Share

Bab 4

"Ma …."

"Iya, Sayang?" Tiara yang hendak melangkahkan kaki sontak menoleh ke Nana.

"Kata Remon, kalau orang sudah di surga itu berarti sudah meninggal. Apa benar?" tanya Nana ragu.

Mata Tiara sontak membola. Namun, dia berhasil mengendalikan ekspresinya dengan cepat.

"Iya, benar," jawab Tiara akhirnya meski dengan berat hati.

"Lalu … kalau sudah meninggal, berarti ada kuburannya? Apa itu benar juga ma?"

Tiara menelan ludah susah payah sembari membuang pandangan ke arah lain.

Sejujurnya, hal itu ia lakukan agar cairan bening yang sudah terkumpul di pelupuk mata tidak sampai jatuh menerjang pipi.

Dia tak ingin Nana melihatnya.

Dengan suara parau, Tiara kembali menjawab sang putri, "Iya, Sayang."

"Jadi, kapan mama mau mengajak Nana mengunjungi kuburan papa?"

DEG!

Kini, jantung Tiara berpacu lebih cepat dari biasanya.

Cairan bening yang ditahan, akhirnya luruh tanpa bisa lagi ia cegah. Sayangnya, Nana menangkap pergerakan Tiara tengah mengusap pipi.

"Loh, kenapa mama menangis? Apa mama juga merindukan papa? Sama seperti Remon, dia juga menangis jika merindukan papanya yang lama tidak pulang berlayar."

"Tapi, Nana tidak bisa melakukan itu karena Nana sendiri tidak tahu seperti apa wajah papa," lirih anak itu lagi dengan pandangan tertunduk lesu.

Tiara akhirnya menarik nafas dan menenangkan diri. Dia tidak bisa seperti ini! Dengan secepat yang ia bisa, Tiara pun memikirkan alasan untuk putrinya yang cerdas ini.

"Nggak, Sayang. Mama gak menangis, ini ada debu yang tiba-tiba masuk mata mama," ujarnya disertai senyuman palsu saat mengangkat pandangan Nana.

"Weekend ini kita mengunjungi makam papa, ya … Tapi, dengan syarat. Mama ingin melihat putri mama yang cantik jelita ini tersenyum. Mama juga tidak suka melihat ini."

Tiara menyentuh bibir Nana dengan jari telunjuknya. "Manyun seperti ini, nanti orang-orang yang melihatnya malah gemas, dan ingin mencubitnya, bagaimana?"

Seketika Nana tersenyum ceria lagi.

Tidak hanya itu, seperti biasa, Nana akan langsung membalaskan dengan menunjukkan puppy eyes jika dipuji.

Siapapun yang melihat pasti merasa gemas.

Memiliki pipi chubby bersemu merah dan mata yang sedikit sipit–Nana akan terlihat begitu menggemaskan dengan tingkah itu.

Bahkan, Tiara saja yang melahirkan anak itu–tidak bisa menahan diri untuk segera menciumnya.

"Hahaha.. sudah ma, Nana geli," ucapnya sambil tergelak saat Tiara memberinya ciuman bertubi-tubi.

"Tapi mama janjikan weekend ini kita mengunjungi papa?" tanyanya sambil membenahi helmnya yang sedikit miring.

"Iya sayang, mama janji…."

"Yeay…! Akhirnya, Nana bisa melihat kuburan papa," serunya girang.

Tiara pun tersenyum.

‘Apa pun akan mama lakukan untukmu Na. Apa pun itu asal bisa melihatmu selalu tersenyum seperti ini. Bahkan, mama rela melepaskan nyawa jika pun itu sebagai gantinya. Karena hanya kamu alasan mama tetap bisa bertahan sampai detik ini, Sayang," batin Tiara menatap haru Nana yang masih bersorak kegirangan.

*********

Motor matic Tiara sudah tiba di depan pelataran rumah berbahan kayu.

Rumah sederhana namun tampak begitu asri dengan banyaknya tanaman bunga yang tumbuh mengelilingi teras–menyambut dirinya.

Di sinilah Tiara selama enam tahun terakhir mengasingkan diri–menjadi orang tua tunggal untuk malaikat cantiknya, Nana.

