“Selamat … kau akan menikah,” gumam seorang gadis yang berdiri di hadapan sebuah cermin antik nan indah. “Yah, kau sungguh akan menikah ...,” ulangnya lagi pada pantulan dirinya yang tampak menyedihkan dengan wajah sayu dan tatapan hampa.
Alunan lagu-lagu romantis bisa terdengar di luar kamar gadis tersebut. Alih-alih terdengar merdu alunan lagu tersebut lebih mirip hymne kematian di telinganya, menyakitkan sekaligus menyesakkan dada.
“Bagaimana caranya bangun dari mimpi buruk ini,” batin gadis itu dengan ekspresi pilu bercampur takut. Dia mencengkeram gaun seputih salju yang membingkai tubuh mungilnya, merasakan sejumlah permata menusuk telapak tangannya. “Sakit … ini benar-benar kenyataan, Amanda.” Alis gadis itu bertaut, “bagaimana ini bisa terjadi?”
Gadis itu masih tidak mampu menerima kenyataan di hadapannya sekarang. Ia menutup matanya, mencoba mengulang kembali kejadian dini hari tadi saat dirinya berdiri kaku di tengah-tengah keluarga ‘asing’nya. Tatapan dingin ayah, ibu, dan adik tirinya serasa menusuk dirinya.
“Amanda,” panggil seorang pria dengan janggut tebal berantakan yang tampak jauh lebih tua dari umur sebenarnya. “Kenakan pakaian itu,” perintah Baron Broke dingin pada putri kandungnya.
“Ada apa ini? Apakah mereka akhirnya menerimaku?" Pertanyaan bertubi-tubi terus bermunculan di benak gadis yang sudah menginjak usia sembilan belas tahun itu. Sebuah harapan muncul dari rasa rindu yang begitu besar akan sebuah keluarga, didasari perlakuan berbeda dari ayahnya hari ini.
Melihat Amanda tak bergeming, gadis yang sedari tadi duduk di samping Baron Broke mulai mengumpat, “Penyakitan!” ucapnya seraya mengernyitkan dahi, seakan jijik.
“Gisella,” Baron Broke memanggil gadis tersebut, terkesan ingin menegur. Namun, dia malah berkata, “Apa yang kau harapkan? Dia memang cacat sejak lahir.”
Cacian dan hinaan adalah makanan sehari-hari Amanda. Lagi pula, selain cacian, pukulan dan tendangan juga merupakan hal yang biasa dia terima dari keluarganya. Perlakuan kejam dari ibu dan kakak tirinya bukanlah masalah baginya, seakan gadis itu sudah terbiasa.
Namun, tidak dengan perlakuan Baron Broke—ayah kandungnya. Seseorang yang sedarah dengannya, Amanda tak akan pernah terbiasa dengan rasa sakit itu. Selalu semakin sakit dari waktu ke waktu.
Amanda menundukkan kepalanya, membiarkan rambut keperakan menutupi separuh wajahnya. “Aku pun tak ingin terlahir berbeda ....” Manik ungunya menatap ke arah kulit seputih salju miliknya. “Apa aku seburuk itu?”
Gisella menyeringai, puas dengan wajah terluka Amanda akibat komentar sang ayah. “Kau pasti bertanya-tanya kenapa kami memanggilmu ke sini,” ujar gadis berwajah kotak itu. “Mari aku bantu Ayah memberitahukanmu, kau akan segera menikah. Hari ini juga.”
Amanda segera menengadahkan kepalanya. “A-apa?” Matanya terbelalak lebar.
“Kau akan menikah dengan seorang pangeran, betapa beruntungnya gadis cacat sepertimu berjodoh dengan seorang pangeran,” timpal ibu tirinya sambil tersenyum sinis.
“Mereka pasti bercanda, ‘kan?” tanya Amanda dalam hati, tak berani mengutarakannya. Tapi ia sadar, sejak kapan ibu dan adik tiri mengajaknya bergurau, mereka tak seramah itu pada dirinya.
Hati Gisella semakin berjingkrak riang melihat keterkejutan Amanda. “Tidakkah itu terdengar seperti mimpi? Calon suamimu seorang Pangeran yang memiliki wajah tampan, juga fisik yang sempurna.” Gadis itu melanjutkan dengan alis kanan terangkat, menampakkan ekspresi mengejek. “Namun, semua itu hancur karena cedera yang dia dapatkan saat perang. Dia adalah seorang pangeran cacat.” Gisella menunjukkan wajah simpati pura-puranya hanya sesaat kemudian lengkungan tipis muncul di bibirnya. “Tapi itu artinya kalian berjodoh, ‘kan? Sama-sama cacat!”
