Share

Bab 5: Tidak Boleh Menikah

“Masa depan kamu iya Ibu, Bapak, sama Adik-Adikmu.”

-o0o-

Malam semakin larut. Aku baru saja merampungkan seluruh pekerjaan lima menit lalu. Setelah mengoleskan minyak urut dan mengurut perlahan bagian tubuh yang terasa sakit, aku meraih handphone. Ada lima panggilan masuk dari Siti, adik ketigaku.

Tumben sekali anak ini, batinku.

Tanpa pikir panjang aku balik meneleponnya. Baru beberapa detik langsung diangkat. Suara renyahnya menyapa rungu. “Assalamualaikum, Mbak Mei Meiku tercinta.”

Mei Mei, itu panggilan sayang dari perempuan beranak satu itu. Dia sengaja memanggilku Mei Mei karena terinspirasi dari kartun Upin Ipin, juga karena aku bekerja di negara tempat Upin Ipin. Kedua sudut bibirku dengan refleks terangkat sempurna. “Waalaikumsalam adik cantiknya Mbak.”

Terdengar dia tertawa renyah. Aku ikut tertawa.

“Kamu di mana, Nduk?” tanyaku saat tawa kami mereda.

“Di rumah Ibu. Zafar setengah bulan lagi kan menikah. Mbak sudah tahu, kan?”

Aku mengangguk meskipun Siti tidak melihatnya. “Iya, sudah.”

“Cepat banget, iya. Tiba-tiba sudah mau nikah saja,” lanjutku dengan nada seringan mungkin. Pasalnya untuk hal ini aku benar-benar tidak menyangka.

“Terus Mbak kapan?” tanya Siti. Untuk pertama kalinya perempuan itu menanyakan hal demikian padaku. Nada suaranya terdengar ragu. Aku yakin detik ini dia menggigit bibir bawah karena merasa pertanyaannya cukup lancang.

“Mbak ada rencana menikah, kan?” tanyanya dengan nada memastikan. Ah, sepertinya aku salah menganggapnya merasa bersalah mengutarakan pertanyaan sebelumnya. Jika memang begitu, pastinya dia tak akan melanjutkannya dengan pertanyaan baru yang menjurus pada hal serupa.

“Ada. Layaknya perempuan normal Mbak juga pengin menikah.”

Kelengangan tercipta begitu saja. Semilir angin yang masuk dari sela jendela membekukan aksara kami, sebelum akhirnya Siti berujar meminta izin. “Mbak, Ibu mau bicara sama Mbak. Aku serahin handphonenya ke Ibu, iya.”

Detik selanjutnya suara wanita yang memiliki rambut dua warna, hitam dan putih, menyapa pendengaran. “Lasmi, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Senyumku kembali mengembang, bahagia mendengar suara wanita itu.

“Ibu sedang apa?”

“Kumpul sama adik-adikmu, mulai sibuk buat persiapan nikahannya Zafar.”

Aku mengangguk kecil mendengar penjelasan Ibu. “Uang yang kukirim sudah masuk, kan, Bu?”

“Sudah. Sedikit sekali.”

Suara Ibu terdengar sedikit kecewa. Bagi orang yang memiliki hajat pernikahan memang nominal itu sangatlah sedikit, tetapi bagiku, itu sangatlah banyak. Itu uang tabunganku.

“Uang segitu cuma cukup buat dekor dan rias,” tutur Ibu dengan enteng.

Mendadak senyumku berubah teramat miris. “Maaf, Bu, aku cuma bisa bantu segitu. Sisanya aku tabung, buat masa depan.”

Terdengar Ibu mengembuskan napas berat. “Masa depan apa? Bukannya sekarang kamu sudah ada di masa depan, iya.”

Mendadak aku menahan napas beberapa detik. Penuturan Ibu membuatku mendadak mengingat Erni. Aku yang selalu berusaha berhusnuzon mendadak memiliki pikiran kurang baik pada Ibu. Aku tidak ingin semakin berburuk sangka pada Ibu, jadi kuputuskan bertanya, “Maksud Ibu?”

“Iya, kan memang sekarang kamu sudah ada di masa depan. Masa depanmu iya ini.”

