LOGINSemua orang membeku.
Monica menatap Lily dengan kaget. "Lily, Sayang, kamu bercanda, ‘kan?" Dia mencoba tetap tenang meski jelas keterkejutan tergambar di wajahnya.
“Tidak. Aku serius.” Mata Lily tajam, suaranya tenang, tetapi ada getaran dalam nada bicaranya. “Aku tidak ingin menikah dengan Bryan.”
Keheningan menyelimuti ruangan.
Tatapan tamu undangan tertuju pada Lily, sebagian besar penuh keterkejutan, sementara sisanya mengandung ketidakpercayaan.
Bryan, yang berdiri di sampingnya, menegang. Ekspresinya berubah drastis, panik dan waspada. Seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi sebelum sempat berbicara, Adhitama—sang ayah—sudah lebih dulu menarik tangan Lily dengan erat.
“Maaf, Arya. Aku dan keluargaku pamit terlebih dahulu,” ujar Adhitama singkat, suaranya datar tetapi sarat dengan ketegangan.
Tanpa menunggu tanggapan, pria itu menyeret putrinya keluar dari aula pesta, melewati tatapan tamu yang berbisik penuh rasa ingin tahu.
Melihat ini, Arsen mengangkat alis.
Menarik.
Tatapannya mengikuti Lily yang dipaksa pergi oleh sang ayah. Dengan tenang, ia menyesap winenya, sudut bibirnya terangkat samar.
“Mungkin Lily sedang kurang sehat, jadi bicaranya agak aneh.” Arya, ayah Bryan, tertawa sumbang, berusaha meredam ketegangan di dalam ruangan. “Kamu nikmati saja pestanya, ya.”
Arsen mengangguk kecil, tetapi tidak berkata apa-apa. Dia melihat kecemasan dalam mata Arya dan Monica, tetapi memilih untuk tidak bereaksi.
Thomas—asisten pribadinya—mendekat dan berbisik, “Tuan, apa rencananya gagal?”
Arsen tidak segera menjawab. Dia hanya menghabiskan winenya dalam satu tegukan, kemudian melangkah perlahan mendekati Arya, Monica, dan Bryan.
Saat itu, telinganya menangkap percakapan antara Bryan dan ayahnya.
“Apa yang kamu lakukan sampai Lily berani membatalkan pertunangan kalian di depan semua orang?”
Bryan menunduk, tampak gelisah. “Begini, Pa…” suaranya melemah. “Sebenarnya… Lily memergokiku sedang bersama wanita lain di apartemennya.”
Arsen berhenti.
Mata elangnya menyipit.
Begitu rupanya.
**
Di kediaman keluarga Mahesa…
“Bagaimana bisa kamu membatalkan pertunanganmu dengan Bryan secara tiba-tiba?!” suara Adhitama menggelegar di ruang keluarga.
Dada Lily terasa sesak. Ia tahu keputusannya mengguncang hubungan dua keluarga, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Bryan bukan pria baik-baik seperti yang Papa kira. Jadi, aku tidak akan pernah menikahinya!”
“Tidak baik?” Adhitama menyipitkan matanya. “Lalu bagaimana denganmu?”
Lily terdiam.
Apa maksud papanya?
“Aku? Aku kenapa?” tanyanya, berusaha memahami arah pembicaraan ini.
Adhitama merogoh ponselnya, lalu memperlihatkan layar yang menampilkan beberapa foto.
Lily menahan napas.
Foto dirinya di bar.
Saat dia duduk dengan gelas alkohol di tangannya, saat dia mabuk, saat dia…
Darahnya berdesir cepat.
Jadi, inilah alasan papanya beberapa hari ini begitu dingin padanya?
“Apa maksudmu pergi ke klub malam?” suara Adhitama semakin rendah, tetapi ada kemarahan yang tersirat jelas. “Kamu pikir Papa tidak tahu?”
Lily mengepalkan tangan.
“Aku memang salah karena pergi ke sana, Pa, tapi itu semua karena—”
“Apa pun alasannya, cukup kuatkah sampai kamu tega mempermalukan keluarga kita?!” Adhitama memotong tajam. “Kamu pikir kelakuanmu ini bisa diterima?”
