Share

Bab 2: Biaya Pernikahan Zafar

“Apapun alasan berkorban, jangan kesampingkan diri sendiri.”

-o0o-

“Mbak, aku mau nikah. Mbak bantu biaya, iya.”

Suara Zafar dari layar handphone menggema memasuki rungu. Kuamati wajah lelaki pemilik jambang tipis itu dari layar handphone. Mimik wajahnya terlihat penuh harap. Aku tersenyum tipis. Cepat sekali tiba-tiba dia mau menikah. Padahal saat kutinggal mengadu nasib di negara orang dia baru saja disunat.

“Serius mau nikah?” tanyaku dengan kedua sudut bibir terangkat sempurna.

Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya. “Iya serius lah, Mbak. Masa bercanda.” Aku terkekeh kecil. “Mbak bantu biaya, iya,” lanjutnya penuh harap.

Sepertinya baru minggu lalu Erni bilang, sebentar lagi adik terakhirku akan menikah dan hanya aku yang belum. Sekarang benar-benar akan terjadi.

“Usiamu masih berapa kok sudah mau menikah?” tanyaku sedikit tak rela adik bungsuku menikah diusia yang sangat muda. Terlebih dia lelaki. “Apa gak enaknya kamu kerja dulu, dikumpulkan, biar masa depanmu dan istrimu cerah nantinya.”

Zafar menggeleng. “Orang tua pacarku menyuruhku cepat-cepat menikahi putrinya. Kalau enggak, putrinya akan dijodohkan sama pria lain.” Air muka Zafar mendadak berubah datar. “Apa lagi pacarku itu anak pertama, orang tuanya ingin segera menimang cucu.”

Tidak ada yang salah dengan kalimat Zafar, tetapi entah mengapa ada yang aneh dalam dadaku. Mendadak kalbuku nyeri mendengar kalimat terakhir Zafar. Anak pertama, orang tuanya ingin segera menimang cucu. Lantas bagaimana dengan aku? Apakah sebenarnya orang tuaku juga sempat ingin segera menimang cucu dariku? Atau malah mereka sama sekali tak memikirkan itu? Karena pada kenyataannya Ibu dan Bapak saat kita berkabar tidak pernah bertanya kapan aku berencana menikah. Atau selama ini mereka terlampau menghargaiku hingga tak tega melontarkan kalimat itu?

“Gak pengin kerja dulu saja, Le. Kamu masih sangat muda.”

Bukannya aku tak suka adik bungsuku menikah mendahului aku. Hanya saja, aku khawatir dia belum puas menikmati masa muda dan malah menyesal dikemudian hari. Usianya masih dua puluh tiga tahun. Masih enak-enaknya mencari pengalaman sebanyak mungkin untuk ukuran lelaki.

“Menikah gak semudah yang kamu bayangkan, Le. Setelah menikah—“

“Udahlah, Mbak. Aku paham. Aku ngerti, kok. Mbak gak perlu ceramahi aku untuk hal kaya gini. Aku bukan anak kecil lagi. Aku kan cuma minta Mbak bantu aku biaya, itu saja. Bukan malah bantu ceramah. Secara kan diantara kita semua yang pekerjaannya paling enak dan penghasilannya paling besar itu Mbak saja.”

Tiba-tiba hatiku teramat nyeri mendengar penuturan Zafar. Semudah itu dia melontarkan kalimat tersebut. Apa katanya, diantara kita semua yang pekerjaannya paling enak dan penghasilannya paling besar itu aku? Tidakkah dia berpikir, aku hanya seorang pembantu. Dan apa katanya, pekerjaanku paling enak? Tenaga diperas bagaikan sapi perah itu enak?

“Mbak di sini kerja gak peduli kaya gimanapun kondisi badan kamu bilang enak? Mbak kerja udah kaya budak, tenaga diperas kaya sapi perah asal kamu tahu.”

Zafar bungkam. Mataku memanas menatap netranya melalui layar gawai. Suaraku bergetar. “Jadi selama ini kamu ngira Mbak kerja enak-enakan?” Aku tertawa renyah. “Kamu belum tahu, Le. Kamu belum tahu apapun. Kamu belum tahu semati-matian apa Mbak di sini. Atau sebenarnya kamu tahu tapi menolak gak tahu.” Aku tersenyum miris. “Mbak yakin kamu bukan orang bodoh yang gak ngerti kaya apa pekerjaan TKI jadi pembantu. Secara diantara kita semua sekolahmu paling tinggi. Kamu lulusan SMK. Mbak ingat betul karena Mbak yang biayain sekolah kamu.”

Zafar membuang wajah. “Jadi Mbak ngungkit semuanya?”

Aku menggeleng. Sungguh sedikit pun dalam hati tak ada niatan untuk mengungkit. “Mbak hanya pengin kamu ingat saja. Gak lebih.”

“Apa bedanya sama mengungkit? Sama saja!” Suara Zafar naik satu otkaf. Wajahnya lebih datar dari sebelumnya.

“Iya udah, lah, Mbak. Ada tamu, aku matiin dulu,” ucapnya sebelum sambungan Vidio Call terputus secara sepihak.

