Share

Bab 3: Biaya Pernikahan Zafar

“Apapun alasan berkorban, jangan kesampingkan diri sendiri.”

-o0o-

“Mbak, aku mau nikah. Mbak bantu biaya, iya.”

Suara Zafar dari layar handphone menggema memasuki rungu. Kuamati wajah lelaki pemilik jambang tipis itu dari layar handphone. Mimik wajahnya terlihat penuh harap. Aku tersenyum tipis. Cepat sekali tiba-tiba dia mau menikah. Padahal saat kutinggal mengadu nasib di negara orang dia baru saja disunat.

“Serius mau nikah?” tanyaku dengan kedua sudut bibir terangkat sempurna.

Lelaki itu menaikkan sebelah alisnya. “Iya serius lah, Mbak. Masa bercanda.” Aku terkekeh kecil. “Mbak bantu biaya, iya,” lanjutnya penuh harap.

Sepertinya baru minggu lalu Erni bilang, sebentar lagi adik terakhirku akan menikah dan hanya aku yang belum. Sekarang benar-benar akan terjadi.

“Usiamu masih berapa kok sudah mau menikah?” tanyaku sedikit tak rela adik bungsuku menikah diusia yang sangat muda. Terlebih dia lelaki. “Apa gak enaknya kamu kerja dulu, dikumpulkan, biar masa depanmu dan istrimu cerah nantinya.”

Zafar menggeleng. “Orang tua pacarku menyuruhku cepat-cepat menikahi putrinya. Kalau enggak, putrinya akan dijodohkan sama pria lain.” Air muka Zafar mendadak berubah datar. “Apa lagi pacarku itu anak pertama, orang tuanya ingin segera menimang cucu.”

Tidak ada yang salah dengan kalimat Zafar, tetapi entah mengapa ada yang aneh dalam dadaku. Mendadak kalbuku nyeri mendengar kalimat terakhir Zafar. Anak pertama, orang tuanya ingin segera menimang cucu. Lantas bagaimana dengan aku? Apakah sebenarnya orang tuaku juga sempat ingin segera menimang cucu dariku? Atau malah mereka sama sekali tak memikirkan itu? Karena pada kenyataannya Ibu dan Bapak saat kita berkabar tidak pernah bertanya kapan aku berencana menikah. Atau selama ini mereka terlampau menghargaiku hingga tak tega melontarkan kalimat itu?

“Orang mana, Le?”

“Sumber Jambe.”

Aku mengangguk kecil. “Suku Jawa?”

Zafar menggeleng mantap. “Bukan, Mbak, tapi Madura.”

Aku mengangguk mengerti. Jelas saja orang tua perempuan itu menyuruh Zafar segera meminta putrinya. Orang suku Madura terkenal dengan nikah muda, bahkan banyak anak yang baru lahir sudah dijodohkan. Bahkan, kalau orang tua mereka sebelumnya bersahabat baik, masih dalam kandungan pun sudah dijodohkan.

“Gak pengin kerja dulu saja, Le. Kamu masih sangat muda.”

Bukannya aku tak suka adik bungsuku menikah mendahului aku. Hanya saja, aku khawatir dia belum puas menikmati masa muda dan malah menyesal dikemudian hari. Usianya masih dua puluh tiga tahun. Masih enak-enaknya mencari pengalaman sebanyak mungkin untuk ukuran lelaki.

“Menikah gak semudah yang kamu bayangkan, Le. Setelah menikah—“

“Udahlah, Mbak. Aku paham. Aku ngerti, kok. Mbak gak perlu ceramahi aku untuk hal kaya gini. Aku bukan anak kecil lagi. Aku kan cuma minta Mbak bantu aku biaya, itu saja. Bukan malah bantu ceramah. Secara kan diantara kita semua yang pekerjaannya paling enak dan penghasilannya paling besar itu Mbak saja.”

Tiba-tiba hatiku teramat nyeri mendengar penuturan Zafar. Semudah itu dia melontarkan kalimat tersebut. Apa katanya, diantara kita semua yang pekerjaannya paling enak dan penghasilannya paling besar itu aku? Tidakkah dia berpikir, aku hanya seorang pembantu. Dan apa katanya, pekerjaanku paling enak? Tenaga diperas bagaikan sapi perah itu enak?

“Mbak di sini kerja gak peduli kaya gimanapun kondisi badan kamu bilang enak? Mbak kerja udah kaya budak, tenaga diperas kaya sapi perah asal kamu tahu.”