Tawa melengking terdengar bergema dalam ruang utama mewah tersebut. Tak hanya Gisella, tapi ibunya juga tertawa sinis.
Kedua alis Amanda bertaut sambil menatap putus asa pada ayahnya, tapi pria tua itu malah membuang mukanya. Baron Broke hanya terdiam di pojok ruangan, seolah tak peduli alih-alih membela anak yang sudah ia buang delapan tahun lalu ke puri tua di belakang kediamannya sendiri.
Gisella tersenyum, lalu menghampiri Amanda. Dia melewati gadis itu dan berhenti ketika dirinya berada di belakang kakak tirinya itu. Mendadak, Gisella menjambak surai keperakan milik Amanda dan memaksa gadis itu untuk menatap dirinya.
Amanda meringis sembari bertanya-tanya dalam hati, “Bukankah Gisella sepanjang hidupnya ingin menjadi bangsawan kelas atas, kenapa bukan dia yang menikahi pangeran ini? Apa hanya fisiknya yang cacat?” Amanda merasa hal ini cukup aneh, “kenapa mereka menyodorkan pernikahan ini kepadaku?”
“Kenapa harus dirimu dan bukan diriku?” tanya Gisella seolah bisa membaca isi kepala Amanda. Seringai muncul di wajah kotaknya sebelum melanjutkan perkataannya. “Karena tentu saja aku tak ingin menikah dengan seorang pembunuh.”
“Apa maksudmu ...?” tanya Amanda sambil menahan sakit di puncak kepalanya.
“Pria itu telah membunuh dua istrinya. Darah adalah hal yang paling dia sukai, terutama ketika sedang berada di atas ranjang.” Gisella menyusuri jarinya di leher Amanda, membuat gadis itu memancarkan ekspresi sakit bercampur ketakutan. “Kau tentu pernah mendengar rumor tentangnya, bukan? Sang Pangeran Hitam.”
Amanda menatap lekat-lekat wajah adik tirinya, berharap kalau gadis itu hanya menakut-nakutinya seperti biasa. Tapi kilat mata Gisella tampak meyakinkan, seolah tak ada kebohongan di sana.
Pangeran Hitam, seorang pria yang selalu bermandikan darah hingga baju zirah hitamnya berbau anyir. Putra raja yang berhasil menjatuhkan semua musuh kerajaan tanpa mengedipkan mata. Kekejaman pria itu diketahui oleh semua orang.
“P-pria itu … akan menjadi suamiku?!” Amanda kembali melemparkan pandangan memelas pada ayahnya. Namun, pria itu malah keluar begitu saja dari ruangan, menyisakan Amanda bersama dua orang yang paling ditakutinya; Ibu tiri dan adik tirinya.
Hal yang berikutnya terjadi seperti biasanya Amanda hanya menjadi mainan bagi Gisella dan ibunya. Siksaan dan cacian adalah hal yang tak pernah bisa dia hindari ketika berada dalam satu ruangan dengan kedua orang itu.
Amanda membuka matanya, sekali lagi menatap pantulan dirinya di cermin. Semuanya nyata, dia akan dijodohkan dengan pria paling berbahaya di kerajaan, juga akan mati di tangan pria tersebut.
“Pernikahan?” Amanda memasang sebuah senyuman tak berdaya di wajahnya. “Ini adalah hari kematianku.”
