"Tuntutan itu …," ucap Tiara gelisah.
Perempuan itu jalan bolak-balik mengitari kamarnya, seperti kesetanan.Bahkan, ia mengabaikan rambut panjangnya yang terlepas dari gulungan.Sejak tadi, dia memikirkan segala kemungkinan.Jika bapak yang mengajukan, pasti tak diterima. Selain faktor usia, beliau sendiri hanya mengandalkan pensiunan untuk bertahan hidup. Sang ayah sudah tidak lagi mengajar seperti beberapa tahun lalu saat dirinya memutuskan pergi.Ibu sambungnya juga hanya buruh setrika biasa. Apakah kedua orang tuanya akan berakhir di dalam penjara?"Jika aku mengajukan pinjaman ke Bank dengan jumlah sebanyak itu, berapa tahun aku bisa melunasinya? Belum lagi, statusku sebagai wanita tanpa suami,” gumamnya semakin panik.Tiara merasa berada di posisi yang sulit.Meski kini hubungannya dengan sang ayah membaik pasca meninggalkan Mawar, tetapi masalah belum juga berakhir.Jikapun mereka berusaha semaksimal mungkin dan menggunakan uang pensiunan sang ayah dalam waktu dua bulan. Tiara yakin itu tidak berarti apapun untuk jumlah yang Bram tentukan.Perempuan itu lantas terduduk dan memijat keningnya.‘Apa yang harus kulakukan, Tuhan?’**********Seperti janjinya, Tiara benar-benar mengajak Nana mengunjungi makam Ziyan.Meski kepalanya sibuk memikirkan bagaimana cara menyelesaikan tuntutan Bram, dia tidak ingin mengecewakan gadis kecil kesayangannya itu.Dan, Tiara tidak menyesal.Nana terlihat begitu bahagia bisa melihat makam ‘ayahnya’ untuk pertama kali.Rasa lelah yang sebelumnya menghinggapi wajah mungilnya saat di perjalanan, seketika menghilang saat Tiara menjelaskan jika mereka sudah tiba di rumah peristirahatan sang ayah.Bahkan, sekarang, selang tiga minggu berlalu, kini Tiara kembali memutuskan mendatangi makam itu lagi–meski hanya datang seorang diri."Hai Zi, aku datang lagi. Maaf, ya. Hari ini aku tidak bisa membawa Nana, dia ada kelas melukis," ucap Tiara sambil berjongkok di samping makam."Sebenarnya dia selalu merengek ingin mengunjungimu lagi, tapi karena perjalanan yang terlalu jauh. Aku khawatir dia akan kelelahan jika sering-sering aku ajak ke sini."Tiara terus berbicara panjang lebar–menceritakan tingkah lucu serta tumbuh kembang Nana. Seperti yang selalu dilakukan ketika datang berkunjung.Bahkan, dia mengabaikan tatapan heran setiap orang yang berlalu-lalang di sekitarnya.Tiara hanya berpikir untuk menceritakan semua kejadian lucu atau pun menyenangkan yang sudah ia lewati bersama putri kecilnya.Namun, itu tak berlangsung lama.Cerita menyenangkan perlahan berganti dengan kekhawatiran Tiara. Air mata pun luruh di pipi mengingat biaya ganti rugi.“Ziyan, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan….”******"Kenapa tidak bilang kalau proyek kita kemungkinan besar bisa menerjang pemakaman? Bodoh! Coba kalian cari tahu siapa ahli waris yang ada di sebelah utara? Kita ambil tanah itu saja. Jangan ganggu pemakaman itu, sesenti pun. Kalian paham," ucap seorang pria pada beberapa pria yang ada di depannya."Tapi, kami sudah pernah bernegosiasi dengan pemilik yang ada di sebelah utara, tuan. Dan mereka tetap kekeuh tidak mau memberikan tanahnya pada kita," jelas pria lain dengan kepala tertunduk."Lalu, dengan mudahnya kalian mengambil jalan pintas, dan menggusur makam itu? Gila! Pemikiran macam apa itu! seandainya jika kerabat atau bahkan keluarga kalian ada yang dimakamkan di sana, apa kalian akan terima begitu saja tempat itu digusur!"Teriak pria pertama sampai-sampai menarik