Share

Bab 5

"Tuntutan itu …," ucap Tiara gelisah.

Perempuan itu jalan bolak-balik mengitari kamarnya, seperti kesetanan.

Bahkan, ia mengabaikan rambut panjangnya yang terlepas dari gulungan.

Sejak tadi, dia memikirkan segala kemungkinan.

Jika bapak yang mengajukan, pasti tak diterima. Selain faktor usia, beliau sendiri hanya mengandalkan pensiunan untuk bertahan hidup. Sang ayah sudah tidak lagi mengajar seperti beberapa tahun lalu saat dirinya memutuskan pergi.

Ibu sambungnya juga hanya buruh setrika biasa. Apakah kedua orang tuanya akan berakhir di dalam penjara?

"Jika aku mengajukan pinjaman ke Bank dengan jumlah sebanyak itu, berapa tahun aku bisa melunasinya? Belum lagi, statusku sebagai wanita tanpa suami,” gumamnya semakin panik.

Tiara merasa berada di posisi yang sulit.

Meski kini hubungannya dengan sang ayah membaik pasca meninggalkan Mawar, tetapi masalah belum juga berakhir.

Jikapun mereka berusaha semaksimal mungkin dan menggunakan uang pensiunan sang ayah dalam waktu dua bulan. Tiara yakin itu tidak berarti apapun untuk jumlah yang Bram tentukan.

Perempuan itu lantas terduduk dan memijat keningnya.

‘Apa yang harus kulakukan, Tuhan?’

**********

Seperti janjinya, Tiara benar-benar mengajak Nana mengunjungi makam Ziyan.

Meski kepalanya sibuk memikirkan bagaimana cara menyelesaikan tuntutan Bram, dia tidak ingin mengecewakan gadis kecil kesayangannya itu.

Dan, Tiara tidak menyesal.

Nana terlihat begitu bahagia bisa melihat makam ‘ayahnya’ untuk pertama kali.

Rasa lelah yang sebelumnya menghinggapi wajah mungilnya saat di perjalanan, seketika menghilang saat Tiara menjelaskan jika mereka sudah tiba di rumah peristirahatan sang ayah.

Bahkan, sekarang, selang tiga minggu berlalu, kini Tiara kembali memutuskan mendatangi makam itu lagi–meski hanya datang seorang diri.

"Hai Zi, aku datang lagi. Maaf, ya. Hari ini aku tidak bisa membawa Nana, dia ada kelas melukis," ucap Tiara sambil berjongkok di samping makam.

"Sebenarnya dia selalu merengek ingin mengunjungimu lagi, tapi karena perjalanan yang terlalu jauh. Aku khawatir dia akan kelelahan jika sering-sering aku ajak ke sini."

Tiara terus berbicara panjang lebar–menceritakan tingkah lucu serta tumbuh kembang Nana. Seperti yang selalu dilakukan ketika datang berkunjung.

Bahkan, dia mengabaikan tatapan heran setiap orang yang berlalu-lalang di sekitarnya.

Tiara hanya berpikir untuk menceritakan semua kejadian lucu atau pun menyenangkan yang sudah ia lewati bersama putri kecilnya.

Namun, itu tak berlangsung lama.

Cerita menyenangkan perlahan berganti dengan kekhawatiran Tiara. Air mata pun luruh di pipi mengingat biaya ganti rugi.

“Ziyan, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan….”

******

"Kenapa tidak bilang kalau proyek kita kemungkinan besar bisa menerjang pemakaman? Bodoh! Coba kalian cari tahu siapa ahli waris yang ada di sebelah utara? Kita ambil tanah itu saja. Jangan ganggu pemakaman itu, sesenti pun. Kalian paham," ucap seorang pria pada beberapa pria yang ada di depannya.

"Tapi, kami sudah pernah bernegosiasi dengan pemilik yang ada di sebelah utara, tuan. Dan mereka tetap kekeuh tidak mau memberikan tanahnya pada kita," jelas pria lain dengan kepala tertunduk.

"Lalu, dengan mudahnya kalian mengambil jalan pintas, dan menggusur makam itu? Gila! Pemikiran macam apa itu! seandainya jika kerabat atau bahkan keluarga kalian ada yang dimakamkan di sana, apa kalian akan terima begitu saja tempat itu digusur!"

Teriak pria pertama sampai-sampai menarik perhatian beberapa orang pejalan kaki di luar pagar pemakaman.

Tiara yang sudah selesai bercerita–bahkan sampai menoleh bingung pada mereka.

Lokasi pemakaman ini memang berada di dekat jalan. Walaupun bukan jalan utama, tetapi kendaraan yang melintas cukup ramai, dan letak makam Ziyan sendiri berada di dekat pagar.

Jadi, Tiara bisa mendengar jelas apa yang dibicarakan para pria di luar sana.

Tanpa sadar, dia pun mengikuti pembicaraan orang-orang ini.

"Kami akan menawarkan pada pihak keluarga untuk memindahkan makam-makam itu ke lokasi yang sudah kami tentukan, Tuan," sela pria lain pelan.

Sayangnya, pendapat itu sepertinya bukan hal yang diharapkan. Terlihat dari satu alis yang naik dari pria berkaca mata hitam itu. Pria itu bahkan sampai berkacak pinggang.

"Daripada kalian repot memindahkan puluhan makam di sana, kenapa tidak berpikir untuk memindahkan proyeknya saja?"

Tiara lantas menggeleng malas melihat perdebatan yang semakin memanas itu. Dia ingin pergi dari sana, tetapi tidak ingin melewati orang-orang berisik itu.

"Seharusnya, kalau ada yang penting, alangkah baiknya dibicarakan di kantor atau tempat lain saja. Jangan di pinggir jalan seperti itu," keluh Tiara masih mengamati dari tempatnya duduk.

Sayangnya, pertengkaran itu terus berlanjut–membuat orang-orang di pemakaman mulai tampak risih.

Tiara pun melihat jamnya.

Dia tak bisa menahan diri lagi. Lantas, ia pun bangkit dan melangkah lebar menuju luar pemakaman.

Tiara bahkan akhirnya menghampiri sumber keributan–untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi di luar sana.

"Maaf permisi, tolong suaranya di kecilanya, Tuan. Para peziarah khususnya saya, merasa cukup terganggu dengan suara anda yang lantang," ujar Tiara berusaha sopan, begitu berdiri di belakang pria yang postur tubuhnya paling tinggi diantara yang lain.

"Sial! Siapa yang berani menyelaku?" geram pria itu sambil membalik badan.

Namun, ekspresi kesal itu tiba-tiba berganti dengan keterkejutan.

Satu alis pria itu naik begitu melihat sosok yang berani menyela pembicaraannya.

"Tiara!"

Sementara yang dipanggil hanya bisa mematung setelah berhasil menelan ludah susah payah. Tidak hanya itu, keberanian Tiara seketika menciut begitu tahu siapa pemilik suara lantang yang beberapa detik lalu ingin sekali ia marahi.

‘Ya, Tuhan! Kenapa aku harus bertemu Bram sekarang?’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status