Selama di restoran, Revalina belum memberikan jawaban. Ia merasa bingung dan ada rasa sesal dengan ucapannya dan kini menjadi boomerang. Namun, di sisi lain, ia sangat peduli bahkan sayang kepada Aldevaro. Ia tidak ingin putra dari dosen gantengnya berada di tangan yang salah meskipun ibu kandungnya sendiri.
Akan tetapi, kalaupun dirinya menerima tawaran untuk menjadi istri sah Raffael, apakah ia sanggup, apakah ia bisa, apakah ia mampu mengurus bayi diusianya yang masih muda? Pertanyaan itu yang bergelayut dalam pikiran Revalina sekarang, dan yang tak kalah penting adalah apakah bisa ia mencintai sosok Raffael, pun sebaliknya.
Gadis cantik itu duduk termangu di sofa balkon dengan tangan terus mengaduk segelas susu coklat yang ada dalam genggamannya.
"Ya, Tuhan ... aku harus bagaimana?" gumam Revalina.
"Bagaimana apanya, Sayang?" tanya Cindy yang tiba-tiba saja datang sambil menepuk pelan pundak putrinya.
"Astaga! Mama!" Revalina terperanjat dan gelas dalam genggamannya hampir saja jatuh.
Cindy menggeleng. "Ya, ampun, Sayang. Kamu lagi mikirin apa, sih?"
"Eng-enggak ada, kok, Ma," sahut Revalina gugup.
Cindy duduk di sebelah putrinya dan mengusap surai. "Sayang, Mama bisa loh, jadi temen curhat kamu."
Revalina menoleh dan tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi.
"Gak ada apa-apa, kok, Ma. Suerr!" ucap Revalina sembari mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf 'V'.
Cindy tersenyum. "Iya, tidak papa kalo kamu gak mau cerita," tuturnya. "Besok bisa stay di rumah, kan?"
"Ya, ampun, Ma ... nanya itu terus. Iya, Ibunda Ratu, besok hamba ada di rumah. Tenang saja."
Wanita paruh baya itu tersenyum penuh kemenangan.
"Rere boleh tanya?"
"Boleh, dong. Apa, Sayang?"
"Sebenarnya, siapa besok yang akan datang?"
"Emmm ... kasih tau gak, ya? ujar Cindy menggoda. "Liat aja besok deh. Pokoknya kamu dandan yang cantik. Oke?"
Cindy meninggalkan Revalina dengan senyum yang terus mengambang.
"Astaga! Pakek main rahasia-rahasiaan segala." Revalina menepuk kening.
Baru kali ini seorang Revalina dihadapkan dengan masalah yang menurutnya lumayan rumit dan membuatnya tidak fokus melakukan kegiatan apa pun. Bagaimana tidak? Ini menyangkut janji dengan masa depan yang menjadi taruhannya.
Dari balkon, Revalina berpindah ke dalam kamarnya dan merebahkan diri di atas kasur. Seketika ia teringat akan sekuntum mawar yang tadi pagi tergeletak di atas mejanya.
"Kira-kira siapa, ya?" gumamnya dengan sumringah.
Ting!
Suara ponsel berbunyi pertanda satu pesan singkat masuk.
Revalina meraih ponselnya di atas nakas.
"Hai, cantik," isi pesannya.
Revalina mengernyit karena tidak tahu siapa yang mengirim pesan.
"Maaf, Anda siapa?" balas Revalina.
"Aku Kenzie. Bunganya apa sudah kau terima?"
Ting!
Pesan berupa gambar.
Mata Revalina membulat sempurna melihat ketampanan Kenzie.
"Astaga! Tampan sekali. Apa benar dia suka kepadaku?" Revalina bersorak senang.
Ya, dialah Kenzie Prayoga. Pria keturunan Jepang yang menjadi ketua senat di kampus. Banyak para gadis yang mengidolakannya. Apalagi kalau bukan karena ketampanannya. Selama ini Kenzie menaruh hati kepada Revalina, dan yang lebih istimewanya lagi, Revalina adalah cinta pertama Kenzie.
"Hai, apa kau masih di situ?" pesan Kenzie lagi.
Bunyi ponsel menyadarkan Revalina. "Eh, ya, ampun," gumamnya sembari membalas pesan.
"Iya, aku sudah menerimanya."
Obrolan pesan singkat pun berlangsung lama. Keakraban terjalin dari dua insan yang baru sama-sama mengenal sosok lawan jenis.