perhatian beberapa orang pejalan kaki di luar pagar pemakaman.Tiara yang sudah selesai bercerita–bahkan sampai menoleh bingung pada mereka.Lokasi pemakaman ini memang berada di dekat jalan. Walaupun bukan jalan utama, tetapi kendaraan yang melintas cukup ramai, dan letak makam Ziyan sendiri berada di dekat pagar.Jadi, Tiara bisa mendengar jelas apa yang dibicarakan para pria di luar sana.Tanpa sadar, dia pun mengikuti pembicaraan orang-orang ini."Kami akan menawarkan pada pihak keluarga untuk memindahkan makam-makam itu ke lokasi yang sudah kami tentukan, Tuan," sela pria lain pelan.Sayangnya, pendapat itu sepertinya bukan hal yang diharapkan. Terlihat dari satu alis yang naik dari pria berkaca mata hitam itu. Pria itu bahkan sampai berkacak pinggang."Daripada kalian repot memindahkan puluhan makam di sana, kenapa tidak berpikir untuk memindahkan proyeknya saja?"Tiara lantas menggeleng malas melihat perdebatan yang semakin memanas itu. Dia ingin pergi dari sana, tetapi tidak ingin melewati orang-orang berisik itu."Seharusnya, kalau ada yang penting, alangkah baiknya dibicarakan di kantor atau tempat lain saja. Jangan di pinggir jalan seperti itu," keluh Tiara masih mengamati dari tempatnya duduk.Sayangnya, pertengkaran itu terus berlanjut–membuat orang-orang di pemakaman mulai tampak risih.Tiara pun melihat jamnya.Dia tak bisa menahan diri lagi. Lantas, ia pun bangkit dan melangkah lebar menuju luar pemakaman.Tiara bahkan akhirnya menghampiri sumber keributan–untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi di luar sana."Maaf permisi, tolong suaranya di kecilanya, Tuan. Para peziarah khususnya saya, merasa cukup terganggu dengan suara anda yang lantang," ujar Tiara berusaha sopan, begitu berdiri di belakang pria yang postur tubuhnya paling tinggi diantara yang lain."Sial! Siapa yang berani menyelaku?" geram pria itu sambil membalik badan.Namun, ekspresi kesal itu tiba-tiba berganti dengan keterkejutan.Satu alis pria itu naik begitu melihat sosok yang berani menyela pembicaraannya."Tiara!"Sementara yang dipanggil hanya bisa mematung setelah berhasil menelan ludah susah payah. Tidak hanya itu, keberanian Tiara seketika menciut begitu tahu siapa pemilik suara lantang yang beberapa detik lalu ingin sekali ia marahi.‘Ya, Tuhan! Kenapa aku harus bertemu Bram sekarang?’Tanpa sadar, Tiara sampai mundur satu langkah, berpikir untuk lari. Namun itu bukanlah tindakan yang etis. Hingga sejurus kemudian, ia mengumpulkan keberanian untuk menghadapi Bram. 'Persetan, dengan tuntutan itu,' pikirnya.Bram menarik sudut bibirnya—-melihat ketegangan di wajah Tiara yang berusaha wanita itu lawan. " Kau disini? apa yang kamu lakukan?"Bram sempat menoleh kiri-kanan, memastikan ada sosok lain yang mungkin bersama wanita itu. Namun sayang, yang ia lihat hanya gapura bertuliskan 'TPU UMUM' tepat di belakang Tiara.Sadar pandangan Bram mengarah kemana, Tiara berniat menjawab pertanyaannya. Tetapi, begitu mengetahui pandangan pria dibelakang Bram tertuju padanya dan penuh selidik. Kegugupan tidak bisa lagi teratasi dengan baik. Ia pun merutuki keputusannya karena sudah menampakkan diri di depan orang-orang itu.Mungkin, Bram menyebutnya pucung dicinta ulampun tiba."Kamu tidak mendengarku?" Tiara terjingkat, terlebih menyadari Bram semakin mengikis jarak diantara merek
