JAKARTA
Lantai delapan tempat divisi pemasaran satu berada. Ruang kerja berisi enam meja yang saling bersisihan kecuali meja manajer serta wakil manager itu kini dipenuhi dengan wajah-wajah tegang. Setelah mengetahui jika perusahaan akan menyambut CEO baru yang telah lama mengurus perusahaan cabangnya di New York, setiap divisi langsung sibuk merapikan laporan di divisinya masing-masing. Karena dari semua divisi di perusahaan tidak ingin kena semprot oleh pimpinan baru.Setelah berlarut-larut dalam kerjaan, waktu istirahat akhirnya tiba. Semua karyawan dalam ruangan tampak membenarkan posisi duduknya, tetapi tidak ada yang berani istirahat keluar di hari yang super sibuk kali ini. Belum lagi Bu Manager hari ini yang terlihat super sensitif karena data laporannya tak kunjung selesai direkap.Namun, berbeda dengan seorang wanita bernama Moza. Di tengah suasana menegangkan dalam ruangan, wanita itu masih sempat-sempatnya menyunggingkan senyum lebar, tatkala sebuah pesan ajakan makan siang bersama, oleh sang pujaan hati masuk melalui notifikasi pesan chat yang berhasil menggetarkan hatinya.Di tengah kemelut di dalam ruangan, Moza mencoba mengendap-endap keluar. Hingga akhirnya berhasil keluar dengan aman dan orang-orang dalam ruang divisi tidak menyadarinya. Moza mengembuskan napas lega, saat akan fokus melanjutkan langkah keluar, ia justru tiba-tiba menabrak seseorang."Aduh!" Kepala Moza terantuk sesuatu yang keras. Wanita itu menoleh, menangkap sesuatu yang menabraknya."Eh, Pak Eko," sapa Moza dengan kikuk, menatap sosok gempal dengan rambut belah tengah yang telah mengarahkan box file ke arahnya."Hayo loh mau ke mana kamu, Moza?" tanya Pak Eko telah memergoki salah satu bawahannya itu yang tengah memasang tampang tak tahu malu."Istirahat, Pak," jawab Moza cengar-cengir."Moza, kamu tahu kan hari ini pekerjaan kita banyak sekali. Bahkan karyawan lain melewatkan makan siangnya karena hal itu. Kamu malah mau istirahat di luar. Belum lagi Bu Manager yang sedang sensitif. Kamu mau apa kami semua diomelin juga gara-gara kamu?!" cerocos Pak Eko mengeluarkan jiwa kepemimpinannya selalu tidak pada tempatnya. Karena apa? Karena jelas Moza tidak akan mendengarkannya kali ini.Baginya pertemuan kali ini sangat penting. Sepenting dirinya yang terus membayangkan jika cinta sepihak selama 12 tahun yang ia pendam selama ini akan berakhir dengan pernyataan cinta serta cincin berkilau tersemat di salah satu jari manisnya."Ayolah, Pak. Izinkan saya keluar ya," pinta Moza memasang wajah memelas."Ya, Pak, ya." Moza terus berusaha kembali memasang wajah dua kali lebih memelas."Aduh! Lihat wajah kamu kaya gitu malah bikin saya eneg!" ejek Pak Eko sebaliknya.Moza langsung cemberut, rencananya ternyata gagal. Namun, bukan Moza namanya jika ia begitu saja menyerah."Eh, Pak ada Bu Catherine dari Divisi perencanaan mau ke sini tuh," cetus Moza tiba-tiba menunjuk ke sembarang arah."Mana? Mana?" Pak Eko langsung antusias, menoleh ke arah yang ditunjuk Moza seraya membenarkan letak rambut klimis miliknya.Saat menoleh dengan senyuman mengembang, pria berumur tiga puluh sembilan tahun itu justru tak melihat siapa pun."Mana Bu Catherine?" tanya Pak Eko merasa gamam."Makasih