LOGIN
“Apa yang terjadi?!”
Lily terbangun dengan jantung berdetak liar. Napasnya memburu saat matanya menyapu ruangan asing yang disinari cahaya matahari. Kepala masih berdenyut hebat akibat alkohol semalam, tetapi yang membuat tubuhnya benar-benar membeku adalah rasa sakit yang menusuk di bawah sana.
Dengan tangan gemetar, Lily meraih selimut yang melilit tubuhnya, perlahan-lahan menyingkapnya untuk memastikan sesuatu.
Dia tidak mengenakan apa pun.
“Tidak mungkin…”
Cepat-cepat, Lily menatap sekeliling dan seketika dia pun membeku.
Dia mendapati bajunya berserakan di lantai, dan sepasang sepatu pria yang tergeletak rapi di dekat meja kopi adalah bukti bahwa dia tidak sendiri tadi malam!
Ketakutan menyergapnya seketika. Lily buru-buru memegangi kepalanya, mencoba mengingat bagaimana semua ini bisa terjadi.
Semalam, Lily menyaksikan calon suaminya, Bryan, berbagi ciuman panas dengan wanita lain di apartemen miliknya sendiri. Dan lebih parahnya lagi, wanita itu adalah Sonia, gadis yang dulu paling sering merundungnya semasa sekolah.
Siapa sangka, gadis itu kini menjadi selingkuhan pria yang akan menikahinya?!
Seakan belum cukup menyedihkan, Lily bahkan mengetahui bahwa Bryan tidak pernah benar-benar mencintainya!
“Kalau dia bukan putri tunggal keluarga Mahesa, mana mau aku menikah dengan wanita membosankan sepertinya?”
Saat kalimat itu terucap dari mulut Bryan, dunia Lily runtuh seketika. Tubuhnya tidak bisa bergerak, dan dia hanya membeku di tempat sampai dua pengkhianat itu menyadari keberadaannya.
“L-Lily?!”
Bryan sempat ingin mengejarnya, tapi Lily langsung berbalik dan meninggalkan apartemen itu.
Dalam kemarahan dan kehancuran, Lily mengemudikan mobilnya tanpa tujuan dan berakhir di sebuah bar.
Lily tidak pernah minum alkohol sebelumnya. Namun, malam itu, dia menenggak minuman keras seperti air. Setiap tegukan terasa seperti membakar tenggorokannya, tetapi tidak ada yang lebih perih dari rasa sakit di hatinya.
Dia tidak ingat berapa banyak yang dia minum.
Yang dia ingat hanyalah sepasang mata tajam yang menatapnya dari kejauhan.
Lalu, seseorang membantunya berdiri. Seorang pria.
Bibirnya tersenyum samar. Saat itu, dia mengira pria itu adalah orang baik yang akan membawanya pulang dengan selamat.
Tetapi setelah memasuki kamar hotel…
Sentuhan panas itu. Bibir yang melumatnya rakus. Lengan kekar yang mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di kasur.
Terlalu jelas.
Terlalu nyata.
Lily menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak. Tidak. Tidak.
Dia tidak ingin mengingat lebih jauh.
Perlahan, dia mencoba bangkit, tetapi tubuhnya langsung menegang. Rasa sakit itu…
Air matanya menggenang.
Dia telah melakukan sesuatu yang tidak bisa dia tarik kembali.
Dengan buru-buru, Lily memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai. Namun, saat masih membungkuk, suara gagang pintu kamar mandi yang berputar membuatnya membatu.
Pintu terbuka.
Lily menoleh, tubuhnya langsung merapat ke dinding, memegangi selimut di dadanya seperti perlindungan terakhir.
Detak jantungnya kacau.
Seorang pria keluar dari kamar mandi.
Tinggi. Dingin. Berbahaya.
Hanya mengenakan kemeja putih dengan beberapa kancing terbuka, pria itu tampak santai membetulkan jam tangan Richard Mille yang Lily tahu harganya setara dengan satu unit apartemen mewah.
