Share

Part 4

"Saya terima nikahnya Haiba Najma Tsakiba Binti Qomaruddin dengan mas kawin uang dua ratus dua puluh dua ribu dua ratus rupiah dan seperangkat alat salat dibayar tunai!"

Mendengar kalimat ijab dengan satu tarikan napas yang terucap dari lisan Mas Hendra, rasanya seperti mendengar petir di musim hujan yang disertai gemuruh angin, gelap dan mencekam, seperti suasana hatiku saat ini.

Mencoba tersenyum dengan pantulan diriku di cermin rias, gaun pengantin berwarna putih, dengan kerudung senada menutup dada, hiasan melati di kepala, dan juga make up super tipis tanpa peran pensil alis, tanpa bulu mata palsu, dan tanpa perona wajah, persis seperti yang aku impikan, hanya saja impianku dulu tentunya menjadi pengantin dengan senyum bahagia, bukan dengan senyum terpaksa untuk sembunyikan derita.

"Lihatlah manusia itu Ya Allah, dia memberikan mahar seperangkat alat salat, namun dia bahkan tidak suka mendengar kata salat, apakah aku sekuat itu dalam pandangan-Mu? Bukankah manusia tidak akan diuji melebihi kemampuannya? Apakah aku akan mampu menjadi istri bersuamikan pria seperti Mas Hendra, manusia budak dunia yang tingkah polahnya lebih buruk dari hewan, bahkan setan!" rutukku dalam sepi.

Tepat pukul delapan pagi tadi rombongan dari keluarga Mas Hendra sudah tiba, akad berlangsung pukul sembilan pagi, dan aku belum keluar sama sekali dari kamar, sanak saudaraku memintaku keluar untuk menemani Mas Hendra melangsungkan akad, namun aku menolak, aku hanya mau keluar kamar setelah dinyatakan sah.

"Mbak, udah selesai akadnya! Mbak boleh keluar dari kamar, udah ditungguin sama pangeran berseragam loreng," teriak Kiara dengan nada menggoda, sambil sedikit berlari ke arahku, dan aku hanya tersenyum menanggapi celotehan Kiara.

Kiara menggandeng lenganku, membersamaiku berjalan pelan menuju ruang tamu, seluruh keluarga berada di sana, menjadi saksi dari terucapnya ijab qobul.

Seorang lelaki yang telah sah menjadi suamiku berdiri menatapku dengan senyum lebar, senyum yang memantik amarah juga air mataku, dengan senyum itu aku dihinakan dan diperlakukan layaknya binatang.

Air mata yang sejak tadi kutahan sekuat yang aku bisa, kini keluar dengan derasnya, memancing tanya pada setiap tamu yang melihatku. Ah, mungkin orang akan mengira ini air mata bahagia, andai mereka tahu tentang perbuatan Mas Hendra terhadapku seminggu yang lalu, tapi apa yang akan mereka lakukan? Mungkin mereka hanya akan tersenyum, menganggap wajar karena hal seperti itu lumrah terjadi pada para gadis di jaman ini.

Yang benar adalah, andai aku hidup di jaman nabi, mungkin hukum yang berlaku sebagai tebusan dosa besar ini lebih menyenangkanku, namun mustahil untuk saat ini, peluang besar agar dosaku terampuni hanyalah bersungguh-sungguh dalam taubat.

"Mbak, sudah nangisnya! Nanti matanya sembab, jelek kalau di foto," bisik Kiara sambil menyodorkan beberapa lembar tisu ditanganku.

"Dek, habis ini upacara sangkar pora, make up-nya tolong lebih tebal, ya! Malu sama temen-temenku," ucap Mas Hendra pelan namun penuh penekanan.

Upacara sangkar pora adalah upacara yang dilakukan oleh teman-teman Mas Hendra sebagai bentuk penghormatan kepada sesama prajurit TNI.

Mas Hendra membuka tangan kirinya, mengisyaratkanku agar menggamit lengannya, kami berjalan menuju tempat foto untuk mengabadikan momen memakai baju akad dan pamer buku nikah, meskipun tanpa senyum, aku tetap melakukan seluruh arahan fotografer dalam berpose mesra dengan Mas Hendra.

Berlanjut sesi foto dengan masing-masing keluarga, berawal dari seluruh sanak saudara dari keluargaku lalu keluarga Mas Hendra.

"Irsyad tadi kemana, Pa?" tanya seseibu dengan gamis batik hitam dan kerudung lebar warna mocca pada suaminya yang mengenakan kemeja dari kain batik yang sama dengan ibu tadi.

"Coba cari diluar, Ma!" jawab bapak itu pada istrinya.

