Share

Dipaksa Menjadi Budak Keluarga
Dipaksa Menjadi Budak Keluarga
Penulis: Gie Adif

Bab 1: Uang Kiriman

“Karena Ibu surgaku dan Bapak cinta pertamaku.”

***

“Lasmi, bulan ini transfer lebih banyak. Kasihan adik-adikmu, jarang makan enak.” Suara lembut Ibu terdengar sedetik setelah kugeser ikon menerima panggilan.

Aku tersenyum miris mendengar kalimat Ibu. Menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskan perlahan. Kembali tersenyum, kuirarkan, demi bakti. Ibu wanita hebat, dia yang telah melahirkanku mempertaruhkan nyawa.

“Iya, Bu, tapi aku belum gajian,” jawabku berusaha selembut mungkin meskipun ada sayatan baru di kalbu.

Namaku Lasmi. Benar kata orang, menjadi anak pertama perempuan itu berat, sangat berat. Karena kendala ekonomi, aku hanya mengenyam pendidikan kelas satu SD, sekadar bisa membaca meskipun tak terlalu lanyah dan menulis, meskipun sangat jelek; lantas keluar, membantu Bapak membuat sapu ijuk dan tali tampar. Ibuku hanya Ibu Rumah Tangga. Adikku ada empat. Diusia 18 tahun aku menjadi TKI di Malaysia karena terlalu tak tega melihat kesengsaraan keluargaku, terutama Bapak yang mulai sakit-sakitan karena terlalu keras bekerja.

Aku menjadi TKI sudah delapan belas tahun, seminggu lalu aku memperpanjang kontrak untuk terus bekerja di sini, terlanjur nyaman memiliki bos yang baik hati. Meskipun hanya seorang pembantu, mereka memperlakukanku cukup baik.

“Bukannya tanggalnya hari ini, iya.”

Aku tidak tahu bagaimana ekspresi wanita yang telah melahirkanku detik ini. Namun, dari suaranya kekesalan dapat kutangkap begitu jelas.

“Harusnya emang hari ini. Tapi entah, mungkin nanti sore.”

Lagi, aku tersenyum miris. Ibu tidak pernah lupa tanggalku gajian. Bukannya tidak ikhlas, hanya saja, tidak bisakah terlebih dahulu menanyakan kabarku? Atau sekadar menanyakan sudah makan apa belum. Ah, mungkin Ibu tak melakukan hal itu karena tak tahu bagaimana di sini aku bekerja, diperas energiku bagaikan sapi perah. Oke, Bosku memang baik, sangat baik, tapi tetaplah, aku hanya pembantu di sini. Karena mereka membayarku cukup mahal, lima juta rupiah, jadi sangat pantas mereka mempekerjakan layaknya sapi perah yang dikembangbiakkan secara khusus karena kemampuannya dalam menghasilkan susu dalam jumlah besar.

“Suruh Bosmu cepat-cepat kirim gajinya,” ucap Ibu tak sabaran.

“Gak bisa lah, Bu. Meskipun tanggal gajiannya hari ini, mau dikasih pagi, siang, sore, ataupun malam itu wewenang mereka. Aku gak mau buat masalah.”

Terdengar embusan napas panjang dari Ibu. “Iya sudah, pokoknya hari ini kirimi Ibu uang,” tutur wanita itu sebelum memutuskan sambungan telepon sepihak.

***

[Kok cuma segini kirimnya, Lasmi?]

Setiap selesai bekerja memang selalu kusempatkan membuka handphone, mengecek pesan ataupun panggilan masuk; berharap salah satu keluargaku dari kampung menghubungiku sekadar menanyakan kabar. Meskipun usiaku sudah tiga puluh enam tahun, tapi sungguh, pertanyaan sederhana itu selalu kutunggu setiap harinya.

Tubuhku membeku saat membaca pesan dari Ibu. Mendadak senyumku sirna, kekuatanku hirap. Aku mengembuskan napas panjang. Ulu hatiku terasa nyeri. Bukan, ini bukan nyeri karena marah ataupun benci, tetapi karena kecewa. Tidak salah, kan, aku merasa kecewa dengan pertanyaan Ibu? Bukannya tadi wanita itu tahu aku sedang tak enak badan. Tidak bisakah sekadar basa-basi menanyakan kabarku dulu sebelum menanyakan hal itu.

[Yang kukirim lebih banyak dari bulan kemarin, Bu. Bulan kemarin 2,1 juta, sekarang 2,5 juta.]

Aku meletakkan handphone dan memejamkan mata sejenak setelah membalas pesan dari Ibu. Tubuhku rasanya teramat remuk, badanku meriang, tulang-tulang seolah berpisah dengan daging. Sangat menyakitkan.

Dengan sisa tenaga yang ada, kuraih minyak urut untuk membaluri bagian tubuhku yang terasa remuk. Ah, andai saja Ibu melihat langsung kondisi tubuhku saat ini, apakah wanita itu masih tega menanyakan hal seperti tadi? Andai saja wanita itu melihat betul seperti apa pekerjaanku di sini, apakah wanita itu masih tega melihatku ada di sini, meneruskan pekerjaan ini? Ingin rasanya kuceritakan semua penderitaanku di sini, namun aksaraku terlalu lemah untuk itu. Aku terlalu takut melihat Ibu yang sakit-sakitan semakin sakit mengetahui kondisiku.

“Lasmi, sediakan makanan, ada tetamu!”

Pekikan Ibu Bos membuatku langsung membuka mata dan merubah posisi menjadi duduk. “Iya, Puan,” jawabku.

Aku berdiri, sebelum hendak melangkah tiba-tiba tubuhku terjatuh. Remuk sekali rasanya tubuh ini. Ingin rasanya beristirahat sekarang juga. Namun, aku juga tak ingin membuat Ibu Bos yang teramat baik itu jadi kecewa terhadapku.

