Share

Bab 2

Terpaksa aku taruh Romi di atas kasur yang jaraknya tak jauh dari jangkauanku.

Sedangkan Mas Adit menutup telinganya rapat-rapat. Dia tidak ingin suara tangisan dari darah dagingnya ini sampai lolos menembus telinganya.

"Kejam, sungguh sangat kejam kamu, Mas. Dengan anak sendiri kamu sekejam ini. Lihat saja nanti," gumamku.

Dengan cepat aku masukkan beberapa baju Romi ke dalam tas. Diam-diam aku mengambil uang di dompet Mas Adit.

Biarkanlah aku mencuri uang suamiku sendiri. Bukannya uang suami adalah uang istri juga? Toh uang ini tidak aku gunakan untuk foya-foya.

Apalagi selama ini aku juga tidak diberi uang sepeserpun dari hasil kerjanya. Semua uang hasil keringat suamiku selalu diberikan ke pada ibunya. Katanya agar aku tidak boros-boros dalam berbelanja. Ibu mertua lebih berpengalaman dariku untuk mengatur urusan rumah tangga dan masih banyak lagi.

Entah berapa lembar uang yang sudah berhasil aku masukkan ke dalam kantong celanaku. Yang jelas kini dompet mas Adit sudah aku kuras habis.

Jika nanti Mas Adit marah kepadaku, biarkanlah itu urusan belakangan. Yang penting sekarang aku ada pegangan untuk mengantarkan Romi periksa ke bidan.

Setelah semuanya beres, dengan cepat aku menggendong bayiku kembali.

"Ya Allah!" Aku sangat kaget setelah meraba bagian perut bayiku, perutnya terasa keras. Pikiran negatif langsung datang menghampiriku.

"Ayo, Nak kita pergi dari sini. Aku tak ingin kamu bernasib sama dengan almarhum sepupu kamu."

"Mau ke mana, kamu?!" sentak ibu mertua yang ternyata dia masih sabar menungguku di depan pintu kamar.

Tak ku hiraukan bentakan beliau. Tetap ku langkahkan kaki ini menuju pintu utama rumah ini.

"Rina! Kalau ditanyain orang tua itu dijawab! Jangan, kayak orang b*su begitu! Apa jangan-jangan kamu juga sudah bud*ek, ha?!"

Dengan pedasnya ibu mertua melontarkan ucapannya kepadaku. Sepatah kata pun tak ku jawab ocehan beliau. Percuma juga aku menjawabnya, yang jelas aku bakalan tetap akan disalahkan.

Karena saking khawatirnya terhadap keadaan bayiku. Aku pun sampai kebingungan saat membuka pintu. Bahkan dalam pandanganku, semua kunci yang ku pegang bentuknya sama.

Plak!

"Kamu itu sudah keterlaluan! Ini masih tengah malam, Rina! Memangnya kamu mau bawa cucuku ke mana, ha?" Rasanya kini emosiku sudah mencapai ubun-ubun.

Marah? Jelas aku sangat marah kepada ibu mertuaku. Beliau sudah sangat-sangat keterlaluan malam ini.

Pipi kananku terasa sangat panas. Tapi panasnya tak sebanding dengan panasnya dadaku yang sejak tadi aku tahan.

Bahkan kini nafasku sekarang tersengal-sengal karena menahan emosi. Tidak ada waktu lagi untuk menghadapi beliau. Karena bayiku sejak tadi tidak berhenti menangis bahkan suaranya terdengar serak sekarang.

"Mau ke mana?! Jawab!" sentak beliau lagi.

"Saya mau ajak Romi periksa ke bidan, Bu!"

"Buat apa? Nggak perlu! Biarkan dia di rumah saja. Anak nangis itu semua juga gara-gara kamu. Anak lapar kamu diamkan saja. Berapa kali ibu bilang, kasih kerokan pisang! Tahu begitu tadi aku kasih lebih banyak dari yang tadi pagi aku berikan. Biar dia anteng tidurnya."

Deg! Sejenak kaki ini terhenti. Rasanya pandanganku seperti gelap setelah mendengar penuturan dari ibu mertuaku.

"Ternyata dugaan Rina tidak salah. Ibu diam-diam sudah memberi makan Romi dengan kerokan pisang."

"Iya, kenapa? Kamu tidak terima? Orang Romi cucu aku. Jadi terserah aku sebagai neneknya."

"Ya Allah, Nak. Kasihan sekali nasib kamu." Bulir-bulir air mata terus saja membasahi pipiku. Dengan segera aku berlari ke luar rumah menuju jalan.

"Tunggu, Rin! Kembali! Awas saja kalau sampai terjadi apa-apa dengan cucuku tak akan aku anggap kamu sebagai menantuku lagi. Ku adukan kamu kepada Adit!" teriak ibu mertuaku.

Terserah mau diakui atau tidak aku tidak masalah. Aku sudah tidak akan ingin kembali ke rumah ini lagi.

"Ayo, cepat masuk!" Sebuah mobil putih berhenti di depanku.

Untung saja sebelum keluar dari kamar aku sudah mengirimkan pesan kepada Prita, sahabatku. Kalau tidak, bagaimana nasib Romi? Kalau harus menungguku berjalan kaki ke rumah bidan. Yang jaraknya sekitar tiga kilo meter dari rumah ibu mertua.

"Rin, kembali!" teriak beliau lagi.

"Bagaimana ini, Prita?" Aku khawatir sekali dengan anakku."

"Kamu, jangan panik, Rin. Ada aku di sini. Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh. Berdoa saja anak kamu tidak apa-apa.

Dengan cepat Prita mengendari mobil putih ini menyusuri malam. Jangan ditanya lagi bagaimana hatiku sekarang ini. Bagaikan disayat-sayat benda tajam namun tak berdarah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status