Share

Bab 4: ATM Berjalan

“Menjadi TKI tanpa memikirkan masa depan itu sama seperti mencalonkan diri menjadi budak selamanya.”

-o0o-

“Sepuluh juta aja lah, Mbak. Jangan banyak-banyak. Belum tentu waktu Mbak nikah nanti saudara-saudara Mbak itu mau nyumbang,” tegas Erni menggebu-gebu. “Jangan bodoh jadi orang, Mbak. Makin dimanfaatin nanti.”

Aku mendongak menatapnya yang berkacak pinggang. “Emang ada orang yang mau manfaatin orang pinter?”

Erni mengedikkan bahu sebelum menghempas pantatnya di sampingku. Dia mengembuskan napas panjang. “Iya enggak, lah, Mbak. Mana ada orang yang sanggup manfaatin orang pinter dengan sangat berlebih-lebihan. Kan dari awal udah pinter.”

“Iya udah,” putusku ikut mengedikkan bahu.

“Mbak.” Raut wajah Erni berubah garang. “Jangan terlalu baik jadi orang. Makin dimanfaatin nanti.”

“Emang ada orang yang mau manfaatin orang jahat?” tanyaku tenang.

“Iya enggak lah. Bisa-bisa sebelum berhasil manfaatin udah terlanjur dijahati. Ruginya doble dong,” jawabnya lesu.

“Iya udah.”

Erni mengembuskan napas panjang. “Mbak kenapa, sih, ngalah banget jadi orang? Saudara Mbak kan banyak.”

Aku mengangguk kecil. “Saudaraku emang banyak. Tapi semua keadaannya pas-pasan.”

“Jangan terlalu ngalah, Mbak. Mbak itu cuma ATM berjalannya keluarga Mbak. Gak lebih dari itu.” Lagi, kalimat Erni melukaiku. Akan tetapi, detik ini perubahan air muka dan gelagatku tak sekontras beberapa minggu lalu. Aku mulai bisa memahami karakter teman lamaku.

“Asal Mbak tahu, orang bodoh itu tercipta dari orang yang terlalu baik.”

Lipatan di dahiku tercipta. Apa-apaan Erni ini, kalimatnya itu pemikiran dari mana. Aku menggeleng lirih. “Terus?”

Mata perempuan itu membola. “Mbak udah sangat bodoh.”

Aku terdiam, berusaha mencerna seluruh kalimat Erni. Apa benar aku teramat bodoh. Jika dibilang bodoh, mungkin sangat benar. Aku tidak akan menampik kenyataan itu. Karena pada dasarnya pendidikanku hanya sebatas kelas satu Sekolah Dasar. Bagaimana aku bisa pintar seperti Erni yang lulusan Sekolah Menengah Pertama.

“Pintar bodoh itu bukan tergantung riwayat pendidikan terakhir, iya, Mbak. Riwayat pendidikan terakhir itu cuma membuktikan pernah sekolah, bukan memastikan pernah berpikir,” tutur Erni seolah tahu apa yang kupikirkan.

Pernyataan macam apa lagi ini? Aku semakin tidak mengerti dengan maksud lawan bicaraku. Atau mungkin semua ini terjadi karena sekolahku terlalu rendah?

“Ilmu pintar dan bodohnya jadi manusia itu gak pernah diajarin di sekolahan, Mbak. Setiap manusia belajar ilmu ini itu secara autodidak melalui lingkungan dan masalah yang dihadapi. Dan Mbak satu-satunya perempuan paling bodoh yang aku kenal.”

Entah mengapa tiba-tiba emosiku tersulut mendengar penuturan Erni. Apa maksud kalimatnya ini? Apa maksudnya aku juga satu-satunya manusia yang gak pernah berpikir.

“Jangan sembarangan!” tegasku.

Perempuan pemilik rambut sebahu yang dicat pirang itu mengembuskan napas panjang, lelah. “Mbak sadar gak, sih, kalau selama ini udah jadi ATM berjalan?”

Aku diam beberapa saat, mencoba mencari jawaban yang tepat dari pertanyaan Erni. Perempuan ini memang tipikal orang yang sama sekali tidak pernah memfilter kalimat. Tidak pernah memikirkan perasaan lawan bicaranya. Dia selalu mengutarakan apa yang ada dalam hati dan otak tanpa tapi, akan mengeyel saat yakin argumennya benar.

“Aku ikhlas kok.”

Erni tertawa mengejek. “Ikhlas itu bohong, Mbak. Gak ada manusia di dunia ini yang benar-benar ikhlas dimanfaatkan, disakiti, dibuat susah hidupnya. Semut aja yang gak punya akal kalau diganggu balas gigit, eh, Mbak yang punya akal teramat sempurna kalah sama semut.”

