“Rasa adalah hal yang tidak bisa diterka, kadang dia datang secara tiba-tiba dan suka menghilang tanpa satu pun tanda.”~Novita_A12~Aku menatap langit sembari kudekap kitab yang hendak aku bacakan saat kajian dua menit lagi, aku sengaja berangkat lebih awal dan diam di beranda masjid dengan harapan bisa menetralkan rasa yang seakan sering tak seirama dengan keadaan sesungguhnya, aku sulit mencintainya.Kupandangi dengan seksama setiap baris bunga yang mekar indah manjakan netra, burung-burung berkicau dengan suara khasnya. Langit seakan menyapa bahwa aku dilarang bersedih hanya karena dilema. Aku pun heran selama aku pernah dihinggapi masalah, belum pernah aku merasa terbebani seperti saat ini. Setiap masalah pasti tidak ada yang disukai oleh pemiliknya. “Menurutku, masalah terberat dari semua masalah yang pernah kualami adalah masalah cinta, menumbuhkannya butuh waktu lama hingga aku tak kuasa menerka kapan waktunya,” gumamku dalam hati, dan tak terasa aku sudah tiga puluh menit b
“Cinta tak selamanya harus kita pikirkan dari mana sebabnya, ada masanya cinta itu datang secara tiba-tiba, dan memberikan lukisan indah tanpa disengaja.”~Novita_A12~“Hannaaa...”terdengar teriakan yang suaranya tidak lagi samar di telingaku. “Zuhra.”Kami bersalaman dengan berpelukan melepas rindu yang disebabkan lamanya perpisahan.“Kamu ke mana aja?” tanya Zuhra dengan sedikit mengerutkan dahinya. “Aku, ada kok,”jawabku tanpa beban.“Itu ceritanya gimana sih?” Aku menuju lemariku, dan Zuhra pun masih membuntutiku. Aku duduk, dia pun ikut duduk. “Cerita yang mana?” “Kemarin kamu kan ikut Bunyai, Nah setelah itu kenapa tidak ada kembali lagi, sedangkan Bunyai ada, kok?”“Iya, aku di rumah. Sebab aku menunggu la ...” Segera aku tutupkan telapak tanganku ke mulut, kaget. “La, apa?” Zuhra semakin serius dan semakin merapatkan pendengarannya ke arahku. “O-oh, tidak. Itu kemarin aku minta ijin sama Bunyai, aku bertemu bapak, ibuku, jadinya aku minta ijin bermalam beberapa hari saja
“Berbicara rasa, semua memiliki rasa, terlebih rasa cinta, hidup tanpa cinta laksana taman tiada bunga, gersang tiada pesona.” ~Novita_A12~Pagi ini terasa sedikit lega dari hari sebelumnya, aku tak lagi mempermasalahkan rasa, aku bertekad kupasrahkan semua rasa ini kepada Yang Maha Cinta. Aku akan berusaha menerima. Aku sudah berada di antara santri-santri yang hendak melaksanakn sholat subuh, dengan beberapa wiridan yang sengaja aku pinta salah satu santri senior untuk memimpin, niatku untuk mengajari mereka dan agar mereka terbiasa memimpin, sebab mereka tidak akan luput dari memimpin, minimal akan memimpin rumah tangga mereka kelak. Terdengar suara abah menepuk tangannya sebagai pertanda agar segera isqomah, dan sholat subuh akan segera dimulai. Kami berdiri dan merapatkan barisan. Salah satu santri ada yang bertugas memimpin lurusnya shaf, “Sawu sufufakum fainna taswiyatassufuufi min tamamis sholaah.” Dan di jawab makmum yang lain, “ Isytaaghoinaa Lillaahil khoosyi’ah.”Dimul
“Cinta sejati terletak dalam hati, saat dia memutuskan memilih, maka tak akan pernah membiarkan salah pilih.” ~Novita_A12~Perputaran waktu semakin cepat, aku rasa baru saja kembali ke pesantren, dan berangkatku dari rumah saja sudah cukup pagi, sekarang justru telah tiba waktu Zuhur, apa iya harus sesingkat ini jeda untuk menunggu? Menunggu keajaiban sebuah cinta. Segera aku tutup catatan juga kitabku, bergegas ke kamar mandi untuk persiapan melaksanakan sholat Zuhur berjama’ah. “Zuhra, Leli mana?”tanyaku pada Zuhra yang masih sibuk dengan sebuah buku di tangannya.“Kurang tahu, ya mbak. Tadi ke mana?”“Tadi aku lihat dia bermain di halaman banat tiga, coba cek dulu. Ajak mandi, persiapan untuk sholat Zuhur berjama’ah.”“Oke, Mbak.”Zuhra bergegas keluar kamar, sedang aku terus ke kamar mandi, sebelum antri dan khawatir air tiba-tiba mati. Kekurangan air di pesantren adalah hal yang biasa, kita hanya perlu menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya, agar tidak banyak membuang waktu
