Share

Bab 2 Moza Si Next Try

JAKARTA

Lantai delapan tempat divisi pemasaran satu berada. Ruang kerja berisi enam meja yang saling bersisihan kecuali meja manajer serta wakil manager itu kini dipenuhi dengan wajah-wajah tegang. Setelah mengetahui jika perusahaan akan menyambut CEO baru yang telah lama mengurus perusahaan cabangnya di New York, setiap divisi langsung sibuk merapikan laporan di divisinya masing-masing. Karena dari semua divisi di perusahaan tidak ingin kena semprot oleh pimpinan baru.

Setelah berlarut-larut dalam kerjaan, waktu istirahat akhirnya tiba. Semua karyawan dalam ruangan tampak membenarkan posisi duduknya, tetapi tidak ada yang berani istirahat keluar di hari yang super sibuk kali ini. Belum lagi Bu Manager hari ini yang terlihat super sensitif karena data laporannya tak kunjung selesai direkap.

Namun, berbeda dengan seorang wanita bernama Moza. Di tengah suasana menegangkan dalam ruangan, wanita itu masih sempat-sempatnya menyunggingkan senyum lebar, tatkala sebuah pesan ajakan makan siang bersama, oleh sang pujaan hati masuk melalui notifikasi pesan chat yang berhasil menggetarkan hatinya.

Di tengah kemelut di dalam ruangan, Moza mencoba mengendap-endap keluar. Hingga akhirnya berhasil keluar dengan aman dan orang-orang dalam ruang divisi tidak menyadarinya. Moza mengembuskan napas lega, saat akan fokus melanjutkan langkah keluar, ia justru tiba-tiba menabrak seseorang.

"Aduh!" Kepala Moza terantuk sesuatu yang keras. Wanita itu menoleh, menangkap sesuatu yang menabraknya.

"Eh, Pak Eko," sapa Moza dengan kikuk, menatap sosok gempal dengan rambut belah tengah yang telah mengarahkan box file ke arahnya.

"Hayo loh mau ke mana kamu, Moza?" tanya Pak Eko telah memergoki salah satu bawahannya itu yang tengah memasang tampang tak tahu malu.

"Istirahat, Pak," jawab Moza cengar-cengir.

"Moza, kamu tahu kan hari ini pekerjaan kita banyak sekali. Bahkan karyawan lain melewatkan makan siangnya karena hal itu. Kamu malah mau istirahat di luar. Belum lagi Bu Manager yang sedang sensitif. Kamu mau apa kami semua diomelin juga gara-gara kamu?!" cerocos Pak Eko mengeluarkan jiwa kepemimpinannya selalu tidak pada tempatnya. Karena apa? Karena jelas Moza tidak akan mendengarkannya kali ini.

Baginya pertemuan kali ini sangat penting. Sepenting dirinya yang terus membayangkan jika cinta sepihak selama 12 tahun yang ia pendam selama ini akan berakhir dengan pernyataan cinta serta cincin berkilau tersemat di salah satu jari manisnya.

"Ayolah, Pak. Izinkan saya keluar ya," pinta Moza memasang wajah memelas.

"Ya, Pak, ya." Moza terus berusaha kembali memasang wajah dua kali lebih memelas.

"Aduh! Lihat wajah kamu kaya gitu malah bikin saya eneg!" ejek Pak Eko sebaliknya.

Moza langsung cemberut, rencananya ternyata gagal. Namun, bukan Moza namanya jika ia begitu saja menyerah.

"Eh, Pak ada Bu Catherine dari Divisi perencanaan mau ke sini tuh," cetus Moza tiba-tiba menunjuk ke sembarang arah.

"Mana? Mana?" Pak Eko langsung antusias, menoleh ke arah yang ditunjuk Moza seraya membenarkan letak rambut klimis miliknya.

Saat menoleh dengan senyuman mengembang, pria berumur tiga puluh sembilan tahun itu justru tak melihat siapa pun.

"Mana Bu Catherine?" tanya Pak Eko merasa gamam.

"Makasih izinnya, Pak!" seru Moza langsung ngacir sebelum kembali dicegat.

"Heh! Moza siapa yang kasih izin ke kamu?" balas Pak Eko merasa geram karena sudah ditipu.

"Cepet balik sini!" seru Pak Eko sudah tak didengar Moza yang sudah berhasil masuk ke dalam lift menuju lantai satu.

Setelah pertemuan terakhir dengan Rendy—pria tambatan hatinya sejak masa SMA—ia yakin kali ini pasti pria itu menyadari akan kehadirannya. Bagaimana tidak, tepat dua hari yang lalu pria dengan senyum manis itu mengajak Moza ke toko perhiasan. Ia meminta saran Moza yang selama ini telah menjadi sahabat wanita satu-satunya untuk memilih cincin yang bagus. Dengan bangga Rendy berkata jika ia ingin mengungkapkan isi hatinya dengan memberikan cincin sebagai bentuk cintanya.

