Share

Bab 3 Puing-puing mimpi yang hancur

 Malam itu cuaca nya sangat bagus, udara nya sejuk, bulan bersinar terang dengan hiasan bintang yang bertaburan bagai mutiara yang berkilau. Malam yang indah untuk dinikmati berdua bersama suami, setelah Syafia dan Yusuf tidur aku mengajak suamiku untuk duduk di teras menikmati keindahan malam ini.

Ku suguhkan sepiring singkong kukus kesukaan nya tak lupa juga secangkir kopi untuk kami nikmati bersama, yaa... aku lebih suka menyeruput kopi dari cangkir suamiku, selain ingin terkesan romantis juga karna sebetulnya aku tak begitu kuat menikmati kopi, minum sedikit saja auto begadang 2-3 jam, tidurku akan jadi lebih larut.

“ Sayang, ini secangkir kopi dan sepiring singkong kukus panas special buat suamiku tercinta,“ rayu ku sambil menyuguhkan nya di meja kecil teras kami, kami duduk berdampingan di kursi bambu panjang yang menghadap ke halaman kecil di depan teras rumah kami.

“Makasih sayang, masyaAllah mantap bener ngopi di temenin singkong kukus dan seorang bidadari,“ puji nya menerbangkan hatiku.

Aku tersenyum dan tersipu, rayuan singkat nya itu tetap mampu melelehkan hatiku.

“Sayang....aku mau nanya sesuatu nih sama kamu,” ujar suamiku

“Mau tanya apa?” tanyaku.

“Mmhhh....ga jadi deh,“ katanya

“Loh koq ga jadi sih?” tanyaku penasaran

“ Takut kamu marah sama pertanyaanku,” jawabnya

“Emang mau nanya apa sih?” tanyaku.

“Yakin kamu ga bakal marah kalo aku tanya?” kata suamiku balik bertanya

“Emang kamu takut kalo aku marah? Emang aku pernah marah sama kamu?” kami saling melempar pertanyaan, ya....aku dan suamiku memang jarang sekali bertengkar, bahkan mungkin hampir tidak pernah, jika pun pernah paling sekedar kesal atau kecewa kecil, marah marah manja yang gak lama dan kami akan saling mengalah untuk saling meminta maaf.

“Sebenernya aku bukan takut sama kamu, tapi takut melukai perasaanmu,“ ujar suamiku membuat jantungku berdebar, pertanyaan macam apa sih sampai dia takut menyakiti hatiku??! aku tak ingin suasana terlalu serius sehingga aku meyakinkan nya untuk memberitahu ada apa sebenarnya.

“Iya janji pokoknya aku ga akan marah, nih aku kasih kamu senyuman termanis, sekarang silahkan bertanya pak, saya siap menjawab,“ kataku meyakinkan suamiku agar mau berterus terang.

“Mmh....gini deh, kalo kamu harus memilih, lebih baik aku meninggal terlebih dulu dari kamu atau lebih baik kamu melihat aku memiliki istri lagi ?” tanya nya dengan nada separuh bercanda separuh serius.

Hah???!! pertanyaan macam apa itu??

Hatiku semakin berdebar, tapi aku harus ‘bermain cantik’ tidak boleh asal-asalan menjawabnya atau akan berakhir pada jiwa yang penasaran karena suamiku pasti tidak akan berterus terang jika aku salah memberi jawaban.

“Koq nanya nya kaya gitu sih?” tanyaku mengulur waktu untuk menjawab

“Udah kamu jawab aja tapi inget janjimu untuk tidak marah,” kata suamiku.

“ Kalo kamu sendiri ,lebih baik melihat aku meninggal karena sakit atau meninggal karena kecelakaan?” aku bertanya balik, aku pernah baca di sebuah buku psikologi bahwa jika kesulitan menjawab sebuah pertanyaan ,maka balas lah pertanyaan itu dengan pertanyaan lain nya, thanks....its working on me right now!!

“Ih kenapa ga di jawab aja sih, jangan ngomong kaya gitu dong aku ga mau lihat kamu meninggal,” ujar suamiku.

“Ya lagi kamu ngasih pertanyaan yang aneh juga,” timpal ku

“Lagian meninggal itu bukan pilihan, tapi takdir. Aku sih berharap suamiku berumur panjang ,kayaknya aku ga sanggup kalo di tinggal kamu duluan, begitu pun kalo kamu meninggalkanku karena wanita lain,“ tambahku.