Zafar bungkam. Mataku memanas menatap netranya melalui layar gawai. Suaraku bergetar. “Jadi selama ini kamu ngira Mbak kerja enak-enakan?” Aku tertawa renyah. “Kamu belum tahu, Le. Kamu belum tahu apapun. Kamu belum tahu semati-matian apa Mbak di sini. Atau sebenarnya kamu tahu tapi menolak gak tahu.” Aku tersenyum miris. “Mbak yakin kamu bukan orang bodoh yang gak ngerti kaya apa pekerjaan TKI jadi pembantu. Secara diantara kita semua sekolahmu paling tinggi. Kamu lulusan SMK. Mbak ingat betul karena Mbak yang biayain sekolah kamu.”

Zafar membuang wajah. “Jadi Mbak ngungkit semuanya?”

Aku menggeleng. Sungguh sedikit pun dalam hati tak ada niatan untuk mengungkit. “Mbak hanya pengin kamu ingat saja. Gak lebih.”

“Apa bedanya sama mengungkit? Sama saja!” Suara Zafar naik satu otkaf. Wajahnya lebih datar dari sebelumnya.

“Iya udah, lah, Mbak. Ada tamu, aku matiin dulu,” ucapnya sebelum sambungan Vidio Call terputus secara sepihak.

Baru saja hendak menimpali kalimat Zafar, tetapi lelaki itu lebih dulu mengakhiri. Aku tidak yakin kalau di rumah betul-betul ada tamu. Karena yang kutangkap dari wajahnya, dia seolah ingin cepat-cepat menghindar. Tak ingin perdebatan ini semakin runyam.

***

“Lasmi, adikmu mau menikah. Dibantu biaya, iya. Kamu tahu sendiri kan kalau Bapak dan Ibu gak kerja.” Penuturan Bapak memasuki rungu. Nada bicaranya yang teramat halus membuat amarahku pada Zafar mendadak hirap. “Gak banyak gak apa-apa. Yang penting cukup.”

Tanpa pikir panjang aku mengangguk mantap. Ini pertama kalinya Bapak meminta padaku.

“Maaf karena Bapak gak kerja, semua bebannya ada dikamu. Soalnya Bapak gak tahu harus minta tolong siapa lagi, secara kamu tahu sendiri keadaannya.”

Lagi-lagi aku mengangguk mantap. “Bapak tenang saja. Lasmi akan bantu biaya Zafar menikah sama kaya bantu biaya Minah, Siti, dan Heni.”

Kedua sudut bibir Bapak terangkat sempurna. Keriput-keriput di wajahnya sangatlah ketara. Tiba-tiba Bapak terbatuk-batuk cukup hebat. Tubuh kurus keringnya terlihat memprihatinkan.

“Bapak gak apa-apa?” tanyaku khawatir. Setiap melihat pemandangan seperti ini aku selalu ingin cepat pulang, duduk di samping Bapak, memijit tubuh ringkih itu, menyiapkan seluruh keperluannya.

“Gak apa-apa. Kamu tenang saja,” tutur Bapak seraya tersenyum manis. “Ini suda biasa.”

Aku tahu betul itu hanya kalimat penenang yang selalu Bapak ulang-ulang untukku, agar aku tak khawatir, agar aku tenang bekerja di sini.

“Kamu baik-baik di sana iya, Lasmi.” Aku mengangguk mantap, tersenyum manis. Tanpa Bapak ketahui batinku meraung, menangis sesegukan. Aku sangat terharu mendengar kalimat Bapak. Ah, ralat, lebih tepatnya aku selalu terharu mendengar kalimat singkat Bapak yang selalu diulang-ulang setiap kita berkomunikasi. Andai saja yang mengutarakan ini Ibu, mungkin aku lebih bahagia, mungkin seluruh lelahku mengadu nasib di sini tidak akan terasa, mungkin badanku yang sering terasa remuk dengan mudahnya kembali bugar.

“Pasti, Pak. Makasih,” jawabku lirih, masih dalam keadaan teramat terharu.

Detik berikutnya Bapak kembali terbatuk, lebih parah dari sebelumnya. Aku yang tak bisa membantu Bapak sedikit pun hanya mampu beristigfar, menyebut nama Allah berulang kali, memekik, menangis.

Ya Alah Bapak ....

Tak hanya itu, aku juga memanggil Ibu, Minah, Siti, Heni, Zafar, berharap salah satu dari mereka ada yang datang membantu Bapak.

“Bapak gak apa-apa,” tutur Bapak saat batuknya mereda.

“Kamu cepat pulang, menikah. Sudah iya, Bapak mau istirahat.”

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status