Aku bungkam. Yang kutangkap dari maksud penuturan Ibu hanyalah, selamanya aku hanya akan seperti ini. Mendadak aku mengingat penuturan Erni. Menjadi TKI tanpa memikirkan masa depan itu sama seperti mencalonkan diri menjadi budak selamanya. Apa mungkin selama  ... lagi-lagi aku mengingat penuturan Erni. Mbak itu cuma ATM berjalannya keluarga Mbak. Gak lebih dari itu.

Berulang kali aku menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran buruk tentang keluargaku.

“Masa depan kamu iya Ibu, Bapak, sama Adik-Adikmu.” Ibu melanjutkan kalimatnya. Bagiku itu sebuah penegasan. Aku mulai menangkap sinyal-sinyal yang bagiku sangatlah tak enak.

“Aku pengin menyaksikan pernikahan Zafar. Selama ini aku gak pernah menyaksikan adikku menikah.” Itu keinginan dari dalam hati. Selama mengadu nasib di sini aku sudah pulang kampung empat kali. Paling lama aku di rumah dua puluh empat hari, lantas berangkat lagi.

“Gak usah pulang, lah. Kamu di sana aja baik-baik, kerja yang baik. Uangnya saja yang pulang.”

Detik ini juga nyawaku seolah dicabut paksa oleh malaikat Izroil. Tubuhku membeku, dadaku memanas, aliran darahku seolah berhenti. Ini sudah sangat ... aku yang terlalu bodoh selama ini. Mungkin memang benar seluruh penuturan Erni.

“Ibu memang gak rindu sama aku?”

“Rindu. Tapi kalau kamu pulang, siapa yang kerja? Bapakmu sudah gak bisa kerja, Ibu juga.”

Kalimat itu ... Ibu kembali menancapkan belati dalam dada. Jawaban itu sangat diluar espektasiku. Ah, mungkin aku terlalu berharap pada Ibu. Bagaimanapun, beliau tetaplah manusia. Aku baru sadar penuturan Ali bin Ai Thalib yang pernah kubaca dari media sosial penulis. Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap pada manusia.

Air mataku terjun bebas. Kali ini aku membiarkannya mengalir begitu saja. Lagi pula tidak ada yang melihat. Lagi pula aku sendirian dalam kamar ini. Meskipun begitu, aku berusaha agar tak sampai terisak, tak ingin Ibu menyadari aku menangis.

“Aku pulang menikah iya, Bu?” Entah pertanyaan ini memang keinginanku atau karena terusik penuturan Erni, aku kurang paham. Yang kutahu detik ini aku benar-benar ingin tahu respons Ibu terhadap pertanyaanku. Agar aku bisa menyimpulkan mengambil langkah seperti apa kedepannya.

“Ngapain pulang? Kerja aja di sana, kan enak.”

Bagai ditancapkan puluhan anak panah, penuturan itu sukses membuat air mataku semakin deras.

“Memang Ibu gak pengin nimang cucu dari aku?” tanyaku penuh keberanian. Sebelumnya aku tak pernah seberani ini.

“Buat apa? Kan Minah sama Siti udah punya anak. Anak Minah dua, Siti satu. Udah banyak cucu Ibu. Kalau Heni hamil, cucu Ibu nambah lagi. Juga Zafran kan udah mau nikah. Kalau istrinya hamil, cucu Ibu nambah lagi. Udah banyak. Kamu kerja aja di sana. Gak usah mikirin ngasih Ibu cucu.”

Bagai tersayat-sayat, penuturan itu sangatlah menyakitkan. Aku membekap mulut kuat, tak ingin isakan yang cukup brutal lolos Ibu dengar. Kukumpulkan seluruh kekuatan yang tersisa untuk kembali bertanya. “Terus kalau aku gak menikah, kalau udah tua gimana, Bu?”

“Iya sama Ibu aja, lah.”

“Kalau Ibu meninggal.”

“Iya enggak, pokoknya kamu sama Ibu aja. Nafkahin Ibu sama Bapak.”

“Ibu benar-benar gak pengin lihat aku menikah?”

“Kamu sama Ibu saja.”

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status