"Ma …."
"Iya, Sayang?" Tiara yang hendak melangkahkan kaki sontak menoleh ke Nana."Kata Remon, kalau orang sudah di surga itu berarti sudah meninggal. Apa benar?" tanya Nana ragu.Mata Tiara sontak membola. Namun, dia berhasil mengendalikan ekspresinya dengan cepat."Iya, benar," jawab Tiara akhirnya meski dengan berat hati."Lalu … kalau sudah meninggal, berarti ada kuburannya? Apa itu benar juga ma?"Tiara menelan ludah susah payah sembari membuang pandangan ke arah lain.Sejujurnya, hal itu ia lakukan agar cairan bening yang sudah terkumpul di pelupuk mata tidak sampai jatuh menerjang pipi.Dia tak ingin Nana melihatnya.Dengan suara parau, Tiara kembali menjawab sang putri, "Iya, Sayang.""Jadi, kapan mama mau mengajak Nana mengunjungi kuburan papa?"DEG!Kini, jantung Tiara berpacu lebih cepat dari biasanya.Cairan bening yang ditahan, akhirnya luruh tanpa bisa lagi ia cegah. Sayangnya, Nana menangkap pergerakan Tiara tengah mengusap pipi."Loh, kenapa mama menangis? Apa mama juga merindukan papa? Sama seperti Remon, dia juga menangis jika merindukan papanya yang lama tidak pulang berlayar.""Tapi, Nana tidak bisa melakukan itu karena Nana sendiri tidak tahu seperti apa wajah papa," lirih anak itu lagi dengan pandangan tertunduk lesu.Tiara akhirnya menarik nafas dan menenangkan diri. Dia tidak bisa seperti ini! Dengan secepat yang ia bisa, Tiara pun memikirkan alasan untuk putrinya yang cerdas ini."Nggak, Sayang. Mama gak menangis, ini ada debu yang tiba-tiba masuk mata mama," ujarnya disertai senyuman palsu saat mengangkat pandangan Nana."Weekend ini kita mengunjungi makam papa, ya … Tapi, dengan syarat. Mama ingin melihat putri mama yang cantik jelita ini tersenyum. Mama juga tidak suka melihat ini."Tiara menyentuh bibir Nana dengan jari telunjuknya. "Manyun seperti ini, nanti orang-orang yang melihatnya malah gemas, dan ingin mencubitnya, bagaimana?"Seketika Nana tersenyum ceria lagi.Tidak hanya itu, seperti biasa, Nana akan langsung membalaskan dengan menunjukkan puppy eyes jika dipuji.Siapapun yang melihat pasti merasa gemas.Memiliki pipi chubby bersemu merah dan mata yang sedikit sipit–Nana akan terlihat begitu menggemaskan dengan tingkah itu.Bahkan, Tiara saja yang melahirkan anak itu–tidak bisa menahan diri untuk segera menciumnya."Hahaha.. sudah ma, Nana geli," ucapnya sambil tergelak saat Tiara memberinya ciuman bertubi-tubi."Tapi mama janjikan weekend ini kita mengunjungi papa?" tanyanya sambil membenahi helmnya yang sedikit miring."Iya sayang, mama janji….""Yeay…! Akhirnya, Nana bisa melihat kuburan papa," serunya girang.Tiara pun tersenyum.‘Apa pun akan mama lakukan untukmu Na. Apa pun itu asal bisa melihatmu selalu tersenyum seperti ini. Bahkan, mama rela melepaskan nyawa jika pun itu sebagai gantinya. Karena hanya kamu alasan mama tetap bisa bertahan sampai detik ini, Sayang," batin Tiara menatap haru Nana yang masih bersorak kegirangan.*********Motor matic Tiara sudah tiba di depan pelataran rumah berbahan kayu.Rumah sederhana namun tampak begitu asri dengan banyaknya tanaman bunga yang tumbuh mengelilingi teras–menyambut dirinya.Di sinilah Tiara selama enam tahun terakhir mengasingkan diri–menjadi orang tua tunggal untuk malaikat cantiknya, Nana.Menahan segenap rasa yang ada, hingga akhirnya ia memiliki keyakinan untuk kembali melanjutkan hidup, meski tidak bersama dengan orang-orang dari masa lalunya."Mbak Sari!" seru Nana sambil berlari mendekati wanita muda yang terlihat sibuk membersihkan rumput di sekitar bunga. "Mbak ngapain? Cari apa di situ?""Loh, Nana udah pulang?"Gadis itu sontak memutar bola mata malas mendengar pertanyaan Sari."Kebiasaan, ih. Ditanya, pasti balik nanya. Udah tau Nana disini berarti udah pulang dong," jawabnya sedikit manyun.Melihat itu, pengasuh Nana itu sontak tertawa. Dia memang senang mengerjai bocah cantik ini. Bahkan, tak jarang sampai Nana menangis."Hehe …. Iya, iya …. Mbak Sari minta maaf. Ini loh, tadi ada ulat besar makanya mbak buang, terus sekalian nyabutin rumput liarnya biar bunga kita tetap cantik," jelasnya sambil menunjuk ulat yang ternyata ada di dekat kaki