Malam itu, meja makan keluarga Ardhanata tampak tertata rapi seperti biasa. Ajeng duduk lebih dulu di sisi kanan meja, dengan punggung tegak dan tatapan waspada. Begitu langkah kaki terdengar, tatapannya langsung berpindah ke arah pintu ruang makan. Daryan masuk lebih dulu. Di belakangnya, Savana melangkah pelan. Begitu Daryan duduk di ujung meja, Ajeng bersiap membuka mulut. Namun belum sempat satu kata pun meluncur, Daryan mendahuluinya. “Jangan merusak suasana, Ma,” ucapnya datar, namun tegas. Ajeng mengatupkan bibirnya, rahangnya sedikit mengeras karena kesal ditegur di awal makan malam. Savana hanya diam, menunduk sopan lalu berjalan mengitari meja. Ia mengambil piring Daryan dengan tenang, lalu menyendokkan nasi ke atasnya, disusul lauk pauk satu per satu dengan porsi yang pas. Gerakannya lembut dan hati-hati. Daryan hanya melirik sekilas ke arahnya, membiarkan Savana menunaikan tugas kecilnya sebagai seorang istri. Savana meletakkan piring yang sudah terisi di hadapan s
"Permisi, Pak." Daryan mengangkat kepala dari tumpukan berkas. Pandangannya bertemu dengan Mega yang berdiri sopan di depan meja kerjanya. “Makan siang sudah saya siapkan di ruang tamu, Pak. Dan ... Bu Savana tertidur,” lapornya hati-hati. Daryan hanya diam sejenak, sebelum mengangguk pelan. “Terima kasih.” Mega pamit keluar dengan tenang. Setelah pintu tertutup, Daryan bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ruang tamu privat yang memang disediakan khusus untuk kenyamanannya di lantai eksekutif. Saat membuka pintu, Daryan menemukan Savana tertidur di sofa panjang dengan posisi menyamping. Rambutnya yang panjang sebagian jatuh menutupi wajah. Napasnya halus dan teratur. Langkah Daryan melambat. Ia mendekat perlahan, menatap wajah istrinya dalam diam. Tanpa sadar, tangannya terulur dan menyelipkan helaian rambut yang mengganggu wajah Savana ke belakang telinga. “Kamu pasti sangat lelah,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Baru saja ia akan berdiri tegak kembali, Savana me
Daryan baru saja keluar dari kamar mandi, mengenakan handuk yang melilit pinggang lebarnya. Tubuh bagian atasnya dibiarkan terbuka, memamerkan tubuh atletisnya. Tiba-tiba pintu wardrobe diketuk dari luar. "Mas udah selesai mandi?" Tanya Savana dari balik pintu yang ia buka sedikit. "Udah, kenapa?" Jawab Daryan dengan nada rendah. "Udah pake baju?" Daryan mengerutkan kening. Kakinya melangkah menuju pintu dan membukanya lebih lebar. Di hadapannya, Savana berdiri dengan mata membulat ketika melihat sosok suaminya yang hanya mengenakan handuk. Mukanya memerah. "Kamu mau pake kamar mandi?" Daryan bertanya. Savana buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Saya mau mandi bentar. Tapi tunggu saya ya, mas? Saya mau ikut mas ke kantor." Dahi Daryan kembali mengernyit, "Mau ikut? Ngapain?" "Ikut aja. Ga boleh, ya? Kalau ga boleh ga apa-apa, tapi saya nebeng mas keluar dan nanti mas turunin saya di cafe," pintanya, hati-hati melirik wajah suaminya itu. Daryan menatap Savana beb
Pelayan membukakan pintu utama saat mobil Daryan berhenti di depan mansion. Daryan keluar lebih dulu, kemudian berbalik membantu Savana turun dari mobil. Savana berjalan pelan di belakangnya, masih menunduk sejak tadi. Di ruang tamu, Ajeng tengah duduk anggun dengan secangkir teh. Di sampingnya ada Bella yang menatap sosok Savana dengan tatapan tajam. "Ngapain dia pulang ke sini?" desis Ajeng. Nadanya sinis, dingin, dan penuh penghinaan. Bella menahan senyum di balik gelas teh, seolah ikut menikmati drama yang akan dimulai. Savana menelan ludah, tapi sebelum ia sempat bicara, Daryan sudah berdiri di hadapannya, menghadang pandangan sang ibu. “Dia istriku.” Suara Daryan tegas, dalam, tanpa ragu sedikit pun. “Dan rumah ini juga rumahnya.” Ajeng berdiri, meletakkan cangkirnya dengan dentingan ringan. “Rumah ini milik keluarga Ardhanata, Daryan. Bukan tempat menampung—” “Aku juga pemilik rumah in,” potong Daryan. “Dan sebagai istri pemilik rumah, tentu Savana tinggal di sini.” S
Mobil berhenti perlahan di depan rumah Hana. Tak ada yang berkata-kata saat Daryan membuka pintu mobil dan membantu Hana turun dari kursi roda. Ameer menggandeng lengan istrinya. Selanjutnya, Daryan membantu Savana membenahi tas-tas dan koper kecil milik sang ibu. Savana tersenyum tipis saat membantu Hana duduk di sofa, lalu mengatur bantal sofa di belakang punggung ibunya. “Akhirnya bisa sampai rumah juga,” gumam Hana sambil memejamkan mata sejenak. “Kalau begitu saya pamit dulu.” Suara Daryan memecah keheningan. Ia berdiri tegak di depan pintu, pandangannya berpindah dari Hana ke Savana. “Sav, ayo.” Savana menoleh, lalu tersenyum kecil. “Saya ... ga ikut, mas,” katanya pelan. Daryan mengernyit. “Kenapa?” “Saya mau jagain mama di rumah, mas. Setidaknya sebulan ke depan, sampai mama benar-benar pulih. Saya juga bisa berangkat ke kampus dari sini,” Ruangan seketika hening. Daryan tidak langsung menjawab, tapi sorot matanya berubah. Ia menatap Ameer, ingin tahu tanggap
Suara koper diseret dan kardus dilipat terdengar samar di antara obrolan pelan di dalam ruang rawat inap Hana pagi itu. Savana membungkuk merapikan sisa baju di lemari kecil, sementara Ameer sedang mengecek ulang dokumen administrasi rumah sakit. “Ini baju mama yang terakhir, ya,” ujar Savana sambil menutup resleting tas jinjing besar. “Udah ga ada yang ketinggalan.” Hana duduk bersandar di atas tempat tidur yang kini sudah rapi tanpa selimut. Wajahnya jauh lebih segar, meski masih terlihat lemah. Di pangkuannya, selimut tipis dilipat rapi oleh tangannya sendiri. “Semuanya sudah diberesin?” tanyanya pelan, matanya menatap sang anak. “Udah, ma. Tinggal nunggu kursi roda buat anter mama ke mobil,” jawab Savana sambil tersenyum manis. Hana mengangguk pelan. Tatapannya jatuh sebentar ke arah Ameer yang tengah berbicara dengan perawat di luar ruangan. Begitu pria itu masuk lagi sambil membawa map, suasana sedikit kaku. “Ini surat rujukan kontrol ke dokter jantung, untuk dua minggu k