“Diam! Bisa diam nggak, sih? Anak nakal, diam nggak? Kalo nggak diam Tante cubit lagi. Mau?” Jeni menarik tangan mungil Reni ke kamar mandi.
Reni meredamkan suara cemprengnya. Bocah itu sesenggukan karena tangisnya membikin kulit-kulitnya membiru. Namun, bocah itu pandai juga meski akalnya belum sempurna. Dia selalu mengangguk kala Jeni mengomel, dan ... ketika Jeni lengah, dia berlari keluar rumah tanpa pakaian.“Ante atan ... hu-hu-hu, Ante atan! Nek ... Ante atan!” Reni terus meraung sambil mengatakan kalimat balita. Tidak semua orang mengerti makna kalimat tersebut, tetapi setidaknya banyak orang peduli.Kebetulan pagi itu banyak ibu rumpi sedang jajan sayuran di warung depan rumah Verry. Otomatis semua orang berlari mengejar Reni. Meski tujuan Reni tidak terlalu jauh, tetapi bagi balita sekecil itu sangat berisiko kala berlarian sendiri di jalanan ramai.“Ya Allah ... Reni ... Nak! Eh, kenapa Reni nggak pake baju?” tanya seorang ibu muda saat berhasil menangkap Reni.“Enek ... Ante atan, hu-hu-hu.”Semua orang saling tatap, lalu menggeleng. “Saya juga nggak tau, coba aku panggil Dani dulu.” Salah seorang ibu memanggil anak balitanya yang agak lebih besar dari Reni.Reni kembali berceloteh mengadukan semua pada ibu-ibu di sana. Setelah beberapa kali tidak ada seorang pun paham, kini Dani berhasil menerjemahkan bahasa Reni ke semua orang.Dari dalam ruang tamu, Jeni cuma bisa merapalkan doa agar keberadaannya tidak sampai terendus oleh warga.“Loh, memangnya di rumah Verry ada Vina?” tanya Bu Rita pada lainnya.“Ya nggak mungkin Vina di sana, dia kan sudah bersuami, tinggalnya juga di Jawa Timur. Kalaupun ke sini pasti menginapnya di rumah Mbak Darmi. Wah, jangan-jangan Verry kumpul kebo?”Berbekal curiga, empat ibu tadi memanggil ketua RT dan RW. Sambil menggendong Reni, warga menggedor pintu rumah milik Verry.Nyali Jeni menciut, pasalnya Verry sudah mewanti-wanti jangan sampai bayangannya menyentuh tanah. Dia takut ditinggalkan Verry, padahal sudah punya calon suami sendiri.Diketuk berkali-kali sampai Pak RT mengeluh panas tangannya, pintu masih anteng tidak dibuka. Karena terlalu lama ibu-ibu geram diabaikan. Mereka berinisiatif menggertak Jeni dengan ancaman pintu akan didobrak.Merasa berada di antara dua petaka, Jeni maju mundur memegang kunci pintu. “Astaga, bisa-bisanya aku dikibulin bocah ingusan! Buka salah, nggak buka juga salah. Gimana, ini?” Jeni mengaitkan jemarinya.“Kami hitung sampai lima kali, kalau Anda belum juga mau membuka, ini kami dobrak!” teriak Pak RT.“Verry memang nggak tau terima kasih, sudah bagus Fia perempuan baik-baik, eh dia malah berulah lagi. Kalo begini nggak cuma kasian sama Fia, kan, tapi juga Reni.”“Mbak Darmi juga aneh, aku rasa dia tau Verry nyimpen perempuan lain. Dah, Pak, dobrak aja.”“Iya, dobrak. Ayo, Pak!”Pak RT melemparkan tubuh ke pintu dengan ritme pelan.Ceklek! Jeni mengubah penampilan seronok menjadi lebih kalem. Dia juga menyuguhkan senyum terbaik dengan wajah memelas.