Memikirkan itu saja membuat pipi Moza bersemu merah. Apalagi sudah dua bulan ini pria itu tidak dekat dengan wanita mana pun selain dirinya. Kemungkinan ia akan ditembak kali ini begitu besar. Sungguh Moza tidak sabar akan hal baik yang selama ini ia impi-impikan akan menjadi kenyataan dalam hidupnya.

Menaiki taksi selama sepuluh menit, akhirnya Moza tiba di sebuah restoran Italia milik Randy. Saat jam istirahat seperti ini, pengunjung banyak yang datang untuk makan serta menghabiskan waktu makan siangnya di tempat cozy seperti restoran milik Rendy, yang belum lama dibangun ini.

Banyak pengunjung yang datang karena suka dengan masakannya dan banyak pula yang datang khususnya di kalangan wanita untuk melihat paras tampan maskulin pemilik restoran yang terlihat manis menyapa para pelanggan.

Saat Moza baru saja melewati pintu masuk, ia langsung disambut oleh Rendy yang begitu antusias melihat kedatangannya dengan senyuman mengembang.

'Aduh! Gimana gak meleleh coba kalo disenyumin gini tiap hari!' batin Moza menjerit.

"Hai, Moza akhirnya kamu datang," sapa Rendy yang menghampiri, masih dengan senyum yang mendarat di bibirnya.

"Iya," balasnya singkat menyunggingkan senyum. Ia merasa senang karena kehadirannya sudah ditunggu-tunggu oleh Rendy saat ini.

"Mari ke ruangan khusus," ajak Rendy langsung to the point mengajak Moza ke tempat yang sepertinya telah pria itu siapkan untuknya.

Moza melangkah dengan jantung berdebar, menanti kejutan apa yang akan menanti di ruangan itu. Saat pintu ruangan dibuka, Moza begitu terpana. Bagaimana tidak? Dalam kondisi lampu ruangan yang sengaja dimatikan, ia dapat melihat dengan jelas lilin yang berbaris menyala mengarah ke satu set meja dan kursi yang tampak dihias juga dengan hidangan mewah di atas meja. Moza menutup mulutnya yang menganga tidak percaya, jika ternyata Rendy bisa seromantis ini.

Saat menoleh ia menyadari jika pria itu sudah tidak berada di sampingnya. Apakah Rendy ingin memberikan kejutan lainnya? Baiklah, Moza akan mengikuti rules yang telah dibuat.

Dengan jantung berdebar, wanita itu melangkah dengan anggun menuju iringan lilin yang tampak indah menyala di ruangan yang sengaja di buat gelap bahkan di siang hari begini. Pasti Rendy menpersiapkan ini dengan begitu banyak kerja keras. Moza menarik napasnya merasa senang. Namun, belum sampai langkah Moza menuju tempat tujuan di akhir rambu deretan lilin yang menyala. Tiba-tiba, lampu ruangan justru dinyalakan.

'Apa yang terjadi? Apakah ada kejutan lainnya?' Moza bertanya-tanya merasa heran.

"Ah, Sayang kamu dari mana saja?" sahut suara Rendy berhasil mengalihkan atensi Moza yang kebingungan.

"Aku dari kamar mandi sebentar. Apakah sahabatmu sudah datang?" jawab seorang gadis berpipi chabby yang kini dirangkul oleh Rendy begitu mesra tepat di hadapan Moza.

Moza mematung melihatnya tak percaya. Ternyata benar akan ada kejutan lagi untuknya, bahkan kini tepat di depan mata. Rendy serta gadis yang tampak imut itu menghampiri Moza dengan wajah semringah.

"Moza perkenalkan ini Shelly, kekasih baruku," ucap Randy dengan bangganya.

Moza sejenak mematung melihat gadis yang sepertinya lebih muda darinya. Pandangannya teralihkan menatap jari manis gadis itu yang sudah disematkan cincin yang ia pilih di toko perhiasan dua hari yang lalu bersama Rendy.

Kini ia tahu dengan jelas, jika cincin yang ia damba-dambakan ternyata bukan untuknya.

"Ah, iya selamat untuk kalian," ucap Moza akhirnya memaksakan senyum getir di sudut bibir.

***

Moza mengembuskan napas pelan, tatapannya terlihat begitu sayu dirundung kesedihan. Di tengah patah hati yang kembali mendera, ia harus tetap profesional bekerja sebagai budak koorporat. Hingga sebuah notifikasi tiba-tiba masuk ke dalam gawainya.

MASA TENGGAT PEMBAYARAN PINJAMAN PERUSAHAAN SATU MINGGU LAGI. HARAP MELAKUKAN PEMBAYARAN TEPAT WAKTU!

Doeng!

Ia harus nyari duit ke mana? Gaji bulanannya telah habis untuk membayar sewa.

"Ya, Tuhan tolong kirimkan keajaiban! Berikanlah hamba rezeki serta pria tampan yang bahkan lebih tampan dari Rendy!" seru Moza di dalam GoMobil—layanan ojek kendaraan roda empat—begitu putus asa.

"Aamiin," imbuh supir GoMobil yang dengan jelas mendengar doa absurd pelanggannya.

"Eh," celetuk Moza menahan malu kemudian. Ia lupa jika kini ia tidak sendirian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status