POV Aditya
Rindu terhadap seseorang membuatku mempercepat skripsi kuliah. Seorang gadis berusia 24 tahun, hanya terpaut 1 tahun saja denganku. Dia lah Nilam Cahaya, sejak SMA aku sudah jatuh hati padanya. Namun, aku tak pernah berani mengungkapkan isi hatiku padanya.
Sampai aku tiba dan bertemu dengannya pun, tetap saja tak berani mengutarakan cinta. Hanya sekedar menyanjung saja. Apalagi, kini wajahnya semakin terlihat cantik dan bertambah dewasa.
Hingga sesuatu terjadi, entah ada masalah apa dengan Nilam. Gadis itu menghilang begitu saja hingga satu bulan lamanya.
Vika yang merupakan teman dekat sekaligus sahabat juga tidak tahu di mana dia berada. Aku sampai frustasi mencari keberadaannya.
Hingga sebuah fakta aku dapatkan. Saat aku masuk ke dalam kamar kakak tiriku atas perintah Mami Chintya.
Sebuah baju yang sempat aku belikan pada Nilam, berada di
Mata memindai setiap sudut ruangan. Sepertinya ini bukan kamar biasa, tetapi rumah sakit. Siapa yang membawaku ke sini? Apakah mungkin keluarga Abraham?Suara yang tak asing bagiku mulai terdengar menyusuri jalan di depan ruangan ini. Vika.Gadis itu tertawa. Bersama siapa dia saat ini? Apa mungkin Arshaka?Aku mencoba bangun meski kepala masih terasa pusing. Apalagi aku juga mual. Apa masuk angin gara-gara kedinginan semalam ya?Aku terbangun saat matahari sudah menyingsing. Ketika mata mengarah ke jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi.Handel pintu bergerak. Pasti Vika yang membuka. Aku berpura-pura masih memejamkan mata."Masih belum sadar?"Ya ampun, jadi Vika sama Aditya."Belum," jawab Vika lesu."Ya udah, karena dia belum bangun. Aku akan pergi lagi. Salam buat
Sebenarnya aku sakit apa sih? Kenapa rasanya aneh begini?Rasa mual yang sangat luar biasa benar-benar mengganggu aktivitasku. Dari sore hingga malam aku terus merasa perutku seperti diaduk-aduk. Ingin muntah terus menerus."Coba panggilkan dokter, Vik ," titah Aditya.Vika pun bergegas keluar dari ruangan ini untuk menemui dokter. Hingga beberapa menit kemudian dia kembali dengan dokter yang berbeda."Maaf ya, Mbak, saya periksa terlebih dahulu," katanya sebelum memeriksaku dan aku membalas dengan anggukan.Selesai diperiksa, Aditya lah yang paling antusias dengan hasilnya ."Bagaimana keadaannya, Dok?" wajahnya menatap serius ke arah dokter."Apa Anda suaminya?" tanya dokter dan Aditya mengangguk.Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di sini. Jangan-jangan dugaanku benar.Wah. Aditya tidak bo
"Ya Tuhan, Saka! Kenapa kamu malah ada di sini!" Suara Mami Chintya berteriak.Ada apa dengan Saka?Seketika aku ikut khawatir dengan keadaan suami yang tak mau menerimaku menjadi istrinya.Semoga saja Saka baik-baik saja."Mam, ada yang memanggilku tadi. Dia bilang pa ....""Kamu pasti hanya berhalusinasi saja. Mana ada yang memanggilmu. Ada-ada saja," sela Mami membuat Saka langsung terdiam.Suara mereka terdengar samar, hingga akhirnya lambat lain suara itu kian menghilang. Apa yang akan Saka katakan tadi. Mungkinkah dia akan bicara Papi?Itu artinya aku benar-benar hamil dan Saka bisa merasakan ikatan batin dengan anak yang kukandung.Seandainya kamu menerima aku jadi istrimu, Saka.Aku hanya bisa menjerit dalam hati. Berandai-andai jika Saka akan memb
Entah siapa yang menelpon, hanya tertera nomor saja saat kulihat tadi.Ketika Saka menerima telepon. Di situ aku memungut gelas yang terbelah menjadi 3 lalu dibuang ke tempat sampah. Untung saja tidak hancur tadi.Akan tetapi, setelah saka berucap kata halo, dia langsung menyentuh layar dan menggeser untuk mengakhiri. Karena terlalu lama, akhirnya aku membantu mengakhiri panggilan."Terima kasih," ucap Saka setelah telepon mati."Siapa kamu? Aditya, Salman, atau Mami Nafa? Kenapa hanya diam saja," tanya Saka sesaat setelah meletakkan benda pipih itu di tempat semula. Pasti ditaruh dibawah paha supaya mudah saat ada telepon masuk."Aku ...." Belum selesai berucap, pintu sudah bergerak. Seorang wanita muncul di sana.