Hatiku sedikit merasa lega, kajian ini yang aku tunggu, aku khawatir tidak bisa menjawab saat gus Ans memintaku untuk membaca kitab. Lega sekali perasaanku hari ini, paling tidak aku tidak menjadikan guruku marah padaku. Aku kembali meminjam catatan Zuhra, sejatinya tadi belum selesai aku melengkapi catatan ini, sengaja aku isi dari tanggal terakhir dari kepulanganku. Aku yakin, jika pun gus Ans akan memintaku membaca kitab pasti akan menyuruh membaca di tanggal sebelum hari ini, kemarin. Dan ternyata benar. Ditengah-tengah asyiknya aku mengisi kitab, tiba-tiba Leli memanggil, “Mbak Hanna.” “Iya, Lel?”jawabku sembari menghadap ke arah kedatangannya. “Tadi ada santri putra titip salam buat Mbak, katanya diminta jawaban dari titipan yang kemarin.” Leli menjelasakan dengan wajah polosnya. Aku hanya tersenyum memberi isyarat mengiyakan. Zuhra yang masih bersamaku kaget dengan wajah penuh penasaran. Mataku tak sengaja bertabrakan dengan pandangannya, sehingga tidak bisa aku pungkiri a
“Setiap insan tak akan luput dari sebuah kesalahan, namun setiap insan juga sudah disiapkan sebuah kesempatan hendak memperbaiki atau bahkan mengulangi.”~Novita_A12~Setelah kegiatan ba'da Asar dimulai, aku malah berkehendak untuk tidak melakukan apa-apa. Aku sudah lulus sekolah diniah, dan aku belum ada jadwal untuk mengajar. Aku berdiam diri di dekat taman tepi musholla. Surat itu aku bawa, aku penasaran apa sih isinya. Pesantren sepi, mungkin hanya tinggal beberapa santri yang memang sama-sama belum memiliki jadwal mengajar, termasuk Zuhra. Tapi Zuhra sedang sibuk di kamar, maka kurasa saat ini adalah waktu yang tepat untuk membaca surat ini. Aku buka surat bertuliskan tinta biru, aromanya semerbak hingga hari ini, sehingga aku yakin surat ini memang sengaja diberi parfum bukan karena efek wewangian yang pindah dari tangan penulisnya. “Assalamu’alaikum. Untukmu, Hanna. Aku hanya mau memberitahukan tolong jaga diri baik-baik. Jaga pikiranmu, jauhkan dari pikiran yang aneh-an
“Waktu adalah hal yang paling berharga, pun dalam hal menumbuhkan cinta tak jarang kebayakan insan kuwalahan dan menyerah pada akhirnya.” ~Novita_A12~Malah ini terasa begitu dingin, lebih dingin dari hari biasanya. Ditambah lagi, Zuhra sudah memaksaku untuk bisa ikut menghadap Bu Nyai. Tepat saat ini pada malam selasa, di mana kajian diliburkan. Menambah kuat keinginan Zuhra untuk menghadap. Aku paling tidak bisa jika harus berkata tidak, dan aku pun mengiyakan. Jika boleh jujur, rasaku mulai tumbuh pada gus Ans, aku mulai bisa menerima gus Ans, tepatnya lagi aku mulai menerima perjodohan ini, tapi aku bingung kenapa saat hati ini menerima, justru hadir masalah baru yang mengharuskan aku untuk kembali memilih.Aku hanya bisa berdo’a semoga ujian-ujian ini segera berlalu, jika memang pada akhirnya aku harus mengikhlaskan gus Ans, aku benar-benar akan mengusahakannya, aku yakin jikapun cinta ini sudah mulai tumbuh dan bahkan mulai mekar, hanya perihal waktu untuk menguburnya kembali
Mentari pagi mulai bersinar hangat, semua santri sibuk pada kegiatan masing-masing. Pagi ini aku tidak memiliki kegiatan yang begitu membutuhkan keseriusan, sehingga aku memilih untuk bersih-bersih taman. Bersih-bersih taman adalah hal yang paling aku suka, dan biasanya setiap hari rabu Bu Nyai memanggilku untuk memindah penataan bunga yang ditanam di pot bunga. Pagi ini agak berbeda, sebab Bu Nyai harus menenangkan Zuhra perihal ungkapannya tadi malam. Tiba-tiba ada terdengar suara seseorang memanggilku, degan suara serak seperti habis menangis. “Hanna.” Sontak aku menoleh, dan ternyata Zuhra. Matanya merah berkantung agaknya terlalu lama dia menangis. Terlalu banyak air mata yang tumpah, aku tidak tega dan langsung menghampirinya, lalu memapahnya duduk di dekat taman. Saat pagi, sangat jarang ada teman yang pergi ke taman pesantren, semua sibuk dan kebanyakan dari penduduk pesantren adalah pelajar, sehingga harus segera ke sekolah.Zuhra menangis, padahal aku belum mengajaknya b