Share

Bab 2: Katanya Teman

“Berkorban boleh, sewajarnya saja.”

-o0o-

"Emang Mbak gak pengin menikah? Berkorban buat keluarga, sih, berkorban, tapi iya jangan kebablasan. Sayang sama masa depan sendiri," ucap Erni, teman sesama TKI dari Indonesia yang kebetulan menjadi pembantu tepat di samping kanan rumah Bosku. 

"Iya gimana, rencana mau pulang, tapi Bapak sama Ibu sakit-sakitan," jawabku seraya tersenyum miris. Ini kenyataan pahit di hidupku.

Wanita itu merubah posisi duduknya hingga dia dapat menatapku lamat. "Mbak." Aku menoleh ke arahnya. Kita saling berhadapan, "Emang Mbak gak punya saudara?"

"Ada, empat."

"Terus?" Wajahnya terlihat menyelidik.

"Apanya yang terus?" tanyaku bingung.

"Udah pada gede kan?"

Aku mengangguk. "Yang tiga udah nikah malah."

"Kan!" Dia menepuk pahaku keras, membuatku menjerit kesakitan. Wanita ini memang sungguh terlalu, kalau refleks tanpa sungkan menyakiti orang di sampingnya.

"Apa-apaan, sih? Sakit tau!"

Wanita itu tertawa renyah, dia memang mudah sekali tertawa. Sore ini kami bebas bertemu dan berbincang karena Bos kami sama-sama keluar, pulangnya malam. Ini adalah momen yang selalu seorang TKI tunggu, biar bisa sejenak mengistirahatkan badan, biar sejenak bisa leha-leha, biar sejenak bisa merasa seperti orang merdeka.

"Jadi yang belum nikah tinggal Mbak sama adik Mbak? Yang nomor berapa?"

"Yang terakhir."

Wanita itu melongo. "Mbak udah disalip, lho."

"Terus?" tanyaku seraya mencomot kolak pemberian Erni.

"Jangan mau dibodohi keluarga, Mbak. Berjuang iya berjuang, berkorban iya berkorban, tapi sewajarnya aja. Jangan sampai mempertaruhkan masa depan hanya karena alasan keluarga, apa lagi orang tua dan adik."

Air mukaku mendadak keruh. Tanpa bisa dibohongi hatiku tidak suka mendengar penuturan Erni, seolah pengorbananku selama ini hal yang malah membuat masa depanku suram. Bukankah seorang anak memang wajib berbakti kepada orang tua? Aku ada di sini karena alasan itu. Aku ingin berbakti. Aku ingin orang tua dan adikku bahagia. Aku ingin kehidupan mereka berkecukupan. Aku tak ingin melihat Ibu menangis di sudut kamar karena direndahkan tetangga, dihina saudara. Aku tak ingin melihat Bapak sakit keras tanpa bisa mengantarkannya berobat karena tidak punya uang. Apa lagi sekarang mereka sakit-sakitan. Sakit diabetes Ibu cukup parah.

"Kebahagiaan orang tua dan adik itu bukan tanggung jawab kamu, Mbak."

Aku menatapnya dengan raut tak suka. Akan tetapi dia tetap berceloteh seolah tak melihat perubahan air mukaku, padahal pandangan matanya tepat ke arahku. 

"Menikahlah, Mbak. Mbak butuh bahagia. Mbak udah harus jemput bahagia Mbak."

Ingin rasanya aku pergi dari tempat ini, tetapi entah karena apa seluruh otot tubuhku mendadak kaku. Jangankan berlari, sekadar merubah posisi duduk menatap lurus ke depan agar tak melihat wanita yang terus berceloteh mendesakku saja sulit.

Aku harus menjemput bahagiaku katanya. Bahagia apa? Bagiku bahagiaku adalah saat mampu berbakti pada orang tua, mampu membuat orang tua dan adik-adikku hidup tercukupi, tidak merasakan dihina habis-habisan seperti dulu.

"Coba bayangin aja gini, Mbak. Adik Mbak kan tinggal satu, kalau dia menikah, borarti tinggal Mbak yang masih sendiri. Kalau seumpama tiba-tiba orang tua Mbak meninggal dan keadaan Mbak udah tua gimana? Yakin adik-adik yang Mbak perjuangkan, Mbak cukupi kehidupannya sampai merantau di sini mau rawat Mbak? Okelah, mungkin salah satu dari mereka punya hati dan mau nglakuin itu. Tapi jangan lupa, Mbak, mereka punya keluarga. Mbak yakin keluarga mereka, terutama adik ipar Mbak mau terima Mbak?"