izinnya, Pak!" seru Moza langsung ngacir sebelum kembali dicegat."Heh! Moza siapa yang kasih izin ke kamu?" balas Pak Eko merasa geram karena sudah ditipu."Cepet balik sini!" seru Pak Eko sudah tak didengar Moza yang sudah berhasil masuk ke dalam lift menuju lantai satu.Setelah pertemuan terakhir dengan Rendy—pria tambatan hatinya sejak masa SMA—ia yakin kali ini pasti pria itu menyadari akan kehadirannya. Bagaimana tidak, tepat dua hari yang lalu pria dengan senyum manis itu mengajak Moza ke toko perhiasan. Ia meminta saran Moza yang selama ini telah menjadi sahabat wanita satu-satunya untuk memilih cincin yang bagus. Dengan bangga Rendy berkata jika ia ingin mengungkapkan isi hatinya dengan memberikan cincin sebagai bentuk cintanya.Memikirkan itu saja membuat pipi Moza bersemu merah. Apalagi sudah dua bulan ini pria itu tidak dekat dengan wanita mana pun selain dirinya. Kemungkinan ia akan ditembak kali ini begitu besar. Sungguh Moza tidak sabar akan hal baik yang selama ini ia impi-impikan akan menjadi kenyataan dalam hidupnya.Menaiki taksi selama sepuluh menit, akhirnya Moza tiba di sebuah restoran Italia milik Randy. Saat jam istirahat seperti ini, pengunjung banyak yang datang untuk makan serta menghabiskan waktu makan siangnya di tempat cozy seperti restoran milik Rendy, yang belum lama dibangun ini. Banyak pengunjung yang datang karena suka dengan masakannya dan banyak pula yang datang khususnya di kalangan wanita untuk melihat paras tampan maskulin pemilik restoran yang terlihat manis menyapa para pelanggan.Saat Moza baru saja melewati pintu masuk, ia langsung disambut oleh Rendy yang begitu antusias melihat kedatangannya dengan senyuman mengembang.'Aduh! Gimana gak meleleh coba kalo disenyumin gini tiap hari!' batin Moza menjerit."Hai, Moza akhirnya kamu datang," sapa Rendy yang menghampiri, masih dengan senyum yang mendarat di bibirnya."Iya," balasnya singkat menyunggingkan senyum. Ia merasa senang karena kehadirannya sudah ditunggu-tunggu oleh Rendy saat ini."Mari ke ruangan khusus," ajak Rendy langsung to the point mengajak Moza ke tempat yang sepertinya telah pria itu siapkan untuknya.Moza melangkah dengan jantung berdebar, menanti kejutan apa yang akan menanti di ruangan itu. Saat pintu ruangan dibuka, Moza begitu terpana. Bagaimana tidak? Dalam kondisi lampu ruangan yang sengaja dimatikan, ia dapat melihat dengan jelas lilin yang berbaris menyala mengarah ke satu set meja dan kursi yang tampak dihias juga dengan hidangan mewah di atas meja. Moza menutup mulutnya yang menganga tidak percaya, jika ternyata Rendy bisa seromantis ini.Saat menoleh ia menyadari jika pria itu sudah tidak berada di sampingnya. Apakah Rendy ingin memberikan kejutan lainnya? Baiklah, Moza akan mengikuti rules yang telah dibuat.Dengan jantung berdebar, wanita itu melangkah dengan anggun menuju iringan lilin yang tampak indah menyala di ruangan yang sengaja di buat gelap bahkan di siang hari begini. Pasti Rendy menpersiapkan ini dengan begitu banyak kerja keras. Moza menarik napasnya merasa senang. Namun, belum sampai langkah Moza menuju tempat tujuan di akhir rambu deretan lilin yang menyala. Tiba-tiba, lampu ruangan justru dinyalakan.'Apa yang