Aku tak langsung berdiri, sengaja memberikan ruang beberapa saat untuk tubuhku. Setelah terasa lebih membaik, aku baru berdiri, berjalan menuju dapur. Ah, ralat, nyatanya tubuhku sama sekali tidak terasa lebih baik. Hanya saja, sudah bisa lebih beradaptasi dengan rasa sakit. Saat berjalan menuju dapur, kusempatkan mengintip ruang tamu, melihat berapa tamu yang datang agar tahu berapa banyak makanan dan minuman yang harus kuhidangkan. Lima orang, itu jumlah yang sangat sedikit bagi aku yang sehat, tetapi terasa sangat banyak saat kondisi tubuhku seperti ini.

***

“Emang Mbak gak pengin menikah? Berkorban buat keluarga, sih, berkorban, tapi iya jangan kebablasan. Sayang sama masa depan sendiri,” ucap Erni, teman sesama TKI dari Indonesia yang kebetulan menjadi pembantu tepat di samping kanan rumah Bosku.

“Iya gimana, rencana mau pulang, tapi Bapak sama Ibu sakit-sakitan,” jawabku seraya tersenyum miris. Ini kenyataan pahit di hidupku.

Wanita itu merubah posisi duduknya hingga dia dapat menatapku lamat. “Mbak.” Aku menoleh ke arahnya. Kita saling berhadapan, “Emang Mbak gak punya saudara?”

“Ada, empat.”

Wajah Erni terlihat menyelidik. “Udah pada gede kan?”

Aku mengangguk. “Yang tiga udah nikah malah.”

“Jadi yang belum nikah tinggal Mbak sama adik Mbak? Yang nomor berapa?”

“Yang terakhir.”

Wanita itu melongo. “Mbak udah disalip, lho.” Dia menggeleng lirih. “Jangan mau dibodohi keluarga, Mbak. Berjuang iya berjuang, berkorban iya berkorban, tapi sewajarnya aja. Jangan sampai mempertaruhkan masa depan hanya karena alasan keluarga, apa lagi orang tua dan adik.”

Air mukaku mendadak keruh. Tanpa bisa dibohongi hatiku tidak suka mendengar penuturan Erni, seolah pengorbananku selama ini hal yang malah membuat masa depanku suram. Bukankah seorang anak memang wajib berbakti kepada orang tua? Aku ada di sini karena alasan itu. Aku ingin berbakti. Aku ingin orang tua dan adikku bahagia. Aku ingin kehidupan mereka berkecukupan. Aku tak ingin melihat Ibu menangis di sudut kamar karena direndahkan tetangga, dihina saudara. Aku tak ingin melihat Bapak sakit keras tanpa bisa mengantarkannya berobat karena tidak punya uang. Apa lagi sekarang mereka sakit-sakitan. Sakit diabetes Ibu cukup parah.

“Kebahagiaan orang tua dan adik itu bukan tanggung jawab kamu, Mbak.”

Aku menatapnya dengan raut tak suka. Akan tetapi dia tetap berceloteh seolah tak melihat perubahan air mukaku, padahal pandangan matanya tepat ke arahku.

“Menikahlah, Mbak. Mbak butuh bahagia. Mbak udah harus jemput bahagia Mbak.”

Ingin rasanya aku pergi dari tempat ini, tetapi entah karena apa seluruh otot tubuhku mendadak kaku. Jangankan berlari, sekadar merubah posisi duduk menatap lurus ke depan agar tak melihat wanita yang terus berceloteh mendesakku saja sulit.

Aku harus menjemput bahagiaku katanya. Bahagia apa? Bagiku bahagiaku adalah saat mampu berbakti pada orang tua, mampu membuat orang tua dan adik-adikku hidup tercukupi, tidak merasakan dihina habis-habisan seperti dulu.

“Coba bayangin aja gini, Mbak. Adik Mbak kan tinggal satu, kalau dia menikah, borarti tinggal Mbak yang masih sendiri. Kalau seumpama tiba-tiba orang tua Mbak meninggal dan keadaan Mbak udah tua gimana? Yakin adik-adik yang Mbak perjuangkan, Mbak cukupi kehidupannya sampai merantau di sini mau rawat Mbak? Okelah, mungkin salah satu dari mereka punya hati dan mau nglakuin itu. Tapi jangan lupa, Mbak, mereka punya keluarga. Mbak yakin keluarga mereka, terutama adik ipar Mbak mau terima Mbak?”

Erni menjeda. Wanita itu memakan kolaknya. “Okelah mungkin ada salah satu adik ipar Mbak yang mau nerima Mbak, tapi yakin keluarga adik ipar Mbak terima Mbak diurus mereka? Aku sih gak yakin.”

Dadaku sesak detik itu juga. Kalimat Erni begitu hebat menembus jiwa, menyelinap dalam rongga dada melalui rungu, menjadikan pembuluh darah sebagai lintasan.

“Kenapa kamu gak yakin?” tanyaku dengan suara bergetar. “Kamu gak kenal keluargaku!”

Wanita itu memutar bola matanya sebelum manatapku semakin lamat. “Aku emang gak kenal mereka, Mbak. Tapi, asal Mbak tahu, satu-satunya orang yang mau diajak susah senang, bahkan hidup bersama sampai maut memisahkan itu Cuma pasangan. Yang sudi merawat orang tua itu Cuma anak yang punya hati. Gak ada tuh dalam kamus kehidupan namanya adik. Apa lagi kalau adik Mbak udah punya keluarga, udah pasti mereka akan lebih mentingin keluarganya daripada Mbak, orang lain.”

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status