Lily terperangah. Sang papa sama sekali tidak berniat mendengarkannya!
“Kalau begitu, apa Papa lebih memilih membiarkan aku menikah dengan pria yang tidak setia?” suaranya bergetar karena emosi.
Adhitama tampak terkejut, tapi pria itu kembali keras. “Kalau memang itu harus dilakukan untuk mempertahankan reputasi keluarga, maka ya!”
Hening.
Lily merasa hatinya hancur kala mendengar jawaban sang ayah. Sulit untuk dia percaya pria yang selama ini adalah pegangan hidupnya … ternyata rela mengorbankannya demi reputasi semata!
Lily kecewa, Lily marah!
“Kalau memang iya, maka lebih baik buang saja aku dari keluarga Mahesa! Aku lebih sudi hidup sendiri daripada mengorbankan masa depanku untuk pria seperti Bryan!”
Adhitama terkejut mendengar kata-kata putrinya.
Ruangan terasa semakin tegang.
Sejenak, pria itu hanya menatap Lily tanpa berkata apa-apa.
Lalu, dengan ekspresi yang sulit ditebak, Adhitama akhirnya berbicara dengan nada penuh amarah.
“Seharusnya kamu berpikir sebelum berbicara di depan semua orang.”
Lily menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya.
Dia sadar, malam ini papanya tidak akan mendengarkannya.
Sebaliknya, dia juga tidak berniat untuk mengalah.
“Aku tahu keputusan dan sikapku mungkin dianggap memalukan oleh orang lain.” Suaranya kembali stabil. “Tapi aku tidak peduli. Jika Papa dan Bunda tidak mau mendukungku, maka aku akan menemukan jalanku sendiri.”
Risha terkejut. Dia tidak pernah membayangkan putrinya akan bersikap seperti ini. Tetapi sebagai seorang ibu, dia juga bisa merasakan Lily sedang tertekan.
Alhasil, Risha berusaha menenangkan keduanya. “Sudah, jangan seperti ini. Nanti kita bicarakan lagi, ya.”
Lily menatap ibunya, lalu menoleh ke arah Adhitama yang menghela napas kasar sebelum pergi dengan wajah kesal.
Sakit.
Rasanya seperti ditikam dari dua arah—oleh Bryan dan oleh ayahnya sendiri.
**
Keesokan Harinya…
Lily berjalan masuk ke gedung perusahaan dengan langkah kosong.
Setelah pertengkarannya dengan papanya, mereka sama-sama memilih diam dan tidak menyelesaikan masalah.
Dia pikir kembali bekerja bisa mengalihkan pikirannya, tetapi sebelum sempat masuk ke ruangannya, seorang staf HRD menghampirinya.
“Maaf, Nona Lily…” wanita itu tampak canggung. “Sesuai perintah Pak Adhitama, mulai hari ini Anda dipecat dari perusahaan.”
Dunia Lily seperti runtuh.
Dia menatap surat pemecatan yang diberikan kepadanya. Tangannya sedikit gemetar saat menerimanya.
Dipecat?
Tidak ada diskusi?
Tidak ada kesempatan menjelaskan?
Papanya… benar-benar tega membuangnya begitu saja?
Lily menatap surat itu, menahan perasaan terluka yang mengoyak hatinya. Tetapi, dia tetap menunjukkan ketenangan, mengangguk kecil, dan berkata, “Terima kasih.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia melangkah keluar dari gedung dengan kepala tegak.
Kalau memang ini bayarannya untuk sebuah kebebasan, maka … Lily bersedia membayarnya.
Hanya saja … apa ini berarti dia masih bisa kembali juga ke rumah?
Langkah Lily melambat.
Pikirannya kosong, tubuhnya terasa ringan—seakan melayang tanpa arah.
Satu per satu kejadian yang menimpanya terputar ulang dalam benaknya.
Bryan. Pengkhianatannya.
Papanya. Ketidakpercayaannya.
Sekarang, dia bahkan tidak memiliki pekerjaan.