Suasana mulai serius, aku menatap wajah suamiku dalam-dalam , mencoba menemukan apa yang sekiranya dia sembunyikan.

Dia menghela nafas dalam dan tersenyum, seakan sedang mengumpulkan sejuta keberanian untuk menghadapiku.

“Jadi gini....ada seorang janda punya anak 1, aku ingin menjaga kehormatannya dengan cara menikahinya, tapi dia hanya mau diperistri olehku jika istri pertamaku merestuinya,” perkataan suamiku terdengar seperti kilat dan petir yang menyambar seluruh tubuhku. Aku merasa lemas dan bergetar, bibirku tiba-tiba menjadi kelu, senyumanku yang merekah seketika menyeringai dan datar.Udara seketika terasa dingin hingga menusuk tulang dan sendiku.

Oh apakah ini gerangan, aku tak pernah menyangka bahkan tak ingin mendapat mimpi buruk seperti ini!!!

“mi....,umi....koq diem aja sih, senyum nya mana?tadikan janji ga marah” tanya suamiku sambil sedikit menggoyangkan badanku, memaksa separuh jiwa yang mendadak terhempas dalam ragaku masuk kembali dan membuatku sadar ini bukanlah mimpi buruk.

“Aku ga marah, orangnya pasti Utari kan?” aku menebak dengan nada gemetar

Aku berusaha menahan diri, menahan air mata yang kubendung agar tak mengalir , aku berharap ini adalah sebuah prank dan kucari keberadaan kamera, aku tak akan marah jika ini adalah prank, aku berjanji lebih baik ini adalah sebuah prank, aku tak menginginkan ini sungguh terjadi!!!

“Iya, menurut kamu gimana?” tanya suamiku

TIDAAAAKKK....aku tak menemukan kamera tersembunyi, aku melihat kejujuran dan harapan dimata suamiku, bagaimana mungkin??! Matanya yang berbinar itu, yang selalu kurasa hangat dan penuh cinta untukku tapi menginginkan wanita lain, tidaaaakkk!!!

Aku tak bisa lagi berkata apa-apa, hanya tetesan air mata yang merembes tak mampu kutahan mulai mengalir membasahi pipi.

“Aku ga akan ninggalin kamu, kamu tetap istri pertamaku yang aku cintai, aku hanya ingin kamu merestui aku menikah dengannya,” pinta suamiku.

Seketika dunia kelam, tak mampu kulihat cahaya, hanya air mata....

Aku mash tak percaya , suamiku yang sempurna, yang kucintai sepenuhnya, yang kubanggakan tanpa cela, tega meminta hal yang tak kan mampu kuberikan.

Seketika bayang-bayang pahit masa lalu datang menghampiri, aku yang seringkali melihat pertengkaran ayah ibuku semasa kecil terlintas kembali, aku yang menangis setiap malam karena ayahku bersama istri yang lain di depan mataku dan membuat ibuku terluka tergambar jelas dibenakku, Air mata ibuku yang selalu membasahi wajahnya setiapkali mengeluhkan tentang ayahku semakin teringat dalam memoriku, aku yang bekerja keras demi hidupku dan adik-adik ku karena luka akibat perpisahan kedua orangtua ku semakin terasa menyesakkan dadaku.

Aku sungguh tak sanggup.

Aku yang sebelumnya selalu berusaha memenuhi apapun perintah dan permintaan suamiku demi menjaga keharmonisan rumah tangga kami ,kini hanya mampu diam terpaku, tak sanggup rasanya bahkan untuk berkata tidak.

Mimpi-mimpi kehidupan rumah tangga bak surga di dunia dan ingin berkumpul kembali di akhirat itu seakan sirna,

Mimpi-mimpi hidup menua bersama berdua melewati segala rintangan bersama seakan hancur luluh lantak.

Bagaimana mungkin nahkodaku menginginkan kapal yang lain.

Dunia terasa sempit saat itu, sesak sehingga aku tak sanggup bernafas lega, rasanya mati lebih baik ,pikirku .

“Mi....,umi....hey....” suamiku kembali mencoba meraih kesadaranku, aku yang terpaku dengan tubuh lemas lunglai mencoba bangkit dan berlari menghindari nya.

Aku tak ingin lagi melihat wajahnya, aku berlari ke kamar dan mengunci nya.

Sendiri di sudut kamar dan meratap, menangis, dan melampiaskan kekecewaanku pada benda benda di sekitarku.

Aku tak pernah begini sebelumnya, sungguh tak pernah ku sangka aku akan mengalaminya.