Nana."Wah, Ini ulatnya, mbak?" tanya Nana penasaran.Matanya tampak berbinar melihat makhluk silindris itu.Tiara sendiri sudah bergidik ngeri melihatnya. Terlebih, saat Nana hendak menyentuh larva berwarna hijau daun itu, yang besarnya seukuran jari telunjuk orang dewasa."Jangan dipegang, Sayang! Mama jijik!" teriak Tiara, takut."Tapi, ini lucu, Ma! Lihat … kepalanya bisa gerak-gerak. Nana gemes pengen pegang," ucap Nana bersemangat."Jangan!" teriak Tiara lagi, "Sari, cepat cuci tangan Nana dan gantikan bajunya. Kalian berdua memang aneh, kenapa tidak merasa jijik sedikitpun dengan serangga itu," gerutu Tiara sembari masuk rumah lebih dulu meninggalkan Nana serta Sari-pengasuhnya yang saling beradu pandang."Apa mama marah, mbak?""Entahlah, mbak juga tidak tahu. Sudah ayo masuk, mandi sekalian ya, nanti kita jalan-jalan."Setelah mencuci tangannya, Sari beralih menggandeng tangan Nana. "Kita mau ke mana, mbak?" tanya Nana sambil mendongak."Ke kelapangan, di sana ada lomba layang-layang.""Wah … Baiklah, ayo mandi," seru Nana bersorak girang.********Tiara terus berjalan cepat ke kamar.Hari ini sungguh melelahkan.Sesampainya di sana, Tiara langsung menghempaskan kasar tubuhnya ke atas ranjang.Terlebih, hari ini juga diakhiri dengan ulat kecil di depan rumah. Yang semakin membuat Tiara kesal adalah hanya dirinya yang bergidik ngeri.Baik Nana ataupun Sari tidak merasa jijik sedikit pun. Keduanya justru terlihat antusias membicarakan serangga menggelikan itu bagi kebanyakan orang."Aku harus sedih atau bahagia melihat Nana lebih banyak menurun dari papanya. Keberanian, serta rasa ingin tahunya yang tinggi. Terkadang, menurutku di luar batas wajar," gumamnya sambil menatap langit-langit kamarnya.Terbayang seorang pria yang setia menemaninya. Sahabat yang tak pernah meninggalkan Tiara meski dia terpuruk."Mungkin, sudah saatnya aku membawa Nana menemuimu, Ziyan. Kamu tahu, dia benar-benar tumbuh menjadi gadis cantik seperti yang kamu inginkan," gumamnya lagi sertai senyuman getir ketika sadar sosok yang ia ajak bicara tidak bisa lagi dilihat.Setelah terdiam beberapa menit, Tiara tiba-tiba terjingkat bangun saat mengingat sesuatu. Dia menepuk jidatnya–panik.“Astaga! Tuntutan Bram!”Dua minggu berlalu, semua sudah kembali seperti semula. Sari juga sudah pulang dari satu minggu sebelumnya. Walaupun kepulangannya sempat diwarnai ketegangan, lantaran Thomas tidak mau membawa istrinya pulang karena menganggap Sari belum benar-benar sembuh. Sementara Sari sendiri sudah sangat bosan hanya berdiam diri di ranjang rumah sakit. Terlebih rasa tidak enak hati selalu menghampiri setiap kali melihat Daniel. Walaupun kedekatan mereka dulu tidak bisa dikategorikan pasangan kekasih, tapi Daniel-lah sosok yang selalu menguatkan dirinya selain Tiara. Namun, setelah mengetahui perasaan pria itu yang sebenarnya, Sari berubah canggung. Apalagi dengan statusnya istri dari pria lain yang tak lain sahabat Daniel juga. Begitu pun dengan keberadaan Thomas yang selalu menempel padanya—membuat Sari benar-benar tidak nyaman. Hingga akhirnya memaksa pulang, walaupun Dokter senior Daniel ikut menyarankan dirinya masih harus bertahan satu atau dua hari kedepan. Tapi Sari tetap kukuh pada pendir
"Kau sudah makan?"Keharuan Bram–Tiara berakhir begitu mendengar suara Aaron, dan disaat Bram mendongak ternyata pria itu sudah berdiri di samping wanita yang diketahui teman sekolah istrinya."Apa Mickey mencariku?""Iya. Tapi setelah kuberitahu kalau kau sedang arisan, dia kembali bermain dengan pengasuhnya.""Jadi dia istrimu?" sela Bram penasaran.Melihat Bram bangkit, setelah mengusap wajahnya, Tiara ikut menoleh—ingin memastikan siapa pria yang menjadi suami sahabatnya itu."Hanya saat aku ingat," celetuk Aaron tak acuh."Lantas, sekarang apa kau ingat pernah menikahiku?" serobot Wulan menahan kesal."Setidaknya dengan menyebut nama Mickey, aku ingat itu.""Cih. Dasar, Bule gila," gerutu Wulan sambil bersedekap dada.Melihat pasangan yang jauh dari kata romantis ada di depannya, Bram sempat meloloskan senyum tipis saat beradu pandang dengan sang istri."Bagaimana kondisi Anda Nyonya Wijaya, apakah ada yang serius dengan kandungan Anda?"Mengetahui Aaron ingin berbasa basi dengan