Saling kirim pesan pun berakhir saat mereka sepakat untuk bertemu malam nanti. Revalina bergegas membersihkan diri karena jam sudah menunjuk pukul lima sore.
Sore sudah berganti dengan malam. Revalina tengah bersiap untuk bertemu dengan Kenzie.
"Loh, udah rapi aja. Mau ke mana?" tanya Cindy saat menata piring di meja makan.
"Mau jalan, Ma," sahut Revalina.
"Makan malam sama siapa?" timpal Carlos.
"Temen, Pa," jawab Revalina.
Suara bel mengalihkan perhatian ketiganya.
"Biar aku aja, Bi," ucap Revalina saat melihat Inah akan membuka pintu. Inah pun kembali ke dapur.
Revalina meyakini jika yang datang adalah Kenzie.
Benar saja, saat daun pintu dibuka, mata Revalina menangkap sosok wajah yang sama dengan foto dalam ponselnya.
"Kak, Kenzie!" sapa Revalina dengan senang, "Mari masuk, Kak."
"Langsung pamit saja?" tanya Kenzie.
Revalina mengangguk. "He'emm, yuk, temui mama papaku dulu."
Revalina membawa Kenzie ke ruang makan. Suara langkah mereka ternyata menyita perhatian Carlos dan Cindy.
Carlos mengernyit. "Loh, Nak Kenzie."
"Om Carlos," sapa Kenzie menatap tak percaya.
Revalina menatap lelaki berbeda usia di depannya bergantian. "Loh, Papa kenal?"
Carlos tersenyum. "Iya, dia putra dari Tuan Prayoga, rekan bisnis Papa. Nak Kenzie ini sering sekali datang ke kantor untuk meeting, menggantikan jika Tuan Prayoga berhalangan."
Revalina ber-oh ria, sedangkan Kenzie merasa senang karena pasti hubungannya dengan sang pujaan hati akan mulus.
Kenzie meminta izin kepada kedua orang tua Revalina untuk makan malam di luar.
Mereka pun pergi atas izin Carlos.
"Jangan bilang Papa suka sama anak itu" tutur Cindy sinis.
"Ya, Papa suka. Meskipun masih muda, tapi dia sudah pandai berbisnis. Kenapa memangnya?"
"Hilangkan rasa suka Papa terhadap anak itu. Pokoknya, putri kita harus menjalin hubungan dengan anak dari sahabat Mama!"
"Tapi, sepertinya putrimu suka kepada Kenzie."
Perdebatan antara suami istri itu terjadi cukup lama dengan berujung marahnya Cindy karena Carlos telah memberi izin kepada Kenzie untuk membawa putrinya pergi.
"Astaga! Kenapa harus marah, sih? Gagal deh minta jatah malam ini," gumam Carlos sambil menatap punggung istrinya.
***
Di sebuah restoran mewah, tampak dua orang anak manusia sedang bercanda gurau. Ya, dialah Revalina dan Kenzie. Tiba-tiba saja tangan Kenzie menggenggam tangan Revalina.
"Aku mencintaimu, Re," ucap Kenzie.
"A-apa? Apa aku tidak salah dengar?"
"Tidak! Telingamu tidak salah mendengar ucapanku barusan. Aku sudah lama memendam rasa ini. Setelah aku yakinkan hati dan ternyata ia memilihmu, Revalina," ungkap Kenzin.
Revalina merasa gamang. Ia tidak tahu, rasa kagumnya itu apakah rasa cinta atau bukan.
"Kenapa diam saja? Apa kau mau jadi pacarku?"
Revalina mengangguk diiringi senyum yang terus merekah. Begitu pun dengan Kenzie, lelaki bermata sipit itu merasa bahagia.
Namun, tiba-tiba saja Revalina diam. Ia kembali teringat kepada Raffael. Dirinya merasa bimbang, harus memilih Kenzie atau Raffael. Lagi-lagi, ia terperangkap oleh jawabannya sendiri tanpa berpikir jernih.