Menahan segenap rasa yang ada, hingga akhirnya ia memiliki keyakinan untuk kembali melanjutkan hidup, meski tidak bersama dengan orang-orang dari masa lalunya.

"Mbak Sari!" seru Nana sambil berlari mendekati wanita muda yang terlihat sibuk membersihkan rumput di sekitar bunga. "Mbak ngapain? Cari apa di situ?"

"Loh, Nana udah pulang?"

Gadis itu sontak memutar bola mata malas mendengar pertanyaan Sari.

"Kebiasaan, ih. Ditanya, pasti balik nanya. Udah tau Nana disini berarti udah pulang dong," jawabnya sedikit manyun.

Melihat itu, pengasuh Nana itu sontak tertawa. Dia memang senang mengerjai bocah cantik ini. Bahkan, tak jarang sampai Nana menangis.

"Hehe …. Iya, iya …. Mbak Sari minta maaf. Ini loh, tadi ada ulat besar makanya mbak buang, terus sekalian nyabutin rumput liarnya biar bunga kita tetap cantik," jelasnya sambil menunjuk ulat yang ternyata ada di dekat kaki Nana.

"Wah, Ini ulatnya, mbak?" tanya Nana penasaran.

Matanya tampak berbinar melihat makhluk silindris itu.

Tiara sendiri sudah bergidik ngeri melihatnya. Terlebih, saat Nana hendak menyentuh larva berwarna hijau daun itu, yang besarnya seukuran jari telunjuk orang dewasa.

"Jangan dipegang, Sayang! Mama jijik!" teriak Tiara, takut.

"Tapi, ini lucu, Ma! Lihat … kepalanya bisa gerak-gerak. Nana gemes pengen pegang," ucap Nana bersemangat.

"Jangan!" teriak Tiara lagi, "Sari, cepat cuci tangan Nana dan gantikan bajunya. Kalian berdua memang aneh, kenapa tidak merasa jijik sedikitpun dengan serangga itu," gerutu Tiara sembari masuk rumah lebih dulu meninggalkan Nana serta Sari-pengasuhnya yang saling beradu pandang.

"Apa mama marah, mbak?"

"Entahlah, mbak juga tidak tahu. Sudah ayo masuk, mandi sekalian ya, nanti kita jalan-jalan."

Setelah mencuci tangannya, Sari beralih menggandeng tangan Nana.

"Kita mau ke mana, mbak?" tanya Nana sambil mendongak.

"Ke kelapangan, di sana ada lomba layang-layang."

"Wah … Baiklah, ayo mandi," seru Nana bersorak girang.

********

Tiara terus berjalan cepat ke kamar.

Hari ini sungguh melelahkan.

Sesampainya di sana, Tiara langsung menghempaskan kasar tubuhnya ke atas ranjang.

Terlebih, hari ini juga diakhiri dengan ulat kecil di depan rumah. Yang semakin membuat Tiara kesal adalah hanya dirinya yang bergidik ngeri.

Baik Nana ataupun Sari tidak merasa jijik sedikit pun. Keduanya justru terlihat antusias membicarakan serangga menggelikan itu bagi kebanyakan orang.

"Aku harus sedih atau bahagia melihat Nana lebih banyak menurun dari papanya. Keberanian, serta rasa ingin tahunya yang tinggi. Terkadang, menurutku di luar batas wajar," gumamnya sambil menatap langit-langit kamarnya.

Terbayang seorang pria yang setia menemaninya. Sahabat yang tak pernah meninggalkan Tiara meski dia terpuruk.

"Mungkin, sudah saatnya aku membawa Nana menemuimu, Ziyan. Kamu tahu, dia benar-benar tumbuh menjadi gadis cantik seperti yang kamu inginkan," gumamnya lagi sertai senyuman getir ketika sadar sosok yang ia ajak bicara tidak bisa lagi dilihat.

Setelah terdiam beberapa menit, Tiara tiba-tiba terjingkat bangun saat mengingat sesuatu. Dia menepuk jidatnya–panik.

“Astaga! Tuntutan Bram!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status