Share

Dipaksa MPASI Dini
Dipaksa MPASI Dini
Penulis: SenjaPa

Bab 1

"Rina! Kenapa sih kamu itu tidak nurut sama ibu?! Ibu sangat yakin kalau Romi itu sedang lapar. Cepat kasih makan kerokan pisang sana! Di mana-mana namanya manusia dilahirkan ke dunia itu butuh makan, bukan Asi saja! Asi saja yang tidak akan kenyang!" Ibu mertua berteriak dari depan kamarnya.

Aku yakin beliau pasti terganggu karena tangisan Romi. Apalagi ini sudah tengah malam.

Aku baru melahirkan lima hari yang lalu. Biasanya bayiku kalau malam bangun cuman minta ASI saja. Setelah kenyang juga langsung tidur kembali.

Entah kenapa, baru malam ini Romi begitu sangat rewel. Sudah ku pastikan sebelumnya kalau dia tidak sedang mengompol dan buang air besar. Dikasih Asi juga tidak mau. Hingga membuatku bingung sampai membawanya ke luar kamar untuk aku tenangkan.

"Nih, kasih ke Romi!" Ibu memberikanku satu buah pisang kepok dan satu buah sendok berukuran kecil.

"Maaf, Bu. Romi masih belum waktunya makan," tolakku.

"Payud*ra kamu itu kecil, ASI kamu itu dikit nggak bakal bisa buat dia kenyang. Kamu kalau dikasih tahu orang tua mbok nurut. Itu anak kamu loh, Rin. Bukan anak orang lain! Tega banget dengan anaknya sendiri," ucap ibu mertua dengan penuh penekanan.

Aku mengelus dadaku dengan mengucapkan istighfar berulang kali agar aku tidak terpancing emosi.

"Kalau kamu tidak mau kasih kerokan pisang ke Romi biar ibu saja yang memberikannya!" Dengan mata yang melotot ibu mertua menatapku.

"Maaf, Bu. Saya akan tetap dengan pendirian saya sendiri. Saya tidak akan memberikan kerokan pisang itu kepada Romi. Apalagi Bu bidan dan Pak dokter sudah berpesan untuk tidak memberikan makanan apapun kalau umurnya belum genap enam bulan. Air putih pun tidak boleh, apalagi pisang," jawabku berusaha menjelaskan.

"Dokter terus yang kamu omongin! Kata dokter lagi, kata dokter lagi! Kamu dari kemarin bilang itu saja terus! Kalau dengerin kata dokter, yang ada semua juga dilarang, Rin. Nuruto sama orang yang lebih tua di sini! Lihat itu Mbok Darsih anaknya enam sehat semua sudah pada besar-besar. Wong cucunya aja lahir ceprot juga sudah di kasih makan. Lihat itu juga suami kamu, dia dulu juga sama aku kasih kerokan pisang setelah lahir ceprot. Buktinya sekarang sehat, kan? Malah bisa cari uang banyak sampai kamu gak perlu repot-repot bekerja. Romi itu cucu ibu, Rin. Ibu juga berhak atas dia, gak cuma kamu saja!"

Sudah kuduga tidak akan mempan menjelaskan kepada beliau. Yang aku sesali kenapa suamiku juga tidak bangun padahal anaknya sedang menangis dengan kencang, ditambah suara ibu mertua yang sangat keras seperti petir.

Mau bagaimanapun kalau sudah bicara dengan ibu mertua yang ada bukan menemukan solusi. Justru masalah menjadi semakin runyam.

"Iya, Bu. Saya juga tahu kalau Ibu adalah neneknya. Tapi sebelumnya saya mohon maaf, saya ini adalah ibunya. Saya malah lebih berhak atas diri Romi, Bu. Saya juga berhak memberikan pengasuhan yang terbaik buat Romi. Jaman sekarang berbeda dengan jaman dulu, Bu."

"Dasar menantu ngeyelan. Salah tetep saja ngeyel, minta bener terus!"

Romi semakin kencang menangis mungkin karena terganggu mendengar perdebatan antara aku dan beliau.

"Tuh kan, Romi semakin rewel. Sini biar aku gendong." Beliau berusaha merebut Romi dari gendonganku.

Tak berpikir panjang aku pun langsung berlari masuk ke dalam kamar mengamankan Romi dari rebutan ibu. Langsung ku kunci pintu kamar dari dalam. Ku lihat suamiku tak sedikit pun bergerak. Yang ada malah dengkurannya semakin kencang.

"Buka!" Beliau terus saja menggedor-gedor pintu kamarku.

"Dasar menantu tak tahu diuntung menyesal aku menikahkan Adit dengan kamu. Sudah numpang disini tapi gak mau nurut dengan peraturan rumah sini," teriak beliau tapi tetap tak aku pedulikan.

"Mas, Mas bangun! Tolong gantian gendong Romi sebentar." Mas Adit hanya menggeliat dan meneruskan tidurnya.

"Dasar laki-laki, maunya cuma enaknya saja. Giliran anaknya menangis nggak mau bantuin." Aku menggerutu karena kesal.

Aku berusaha tenang kalau aku tidak tenang nanti Romi pun juga semakin menangis. Kemudian aku kembali mencoba memberikannya Asi namun Romi menolaknya bahkan tangisannya semakin kencang hingga membuatku semakin bingung.

"Ya Allah baru kali ini Romi seperti ini ada apa dengannya ya Allah?"

Kini aku mencoba membuka baju Romi siapa tahu ada semut atau serangga kecil yang menggigit badannya. Setelah aku periksa, betapa kagetnya aku melihat ada bekas makanan yang menempel lengket di lehernya. Setelah aku cium itu adalah pisang.

Aku langsung panik tak karuan takut jika terjadi apa-apa mengingat ibu mertuaku sudah sesumbar ingin memberikan kerokan pisang kepada bayiku ini.

"Mas, Mas bangun! Ayo, kita bawa Romi ke bidan terdekat! Aku takut Romi kenapa-kenapa, Mas. Rasanya ibu sudah memberikan kerokan pisang kepada Romi."

Entahlah suamiku ini sudah aku teriakin tetep saja tidak bangun.

"Apa-apaan kamu, Dek! Ganggu orang tidur saja! Kamu sudah aku kasih tahu, kan. Kalau besok aku ada rapat di kantor!" Mas Adit membentakku.

"Setega itu kamu dengan kami, Mas!" Rasanya duniaku langsung hancur. Lelaki yang dulu aku puja bahkan aku perjuangkan kini sudah berani membentakku.

Kini tak hanya Romi yang menangis. Air mataku juga sudah berlomba-lomba menetes ke pipiku.

"Sudah nggak usah cengeng! Ada apa kamu menganggu tidurku, ha?'

"Romi sejak tadi rewel, Mas. Ayo, kita bawa dia ke bidan."

"Anak rewel itu bukan urusanku. Itu tanggung jawabmu sebagai Ibunya, bukan aku. Tanggung jawabku itu bekerja. Bekerja dan bekerja. Titik!" Mas Adit pun kembali tidur.

Ku usap air mataku dengan kasar. Ku putuskan akan membawa Romi ke bidan sendirian walau tengah malam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status