Bulan sudah kembali ke peraduannya. Kini, tinggal mentari pagi yang bertugas memanjakan bumi. Sinarnya begitu hangat menelusup setiap celah."Emmm ...." Revalina bergumam saat sorot matahari mengenai wajahnya."Bangun, Sayang," titah Cindy sambil membuka gorden."Jam berapa ini, Ma?" tanya Revalina dengan mata masih terpejam."Sudah jam enam pagi. Bangun dan bersiaplah. Karena tamu kita akan datang pukul sembilan."Revalina membuka matanya seraya berkata, "Tamu?""Ck! Jangan bilang kamu lupa kalau hari ini kita akan kedatangan sahabat Mama. Mama tidak mau tahu, pokoknya hari ini harus ada di rumah. Titik!" tutur Cindy kemudian pergi."Aarrgggh! Kenapa bisa aku lupa?" ucap Revalina kemudian duduk dan menepuk kening."Ponsel mana ponsel," sambungnya dengan mata dan tangan sibuk mencari benda pipih itu.Revalina meraih tas yang ia simpan di atas nakas. Tangannya dengan lincah merogoh gawa
Revalina ragu. Ketika dirinya baru mengenal makhluk yang bernama laki-laki, ia malah dihadapkan dengan pilihan yang rumit. Bukan tidak pernah mengenal, tetapi ia membentengi dirinya sendiri karena enggan seperti Cecilia --sahabatnya, yang terluka karena sosok yang berwujud laki-laki itu.Pewaris tunggal konglomerat itu mulai membuka hati. Ia ingin merasakan mencintai dan dicintai. Kenzie, lelaki pertama yang diberi kesempatan untuk dekat dengan dirinya. Namun, ucap janji kepada Raffael menghancurkan semuanya."Bodoh! Kenapa kemarin mulut ini begitu entengnya mengatakan jika aku bersedia menjadi istri Raffael," sesal Revalina."Kalau tidak mau, tidak usah. Tenang saja, aku tidak akan menuntutmu seperti yang aku katakan waktu lalu," ucap Raffael. "Kalau pun aku kalah dalam persidangan, mungkin memang seharusnya Aldevaro berada di samping ibunya.Revalina terperanjat. Ia tidak menyangka jika Raffael mengikutinya ke taman belakang."T
Tepat pukul dua belas malam, Revalina tiba di kediaman Xie."Pengamanan di sini memang seperti ini? Dengan mudahnya kita masuk," tanya Revalina kepada sopirnya."Mereka sudah tau kalau kita dari keluarga Tuan Carlos, Nona.""Oo ... seperti itu. Baiklah, kau boleh pulang. Aku akan menginap di sini. Tolong bilang sama Mama, aku lupa membawa ponsel," ucap Revalina kemudian turun dari mobil.Samar terdengar Aldevaro menangis. Gadis itu bergegas menekan bel."Astaga! Lama sekali," gumam Revalina sambil terus menekan bel.Pintu terbuka. Ternyata asisten rumah tangga keluarga Xie yang menyambut Revalina.Tanpa kata, Revalina bergegas masuk. Namun, langkahnya terhenti dan berbalik menatap sang ART yang sedang menatap dirinya heran."Hehe ... antarkan aku ke kamar Aldevaro, Bi.""Oh, mari ikut saya, Non."Revalina mengikuti langkahnya, hingga akhirnya sampai di depan kamar."Den Al ada di sin
Raffael dan Revalina kembali menemui Hanna di ruang makan.Revalina mengatakan jika dirinya siap menjadi istri Raffael. Pernyataan gadis itu tentu saja membuat Hanna tidak percaya sekaligus senang. Bagaimana tidak? Kemarin, Revalina sudah menolak bahkan enggan menemuinya saat pamit pulang."Kamu seruis, Sayang?" tanya Hanna memastikan.Revalina mengangguk diiringi senyum yang tersungging. "Iya, Tante. Rere siap menjadi ibu sambung dari Mbul. E-eh, maksud Rere Aldevaro."Hanna memeluk Revalina dengan erat dengan rasa haru. Tak terasa bulir bening meluncur bebas jatuh di pipi wanita paruh baya itu.Revalina melerai pelukan. "Tante, kenapa menangis?""Jangan panggil Tante, mulai sekarang panggil Mama saja.""I-iya, Ma-Mama.""Mama senang, Nak. Akhirnya kamu menjadi menantu keluarga Xie. Itu yang papanya Raffael harapkan sebelum kematiannya beberapa tahun lalu."Raffael menunduk mendengar ucapan Hanna. Ya,