terjadi? Apakah ada kejutan lainnya?' Moza bertanya-tanya merasa heran."Ah, Sayang kamu dari mana saja?" sahut suara Rendy berhasil mengalihkan atensi Moza yang kebingungan."Aku dari kamar mandi sebentar. Apakah sahabatmu sudah datang?" jawab seorang gadis berpipi chabby yang kini dirangkul oleh Rendy begitu mesra tepat di hadapan Moza.Moza mematung melihatnya tak percaya. Ternyata benar akan ada kejutan lagi untuknya, bahkan kini tepat di depan mata. Rendy serta gadis yang tampak imut itu menghampiri Moza dengan wajah semringah."Moza perkenalkan ini Shelly, kekasih baruku," ucap Randy dengan bangganya.Moza sejenak mematung melihat gadis yang sepertinya lebih muda darinya. Pandangannya teralihkan menatap jari manis gadis itu yang sudah disematkan cincin yang ia pilih di toko perhiasan dua hari yang lalu bersama Rendy.Kini ia tahu dengan jelas, jika cincin yang ia damba-dambakan ternyata bukan untuknya."Ah, iya selamat untuk kalian," ucap Moza akhirnya memaksakan senyum getir di sudut bibir.***Moza mengembuskan napas pelan, tatapannya terlihat begitu sayu dirundung kesedihan. Di tengah patah hati yang kembali mendera, ia harus tetap profesional bekerja sebagai budak koorporat. Hingga sebuah notifikasi tiba-tiba masuk ke dalam gawainya.MASA TENGGAT PEMBAYARAN PINJAMAN PERUSAHAAN SATU MINGGU LAGI. HARAP MELAKUKAN PEMBAYARAN TEPAT WAKTU!Doeng!Ia harus nyari duit ke mana? Gaji bulanannya telah habis untuk membayar sewa."Ya, Tuhan tolong kirimkan keajaiban! Berikanlah hamba rezeki serta pria tampan yang bahkan lebih tampan dari Rendy!" seru Moza di dalam GoMobil—layanan ojek kendaraan roda empat—begitu putus asa."Aamiin," imbuh supir GoMobil yang dengan jelas mendengar doa absurd pelanggannya."Eh," celetuk Moza menahan malu kemudian. Ia lupa jika kini ia tidak sendirian.Kamar dengan atap kubah berlangit-langit putih itu memiliki nuansa warna putih, marun dan perak yang memberikan kesan begitu mewah untuk sebuah ruang kamar berukuran 3×5 meter. Mulai dari tirai, hiasan kaca, hiasan dinding, karpet, pinggiran kursi sampai dipan dilapisi dengan warna yang dominan terlihat mewah.Terdapat dua lampu gantung, masing-masing di atas tempat tidur beludru warna marun dan satu lagi di atas sofa untuk menjamu tamu. Tak lupa lantai marmernya yang berwarna gading semakin memperindah suasana kamar. Kini Malvin duduk di sofa yang sengaja didekatkan di sisi ranjang king size tempat Nenek Puspa bersandar. Setelah landing sampai di Jakarta. Ia memutuskan untuk segera menemui Nenek Puspa serta Kakek Rama di mansion yang sudah berkali-kali melakukan renovasi ini.Nenek Puspa tampak begitu pucat. Kali ini ia benar-benar terkejut dengan rumor yang menyebar mengenai cucu kesayangannya. Di tengah kondisi fisik serta mental yang terguncang, setidaknya ia senang akhirnya bisa
