sudah tersedia. Dari lantai dua rumah, terdengar suara melengking Zita dari kamar anak-anaknya. Dua kamar yang dijadikan satu itu begitu luas, tiga ranjang terpisah juga sudah di atur Zita untuk kamar triplets. Pandu melihat bibi menyiapkan makan malam di jam setengah tujuh itu."Pak, Ibu jangan di ganggu, lagi jadi guru dadakan," ujar bibi. Pandu yang sudah berdiri di titian tangga ke dua, menoleh cepat."Emang, ada apaan?" Pandu mengerutkan kening."Tadi sore, sepulang Ibu rapat RT untuk lomba senam, anak-anak minta diajarin belajar membaca, tapi berakhir drama karena Duta nggak mau belajar dan ngambek sampai nangis guling-guling di karpet, Pak."Pandu menghela napas, "lagi-lagi Duta," keluhnya."Pak, jangan di omelin, kasihan Duta," pinta bibi yang memang, cenderung lebih meman
"Ini gimana, sih masangnya?" keluh Zita saat ia sibuk menyiapkan keranjang ritan warna cokelat itu. Rambutnya ia kuncir tinggi, terasa gerah karena menyiapkan empat orang anak yang mendadak minta piknik ke kebun binatang, tidaklah sesederhana yang di bayangkan para ibu rumah tangga yang mampu membayar 4 bahkan lebih suster atau asisten. Zita, hanya masih mempekerjakan Bibi yang sudah hampir tujuh tahun ikut dengannya bekerja."Ayo, Zita," ucap Pandu sambil mengecup tengkuk istrinya bertubi-tubi."Mas, ih! Geli, kamu nyosor aja sukanya, ya ampun. Nggak lihat nih, aku ribet masang keranjang ginian," protes Zita sambil menyingkir dari ciuman suaminya yang sudah berusia kepala empat itu."Sini, sayang, aku bantu. Nih, gendong Dira dulu," ucap Pandu. Zita menoleh ke belakang, Dira yang sudah berusia satu tahun. Kelahiran anak ke empat berjenis kelamin perempuan itu, mampu membuat tim anak-anak mereka seimbang. Diva senang, ia punya saudari, tak melu
Keduanya pun sudah selesai makan siang, Pandu bergabung bersama para pria, sedangkan Zita bersama para wanita. Anak-anak sudah tidur di kamar, dan... jangan lupa, dikelonin Ageng. Calon manten itu memang sudah tak merawat triplet semenjak sibuk bekerja di koperasi karyawan, tapi jika ada waktu, selalu bersama tiga keponakannya itu."Zita, Ageng udah dapet kontrakan untuk boyong istrinya nanti di Jakarta?" tanya ibu mertunya."Udah, Bu, deket kantor. Naik motor cuma lima belas menit. Minggu lalu Zita sama Mas Pandu juga ngecek ke sana, ada dua kamar, agak masuk gang memang, tapi nyaman." Zita membantu merapikan hiasa untuk kotak seserahan. Istri Pandu itu tampil cantik sendiri, selain rajin perawatan diri di rumah dan skin care dagangan tetangga, membuatnya tampil berkilau dengan budget sederhana.Zita rajin minum jamu, olahraga ringan di rumah, hingga menjadi asisten Ayunda sebagai instruktur senam, bukan... bukan... lebih tepatnya tim hore dengan mikrofon di ta