"Janin siapa yang kamu kandung?" todongnya ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi. "Jangan bilang jika kamu tidak tahu siapa ayah dari anakmu itu!" Suaranya mulai meninggi. Aku terbelalak, hasil lab itu sudah ada di tangan Aditya. "Anak siapa yang kamu kandung, Nilam!" sentaknya lalu melempar kertas tersebut. "A-aku ...." Suaraku seketika tercekat. Hal itu membuat Aditya mendekat. Tangannya mencengkram kuat kedua bahuku. "Katakan siapa ayah dari anak itu?" tanyanya dengan suara lirih tetapi penuh amarah. "Aku hamil anak Saka," lirihku menatap sayu wajah Aditya. "Aku dijebak Bibi hingga akhirnya aku dan Saka ...." lanjutku membiarkan netra kami saling bertemu untuk sepersekian detik. Kemudian Aditya melepaskan cengkeramannya dan membuang kasar tangannya. "Hah!" Tangan Aditya memukul tembok. "Aku kecewa Nilam! Sangat kecewa!" Tangan kekar itu kembali memukul tembok dengan kuat hingga kini mengeluarkan darah. "Kenapa! Kenapa harus Saka yang menjadi penghalang cintaku pada
"Iya bener. Makanya segera hamil ya. Dan Opa juga punya kabar bahagia buat kalian," katanya membuat aku jadi deg-degan.Kabar bahagia apa yang akan Opa berikan?"Sebenarnya sih kabar ini khusus untuk untuk Saka, tetapi sepertinya Nilam juga akan ikut bahagia," imbuhnya.Memangnya kabar bahagia itu apa sih? Bikin makin penasaran aja. Mbok yo langsung pada intinya saja. Apa maksudnya. Nggak usah belibet terus."Begini loh Saka, Nilam. Sebenarnya pernikahan kalian itu memang Opa yang menginginkan. Sebab, Opa yakin jika Nilam bisa merubah hidupmu! Sejak pertama kali Opa bertemu dengan Nilam, Opa sudah tertarik dengannya. Anaknya humoris dan random. Itu bisa menjadikan hidup Saka yang monoton dan penuh dengan keangkuhan itu menjadi lebih berwarna."Loh, kabar bahagianya cuma itu. Kirain apa. Aku yang tadinya antusias menjadi malas."Kalau Opa yang tertarik k
"Lain kali kalau bangun jangan siang-siang," jawabnya kesal."Iya, terus sekarang kamu maunya apa?" tanyaku lagi."Mandi." jawabnya enteng."Mandi tinggal mandi, ngapain juga bangunin orang. Aku masih mengantuk ," balasku malas.Kemudian akan pergi, tetapi Saka melarang dan menyentak."Bisa hargai dan nurut sama suami nggak!""Kalau aku udah nurut sama kamu terus apa balasan yang aku dapatkan?" tanyaku angkuh, "nggak ada 'kan!" imbuhku.Dia pikir cuma dia saja yang bisa bersikap angkuh. Aku pun bisa kok."Aku akan ....""Akan apa?"Tangan Saka bergerak dan bisa-bisanya menyambar tanganku hingga dia menarikku sampai terjatuh."Aduh," pekikku kala terjatuh tepat di kaki Saka. Pria itu tak kalah berteriak sama sepertiku."Dasar istr
POV Arshaka"Aaaa ...!" teriakku kala rem yang aku pijak sama sekali tidak berfungsi. Pikiranku kalut dan aku tidak bisa berpikir jernih.Di depan, tepat di sebuah pertigaan. Sebuah truk dari arah kiri melaju dan hampir saja bertabrakan denganku.Gegas aku membanting setir ke arah lain untuk menghindarinya. Membelokkan ke arah kiri jalan dan menabrakkan pada pohon dipinggir jalan dan setelahnya aku tak sadarkan diri.Ketika membuka mata, tak ada cahaya sama sekali. Ada suara tetapi mereka tak nampak. Mungkinkah aku sudah mati? Dan sekarang aku ada di alam lain?Aku kembali menutup mata, dan membukanya lebar-lebar. Tetap saja hanya gelap, yang kembali aku dapati."Mam," lirihku."Saka, sudah sadar, Nak." Ada tangan yang mengusap kepalaku dan terasa nyata.Itu artinya aku masih hidup. Tetapi kenapa semuanya