"Kakak Ipar! Kau dimana sekarang?"Thomas begitu terkejut, awalnya menganggap Bram yang menghubungi dirinya, tapi ternyata Tiara menggunakan ponsel sang kakak."Apa kalian baik-baik saja? Bagaimana dengan kakakku?"Kepanikan Thomas semakin menjadi saat mendengar suara Tiara begitu lemah di gawainya."Apa! Dimana dia sekarang?"Melihat ketegangan Thomas yang tidak diketahu tengah berbicarai dengan siapa di seberang sana, istri Aaron berpindah mendekati suaminya."Tunggu. Aku akan kesana sekarang."Melihat kecemasan Thomas, Aaron mengerti dengan siapa pria itu berbicara. Lantas, spontan menahan tangan Thomas begitu melihat pria itu akan buru-buru pergi. "Dimana mereka?"Sebaiknya Kakak pulang saja, biar aku yang menemui mereka.""Tidak. Aku tidak akan tenang sebelum memastikan keadaan mereka sendiri."Tidak ingin membuang waktu dengan perdebatan yang diyakini Aaron pasti akan tetap bersikeras dengan keputusannya. Thomas akhirnya membiarkan Aaron dan istrinya ikut pergi bersamanya. Sement
Bram masih berusaha mencari cara untuk membuka dinding kaca. Setelah melihat Damar tidak lagi bergerak, Bram semakin leluasa mencari pintu rahasia yang mungkin saja mengarah ke dalam kotak kaca tersebut."Sial. Rupanya di sini manusia keparat itu selama ini bersembunyi," dengus Bram saat membuka pintu yang ternyata kamar pribadi, dan diyakini itu pasti kamar Damar. Karena dari pintu itulah ia melihat kemunculan Damar."Astaga! Sari?" Setelah kembali menutup pintu, Bram mengetahui adik iparnya masih terikat, dan lupa belum dilepaskan. Bram pun bergegas mendekat. "Sari … ternyata dia juga tidak sadarkan diri," gumam Bram melihat tidak ada pergerakan sedikitpun, walaupun tangan Sari sudah terbebas dari tali. Bram berusaha membangunkan, tapi begitu mengetahui wajah Sari penuh lebam, umpatan Bram kembali meluncur tanpa filter. "Biadab. Bahkan dalam keadaan terikat saja mereka tega menghajarnya."Setelah sadar waktunya terlalu banyak yang terbuang untuk menyelamatkan Sari, Bram segera membar
"Tapi sayangnya saya orang yang suka membangkang, Tuan. Selama ini saya berdiri dengan kaki saya sendiri, dan saya tidak suka berada di bawah kendali orang lain.""Kalau begitu, bersiaplah menerima kehancuranmu.""Hahaha … jangan terlalu percaya diri, Tuan Aaron. Anda sekarang berada di kandang serigala. Apakah yakin bisa keluar dengan selamat? Sementara Anda hanya sendiri, tidak membawa satupun orang-orang pilihan Anda, bukan?"Aaron meringai, tanpa ada keraguan kaki panjangnya melangkah yakin dengan pandangan lurus kedepan. Mengabaikan jika di lantai itu masih ada alat peledak yang belum ditemukan, jika saja terinjak olehnya."Aku bahkan sanggup menghancurkanmu tanpa kehadiran mereka. Kau tentu tahu bagaimana sepak terjangku dalam dunia kejam kita."Spontan kaki Brandon mundur satu langkah, mengetahui jaraknya dengan Aaron semakin terkikis. Mata serta telinganya masih cukup normal, untuk mengetahui juga mendengar bagaimana peranan seorang Aaron sebagai pemimpin di dunia bawah. Tidak
"Bram!" gumam Tiara lemah dengan kesadaran yang nyaris menghilang.Namun, meski penglihatannya sudah merabun, Tiara tetap melengkungkan senyum mengetahui sosok berpakaian putih berjalan ke arahnya itu, diyakini suaminya.'Semoga ini bukan halusinasiku. Bram benar-benar datang menyelamatkan kami,' lanjutnya dalam hari. Setelah melompat turun dari celah atap yang terbuka, Bram sempat mengedarkan pandangan sejenak, sebelum akhirnya lembarkan langkah begitu mengetahui keberadaan istrinya. "Ara!" Melihat Tiara terikat dengan keadaan berdiri, darah Bram mendidih seketika. Ia juga mengutuk manusia-manusia laknat itu dan rasanya ingin segera memberi mereka pelajaran, kerena sudah begitu tega pada istrinya, meski mengetahui keadaannya tengah hamil besar."Ara, kamu masih bisa mendengarku?"Kekhawatiran Bram memuncak, begitu tali terlepas, tubuh Tiara sudah lemas begitu ia mendekapnya."Terima kasih sudah datang?" bisik Tiara hampir seperti gumaman."Bertahanlah Sayang. Kita akan segera keluar