Pria itu menatapnya lurus.
"Sudah bangun?"
Nada suaranya dalam dan tenang, seolah apa yang terjadi semalam bukanlah masalah besar.
Lily menelan ludah, tetapi tenggorokannya terasa kering.
Pria itu tidak mengucapkan apapun lagi. Dengan langkah tenang, dia berjalan menuju cermin, merapikan kerah bajunya seakan ini hanyalah pagi biasa baginya.
Namun, kalimat berikutnya membuat tubuh Lily menegang.
"Apa kamu tidak takut dimaki pelanggan?"
Pelanggan?
Kening Lily berkerut dalam. Apa pria ini baru saja menganggapnya wanita bayaran?!
Matanya membelalak.
Tidak. Ini pasti mimpi buruk.
Tapi saat melihat ekspresi santai pria itu, kenyataan menamparnya lebih keras.
Lily ingin membalas, tetapi bibirnya terlalu kelu. Dia hanya bisa memandangi pria itu—pria yang telah merenggut sesuatu yang paling berharga darinya.
Saat pria itu menoleh dan hendak berbicara, Lily langsung berlari menuju kamar mandi, mengunci pintu.
Punggungnya menempel di dinding, tubuhnya gemetar hebat.
Air mata yang sejak tadi tertahan kini jatuh begitu saja.
Apa yang telah dia lakukan?! Karena tindakan bodohnya pergi ke bar, sekarang Lily harus kehilangan kesuciannya kepada pria yang bahkan tidak peduli padanya!
**
Lily tidak tahu berapa lama dia berdiam diri di kamar mandi, memikirkan betapa malu dirinya jika orang tuanya tahu mengenai apa yang telah terjadi.
Dia hanya berharap ketika keluar, pria itu sudah tidak ada.
Namun, harapannya hancur seketika.
Saat dia membuka pintu, pria itu masih di sana.
Kini telah berpakaian lengkap, duduk di sofa dengan kaki bersilang, menatap layar ponselnya dengan ekspresi acuh tak acuh.
Lily menggigit bibir. Dia tidak ingin berlama-lama di sini.
Tanpa sepatah kata pun, Lily menyambar tasnya yang tergeletak di lantai, lalu berjalan melewati sang pria begitu saja menuju pintu.
Namun—
"Ambil bayaranmu."
Langkah Lily terhenti.
Hatinya bergetar hebat.
Perlahan, dia menoleh ke belakang.
Pria itu bahkan tidak melihatnya saat berbicara.
Tangannya bergerak santai, menunjuk sebuah tumpukan uang di meja kopi.
"Bayaran?" gumam Lily, tubuhnya membeku di tempat.
Saat itu, Arsen Sebastian Luis pun mengangkat pandangannya dan melihat Lily sekilas. Dia menautkan alis, lalu memutuskan untuk berdiri dan mendekati wanita di hadapannya itu.
Tinggi. Mendominasi. Berbahaya.
Lily bahkan harus mendongak untuk menatap wajah Arsen yang tajam dan tak terbaca.
"Apa kurang?"
Lily ingin menangis. Pria ini benar-benar berpikir bahwa dia…
"Aku tidak tahu berapa yang sudah dibayarkan temanku," lanjut pria itu seraya meraih tangan Lily, memaksanya menerima tumpukan uang itu. “Tapi ambil saja ini. Itu bayaran yang pantas untuk dirimu."
Darah Lily mendidih.
Dadanya naik turun menahan emosi yang meledak.
Tanpa berpikir panjang, Lily mengangkat tangan dan menamparnya keras!
PLAK!
“Jaga sikap Anda, dasar bajingan!”
Tanpa menunggu jawaban dari pria di hadapannya, Lily cepat-cepat pergi dari sana selagi menahan tangisan di ujung mata.
Di sisi lain,
Pria itu, Arsen bergeming. Dia tidak menyangka akan ditampar ketika ingin memberikan bayaran lebih kepada wanita panggilan yang dipesan oleh temannya itu.