Baru saja hendak menimpali kalimat Zafar, tetapi lelaki itu lebih dulu mengakhiri. Aku tidak yakin kalau di rumah betul-betul ada tamu. Karena yang kutangkap dari wajahnya, dia seolah ingin cepat-cepat menghindar. Tak ingin perdebatan ini semakin runyam.

***

“Uang segitu Cuma cukup buat dekor dan rias,” tutur Ibu dengan enteng.

Mendadak senyumku berubah teramat miris. “Maaf, Bu, aku Cuma bisa bantu segitu, sepuluh juta. Sisanya aku tabung, buat masa depan.”

Terdengar Ibu mengembuskan napas berat. “Masa depan apa? Bukannya sekarang kamu sudah ada di masa depan, iya.”

Mendadak aku menahan napas beberapa detik. Penuturan Ibu membuatku mendadak mengingat Erni. Aku yang selalu berusaha berhusnuzon mendadak memiliki pikiran kurang baik pada Ibu. Aku tidak ingin semakin berburuk sangka pada Ibu, jadi kuputuskan bertanya, “Maksud Ibu?”

“Iya, kan memang sekarang kamu sudah ada di masa depan. Masa depanmu iya ini.”

Aku bungkam. Yang kutangkap dari maksud penuturan Ibu hanyalah, selamanya aku hanya akan seperti ini. Mendadak aku mengingat penuturan Erni. Menjadi TKI tanpa memikirkan masa depan itu sama seperti mencalonkan diri menjadi budak selamanya. Apa mungkin selama ... lagi-lagi aku mengingat penuturan Erni. Mbak itu Cuma ATM berjalannya keluarga Mbak. Gak lebih dari itu.

Berulang kali aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran buruk tentang keluargaku.

“Masa depan kamu iya Ibu, Bapak, sama Adik-Adikmu.” Ibu melanjutkan kalimatnya. Bagiku itu sebuah penegasan. Aku mulai menangkap sinyal-sinyal yang bagiku sangatlah tak enak.

“Aku pengin menyaksikan pernikahan Zafar. Selama ini aku gak pernah menyaksikan adikku menikah.” Itu keinginan dari dalam hati. Selama mengadu nasib di sini aku sudah pulang kampung empat kali. Paling lama aku di rumah dua puluh empat hari, lantas berangkat lagi.

“Gak usah pulang, lah. Kamu di sana aja baik-baik, kerja yang baik. Uangnya saja yang pulang.”

Detik ini juga nyawaku seolah dicabut paksa oleh malaikat Izroil. Tubuhku membeku, dadaku memanas, aliran darahku seolah berhenti. Ini sudah sangat ... aku yang terlalu bodoh selama ini. Mungkin memang benar seluruh penuturan Erni.

“Ibu memang gak rindu sama aku?”

“Rindu. Tapi kalau kamu pulang, siapa yang kerja? Bapakmu sudah gak bisa kerja, Ibu juga.”

Kalimat itu ... Ibu kembali menancapkan belati dalam dada. Jawaban itu sangat diluar espektasiku. Ah, mungkin aku terlalu berharap pada Ibu. Bagaimanapun, beliau tetaplah manusia. Aku baru sadar penuturan Ali bin Ai Thalib yang pernah kubaca dari media sosial penulis. Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap pada manusia.

Air mataku terjun bebas. Kali ini aku membiarkannya mengalir begitu saja. Lagi pula tidak ada yang melihat. Lagi pula aku sendirian dalam kamar ini. Meskipun begitu, aku berusaha agar tak sampai terisak, tak ingin Ibu menyadari aku menangis.

“Aku pulang menikah iya, Bu?” Entah pertanyaan ini memang keinginanku atau karena terusik penuturan Erni, aku kurang paham. Yang kutahu detik ini aku benar-benar ingin tahu respons Ibu terhadap pertanyaanku. Agar aku bisa menyimpulkan mengambil langkah seperti apa kedepannya.

“Ngapain pulang? Kerja aja di sana, kan enak.”

Bagai ditancapkan puluhan anak panah, penuturan itu sukses membuat air mataku semakin deras.

“Memang Ibu gak pengin nimang cucu dari aku?” tanyaku penuh keberanian. Sebelumnya aku tak pernah seberani ini.

“Buat apa? Kan Minah sama Siti udah punya anak. Anak Minah dua, Siti satu. Udah banyak cucu Ibu. Kalau Heni hamil, cucu Ibu nambah lagi. Juga Zafran kan udah mau nikah. Kalau istrinya hamil, cucu Ibu nambah lagi. Udah banyak. Kamu kerja aja di sana. Gak usah mikirin ngasih Ibu cucu.”

Bagai tersayat-sayat, penuturan itu sangatlah menyakitkan. Aku membekap mulut kuat, tak ingin isakan yang cukup brutal lolos Ibu dengar. Kukumpulkan seluruh kekuatan yang tersisa untuk kembali bertanya. “Terus kalau aku gak menikah, kalau udah tua gimana, Bu?”

“Iya sama Ibu aja, lah.”

“Kalau Ibu meninggal.”

“Iya enggak, pokoknya kamu sama Ibu aja. Nafkahin Ibu sama Bapak.”

“Ibu benar-benar gak pengin lihat aku menikah?”

“Kamu sama Ibu saja.”

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status