Tanpa sadar, air matanya jatuh.
Dia terus berjalan tanpa memperhatikan sekitar.
Sampai—
TIIIN!
Suara klakson memekakkan telinga.
Lily menoleh, tetapi terlambat.
Mobil hitam melaju ke arahnya.
Dia membeku.
Namun, dalam sekejap, sebuah tangan kuat menariknya ke belakang.
Tubuhnya tersentak, dadanya menghantam sesuatu yang keras.
“Mati di bawah mobil bukan cara yang baik untuk menyelesaikan masalahmu, Nona!”
Mendengar suara itu, Lily mendongak.
Matanya membulat kaget.
“Ka-kamu…?”
Hari berikutnya. Arsen pergi ke ARS seperti biasa. Dia kembali bekerja mengurus berkas-berkas yang sudah menumpuk di mejanya. Arsen tampak biasa saja, hingga saat Thomas masuk ke dalam ruangannya, lalu kembali meletakkan tumpukan berkas di meja, Arsen berhenti membalikkan lembaran kertas dan tatapannya kini tertuju pada Thomas. “Ada apa, Pak?” tanya Thomas saat menyadari tatapan tak biasa dari atasannya ini. Arsen mengembuskan napas kasar, dia memijat keningnya sejenak, sebelum kembali menatap pada Thomas yang masih berdiri di depan meja, menunggu dirinya bicara. “Aku mulai lelah mengurus dua perusahaan sekaligus,” kata Arsen. Thomas diam sesaat, dia bisa melihat rasa lelah itu memancar dari sorot mata Arsen. “Jika seperti itu, apa tidak lebih baik dimarger saja perusahaannya agar lebih enak untuk Anda dalam mengelolanya?” tanya Thomas memberi usulan. Arsen lagi-lagi mengembuskan napas kasar, sebelum menjawab, “Aku takut kalau mertuaku salah paham.” Thomas terdiam lagi, menc
Mobil Arsen akhirnya sampai di mansion. Lily segera turun bersama Audrey disusul Arsen. “Hera, ajak Audrey mandi dulu, ya,” kata Lily saat Hera datang menyambut mereka. “Baik, Nona.” Hera mengangguk, lalu dia segera menggandeng tangan Audrey untuk diajak pergi ke kamar. Lily juga pergi ke kamarnya, saat Arsen masuk ke kamar, Lily langsung menghampiri kemudian bertanya, “Soal apa yang Audrey tanyakan tadi, kenapa kamu jawab begitu? Maksudnya apa?” Arsen tersenyum kecil mendengar pertanyaan Lily. “Tentu saja aku mau memberi pengertian dan pelajaran baik untuk Audrey,” balas Arsen. Lily mengerutkan kening, sampai dia kembali bertanya, “Pelajaran apa?” Arsen melangkah lebih dekat ke Lily, sambil memeluk pinggang Lily, Arsen menjelaskan. “Besok, Audrey libur, kan?” Lily mengangguk-angguk masih tak paham hubungan antara libur dengan nasib anak kecil tadi. “Agar Audrey paham, besok aku ingin mengajaknya ke panti asuhan,” ucap Arsen lagi. Lily terkejut, tapi juga senang dengan ide
Anthony terkejut mendengar pertanyaan Arsen. Dia diam beberapa saat, sebelum akhirnya membalas, “Aku sudah berusaha untuk bersikap baik ke Mama dan Dini. Dan, aku juga tahu jika harus memilih.” Arsen menatap Anthony yang gelisah, setelahnya dia kembali bertanya, “Lalu, siapa yang akan kamu pilih? Ibumu atau istrimu?” Anthony tersentak mendengar pertanyaan Arsen. Dia meremat jemarinya, ekspresi wajahnya begitu panik dan gelisah. Dia diam, Anthony tidak mampu menjawab pertanyaan Arsen yang satu ini. Arsen sudah menebak kalau Anthony tidak akan bisa memilih. Dia membuang napas, lalu menepuk pelan lengan Anthony beberapa kali. ** Beberapa saat kemudian “Kami pulang dulu, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi aku,” kata Lily saat berpamitan dengan Dini setelah acara syukuran rumah baru Dini selesai. Dini mengangguk-angguk mendengar ucapan Lily, dia tahu kalau Lily sangat mencemaskan dirinya. “Iya, terima kasih karena sudah datang,” balas Dini. Kini Lily yang mengangguk-angguk p
