“Abi udah jam segini koq ga ke kantor?Abi ga kerja ya? Hari ini abi libur ya?”tanya Syafia kepada abi nya.
“Iya sayang, hari ini abi pengen libur,” jawab suamiku“Yeay....jalan jalan yuk bi” ajak Syafia“Nggak ah, abi pengen di rumah aja sama umi,” jawab suamiku sambil melirik ke arah ku seakan jwaban yang sesungguhnya adalah ‘abi ingin memantau umi agar tak pergi dari rumah ini’“Ya udah deh tapi main sama Fia dan Yusuf ya bi,“ ajak Syafia lagi“Oke deh,” suamiku mengiyakan keinginan anaknya itu.Beberapa hari berlalu sejak kejadian malam itu, menyisakan jarak yang cukup lebar antara aku dan suamiku. Aku kini tak seceria dulu, senyum itu masih enggan singgah di wajahku, yang ada hanyalah senyum keterpaksaan didepan anak-anakku. Aku masih menjalankan tugas rumah tanggaku dengan baik dan masih melayani hasrat bercinta suamiku, meski kini aku tak menikmatinya seperti dulu. Yang ada dibenakku adalah aku harus menyadarkan suamiku bahwa aku sudah cukup bagi nya dan dia tak perlu istri yang lain!! Aku mencoba berdamai dengan rasa kecewa dan sakit hatiku demi mempertahankan rumah tanggaku, akupun tak ingin tau bagaimana sebenarnya hubungan Utari dan suamiku di kantor, suamiku pun sudah hampir seminggu ini tak masuk kantor, dia seakan 'memantau' keadaanku, aku seperti tawanan yang bisa saja kabur tanpa sepengetahuannya jika dia meninggalkanku dirumah.
Ketika anak-anak sedang asyik dengan mainan mereka, suamiku menghampiri aku yang baru selesai menyetrika.
“Umi masih marah sama abi?” tanya nya“Aku kan ga boleh marah,” jawabku ketus sambil berusaha untuk tidak memandang wajahnya.“Mi, coba baca ini barangkali kamu berubah fikiran,” kata suamiku sambil menyodorkan dua lembar kertas yang sudah di hekter jadi satuKu lihat dan kubaca, Astagfirullah....ternyata itu adalah boidata taaruf, berisi milik seorang wanita bernama Utari. Rasa kebencian terhadap suamiku menyelimutku, tak tampak lagi kebaikan-kebaikan nya selama ini, tak nampak lagi sosok sempurna idaman yang ada dan nampak dalam pandanganku saat ini terhadap suamiku adalah hanya seorang lelaki yang berhasrat untuk menikah lagi.Ku tatapi wajah Syafia dan Yusuf yang sedang asyik bermain, tak ingin rasanya aku berbuat kegaduhan dan menyakiti wajah-wajah polos tak berdosa itu, kubaca dengan seksama kertas nya, aku mendapat informasi sekilas tentang Utari bahwa dia janda berusia 21 tahun, tertulis dalam biodata tempat, tanggal, bulan dan tahun lahirnya disitu. Dia memiliki seorang putri berusia 4 tahun, dia anak kedua dari empat bersaudara, selain bekerja di tempat yang sama dengan suamiku, Utari juga sedang melanjutkan kuliah semester 1 di bidang informasi dan komunikasi. Hobi, kekurangan, kelebihan, warna dan makanan favoritnya pun tercantum disitu, juga foto close up nya.Status nya adalah janda, tapi tak tertulis bagaimana di usia se muda itu dia sudah kehilangan suami nya? Apakah dia ditinggal mati suaminya atau diceraikannya.