"Thara lo waras?" keluh Moza melihat wajahnya yang tiba-tiba di make up begitu tebal. "Hush! Jangan berisik ah. Nanti juga lo bakal pangling lihat wajah lo sendiri," tampik Thara fokus mendandani Moza di apartemen miliknya. "Harus banget ya gue didandani kek gini?" Moza kembali protes. "Iyalah lo kan mau mencampakkan cowok masa lo kaya pulu-pulu, kan gak lucu. Kali ini gue mau lo nunjukin diri jadi wanita badas yang hobinya mainin cowok. Keren, kan skenario gue," kekeh Thara menyapukan kuas make up ke pipi Moza. "Mending si jadi cewek jelek terus bego sekalian," timpal Moza. "Udah pernah gue pake cara itu. Eh, malah gue disukai sama om-om yang dateng ke kencan buta. Untung gue pake rencana cadangan," sangah Thara mengingat kejadian kencan buta dua minggu yang lalu."Rencana Cadangan? Om-om? Ha!" Moza sedikit terkejut mendengar jika Thara kencan buta bersama om-om. "Iya, selama kencan buta kebanyakan yang dateng udah om-om umur tiga puluh tahun ke atas. Yang tiga puluh tahun ke ba
Satu Minggu yang lalu.Lantai delapan Batara Group Gedung Pusat."Za, lo tahu gak rumor tentang CEO baru kita?" cetus Tiara memepetkan kursi kerja. Seperti biasa pasti akan ada sesi menyebarkan rumor atau gosip di sela kerja harian dengan rutinitas yang sama. "Apa emang?" timpal Moza penasaran. Mendekatkan telinga. "Katanya CEO baru kita itu pasien sakit jiwa," bisik Tiara dengan mata jelalatan mengantisipasi atensi karyawan lain yang tiba-tiba memperhatikan mereka."Ha? Masa sih kok bisa?" tanya Moza penasaran dengan mata terbelalak karena info ini baru didengarnya."Hush! Jangan kenceng-kenceng, bisik-bisik aja. Jangan lupa pura-pura kerja!" bisik Tiara benar-benar waspada level tinggi. "Iya iya terus kenapa kok bisa disebut pasien sakit jiwa?" bisik Moza mengulangi pertanyaannya."Katanya Pak CEO terkenal banget di kantor New York dan kantor ini sebelumnya. Sebagai pasien gangguan kecemasan yang akan melakukan semua yang dia katakan. Seorang pendukung fanatik dari larangan berpa
"Nona Thara masih di sana?" tanya Malvin berhasil menyadarkan Moza yang tengah kemelut dengan pikirannya."Ah, iya. Saya tahu! Kenapa saya tidak mau menikah dengan Tuan!" sahut Moza kembali tersadar. Ia harus mendeklarasikan penolakannya. Jika tidak bisa-bisa ia habis oleh Thara nanti."Kenapa, Nona?" Malvin mengkonfirmasi alasan dirinya ditolak."Karena Tuan bukan tipe saya!" tandas Moza memberitahu."Tipe seperti apa yang Nona Thara sukai?" Malvin balik bertanya, dengan tenang menanggapi. "Yang jelas yang tidak mengajak menikah lewat telepon," sahut Moza asal. "Baik, jadi kapan kita bisa bertemu?" "Apa! Tidak! Saya tidak mau bertemu Tuan lagi. Kencan buta kemarin adalah pertemuan terakhir kita," tandas Moza mencak-mencak.Tut!Moza mematikan panggilan, merasa frustasi."Aduh! Kenapa setelah kencan buta hidupku jadi banyak kejutan gini. Kuharap kejutan ini sudah berakhir. Kasihan jantungku." Moza menarik napas kemudian mengembuskannya perlahan seraya mengusap dada. Tanpa sadar ia t
"Saya tidak menyangka Nona Thara mengajak saya bertemu secara mendadak," ucap Malvin setelah duduk tegap di hadapan Moza. Moza kembali tersadar, ia harus fokus. "Maafkan saya Tuan karena mendadak mengajak bertemu," balas Moza menyunggingkan senyum."Tidak, justru saya senang karena saya juga ingin bertemu Nona," timpal Malvin melepas setelan jasnya. Moza kembali menelan saliva."Maafkan saya Nona karena saya datang dengan penampilan berantakan. Kali ini saya mengalami hal yang tidak mengenakan di jalan," aku Malvin menyugar rambutnya. 'Heh! Malah minta maaf. Eh, gak! Pak CEO emang harus minta maaf. Bisa-bisanya rambutnya yang disugar, hatiku malah yang bergetar. Sialan!' rutuk Moza hatinya menangis haru dengan pemandangan indah yang baru saja ia lihat. "Jadi Nona berkaitan dengan pernyataan saya ditelepon kemarin. Saya ingin mengajak Nona—" Moza membola, ia tahu apa yang akan pria di hadapannya ucapkan. "Tuan Malvin mau pesan apa?" potong Moza dengan cepat. Hatinya belum siap denga
