Share

Siapa Dia?

"Ada apa? Jangan ganggu aku! Telepon besok saja!"

"Nilam, kamu kenapa? Suaramu meninggi? Ada masalah?" tanya Mami mertuaku.

Ah sial memang! Aku pikir tadi orang kantor. Malu sendiri kalau begini. Terdengar sangat tidak sopan.

"Aduh maaf, aku baru saja bangun tidur, Mam. Ada apa?" tanyaku berubah ramah.

Tentu aku tidak mungkin bilang jika semalam aku dan Saka baru saja melakukan malam pertama karena dijebak oleh Bibi. Terdengar mustahil dan akan membuat Mami mengira jika aku sengaja menjebak demi menghindari perceraian.

"Oh begitu. Besok datang kemari. Kita bahas soal pernikahan kalian, sesuai dengan kontrak," ujarnya sebelum mengakhiri panggilan.

"Baik, Mam."

Selesai menelpon. Aku masuk ke dalam kamar. Mematikan telepon agar bisa beristirahat dengan tenang.

Bibi berkali-kali mengetuk pintu. Aku tak peduli. Dasar wanita ular. Gara-gara dia aku kehilangan keperaw4nan bersama suamiku sendiri. Nasib!

Waktu sudah sore. Seharian aku belum makan sama sekali. Lapar. Tentu. 

Gegas aku turun untuk mencari makan. Sayang. Tak ada makanan di meja makan. Apa Bibi sengaja tidak menyediakan makanan? Huh! Menyebalkan! 

Terpaksa aku keluar dan mencari makan di seberang jalan. Sialnya lagi. Ada Saka di sana bersama dengan beberapa pria.

Seandainya aku datang ke sana untuk makan. Pasti dia akan memandangku rendah. Sebab, baginya aku adalah wanita penghibur dan bukan istrinya.

Alhasil, aku mencari makan di tempat lain. Walaupun perut sudah sangat keroncongan. Aku harus mencari tempat makan lagi. Entah ini namanya kesialan atau mungkin nasib jadi anak yatim piatu.

Berhenti di restoran tidak jauh dari resto yang pertama tadi. Segera turun untuk mengisi perut.

"Idih, mukanya kayak baju belum disetrika aja," goda Vika sahabatku. Dia sudah seperti hantu saja, tiba-tiba muncul.

"Huft! Lagi kesel aku." Hembusan napas kasar bersama dengan jatuhnya bobotku di atas kursi.

"Ada apa lagi sih?" Vika duduk di hadapanku setelah mengambil makanannya di meja lain.

"Kamu tahu kan kalau pernikahan kontrakku akan berakhir."

Wanita itu mengangguk dan menatap wajahku serius.

"Lalu?" tanyanya.

"Bibiku malah berbuat gil4!"

"Berbuat gil4 gimana?" tanyanya penasaran.

"Aku disuruh ke hotel menemui klien. Kau tahu saat aku melewati sebuah lorong kamar. Seseorang mendorongku hingga aku masuk kamar di mana ada Saka di sana," jelasku dan Vika semakin antusias mendengar.

"Terus?"

"Ternyata Bibi sengaja menjebakku bersama Saka demi u4ng. Dan kau tahu?"

Wajah Vika semakin tegang mendengarkan cerita selanjutnya. "Apa selanjutnya?"

"Malam tadi kami benar-benar melakukan itu di hotel."

"Bagus dong, itu artinya kamu tidak akan bercerai dengannya. Selamanya kamu akan menjadi nyonya Saka," sahutnya membuatku kecewa karena sudah curhat dengannya.

"Kamu dan Bibi sama saja," balasku mencebikkan bibir.

"Loh, benar bukan?"

"Tidak sama sekali. Justru tadi malam Saka menganggap aku wanita mur4han. Wanita penju4l diri. Kau tahu pagi tadi?"

Vika kembali menggeleng.

"Dia melempar kartu hitam padaku sebagai bayar4n semalam!" Aku mengembuskan napas kasar untuk kesekian kalinya.

"Kamu terima?" tanyanya.

"Tentu tidak. Aku tidak serendah itu," balasku kecewa dengan sikap Saka yang memang sedari awal telah menganggapku wanita rendahan karena telah menerima kontrak pernikahan itu. Apalagi Bibi sering minta u4ng pada kedua orang tua Saka dengan mengatasnamakan aku.

Bagi keluarga Abraham. Aku sangatlah rendah. Hanya wanita bayar4n saja.

"Jika aku menerima u4ng itu, maka aku akan semakin terlihat hin4 di matanya," imbuhku dan kali ini Vika merasa iba padaku.

"Yang sabar ya, semoga kamu baik-baik saja. Aku akan mendukung apa pun keputusan kamu. Jika lebih baik bercerai. Bercerai lah. Masih ada pria yang selalu setia menunggumu," balasnya sembari menggodaku.

"Siapa?" 

"Aditya Zavir," jawabnya tergelak.

Aku langsung menggetok kepala Vika. Kalau bicara asal njeplak aja tuh anak. Dasar mak rempong.

"Aditya Si boneng? Ogah!"

"Boneng, boneng! Kemarin aku ketemu dia sudah berubah cuy. Gantenge pwol!"

"Masak sih? Aku nggak percaya. Pasti kamu salah lihat orang kali."

"Beneran Nilam, dia keren sekarang."

"Masak? Kamu ada fotonya? Kalau iya aku baru percaya," jawabku butuh bukti dan Vika menggeleng.

Makanan yang dipesan pun datang. Gegas aku segera makan karena memang sudah sangat lapar hingga lupa dengan foto Aditya.

"Doyan apa lapar sih? Kayak nggak makan setahun aja!" cibir Vika melihatku makan sudah seperti kes*tanan.

"Sejak semalam nggak makan. Makanya sekarang aku puas-puasin buat makan," balasku setelah meneguk air dan bersiap kembali menyuap.

"Kek g*mbel aja. Apa jangan-jangan keenakan sampai lupa makan!"

Bruttt!

Wajah Vika terkena semburan dari mulutku. Aku tertawa dan bukan merasa iba. Siapa suruh orang lagi makan kok diganggu. 

"Anj1ng kau! Temen sendiri disembur!" Amuknya sembari mengusap wajah.

Aku langsung minum sebelum menjawab. Takut keselek. Kan berabe.

"Habisnya kamu sih. Kalau bicara ngaco," sahutku dan Vika pun langsung bangkit.

"Si4lan kau. Aku nggak jadi makan nih. Ji jik duluan!" Wanita itu langsung ngibrit meninggalkan makanannya.

"Aku pulang! Bay4rin tuh makananku!"

Wajahnya seketika memucat. Sambil terus mual-mual.

Dan sialnya. Aku harus bay4r makan dia. Tombok udah!

Selesai makan, aku langsung membay4r dobel. Nasib dah!

Sialnya lagi. Saat aku akan pulang. Ban mobil pakai bocor segala lagi. Sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak ramah padaku.

"Mau aku antar pulang?" 

Suara serak dan besar itu menganggetkanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status