Dalam hati, tak elak dia bertanya. Apa wanita panggilan zaman sekarang memang segalak ini?
Selagi menghela napas, Arsen berbalik untuk meraih jasnya agar bisa segera pergi. Namun, di saat itu tatapannya jatuh ke ranjang.
Pria itu pun membeku.
Bercak merah. Darah?
Arsen menatapnya lama, kemudian mengerutkan kening.
Wanita panggilan tadi ... masih perawan?
Hari berikutnya. Arsen pergi ke ARS seperti biasa. Dia kembali bekerja mengurus berkas-berkas yang sudah menumpuk di mejanya. Arsen tampak biasa saja, hingga saat Thomas masuk ke dalam ruangannya, lalu kembali meletakkan tumpukan berkas di meja, Arsen berhenti membalikkan lembaran kertas dan tatapannya kini tertuju pada Thomas. “Ada apa, Pak?” tanya Thomas saat menyadari tatapan tak biasa dari atasannya ini. Arsen mengembuskan napas kasar, dia memijat keningnya sejenak, sebelum kembali menatap pada Thomas yang masih berdiri di depan meja, menunggu dirinya bicara. “Aku mulai lelah mengurus dua perusahaan sekaligus,” kata Arsen. Thomas diam sesaat, dia bisa melihat rasa lelah itu memancar dari sorot mata Arsen. “Jika seperti itu, apa tidak lebih baik dimarger saja perusahaannya agar lebih enak untuk Anda dalam mengelolanya?” tanya Thomas memberi usulan. Arsen lagi-lagi mengembuskan napas kasar, sebelum menjawab, “Aku takut kalau mertuaku salah paham.” Thomas terdiam lagi, menc
Mobil Arsen akhirnya sampai di mansion. Lily segera turun bersama Audrey disusul Arsen. “Hera, ajak Audrey mandi dulu, ya,” kata Lily saat Hera datang menyambut mereka. “Baik, Nona.” Hera mengangguk, lalu dia segera menggandeng tangan Audrey untuk diajak pergi ke kamar. Lily juga pergi ke kamarnya, saat Arsen masuk ke kamar, Lily langsung menghampiri kemudian bertanya, “Soal apa yang Audrey tanyakan tadi, kenapa kamu jawab begitu? Maksudnya apa?” Arsen tersenyum kecil mendengar pertanyaan Lily. “Tentu saja aku mau memberi pengertian dan pelajaran baik untuk Audrey,” balas Arsen. Lily mengerutkan kening, sampai dia kembali bertanya, “Pelajaran apa?” Arsen melangkah lebih dekat ke Lily, sambil memeluk pinggang Lily, Arsen menjelaskan. “Besok, Audrey libur, kan?” Lily mengangguk-angguk masih tak paham hubungan antara libur dengan nasib anak kecil tadi. “Agar Audrey paham, besok aku ingin mengajaknya ke panti asuhan,” ucap Arsen lagi. Lily terkejut, tapi juga senang dengan ide
Anthony terkejut mendengar pertanyaan Arsen. Dia diam beberapa saat, sebelum akhirnya membalas, “Aku sudah berusaha untuk bersikap baik ke Mama dan Dini. Dan, aku juga tahu jika harus memilih.” Arsen menatap Anthony yang gelisah, setelahnya dia kembali bertanya, “Lalu, siapa yang akan kamu pilih? Ibumu atau istrimu?” Anthony tersentak mendengar pertanyaan Arsen. Dia meremat jemarinya, ekspresi wajahnya begitu panik dan gelisah. Dia diam, Anthony tidak mampu menjawab pertanyaan Arsen yang satu ini. Arsen sudah menebak kalau Anthony tidak akan bisa memilih. Dia membuang napas, lalu menepuk pelan lengan Anthony beberapa kali. ** Beberapa saat kemudian “Kami pulang dulu, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” kata Lily saat berpamitan dengan Dini setelah acara syukuran rumah baru Dini selesai. Dini mengangguk-angguk mendengar ucapan Lily, dia tahu kalau Lily sangat mencemaskan dirinya. “Iya, terima kasih karena sudah datang,” balas Dini. Kini Lily yang mengangguk-angguk p