“Bapak sama Ibu siapa, ya? Maaf, saya lagi nyuci baju di dalam, jadi nggak dengar kalau banyak orang di luar. Loh, Nak ... Reni kok sama ibu-ibu, bukannya tadi Reni ikut Ayah?”Para ibu-ibu itu mencebik tak percaya. Menatap Jeni dengan tatapan intimidasi. Beda dengan Pak RT dan Pak RW yang membalas senyum Jeni.“Ante atan.”“Noh, kamu dengar sendiri kan, Reni bilang apa? Jangan-jangan, kamu nggak ngerti lagi bahasa Reni. Wah benar ini, Pak, pasti dia simpanan Verry.” Bu Nindi memberi tatapan elang pada Jeni.“Pak! Jangan bengong! Ayo seret dia. Bahaya kalo desa kita ada perempuan macam dia.” Bu Ruminah menarik tangan Jeni tanpa mau mendengar penjelasannya lebih dulu.Jeni berpegang pada kusen pintu, dia masih mencoba bersikap lembut untuk mengelabui orang-orang itu. “Maaf, Bu, Pak ... saya salah apa? Saya ini tantenya Reni, adik dari Mbak Fia.”Pak RT dan Pak RW saling tatap, lalu manggut-manggut pertanda mereka mempercayai pengakuan Jeni. Namun, menghadapi ibu-ibu tidak semudah bayangan Jeni. Mereka terus mendesak Jeni mengaku dengan meminta kartu identitas miliknya. Tak kehabisan ide, Jeni beralibi kalau dia kehilangan seluruh barang berharganya ketika berada di stasiun.Bukan ibu-ibu namanya kalau gampang percaya dan menyerah begitu saja pada perempuan mencurigakan. Mereka tidak akan menyerah kalau belum mendapatkan bukti akurat bahwa Jeni memang bukan perempuan berlabel wanita idaman lain.“Apa buktinya kalo kamu adiknya Fia? Ayo, cepat ambil KTP dan KK punyamu. Rum, kamu pakaikan baju Reni dulu, Dek Dila kamu panggil warga lain.” Bu Nindi mendorong Jeni ke dalam rumah.Pak RT bingung sendiri karena ibu-ibu bergerak tanpa persetujuannya dan Pak RW. “Lah, bagaimana ini, Pak?”Pak RW menahan tangan Bu Nindi. “Bu, jangan arogan, kita bisa menyelesaikan masalah ini baik-baik. Ini rumah Verry, lebih baik kita tunggu pemilik rumah datang.”“Wajar Bapak ngomong begitu, dasar laki-laki! Lihat yang bening dikit aja udah lemah! Sudah, Nin, kamu seret masuk aja perempuan itu. Tuman kalo dibaikin!” Bu Ruminah teriak dari dalam sambil memakaikan baju Reni.Jeni sudah panas dingin menahan emosi. Nyatanya berpura-pura lemah lembut bukan keahliannya. Dia sudah ingin sekali mencakar wajah Bu Nindi yang terus mendesaknya untuk mengambil kartu identitas.Aksi selanjutnya Jeni berbalik, dan memegang tangan Pak RW. Dia menangis-nangis memohon belas kasihnya agar mau percaya. Tujuannya jelas mengulur waktu sampai Verry datang.Malangnya, kehadiran Verry bersamaan dengan datangnya para warga yang dipanggil oleh Bu Dila.“Kalian kumpul kebo?” tanya sesepuh desa.Wajah Verry tampak merah padam, dia geram dengan kebodohan Jeni. “Dasar perempuan bodoh,” batinnya.“Jangan asal menuduh, Pak, dia itu sepupuku dari Sumatra. Anak dari pamanku yang di sana.”Warga yang baru datang sejenak reda, tetapi Bu Ruminah menertawakan lantang kebohongan mereka berdua.“Ha-ha-ha, aku jadi bingung, sebenarnya dia ini sepupumu, adiknya Fia, atau ... teman tidurmu?”Plak!“Jangan sembarangan kalo ngomong ya, Mbak!”Keributan semakin panjang. Pengelakan demi pengelakan terus dilontarkan oleh Verry dan Jeni. Namun, karena semua tidak terencana, mereka justru tampak sepasang selingkuhan tak bermoral."Mereka harus segera dinikahkan!"