Aku belum pernah bertemu Utari sebelumnya karena aku jarang mengunjungi kantor suamiku, yang kudapati hanyalah cerita-cerita singkat tentang pekerjaan suamiku darinya, hampir tak kenal dekat pula dengan teman dan rekan kerja nya, aku hanya tau beberapa teman sekantor suamiku yang pernah berkunjung ke rumah ku. Selama ini aku percayakan penuh segalanya. Aku fikir Utari adalah janda berusia 27 tahun atau lebih, ternyata di usia nya yang se belia itu dia sudah ditinggalkan suaminya, apakah benar hanya karena iba suamiku lantas ingin memperistri nya?
Ataukah karena kecantikan dan belia usia nya? Tak seperti aku yang mungkin kini mulai tak menarik lagi dimatanya??Setelah sekilas membaca isi biodata taaruf itu, kupandangi wajah suamiku dengan terpaksa, ingin kucari jawaban-jawaban dari ribuan pertanyaan dengan menatap mata nya, SIAL....yang kudapati adalah binar mata yang sama, mata yang berharap aku akan mengabulkan permintaan nya, dia belum benar-benar mau membatalkan niat untuk berpoligami, seperti apa yang dia katakan tadi subuh.Sekali lagi tubuhku terjun bebas dalam dunia penuh tanya, aku harus apa????????“Hari ini jalan keluar yuk sama anak-anak,” ajak ku kepada suamiku“Ga bisa, Abi mau ada urusan,” jawab suamiku.“Abi mau kemana? Fia ikut, Fia bosen dirumah terus,” rengek Syafia kepada abi nya.“Abi sampe sore loh Fia,” kata suamiku“Gak apa-apa Fia ikut abi aja ya,” pinta Syafia dengan manja.“Ya udah, pake baju yang rapi ya,” kata suamiku.“Umi sama Yusuf ikut?” tanya ku pada suamiku.“Ga usah ya, dirumah aja!!” seru suamiku.Aku memakaikan Syafia baju casual, kaos panjang, celana panjang dan kerudung bahan kaos karena ku fikir suamiku akan membawa Syafia ke kantor atau rumah temannya di hari sabtu ini.“Jangan pake baju itu Mi, yang rapihan dikit, serasiin sama Batik Abi,” pinta suamiku kepadaku.“Rapi banget pake batik kaya mau kondangan,” ejek ku sambil mengganti baju Syafia dengan gamis b
Waktu menunjukan pukul 15.30 WIB, aku sudah selesai menyiapkan segala sesuatu untuk pergi berkencan sore ini dengan suamiku. Aku memakai gaun abaya hitam yang suamiku belikan saat dia Umroh dulu, lengkap dengan pasmina panjang menjuntai warna hitam juga. Aku yakin suamiku akan menyukainya karena dia sangat menyukai warna hitam dan perempuan yang berwajah Timur Tengah, sehingga gaya make up ku pun meniru perempuan ala Timur Tengah, dengan alis hitam lebat, celak mata yang tajam dan hitam, eyeliner di kelopak mata untuk mempertegas riasan mata, mascara hitam agar bulu mataku nampak lentik, lipstik berwarna softpink, aku tak memakai foundation dan bedak berlebihan, apalagi eyeshadow atau brush di pipi, terakhir kali aku memakai riasan itu malah suamiku tak menyukainya. Satu hal lagi, aku melengkapi penampilanku ini dengan cadar hitam agar aku terlihat sangat mirip dengan wanita Arab.Aku pun berangkat dengan ojek online dan sampai pada pukul 15.45WIB.‘Umi udah samp