Makan malam mewah digelar di kediaman Xie sebagai tanda bersatunya dua keluarga. Senyum bahagia terpancar dari wajah Hanna juga Cindy."Aku bener-bener gak nyangka. Yang semula ingin Raffael mengajarkan bisnis kepada Revalina. Eeh ... malah jadi mantu," ujar Cindy diiringi senyum."Yang jelas aku bahagia. Akhirnya permintaan terakhir suamiku dapat terkabul," timpal Hanna sambil menatap foto besar yang terpajang di tembok.Raffael menggenggam tangan Hanna. "Maafkan El, Ma. Dulu tidak mendengar apa kata Mama dan Papa.""Iya, Nak. Yang penting sekarang kalian sudah bersatu. Sayangi menantu Mama ya? Jaga dia, cintai dia," pinta Hanna.Raffael hanya mengangguk sebagai jawaban."Uuuh ... kamu sudah ngantuk, Sayang? "Kita bobok, yuk!" ucap Revalina saat melihat Aldevaro menguap."Rere tidurin dulu Al, ya? Sepertinya sudah mengantuk," pamit Revalina kepada semua orang kemudian beranjak."Tunggu
Mobil milik Raffael sudah terparkir di halaman rumah nan luas milik Carlos.Revalina turun terlebih dulu sambil menggendong Aldevaro tanpa sepatah kata.Kedatangan mereka disambut hangat oleh Cindy dan Carlos."Eeh ... cucu Nenek," sapa Cindy sambil mengelus pipi Aldevaro."Ada apa, Sayang? Bukankah pakaian dan barang-barangmu sudah Mama kirim semalam?" sambung Cindy bertanya kepada Revalina."Iiih ... jadi Mama gak mau Rere pulang, gitu?" Bibir Revalina mengerucut kemudian duduk di sofa.Cindy tersenyum. "Bukan begitu juga, Sayang. Udah ah, jangan ngambek. Gak malu apa sama bayinya?"Revalina mengangkat kedua pundaknya."Silakan duduk, Nak Raffael," titah Carlos."Iya, Pa." Raffael duduk di samping Revalina."Aku titip Al dulu," ucap Revalina sambil menyerahkan Aldevaro kepada suaminya."Loh, ke mana, Sayang?" tanya Cindy."Kamar," jawab Revalina
Revalina sudah merasa tenang. Ia menghubungi James --sopirnya, untuk menjemput. Tidak berselang lama, James tiba di sana."James, ikut aku ke keluarga Xie. Kau tetap jadi sopir pribadiku," ucap Revalina saat di mobil."Iya, Nona, dengan senang hati."Mobil melaju dengan kecepatan sedang sampai akhirnya tiba di kediaman Xie. Revalina gegas turun dan masuk. Kedatangannya disambut gembira oleh Aldevaro yang tengah digendong oleh Raffael dan disuapi oleh Hanna."Dari mana?" tanya Raffael."Kafe," jawabnya singkat lalu meminta maaf kepada Hanna karena sudah repot menyuapi Aldevaro.Revalina membawa Aldevaro ke kamar sambil membawa bubur dalam mangkuk diikuti oleh Raffael.Di kamar, Aldevaro didudukkan pada kereta bayi untuk melanjutkan makannya."Maaf," kata Raffael.Revalina tersenyum kemudian berkata, "Tidak apa. Terserah kau mau melakukan apa. Aku tidak akan peduli. Yang aku pikirk
Sesampainya di rumah, Revalina membaringkan bayinya yang masih tertidur nyenyak setelah menangis tadi. Pun dengan dirinya, ia ikut merebahkan diri di samping Aldevaro. Badannya menyamping sambil memeluk tubuh mungil sang bayi.Suara langkah mengalihkan perhatian Revalina. Ia mendongak kemudian fokus lagi kepada Aldevaro setelah tahu siapa yang datang."Kalau besok ada luka lebam pada bokong anakku, kau harus melaporkan mantan istrimu. Aku tidak mau tau!" ujar Revalina.Raffael duduk di tepi ranjang kemudian menjawab, "Iya, tentu saja aku akan memperpanjang kasusnya, jika itu terjadi.""Kau sangat menyayangi Al?" sambung Raffael bertanya."Ck! Pertanyaan macam apa itu? Tanpa bertanya seharusnya kau tahu itu semua, Tuan!"Raffael mengangguk. "Ya, tentu saja aku bisa melihatnya. Aku hanya memastikan saja," imbuhnya. "Terima kasih sudah menyayangi putraku. Dan aku berharap itu yang akan terjadi juga dengan kita."