Hari berikutnya Rumah baru Dini dan Anthony sudah ramai dengan keluarga yang datang untuk acara syukuran rumah baru mereka. Lily datang bersama Arsen juga Risha dan Adhitama, tak lupa mengajak Audrey juga. Mereka menikmati acara syukuran rumah baru Dini, Diana juga Rina dan Dhea juga berkumpul bersama di sana. “Bu, makan buahnya,” kata Dini sambil menyodorkan piring berisi potongan buah ke Rina. “Iya, nanti ibu ambil,” kata Rina. Diana hanya mengamati tanpa mengajak bicara Rina, hingga saat dia mengecek ponselnya, Diana tiba-tiba berdiri sampai membuat Dini dan Rina terkejut. Dini memperhatikan Diana pergi meninggalkan mereka, Dini bertanya-tanya Diana mau pergi ke mana. Namun, beberapa saat kemudian, terdengar suara tawa dari arah pintu luar. Dini dan yang lain sampai menoleh dan mendapati Diana datang bersama teman-teman sosialitanya. ‘Mama benar-benar mengundang mereka,’ batin Dini. Dia langsung tidak nyaman, tapi Dini juga tidak bisa berbuat apa-apa. “Ayo semuanya
Lily menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Meski sedikit takut-takut, akhirnya Lily menghubungi Dini. Ponsel kini sudah menyentuh telinga, Lily mendengar suara nada dering dari panggilan, menunggu beberapa saat, sampai akhirnya panggilannya dijawab oleh Dini. “Halo, Lily. Ada apa?” tanya Dini dari seberang panggilan. Lily lebih dulu menggigit bibir bawahnya, sebelum akhirnya dia berkata, “Tidak ada apa-apa, hanya ingin menghubungi saja.” “Kukira ada masalah apa.” Mendengar lagi suara Dini dari seberang panggilan, akhirnya Lily memberanikan diri menyampaikan apa yang didengarnya tadi. “Din, sebenarnya aku menghubungimu karena ada sesuatu yang harus kusampaikan,” kata Lily pada akhirnya. “Iya, dan apa itu?” tanya Dini. “Aku mendengar dari Bunda kalau Bu Diana mau mengundang teman-teman sosialitanya ke acara syukuran rumah barumu nanti. Apa kamu tahu soal itu? Apa kamu akan baik-baik saja?” tanya Lily dengan sangat hati-hati. Hening, tidak terdengar suara Dini
Dini tersenyum lalu mengusap punggung tangan Rina. “Mana mungkin aku memberitahu ibu kalau Mama belum mengizinkan,” jawabnya. “Ibu datang ya besok ke acaraku, datanglah bersama Dhea, nanti aku pesankan taksi,”imbuhnya. Rina terlihat berpikir, ia seperti ragu-ragu untuk mengiyakan permintaan putrinya itu. "Ibu malu, Din, Ibu tidak usah datang saja ya? Biar Dhea saja. Lagipula, tamu-tamu Anthony pasti banyak, Ibu malu kalau ada di sana nantinya.” Dini mencoba menyembunyikan rasa sesak di dada mendengar ucapan Rina. "Ibu jangan khawatir, ini bukan seperti pesta yang Ibu bayangkan, hanya syukuran biasa saja, tidak ada yang istimewa. Tidak banyak yang diundang. Jadi Ibu mau ya datang?" Dini mencoba merayu Rina. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Rina pun setuju. "Baiklah, Ibu dan Dhea akan datang ke rumah baru kalian." Rina mengelus kepala Dini lembut. Merasa senang karena melihat Dini yang juga terlihat senang. Mereka masih mengobrol, saat tiba-tiba terdengar notifikasi pesan