“Bi, jalan-jalan berdua aja yuk,” ajakku kepada suamiku saat kami sedang bersiap tidur.“Kemana?” tanyanya singkat.“Kemana aja gitu, ke pantai boleh ke gunung boleh ke hotel boleh restoran juga ayo yang penting berdua aja,” jawabku sambil menatapnya.“Anak-anak gimana?” tanya suamiku seakan tak ingin mengabulkan permintaanku.“Ya semenara titip mama dulu, umi tuh pengen menghabiskan waktu berdua aja dulu sama abi biar bener-bener melupakan masalah kemarin, emang abi ga ngerasa ya kalo umi masih sakit hati?” tanyaku dengan nada sedikit emosi.“Sakit hati kenapa?” tanya suamiku dengan wajah polos seakan tanpa dosa.“Utari,” jawabku singkat sambil menatapnya tajam.“Ya ampun masih kepikiran aja, kamu sendiri yang rugi kalo masih ngerasa sakit hati,” ujar suamiku sambil memejamkan mata.Aku tak ingin memulai pertengkaran, namun sikap su
“Alhamdulillah kajian pagi ini telah selesai, mari kita tutup dengan membaca istigfar dan doa majelis, Astagfirullahaladziim subhanaka Allahuma wabihamdika Ashadu alla illaha illa anta astagfiruka waatubu ilaih, mohon maaf apabila ada kekurangan atau kesalahan, wabillahi taufik wal hidayah wassalamualaikum warrahmatullahi wabarokatu,” Doa bu ustadzah Hilya menutup kajian pagi ini.Seperti biasa setelah kajian usai dan sambil menunggu Syafia pulang sekolah, aku menyempatkan diri untuk menyapa dan berbincang dengan guru sekaligus sahabatku......bu ustadzah Hilya.“MasyaAllah kajian hari ini ngena banget di hati saya bu, tapi bu rasanya koq sulit sekali ya untuk ikhlas dalam menerima ujian dalam hidup ini?” tanyaku kepada bu ustadzah Hilya.“Bukan sulit, tapi memang ga mudah dan proses belajar ikhlas itu butuh waktu seumur hidup,” jawab bu ustadzah Hilya yang selalu bisa menenangkan hatiku.Aku mengangguk dan mencoba memah
‘Yang, udah makan siang? Aku ke kantor ya sekarang’ isi pesan singkat yang siang ini ku kirim kepada suamiku. Dia sudah membaca pesanku tapi belum juga membalasnya, aku menunggu sambil mengecek lokasi keberadaannya, dia di kantor.Setelah sepuluh menit suamiku baru membalas pesanku,‘Jangan ke kantor sekarang ya, dirumah aja!’ seru suamiku dalam isi pesan singkatnya.Andai aku bisa meretas cctv di kantor nya atau memasang penyadap suara di meja kerja nya mungkin aku tak akan gelisah atas asumsi ku, mengira-ngira apa yang sedang suamiku lakukan? Bersama siapa?Tak lama kemudian aku kembali mengecek lokasi real time keberadaan suamiku via aplikasi yang sudah aku interegasikan antara handphone ku dan handphone miliknya, aku lihat sebuah pergerakan, dari kantor nya ke arah atas, entah menuju kemana.Aku terus memantau posisi suamiku, aku selalu merefresh aplikasi nya agar mendapat penyegaran dan info akurat mengenai keberadaan s
Aku mulai melupakan rasa sakit hati dan kecewa pada suamiku tentang niat nya yang sempat ingin menikahi Utari, Utari kini tak lagi bekerja di kantor suamiku, begitu pun ayahnya, no handphone Utari pun sudah ku blokir dari handphone suamiku agar mereka tak lagi bisa berkomunikasi, satu hal yang kini rutin kulakukan adalah berkunjung ke kantor suamiku sepekan sekali, kadang tiap 3 hari aku selalu beralasan ingin mengantar makan siang, sekedar berjalan-jalan dan mampir atau berbagai alasan lainnya aku pastikan di kantor dia tak bisa berbuat macam-macam.Karena semakin sering aku berkunjung ke kantor suamiku, maka aku pun sering mendengar gosip-gosip dari para karyawan, beberapa kali aku mendengar diantara mereka menjadikan aku dan suamiku bahan obrolan mereka, mereka seakan menerka-nerka kisah rumah tangga ku dan berhenti berbicara ketika mereka menyadari keberadaanku. Aku tak ingin membuat keributan dengan mempertanyakan itu semua secara langsung kepada mereka karena aku tau ji