Oh, iya ... akankah warga berhasil menguliti sosok Jeni? Atau, Dewi Fortuna masih memihak pada hubungan haram itu? Gimana reaksi Fiani kalau dia tahu kelakuan suaminya ini, ya? Tengkiyu yang sudah baca! Jangan lupa masukkan cerita ini dalam daftar bacaan kalian, ya. Vote dan komennya juga ditunggu.
Reni dibawa kabur oleh seorang perempuan. Fiani panik, dia teriak kencang sambil tangannya merogoh dompet dan menarik selembar uang, kemudian memberikannya ke Mang Es Krim. Ponsel dia masukkan saku celana, lalu berlari mengejar anaknya."Al ... Ali, Reni ... !" Fiani mengguncang lengan Ali, tangan kirinya menunjuk ke arah jalan raya. Lama direspn, Fiani berpaling. Rasanya tidak ada guna mengharap pertolongan Ali. Reni adalah anaknya, dia harus berusaha sendiri untuk dirinya."Tunggu." Fiani ditahan oleh Ali."Aku nggak punya waktu.""Tunggu dulu, ada apa sebenarnya?" Ali bertanya seolah dia tidak melihat kepanikan perempuan di depannya."Reni dibawa seseorang dan kamu malah bertanya ada apa?" Fiani geleng-geleng, dia menghempas tangan Ali yang mencengkeram pergelangannya.Akan tetapi, Ali kembali menangkap pergelangan tangan Fiani dan berkata, "Tenang, bisa jadi kamu salah lihat.""Kamu gila!" Fiani menginjak kaki Ali, dan mendorong tubuh pria tersebut cukup keras. Namun, usahanya ter
Satu bulan bukanlah waktu yang panjang untuk seseorang menunggu dengan keresahan. Sejak Ali melamarnya, dia enggan melihat detik jam berputar, begitu juga untuk melihat matahari di luar, Fiani malas."Ibu ... ayo beli jajan, Eni mau jajan, Bu." Reni menggoyang tangan Fiani yang sedang diam menatap televisi. Siang itu dia merasa bosan, dan mencoba menyalakan televisi. Namun, ternyata saluran pertama yang tayang adalah berita. Pembawa acara menyebutkan hari dan tanggal saat itu. Fiani kaget, dia sejenak diam dan menghitung berapa lama dia mengurung diri di rumah itu. Hingga suara rengekan Reni menyadarkan keegoisan dan nyalinya yang ciut. Harusnya dia berpikir bagaimana cara keluar dari tempat mengerikan tersebut, bukan malah meratapi hal yang baru direncanakan.Bukankah Tuhan penentu segala kejadian? Apakah imannya mulai lemah dengan berbagai ujian yang Tuhan berikan? Fiani terus berpikir, tidak sepantasnya dia menyerah dengan keadaan. Apa gunanya Tuhan memberi akal jika didiamkan."Bu
“Jaw ... .”“Tidak bisa!”Ali berdiri, meninggalkan Fiani.Fiani berlari, mengejar Ali yang melangkah lebar menuju lantai atas. Perempuan itu menarik tangan Ali. “Nggak bisa gimana? Kamu itu yang nggak bisa menghalangi orang mengambil keputusan! Aku mau tinggal berdua sama Reni, tanpa bayang-bayangmu lagi.”“Kita akan menikah.”“Menikah adalah hal besar, nggak bisa kamu asal ngomong, terus semua tercapai. Menikah itu kesepakatan, Li. Aku nggak akan pernah mau me ... ni ... kah, sama kamu!” Emosi Fiani mulai meledak-ledak.Fiani yakin kebaikan Ali memang tidak beres. Sekarang dia tertahan di sana, dengan orang yang sulit dipahami.“Masih ada waktu, satu bulan. Jadi belajarlah menerima semua ini. Kita akan menikah bulan depan.”Plak ... !Kesabaran Fiani habis, dia paling benci pria mempermainkan pernikahan. Kegagalannya di pernikahan terdahulu, bikin Fiani mawas diri. Tidak terbersit sedikit pun bahwa dia akan dinikahi oleh Ali.Tamparan di pipi Ali, membikin pria itu tersenyum. Detik