Awalnya aku selalu melihat ia seperti wanita yang dingin dan tak pernah tersenyum, ekspresinya selalu datar. Ia mirip sepertiku, kecuali satu hal. Gadis berkulit pucat itu selalu gemetar dan terlihat ketakutan. Manik matanya tak pernah benar-benar menatapku, ia selalu menatap kakiku. Entahlah mungkin sepatu kulitku lebih menarik ketimbang parasku, menurutnya. Tapi penampilan yang tak biasa itu cukup menarik perhatianku. Selanjutnya, kupikir untuk membunuh gadis itu secara perlahan. Menyiksanya dulu mungkin? Bagaimanapun ia adalah keluarga wanita iblis itu. “Ma-maaf.” “Maaf, Tuan…” “Maaf.” Itu ucapan yang sering ia lontarkan dari bibir merah cherry dengan tangan gemetar dan tubuh membungkuk. Hanya puncak kepalanya saja ya
“Aku hanya mengundang orang-orang yang terpilih saja untuk datang ke pesta ulang tahunku,” seru seorang anak gendut dengan leher berlipat. Nyaris seluruh anak di sekolah itu berharap diundang ke pesta cucu Duke Serafin, kakek Samuel yang terkenal kaya itu sangat memanjakan bocah gendut yang sekarang sedang berkacak pinggang dengan sombong. Tapi perhatian anak-anak di kantin dengan interior mewah itu langsung terpecah begitu melihat Maximiliam memasuki cafetaria yang menghubungkan asrama laki-laki dan perempuan itu. Beberapa gadis sedikit menjerit melihat kedatangannya. “Ck!” decak Samuel dengan raut muka tak suka. “Kau tak akan kuundang,” ujarnya sambil menunjuk Max yang melintas di depannya. “Aku juga tidak mengharapkannya,” jawab Max yang duduk meletakkan nampannya di sebelah Niana. Tawa pelan berbisik me
“Berkemaslah, kita langsung balik ke Ibu Kota,” perintah Illarion pada para anak buahnya yang masih masih tergeletak horizontal setelah dua hari menggempur pemberontak di wilayah perbatasan. Sebenarnya Kaisar Hitam enggan keluar dari Ibu Kota, atau lebih tepatnya meninggalkan Amanda. Permaisurinya itu ia tinggalkan setelah nyaris sebulan pernikahan mereka diakui publik. Tapi pemimpin pemberontakan kali ini jauh lebih cerdas dan kuat dibanding sebelumnya, karena itu Illarion Black turun tangan. Setelah Illarion masuk ke dalam tenda hitamnya, erangan pelan keluar dari mulut para prajurit itu. “Astaga Kaisar benar-benar manusia apa seorang monster? Tuan ingin kita segera balik ke ibu kota tanpa membiarkan kita bernapas terlebih dahulu,” keluh seorang prajurit yang baru saja kehilangan tiga gigi depannya karena perkelahian semalam.
Hai, perkenalkan saya penulis cerita ini dengan nama pena missingty.Terima kasih sudah mengikuti kisah Amanda White dan Illarion Black sejauh ini, dan yah, kita sudah berada di chapter terakhir kisah ‘Dipaksa Menikahi Pangeran Kejam’. Terima kasih untuk support teman-teman pembaca semua, di note ini juga missingty ingin meminta maaf jika tulisan yang missingty buat jauh dari ekspektasi dan keinginan para pembaca sekalian.Sebagai permintaan maaf, mungkin diantara para pembaca masih ada merasa plothole yang mengganjal di novel online ini, atau mungkin penasaran dengan beberapa kisah yang tidak disebutkan di cerita ini. Silahkan komentar di bawah ya, mungkin nanti missingty akan buatkan bab epilog untuk itu.Sekali lagi terima kasih kepada akak-akak pembaca sekalian, salam sayang dari missingty. I* inspirasikuh.