“Aku itu cuma mau berbakti ke orang tuaku, meringankan beban mereka,” jawabku membela.

“Masih kurang berbaktinya?” tanya Erni dengan nada heran.

Aku terdiam cukup lama, tidak tahu harus menjawab apa kalimat Erni. Kalimat sesederhana itu terkesan sangat berat untukku. Karena yang kutahu surgaku ada di bawah telapak kaki Ibu, belum akan berpindah sebelum aku menikah. Jadi, sungguh, untuk pertanyaan itu aku tidak tahu harus menjawab apa.

“Mbak!” panggil Erni seraya mengguncang tubuhku. Perempuan itu sadar kalau aku tegah melamun. “Ditanya malah diam.” Dia mengembuskan napas panjang. “Oke, aku simpulkan belum.”

Dia menatapku lamat. Aku ikut menatapnya. Mata kami bertemu, terkunci cukup lama. Bedanya pandangan Erni menelisik jauh, mencari fakta-fakta yang ingin diketahui dari mataku. Karena yang kutahu, perempuan di sampingku sangat percaya kalau mata tidak pernah bisa berbohong.

“Asal Mbak tahu, menjadi TKI tanpa memikirkan masa depan itu sama seperti mencalonkan diri menjadi budak selamanya.”

Bagai dihujam panah puluhan kali saat berperang, penuturan Erni sangatlah menyakitkan. Aku bungkam seribu bahasa. Tenggorokanku tercekat. Kalimat itu begitu dasyat merampas beberapa ruang penuh dalam hati, mengusir penghuni sebelumnya untuk ditempati sendiri. Bagaikan penjajah yang dengan biadapnya merampas tahta kekuasaan seorang pemimpin dengan begitu kejam. Bajingan. Erni memang bukan bajingan, tetapi kalimatnya sangatlah bajingan.

Tanpa diinginkan air mataku merembes. Aku seperti tak memiliki kemampuan membangun benteng pertahanan untuk perasaanku sendiri. Erni kembali menegaskan kalimatnya, “Menjadi TKI tanpa memikirkan masa depan itu sama seperti mencalonkan diri menjadi budak selamanya.”

Ralat, itu bukan Erni yang menegaskan, tetapi tatapan matanya.

“Tidak ada yang sudi menjadi budak seumur hidup, Mbak. Kecuali orang yang punya akal tapi menukar akalnya hanya dengan rasa kasihan.”

Air mataku merembes semakin deras. Iya, benar kata Erni, tidak ada manusia yang sudi selamanya menjadi budak, tetapi untuk kalimat selanjutnya, entahlah, aku tidak bisa sepenuhnya setuju meskipun kemungkinan besar itu kebenarannya.

“Mbak mau jadi budak seumur hidup?”

Pertanyaan itu lolos dari bibir penuh Erni dengan sangat gamblang. Aku yakin dia sudah tahu jawaban yang akan setiap orang utarakan. Namun, sungguh aku tidak tahu maksudnya menanyakan hal yang jawabannya sudah pasti ‘tidak’. Mungkinkah dia memastikan kebergunaan akalku—atau memastikan akalku kutukar dengan rasa kasihan atau tidak.

Aku menggeleng sebagai jawaban. Biar perempuan ini puas. Namun, nyatanya pikiranku salah, bukannya puas Erni malah menatapku seolah tidak yakin.

“Mbak serius?” tanyanya memecahkan kelenggangan yang sempat tercipta tanpa direncanakan. Aku mengangguk kecil. “Kalau begitu, kenapa Mbak masih bodoh?”

Erni mengalihkan pandang kesembarang arah. “Sayang gak harus bodoh, kan, Mbak. Berbakti gak harus mengorbankan diri, kan, Mbak.”

Untuk kali ini aku sangat menyetujui kalimat Erni. Penuturan perempuan itu sangatlah benar. Aku yang salah besar selama ini. Tunggu, ralat, aku tidak salah, hanya saja selama ini aku kurang paham maksud bodoh dan mengorbankan diri.

“Jangan terlalu berlebihan, Mbak.”

Aku mengangguk kecil, lantas tersenyum. “Makasih,” lirihku sebelum menyeka mata. “Aku kirim sepuluh juta aja, gak lebih.”

“Itu mah terserah Mbak.” Aku tersenyum samar mendengar jawaban tak acuh Erni. Perempuan ini memang seperti itu, tapi aku bersyukur mengenalnya.

“Aku senang bisa kenal kamu,” ucapku tulus.

“Aku enggak. Mbak terlalu baik,” jawab Erni tanpa ragu. Aku tahu persis maksud kata ‘baik’ yang Erni ucapkan. Itu sebuah ejekan untukku, aku terlalu bodoh untuk ukuran perempuan secerdas Erni.

Bersambung .....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status