Hari berikutnya Rumah baru Dini dan Anthony sudah ramai dengan keluarga yang datang untuk acara syukuran rumah baru mereka. Lily datang bersama Arsen juga Risha dan Adhitama, tak lupa mengajak Audrey juga. Mereka menikmati acara syukuran rumah baru Dini, Diana juga Rina dan Dhea juga berkumpul bersama di sana. “Bu, makan buahnya,” kata Dini sambil menyodorkan piring berisi potongan buah ke Rina. “Iya, nanti ibu ambil,” kata Rina. Diana hanya mengamati tanpa mengajak bicara Rina, hingga saat dia mengecek ponselnya, Diana tiba-tiba berdiri sampai membuat Dini dan Rina terkejut. Dini memperhatikan Diana pergi meninggalkan mereka, Dini bertanya-tanya Diana mau pergi ke mana. Namun, beberapa saat kemudian, terdengar suara tawa dari arah pintu luar. Dini dan yang lain sampai menoleh dan mendapati Diana datang bersama teman-teman sosialitanya. ‘Mama benar-benar mengundang mereka,’ batin Dini. Dia langsung tidak nyaman, tapi Dini juga tidak bisa berbuat apa-apa. “Ayo semuanya
Lily menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Meski sedikit takut-takut, akhirnya Lily menghubungi Dini. Ponsel kini sudah menyentuh telinga, Lily mendengar suara nada dering dari panggilan, menunggu beberapa saat, sampai akhirnya panggilannya dijawab oleh Dini. “Halo, Lily. Ada apa?” tanya Dini dari seberang panggilan. Lily lebih dulu menggigit bibir bawahnya, sebelum akhirnya dia berkata, “Tidak ada apa-apa, hanya ingin menghubungi saja.” “Kukira ada masalah apa.” Mendengar lagi suara Dini dari seberang panggilan, akhirnya Lily memberanikan diri menyampaikan apa yang didengarnya tadi. “Din, sebenarnya aku menghubungimu karena ada sesuatu yang harus kusampaikan,” kata Lily pada akhirnya. “Iya, dan apa itu?” tanya Dini. “Aku mendengar dari Bunda kalau Bu Diana mau mengundang teman-teman sosialitanya ke acara syukuran rumah barumu nanti. Apa kamu tahu soal itu? Apa kamu akan baik-baik saja?” tanya Lily dengan sangat hati-hati. Hening, tidak terdengar suara Dini
Dini tersenyum lalu mengusap punggung tangan Rina. “Mana mungkin aku memberitahu ibu kalau Mama belum mengizinkan,” jawabnya. “Ibu datang ya besok ke acaraku, datanglah bersama Dhea, nanti aku pesankan taksi,”imbuhnya. Rina terlihat berpikir, ia seperti ragu-ragu untuk mengiyakan permintaan putrinya itu. "Ibu malu, Din, Ibu tidak usah datang saja ya? Biar Dhea saja. Lagipula, tamu-tamu Anthony pasti banyak, Ibu malu kalau ada di sana nantinya.” Dini mencoba menyembunyikan rasa sesak di dada mendengar ucapan Rina. "Ibu jangan khawatir, ini bukan seperti pesta yang Ibu bayangkan, hanya syukuran biasa saja, tidak ada yang istimewa. Tidak banyak yang diundang. Jadi Ibu mau ya datang?" Dini mencoba merayu Rina. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Rina pun setuju. "Baiklah, Ibu dan Dhea akan datang ke rumah baru kalian." Rina mengelus kepala Dini lembut. Merasa senang karena melihat Dini yang juga terlihat senang. Mereka masih mengobrol, saat tiba-tiba terdengar notifikasi pesan