"Turun!" Tiara terhenyak, dan yang membuatnya semakin kebingungan, dimana mereka sekarang?'Dimana ini?' batinnya bertanya-tanya.Ia berusaha mengingat apakah pernah mendatangi tempat itu. Namun naasnya sudah seperkian detik ia mencoba. Hasilnya tetap nihil. Tempat itu benar-benar asing baginya. menyadari itu, muncul rasa khawatir. Untuk apa Bram membawanya kesana, terlebih begitu ia menoleh ke samping kiri, bangunan menjulang itu seperti tempat ibadah. Kegelisahan semakin membumbung tinggi, Namun Tiara enggan untuk bertanya.Di saat Tiara masih berpikir keras, tiba-tiba ia terkejut mendapati Bram sudah membuka pintu yang ada di sampingnya. "Cepat turun! sebelum aku menyeretmu keluar dari mobilku." Tidak ingin hal itu sampai terjadi. Tiara buru-buru melangkahkan kaki dan bergerak turun.Meski masih diselimuti rasa penasaran, setidaknya Tiara bersyukur masih bisa berdiri menggunakan kedua kakinya. "Kita dima—" Namun, belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Bram sudah lebih dulu menarik
Mobil Bram berhenti di depan sebuah hotel mewah. Begitu mematikan mesin, ia bergegas keluar. "Parkirkan mobil saya." Melempar kunci pada seorang pria yang langsung siap menangkap."Baik, Tuan," jawab pria itu.Bram tidak lagi menjawab, langkahnya semakin lebar memasuki lobby menuju suite room hotel. Tidak ada senyum ramah ataupun tatapan teduh yang nampak di wajah tegasnya. Pria berperawakan tinggi tegap itu berjalan dengan mata tajamnya lurus kedepan. Amarah dalam dirinya masih berkobar. Selain keputusan Tiara, yang ingin menjadi pengganti Mawar, sikap wanita itu juga benar-benar membuatnya muak. Sehingga nyaris hilang kesabaran kalau saja, Bram tidak segera menjauh. Sisi baik dalam dirinya masih mengingatkan, untuk tidak berlaku kasar pada wanita. Tapi, mengingat wanita itu adalah Tiara, seolah ada pertarungan batin yang akhirnya berakhir dilema.'Perempuan sialan. Berani sekali dia membuatku sekacau ini,' geramnya dalam hati.Sesampainya didepan kamar suite room, Bram menghubungi s
"Ya Tuhan, sudah jam berapa sekarang?"Tiara terjingkat bangun, menyadari kebodohannya yang bisa-bisanya tertidur karena lelah menangis. Setelah melihat benda bulat berukuran besar yang terpajang di dinding, Tiara terkesiap. "Astaga! Nana," gusarnya terjingkat bangun.Brak!!! Brak!!!"Bram! buka pintunya! aku harus pulang sekarang, Bram. Buka pintunya!" Berulang kali menggedor hingga tanganya terasa sakit, tetapi tetap tidak ada jawaban. "Aku harus pulang Bram! kasian Nana pasti sudah menangis mencariku. Buka Bram! kenapa kamu setega ini pada putrimu sendiri!" Merasa putus asa, dan kesal tidak mendapat jawaban, Tiara kembali terisak. Ia cemas memikirkan putrinya yang mungkin saja tengah menangis, menunggu dirinya yang tak kunjung pulang. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam."Aku tidak bisa terus seperti ini, aku harus mencari cara agar bisa keluar dari tempat ini." Menegakan tubuh, sambil mengusap kasar pipinya, Tiara menatap lurus kedepan. "Tolong beritahu aku dimana j
Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam, namun dua orang dewasa yang mengurung diri didalam sebuah tempat ibadah, masih betah diam dengan posisi duduk berjauhan. Situasi macam apa itu?Siapa sangka, jika dulu, keduanya merupakan sepasang kekasih yang saling mencintai. Bahkan, nyaris melangsungkan pernikahan, jika saja mendiang Mawar tidak hadir mengacaukan. Kini, setelah enam tahun berlalu, meninggalkan penyesalan dalam hati Tiara. Andai saja, malam itu ia tidak memilih pergi, mungkin kondisi sekaku itu tidak akan terjadi.'Kita seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal, Bram.''Jangan harap, aku bisa seperti dulu, Tiara. Sekarang aku hanya ingin membencimu seumur hidupku.''Setidaknya, berikan aku kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Aku ingin menebus semua kesalahanku padamu."Keduanya seolah berkomunikasi lewat suara hati. Tanpa ada yang bergerak sedikitpun dari tempatnya, kecuali tangan Tiara yang saling meremas di atas pangkuan. Penyesalan memang selalu muncul di ak