"Itu Om sama Tanteku, Dek. Mereka tinggal di luar Jawa, punya perusahaan sawit, putranya baru lulus SMA, tapi udah mandiri, punya bisnis sendiri di bidang retail," ujar Mas Hendra dengan senyum bangga.

"Cantik istrimu, Hen! Siapa namamu, cah ayu?"

"Najma, Om."

"Tunggu sebentar, ya, Nduk Najma! Itu tadi Tantemu lagi nyari Irsyad, putra bungsu kami. Oya, panggil saja saya, Om Andri. Om aslinya juga dari Jawa, Tantemu atau istri Om, namanya Narti."

Aku hanya mengangguk sopan kepada Om Andri, sesebapak yang tampak sangat ramah memperkenalkan diri kepadaku, yang mungkin menjadi keluarga terakhir dari Mas Hendra yang turut serta dalam sesi foto yang cukup melelahkan ini.

Aku kembali menunduk, rasa sedih tak sedikitpun hengkang dalam menguasai diri, kalau saja pernikahan ini sesuai ekspektasi, rasa lelah tidak akan semenyakitkan ini, padahal ini baru awal acara, rasanya ingin sekali pura-pura pingsan, agar bisa istirahat melepas penat, namun aku tidak tau bagaimana caranya, karena aku belum pernah sekalipun mengalami yang namanya pingsan, mimisan, atau bahkan kesurupan.

"Maaf sudah nunggu lama, Hen! Nyari Irsyad ternyata habis angkat telepon diseberang jalan, disini rame enggak kedengaran katanya," ujar Tante Narti kepada Mas Hendra.

Aku hanya tersenyum ketika Tante berjalan ke arahku, aku berniat menyalami Tante Narti, namun ditariknya tanganku dengan lembut, lalu dipeluknya tubuhku dengan erat.

"Irsyad tidak sedang telepon, tadi pas Tante nyari dia ketemu di rumah tetangga sebelah kanan rumahmu, itu rumah temennya dulu pas masih sekolah disini katanya, dia nangis sesenggukan, Tante tanya kenapa, dia ceritakan semuanya, kamu harusnya jadi mantuku aja, Nduk. Irsyad sudah mempersiapkan semuanya sejak kita pindah ke luar Jawa, dan Tante baru tau kalau itu semua demi bisa memiliki kamu,"

Aku terbelalak, kaget bukan main mendengar penjelasan Tante Narti yang sangat pelan tepat ditelinga kiriku, mungkin agar tidak terdengar oleh Mas Hendra, aku dengan sopan mencoba melepaskan diri dari pelukan Tante Narti, tapi tidak bisa.

"Hendra buruk perangainya, Nduk! Apa kamu tetap akan menjadi istrinya selamanya?" aku semakin terkejut mendengar pernyataan Tante Narti, bagaimana Tante Narti tau tentang sifat buruk Mas Hendra, yang bahkan mungkin Ibunya Mas Hendra tidak mengetahui tentang keburukan anaknya.

Dan, Irsyad? Apakah putranya Tante Narti benar-benar Irsyad yang sama dengan Irsyad yang menyatakan cinta dan niat ingin melamarku? Aku ingat betul seluruh pesan yang dikirimkan Irsyad kepadaku seminggu yang lalu, namun benarkah dia? Apakah dia sepupu dari Mas Hendra? Dan apa tadi? Kata Tante Narti dia sekarang berada di rumah temannya waktu sekolah disini? Tetangga sebelah kanan rumahku? Beni? Apakah dia tau kalau aku tetangganya Beni, temannya? Kalau tau kenapa dia menanyakan alamat rumahku waktu itu?

"Maaf, tadi habis angkat telepon," aku yang tiba-tiba dilepaskan dari pelukan oleh Tante Narti yang mendengar suara seorang laki-laki muda yang sedikit serak itu segera menoleh kearah suara.

Aku kembali dihadapkan dengan sosok yang dulu aku lihat hanya sekelebat, meskipun Irsyad sama sekali tidak melihatku, aku tau ada kesedihan yang teramat sangat, juga rasa kecewa luar biasa dalam tatapan matanya ketika berbicara dengan Mas Hendra.

Dadaku tiba-tiba terasa nyeri, tepatnya ulu hati, kebingungan luar biasa, rasa sesal karena telah membuat sosok Irsyad kecewa, pria baik yang menyatakan cintanya dengan cara yang baik pula, pria yang sudah berjuang memantaskan diri untuk mendapatkan cintanya.

[Maaf, Syad. Kamu terlambat,] balasku waktu itu, lalu kublokir nomornya, berharap Allah segera menyembuhkan lukanya dengan mengganti sosok baru yang lebih pantas dicintai oleh Irsyad.

Andai aku belum direnggut, mungkin aku benar-benar akan memilihmu sebagai imamku, Syad!

Bersambung..

Oleh : Seema Zuhda

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status