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Malvin menyeringai menatap paras wanita yang tengah terlelap dalam tidurnya. "Tidak kusangka kau akan menungguku. Apakah ini yang dinamakan takdir? Sekarang kau jelas ditakdirkan menjadi jodohku," gumam Malvin menyunggingkan senyum. Kini ia sudah berada di hadapan Moza yang ketiduran dalam penantiannya. Wanita di hadapan Malvin tampak sangat cantik, Moza begitu anteng dalam tidurnya. Membuat Malvin refleks kembali tersenyum memperhatikan Moza yang bisa tertidur dalam posisi duduk. Sembari menunggu Moza terbangun, Malvin memeriksa beberapa berkas penting melalui gawai miliknya. Hingga, pelayan restoran membawa minuman pesanan Malvin. Sekitar satu jam kemudian, wanita yang telah Malvin tandai sebagai jodohnya itu tampak menggerakan tubuh.Moza mengerjap, hingga akhirnya membuka mata. Wanita itu tampak melihat Malvin di hadapannya."Nona sudah bangun?" sambut Malvin tersenyum kecil. S
Savian kembali terpokus pada lawan bicaranya. Dengan intens ia memperhatikan penampilan wanita yang dikenal sebagai anak tunggal InterPress Gruop tersebut yang telah ditandai Malvin sebagai istrinya. Nona Thara yang ia lihat sekilas saat pertemuan dengan atasannya beberapa hari yang lalu terlihat begitu berpenampilan seksi dengan make up tebal menghiasi wajah. Savian menelisik, memperhatikan penampilan wanita di hadapan. Penampilan anak tunggal InterPress Group kali ini justru terlihat berbeda dengan make up tipis serta setelan baju yang lumayan sopan.'Apakah wajah aslinya tanpa make up tebal memang seperti ini?' Savian menerka. "Maaf saya sedikit terkejut," cetus Thara mengendalikan diri dari keterkejutannya."Ada urusan apa ya Tuan mencari saya? Bukankah masalah perjodohan sudah terselesaikan kemarin?" tukas Thara menyesalinya. Hatinya menangis karena meminta Moza menolak lamaran pria setampan nan memesona di hadapannya."Ah, jika b
Di kamarnya yang hanya berukuran 3×4 meter itu Moza tengah sibuk mengecat kuku kakinya dengan kutek berwarna nude. Kamar yang dipenuhi dengan kenangan semasa bersekolah dulu tak berubah. Hanya bertambah beberapa dekorasi yang ikut menenuhi ruang kamar. Sejak SMA Moza sangat hobi membeli poster idol Kpop kesukaannya, bahkan poster tersebut masih awet memenuhi dinding kamar. Belum lagi pernak-pernik Kpop lainnya. Karena menjadi fangirl membuatnya betah menjomlo selama ini. Lebih tepatnya betah menunggu Rendy menyadari kehadirannya. Masa-masa SMA yang membuatnya memiliki sahabat seperti Thara sampai saat ini. Saat Moza tengah sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Wanita itu meraih ponsel di atas nakas. Melihat nama kontak yang meneleponnya malam-malam. Tebakannya adalah Thara dan ternyata tepat sasaran."Ada apa, Ra?" tanya Moza langsung ke inti. "Gue baru ketemu Malvin," aku Thara membuat Moza langsung membola.