"Kau benar-benar percaya dia sudah mati?""Jadi kamu berpikir aku berbohong? atau justru menganggap aku yang telah dibodohi?" Bram menatap datar Tiara, merasa tidak perlu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, buang-buang waktu. "Dia kecelakaan saat ingin mengunjungiku ke rumah sakit setelah melahirkan Nana. Walaupun aku tidak sempat melihat jasadnya, tapi Sari juga mengatakan jika hari itu adalah hari kematian Ziyan ""Setidaknya itu hukuman yang pantas untuknya." Merasa tidak perlu lagi mendengar omong kosong Tiara, Bram memilih menghidupkan musik dan kembali berkonsentrasi mengemudi. 'Pantaskah peristiwa naas itu kamu sebut sebagai hukuman untuk pria sebaik Ziyan? lantas, hukuman apa yang pantas untuk wanita sepertiku?' Tiara memilih kembali memandang keluar, musik bergenre Slow yang Bram pilih setidaknya bisa mempengaruhi suasana hatinya agar lebih cepat membaik. Ia benar-benar butuh hiburan, rentetan peristiwa yang terjadi kurang dari dua bulan terakhir, benar-benar telah meng
"Sungguh, kamu Tiara?" tanya seorang wanita memastikan.Tiara coba mengingat-ngingat siapa wanita yang mungkin seusia dirinya itu. Sepertinya tidak asing. Tapi siapa namanya, Tiara masih belum berhasil mengingat.Senyum kaku Tiara muncul, manakala mendengar wanita itu terus saja berbicara ngalor-ngidul tanpa jeda. Sedangkan, otaknya belum juga berhasil mengingat siapa nama dari wanita itu."Tiara! kenapa kamu hanya diam saja, ngomong dong. Gimana kabar kamu? Udah nikah kan? Terus punya anak berapa sekarang?" tanya wanita itu lagi beruntun."Maaf sebelumnya, apa kamu Wulan?" tanya Tiara tagu.Mendapati wanita itu mengangguk antusias, senyum sumringah Tiara seketika terbit. Rupanya, wanita cantik itu tak lain teman dekatnya dulu, saat masih duduk dibangku SMA.Wulan, yah, Tiara baru mengingatnya. Bagaimana ia tidak lupa tadi, temannya itu sekarang sangat jauh berbeda, terlihat lebih anggun. Dibandingkann dengan yang dulu. Wulan, memang mengalami perubahan dratis. Dulu, wanita itu lebih s
Tiara berdiri gelisah di dalam kamarnya, waktu sudah mendekati pukul tujuh malam. Itu artinya, orang suruhan Bram pasti sudah dalam perjalanan."Mama mau kemana?" tanya Nana yang berhasil mengejutkan Tiara. "Mama mau pergi?"Sambil memperhatikan penampilan Tiara, Nana berjalan mendekat."Iya sayang, mama hanya sebentar. Nana malam ini tidur dengan mbak Sari dulu ya, jangan menunggu mama pulang," jelas Tiara menampilkan senyum terbaiknya."Iya ma," jawab Nana patuh.Tiara merendahkan tubuh saat tahu Nana sudah ada di depannya. Wanita itu mengusap sayang pipi putrinya, meluapkan segenap rasa yang tidak bisa terurai lewat kata-kata.Entah mengapa, sekarang rasa bersalah selalu timbul manakala ia melihat tatapan polos putrinya. Jika dulu, ia berpikir tidak memberitahu kebenarannya adalah keputusan yang terbaik. Namun sekarang, setelah pertemuannya dengan Bram, Tiara merasa menjadi pihak yang paling bersalah.Tiara dilema, di tengah keraguan hati."Tapi janji, mama harus pulang ya … jangan