Pagi-pagi sekali, Fiani bangun dari tidur nyamannya. Itu adalah hari pertama menjalani kerja di tempat baru dengan orang lama. Masih bersama Ali, pria kaku dengan segudang rahasia. Itu hanya pandangan Fiani.Sebelum beraktivitas, Fiani berjalan ke ruang tamu – menyibak sedikit vitrase yang menutup jendela kaca. Menatap bangunan berlantai tiga di depan rumah kecil yang dia tinggali sekarang. Rumah mungil dengan ruang tamu ukuran 3x3, kamar + kamar mandi 6x6, dan dapur 3x4. Sangat nyaman bagi Fiani. Rumah itu memang diperuntukkan bagi asisten Ali.Cukup takjub dengan pencapaian Ali saat itu. Di usia muda, Ali sudah bisa membangun usaha sendiri. Namun, kadang terbersit rasa penasaran akan usaha-usaha milik Ali. Tentunya selain bergelut di hukum, Fiani yakin, Ali punya banyak bisnis mengular lainnya. Rasanya jika dipikir, kalau hanya dari satu sumber, tidak masuk akal Ali bisa sekaya itu.“Astaga, apa-apaan sih aku ini. Pagi-pagi udah ngurusin harta orang.” Fiani menutup vitrase. Dia masu
Hubungan yang telah terjalin lama, mendadak harus rusak gara-gara satu pihak menganggap pihak lain sepele. Suatu hubungan tidak akan awet ketika komitmen yang terjalin diabaikan.Komitmen? Fiani mengusap air mata, dia terlalu pusing memikirkan kesalahan fatalnya. Persahabatan yang terjalin dengan Arsa murni tanpa syarat. Bahkan sejauh itu, dia bingung dengan letak kesalahannya. Tamparan kemarin, Fiani rasa sangat pelan. Malah seingatnya dia pernah menampar Arsa lebih kuat.Di dalam mobil, Fiani terus berpikir keras. Sampai dia tidak menyadari mobil yang dikendarai oleh Ali berhenti di sebuah rumah makan.Fiani mendongak, dia agak terkejut ketika seseorang memberikan sapu tangan.“Bersihkan air matamu, setelah itu kita makan dulu.”“Aku nggak laper.”Ali memutar tubuh, dia menghadap Fiani yang tengah membersihkan wajahnya. “Saya tahu, tapi pikirkan kesehatanmu. Katanya mau merawat Reni sendiri.”Fiani semakin terisak. Mendengar nama Reni, dia ingat kebaikan Mama Lina, artinya semua ber
Ali menahan tangan Fiani, dia tidak membiarkan Fiani pergi bersama Arsa. Namun, Arsa murka. Pria berkulit kuning langsat tersebut, khawatir pada nasib Fiani jika harus kembali ke rumah yang berdekatan dengan rumah Verry, mantan suaminya.Sekalipun hanya semalam, Arsa tetap tidak rela. Dia tahu bagaimana Verry. Tabiat Verry sudah dihafal oleh Arsa. Pun dengan Fiani. Terlebih posisi Ali memang bukan siapa-siapa. Masalah hutang Budi, atau Fiani masih memiliki sangkutan dan tanggungan pembayaran jasa pengacara terhadap Ali, dia siap melunasi semua. Asal jangan berbuat semena-mena pada Fiani. Kalau dia bisa menjamin keselamatan Fiani sih, Arsa akan tenang. Namun, kenyataannya Fiani terancam celaka gara-gara Ali.Arsa berbalik, maju dua langkah. Matanya menatap Ali tanpa berkedip beberapa detik. Kemudian, dia mendorong bahunya, sampai Ali terhuyung hampir jatuh. Arsa melangkah lagi, dia mengangkat kepalan tangan, mengayunnya ke udara hendak dihempaskan ke wajah Ali. Akan tetapi, sebelum tin