Erni menjeda. Wanita itu memakan kolaknya. "Okelah mungkin ada salah satu adik ipar Mbak yang mau nerima Mbak, tapi yakin keluarga adik ipar Mbak terima Mbak diurus mereka? Aku sih gak yakin."

Dadaku sesak detik itu juga. Kalimat Erni begitu hebat menembus jiwa, menyelinap dalam rongga dada melalui rungu, menjadikan pembuluh darah sebagai lintasan.

"Kenapa kamu gak yakin?" tanyaku dengan suara bergetar. "Kamu gak kenal keluargaku!"

Wanita itu memutar bola matanya sebelum manatapku semakin lamat. "Aku emang gak kenal mereka, Mbak. Tapi, asal Mbak tahu, satu-satunya orang yang mau diajak susah senang, bahkan hidup bersama sampai maut memisahkan itu cuma pasangan. Yang sudi merawat orang tua itu cuma anak yang punya hati. Gak ada tuh dalam kamus kehidupan namanya adik. Apa lagi kalau adik Mbak udah punya keluarga, udah pasti mereka akan lebih mentingin keluarganya daripada Mbak, orang lain."

“Keluargaku gak kaya gitu!” tegasku dengan mimik wajah sangat tak bersahabat.

Dengan tanpa dosa Erni tertawa renyah, mengejek. Ini bukan pertama kalinya aku melihat perempuan itu tertawa renyah, tetapi aku sangat benci tawanya detik ini, nada mengejek teramat ketara. Aku mengepalkan tangan, Erni sangatlah lancang. “Stop!”

Taw Erni mendadak berhenti. Dengan tanpa dosa dia kembali menatap wajahku, menampilkan wajah bingung. “Kenapa sih, Mbak?” Dia mencomot kolaknya dengan netra tetap menatapku. “Aku bicara sebuah kebenaran, Mbak. Ini semua kebenaran.”

“Dari mana kamu tahu kalau itu kebenaran?”

Erni menatapku intens, tersenyum samar. “Aku memang gak punya bukti apapun, Mbak. Tapi suatu saat nanti kamu akan membenarkan semua ucapanku.”

Jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Mendadak aksaraku hirap. Mendadak aku membenci Erni. Ingin rasanya aku berlari detik ini juga. Namun, entah mengapa seluruh tulangku seolah kehilangan fungsinya. Jangankan untuk berlari, sekadar menggeser tubuh untuk menciptakan jarak pun aku tak mampu. Sehebat ini Erni menghipnotisku. Sekuat itu kalimat Erni memenjarakanku.

Erni menunduk sekilas. Senyumnya hirap. Dia kembali menatapku dengan tatapan yang tidak kumengerti. “Aku sudah mencecap banyak kepahitan di dunia ini, Mbak.” Dia tertawa miris. “Tapi diantara semua kepahitan, yang paling kubenci adalah dimanfaatkan oleh orang yang katanya paling sayang dan cinta.”

Aku membeku mendengar penuturan itu. Detik selanjutnya Erni menikmati kolaknya dengan sangat tenang. Angin sore menyapu anak rambut rambutku. Mendadak amarahku hirap saat mengamati perubahan ekspresi Erni. Perempuan itu lak lagi mengeluarkan argumennya. Mendadak aku bertanya-tanya, kenapa semudah itu dia berhenti bicara? Biasanya perempuan itu tidak pernah memberi jeda sedikit pun tanpa suaranya.

“Ada, orang yang terlihat paling cinta dan sayang memanfaatkanmu?” tanyaku spontan. Setelah kalimat itu meluncur bebas, aku membekap mulut dengan tangan, menyadari pertanyaanku teramat lancang. Namun, sungguh, ini pertanyaan yang sama sekali tak terpikirkan sebelumnya. Aku tidak tahu alasan lain yang mendasari pertanyaan ini lolos begitu saja selain ‘ingin tahu’.

Erni beralih menatapku sekilas sebelum kembali mencomot kolaknya. Aku semakin merasa bersalah saat menyadari perempuan itu melihatku membekap mulut. Namun, responsnya jauh berbeda dengan yang kupikirkan. Dia malah kembali tertawa renyah. “Aku gak mungkin bisa omong kaya gitu kalau gak ngrasin sendiri, Mbak.”

Setelah mendengar jawab itu aku bungkam. Dalam benak sebenarnya sudah terlintas banyak sekali pertanyaan, seperti; siapa mereka? Kenapa bisa setega itu? Berapa lama? Kamu gimana? Dan banyak lagi. Namun, sekuat tenaga aku mengunci rapat mulutku, tak ingin rentetan pertanyaan yang hanya berlandaskan rasa ingin tahu menyakiti perasaan orang lain. Erni satu-satunya teman dekatku di sini. Aku tak ingin kehilangan teman dekatku hanya karena keegoisanku.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status