Ekspresi menyedihkan yang Illarion tampilkan setelah mendengar perkataan Amanda itu membuat Karak kembali menggaungkan tawanya di ruang bawah tanah itu. “Karma! Kau dengar! Itu Karmamu Illarion!” ucap pria tua itu di sela sela tawanya yang tampak mengerikan.“Jangan tinggalkan aku lagi Amanda,” pinta Illarion terdengar lemah mengikuti langkah gadis itu menuju pintu.Amanda mempercepat langkahnya sembari berurai air mata. Perpisahan dan pergi sejauh mungkin dari Illarion Black adalah pikiran Amanda saat ini.“Galela!” teriak lelaki bertubuh tinggi besar yang hanya beberapa langkah dibelakangnya itu.Amanda menghentikan langkahnya mendengar Illarion mengeluarkan nama lain dari mulutnya.“Kau tak ingin memaksanya memintamu untuk kembali padaku kan Amanda?” tanya Illarion dengan suara lirih seakan penuh kesedihan, tapi tatapan mata dari iris kelam itu terlihat sangat dingin.“Apa maksudmu?” tanya Amanda mengabaikan asas kesopanan den
Mata ungu Amanda langsung terbelalak mendengar nama itu. Karak adalah nama pria yang meracuni Illarion saat pesta dansa di ulang tahun baginda Raja Abraham dahulu. Saat itulah mereka bertemu Galela dan Balton yang menyelamatkan Illarion dan memberikan penawar racun itu.‘Apa karena itu, Illarion menyiksa pria ini? Karena ia pernah diracuni olehnya?’“Kau sepertinya mengenalku?” tebak Karak sembari menyipitkan matanya. Rantai-rantai di punggungnya ikut berderak. “Ah kemampuanku memang luar biasa.”‘Aku tak perlu ikut campur hal ini, sebaiknya aku pergi saja.’“Hei, apa kau tak menyimpan dendam pada pria itu?”Amanda yang bersiap balik kembali menghentikan langkahnya. “Karena?”“Mengorbankanmu.”“Apa maksudmu?” tanya Amanda.Karak kembali terkekeh pelan sebelum menjawab pertanyaan Amanda. “Kau kira siapa yang meracuni Raja? Raja terdahulu.”“Ha?” gumam Amanda tampak bingung. ‘Selama ini aku memang penasar
Wajah Putri Hera langsung pucat pasi. “Tentu saja warna musim semi itu yang paling pas seperti warna daun yang berguguran,” ujar Amanda sambil tersenyum dan menepuk lengan kakak iparnya itu.“Ah iya ten-tentu saja,” balas Putri Hera dengan senyum kaku.“Kami membahas warna gaun yang pas di musim semi, Tuan.”“Oh,” gumam Illarion kemudian naik ke dalam kereta kuda itu. “Kakakku akan berhenti di Istana Utama, ia akan tinggal sementara waktu di sana untuk mempersiapkan pesta pernikahan kita,” jelas Illarion pada Amanda.“Ah! Terima kasih, Putri Hera. Kuharap aku tidak merepotkanmu.”“Oh tentu saja tidak, aku senang akhirnya melakukan ini setelah sepuluh tahun menanti pernikahan kaisar,” balas Putri Hera tampak tertawa. Tapi hal itu malah membuat Amanda menautkan keningnya. ‘Kenapa Putri Hera terlihat sangat tidak nyaman di sebelah adiknya sendiri?’Akhirnya Amanda White dan Illarion Black sampai di is
Ancaman Illarion barusan membuat Putri Hera tercekat, matanya yang berkaca-kaca akibat tamparan di pipi barusan masih menatap tajam adik tirinya itu.“Tuan? Putri Hera?” panggilan lembut dari arah belakang Illarion Black memecahkan suasana tegang diantara dua kakak beradik lain ibu itu.Putri Hera langsung balik berlalu tanpa pamit pada Amanda sambil memegang pipinya yang memerah.“Putri Hera,” panggil Amanda pelan, kemudian balik menatap Illarion. “Putri tidak apa-apa?”Illarion kembali tersenyum manis dihadapan istrinya. “Ia tidak apa-apa, sepertinya kakakku terlalu mabuk di pesta dansa barusan.”Amanda menggumam pelan. “Aku akan membuatkan teh pereda pengar untuknya.”Namun, Illarion malah menggendong ala pengantin si gadis berkulit pucat yang sekarang mengenakan pakaian dengan warna senada rambutnya itu. Sama-sama merah muda.“Tak perlu, biarkan para pelayan yang mengurusnya. Malam ini kau hanya perlu mengurus diriku saja,” ti
‘Harusnya aku menyuruh orang untuk menjemputnya,’ batin Illarion sambil mencari-cari Amanda di antara ratusan tamu undangan yang hadir. Hingga lengkungan di wajahnya terbentuk lebar ketika melihat sosok berkulit seputih salju melewati pintu masuk utama aula tempat diadakan pesta dansa itu. Semua mata kembali mengikuti arah langkah Illarion Black sembari berdecak kagum melihat kesempurnaan fisik milik pemimpin pasukan paling mematikan di seantero Benua Hitam itu, hingga napas mereka tertahan ketika Kaisar Hitam berlutut di hadapan seorang wanita. “Siapa dia?” “Kudengar ia putri Duke Gree, bukannya ia sakit-sakitan dan memiliki anak diluar nikah?” Pertanyaan demi pertanyaan terus bergulir dalam nada rendah tak berani meny