Aku fikir aku sudah cukup menjadi istri yang baik untuk suamiku, tapi ternyata dia menginginkan istri yang lain.

Aku mulai menerka nerka, apakah aku punya cela dimatanya? Apakah aku kurang dalam melayaninya? Dalam memuaskan pandangan nya? Dalam memenuhi kebutuhannya? Dalam menjaga amanah nya? Apa yang kurang??

Kenapa dia tak pernah komplain sebelumnya jika aku punya segudang kekurangan??

Ataukah ini karena Utari? Apakah dia menggoda suamiku? Atau dia terlalu cantik hingga membuat suamiku terlena? 

 Sejuta tanya menyerbu di benak, aku yang tersudut hanya bisa menangis, tak henti menangis sehingga tak kusadari suamiku terus mengetuk pintu dan membujuku untuk keluar. Aku tak menggubrisnya, aku terlarut dalam puing-puing mimpi yang hancur.

 Belum sempat ku minum kopi yang kusuguhkan untuk suamiku, tapi rasa kecewa ini lebih dari kopi yang mampu membuatku terjaga semalaman.

Semakin malam semakin larut, tak ku dengar lagi suamiku di belakang pintu, mungkin dia sudah lelah merayuku, mungkin kini dia sudah terlelap, waktu menunjukan pukul 03,30 WIB sudah hampir subuh dan aku masih terlarut dalam diam dan tangisku.

Aku beranjak dari sudutku terpaku, aku mengambil tas dan mengemasi sebagian pakaianku, aku berfikir untuk meninggalkan rumah sementara waktu, aku tau bahwa meninggalkan rumah tanpa ijin suami adalah dosa dan laknat malaikat yang akan ku dapat, tapi biarlah terlaknat, setan sungguh telah memprovokasi dan menggoyahkan keimananku, aku tak bisa diam saja disini, aku ingin memberi suami ku pelajaran bahwa tanpa keberadaanku dia akan kepayahan di rumah mengurusi anak-anak dan membutuhkanku.

Aku bawa barang-barang kecil berharga seperti semua sisir dan remot tv bersamaku agar dia kepayahan mencari nya dan menyadari aku lah yang paling dia butuhkan .

 Aku berencana untuk meninggalkan pula Syafia dan Yusuf sementara waktu, semata-mata hanya ingin suamiku menyadari seberapa besar cinta nya dan cintaku .

Diam-diam aku keluar dari kamar dan berencana meinggalkan rumah, tak tentu arah yang akan kutuju, aku tak mungkin kerumah orangtua atau mertua ku, mungkin aku hanya ingin meyendiri beberapa waktu ke tempat baru.

Saat aku akan melangkah keluar, ternyata suamiku sedang duduk di depan pintu, dalam gelap tampak dia mengenakan sarung dan memegang tasbih di tangannya seperti setelah dia melakukan tahajud dan wirid .

Dia meraih tanganku dan menyalakan lampu, kulihat wajahnya yang basah karena air wudu dan matanya yang merah mungkin karena semalaman terjaga.

Dia mengambil tas ku, meminta ku duduk dan memeluk ku,

Air mata kembali mengalir deras, ku dorong tubuh suamiku menjauh dari pelukan dan berkata “Kalau kamu punya istri yang lain, kamu juga ga akan tau saat aku menangis seperti ini ketika kamu bersamanya, PERGI....!!!”

Suamiku diam terpaku, ini adalah kali pertama dia melihat sisi lain dari diriku.

Dia terus mendekapku dan meminta maaf karena telah menyakitiku, suara nya lirih dan sesekali ku lihat dia menyeka matanya, seperti menahan tangis dan ada air mata di ujung matanya, dia berkata “Maafin abi sudah menyakiti perasaan umi, sekarang terserah umi, jika umi tidak merestui, abi akan membatalkan niat itu ,umi ga boleh kemana-mana,umi harus tetap disini” pinta nya.

 Aku membatalkan niatku untuk pergi, aku ingin menganggap yang suamiku katakan adalah mimpi buruk dan tak akan pernah terjadi. Namun rasa kecewa itu tetap ada, aku tak pernah menyangka suamiku memiliki niat untuk satu kata yang paling ku benci, poligami.

 Subuh pun tiba dan hari mulai pagi, anak-anak mulai terbangun dan kami melakukan rutinitas seperti biasa walaupun tanpa satu hiasan termanis yang selalu kupakai....senyuman.

Ya... senyum itu masih enggan kembali karena kekecewaan masih memenuhi hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status