Share

Bab 5. Permintaan Arini

Pagi hari Arini bersiap akan ke kantor. Dia membuka lemari untuk memilih pakaian. Wisnu melihat itu lalu menghampiri Arini.

"Kamu mau ke mana, Rin?"

"Ke kantor, Mas, aku mau kerja."

Dahi pria itu berkerut saat tahu istrinya tetap akan ke kantor. "Dokter bilang kamu harus istirahat di rumah. Kandungan kamu lemah, belum boleh banyak gerak dulu."

Pria itu ingin Arini lebih memikirkan diri sendiri dan kehamilannya daripada memikirkan pekerjaan. Kondisi kehamilan Arini masih rentan.

"Aku enggak bisa diem di rumah cuma tidur-tiduran gitu. Rasanya lebih capek."

Wisnu menarik lengan Arini lalu mengajaknya duduk di tepi ranjang. Dia harus membuat Arini berubah pikiran agar fokus pada kehamilannya.

"Lebih baik kamu di rumah ya. Mas takut terjadi apa-apa sama kandungan kamu. Kamu enggak mau kan kehilangan calon bayi kamu?"

Arini diam. Apa yang dikatakan Wisnu benar. Dia belum siap kalau harus kehilangan bayinya. Walaupun anak itu tidak diterima oleh ayahnya, dia tidak boleh egois hanya memikirkan diri sendiri. Belum lama calon bayi itu berada di rahimnya tetapi dia sudah sangat menyayanginya.

"Aku pengen ketemu Mas Gilang, Mas. Mau tanya soal kemarin."

"Kamu telepon saja dia. Jangan memaksakan diri untuk ketemu orang yang belum tentu mau ketemu sama kamu, ok?"

Wajah Arini berubah murung. Dia ingin sekali melihat wajah Gilang saat menanyakan langsung pada orangnya.

"Ya sudah nanti aku telepon Mas Gilang."

"Mas berangkat kerja dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik."

Pria itu mencium kening Arini dengan lembut. Ia tahu Arini mampu melewati semua ini.

***

Siang harinya, Arini baru selesai makan dan minim obat. Sebelum kembali beristirahat, ia menelepon Gilang. Panggilan pertama tidak ada jawaban. Namun, Arini terus mencoba menghubungi Gilang. Baru pada panggilan ketiga baru ada jawaban dari Gilang.

"Lagi sibuk, Mas? Aku bisa ngomong sebentar?"

"Iya, sebentar lagi mau meeting. Mau ngomong apa?" Suara pria itu terdengar ketus.

"Mas Gilang masukin apa di makanan sama minuman aku kemarin?"

"Aku enggak masukin apa pun ke dalam makanan dan minuman kamu."

"Bohong!"

"Aku enggak bohong, Rin."

"Terus kenapa dokter bilang aku minum obat penggugur kandungan. Kemarin aku baik-baik aja, tapi setelah ketemu Mas Gilang perut aku kram dan rasanya sakit banget."

"Kamu menuduh aku tanpa bukti? Mungkin saja kan kamu minum obat itu dengan sukarela."

Kesabaran Arini hampir habis mendengar ucapan Gilang. Ingin rasanya dia datang ke kantor lalu menampar mulut Gilang yang kurang ajar padanya.

"Mas Gilang enggak merasa berdosa sama sekali?"

"Dosa apa? Kamu seharusnya enggak boleh hamil. Bagus kalau kamu keguguran. Aku enggak perlu capek-capek maksa kamu lagi."

"Mas Gilang sekarang bukan Mas Gilang yang aku kenal dulu. Mas Gilang berubah menjadi seperti iblis yang tega sama darah daging Mas sendiri. Sekarang aku nyesel telepon kamu, Mas."

"Mulai detik ini kamu enggak perlu datang ke kantor lagi. Kamu aku pecat!"

Gilang menutup panggilan telepon sepihak. Arini merasa dadanya sesak. Ingin teriak, tetapi dia menahannya. Hanya tangisan keras yang bisa dia lakukan untuk mengurangi rasa sesak di dada.

Ratih masuk kamar Arini setelah mendengar isak tangis anaknya. Dia peluk tubuh Arini dengan erat. Sebagai ibu, Ratih pun merasakan sakit yang dirasakan anaknya. Perempuan paruh baya itu hanya bisa menenangkan anaknya.

***

Pada malam hari saat pulang kerja, Wisnu melihat wajah Arini semakin murung. Dia pun ikut merasakan sakit yang dirasakan Arini. Pria itu tidak mau Arini semakin larut dalam kesedihan karena akan berbahaya untuk kehamilannya yang lemah saat ini.

Ia ingin menghibur Arini agar lupa dengan kesedihan. Pria itu ingin membawa Arini liburan, tetapi kondisi Arini belum bisa untuk diajak pergi jauh.

"Rin, kamu lagi pengen apa beberapa hari terakhir ini? Mungkin ada makanan yang pengen kamu makan. Kali aja kamu ngidam apa gitu?"

Dengan bertanya soal makanan yang mungkin saat ini ingin dimakan Arini bisa membuat Arini melupakan kesedihannya.

"Lagi pengen banget makan yang asem-asem, Mas. Beberapa hari ini rasanya agak mual gitu."

Wisnu berpikir sejenak. "Makanan asem? Apa itu rujak? Biasanya ibu hamil suka makan rujak, kan?" tebak pria itu kemudian.

"Tapi aku enggak mau rujak, Mas. Maunya mangga muda."

"Mau sekarang?"

"Iya, kalau bisa sekarang."

Melihat perubahan wajah Arini menjadi sedikit ceria. Wisnu bertekad akan mencarikan mangga muda untuk Arini.

"Tunggu ya, Mas cariin dulu."

Pria itu mengambil jaket yang tergantung di tembok, dia segera menyalakan motor untuk mencari mangga muda.

Saat itu buah mangga sedang tidak masuk musimnya sehingga Wisnu harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan buah mangga di penjual buah yang dia temui di pinggir jalan.

Sudah lebih dari lima pedagang buah dia datangi dan dia pun sudah pergi jauh dari rumah. Akhirnya dia menemukan penjual buah yang menjual mangga muda. Itu pun hanya ada sedikit. Pria itu membeli semua mangga muda untuk disimpan di rumah. Apabila sewaktu-waktu Arini ingin makan buah itu, tidak perlu repot mencari lagi.

Wisnu kembali ke rumah. Dia tersenyum sepanjang jalan, berharap Arini pun akan menjadi bahagia mendapat mangga muda itu.

Namun, saat tiba di jalan depan rumah Ratih, Wisnu melihat pemandangan yang membuat hatinya terasa sakit. Baru saja dia lihat Arini ditampar oleh Gilang hingga Arini jatuh terduduk di jalanan.

Wisnu bergegas membantu Arini berdiri. Dia kemudian dia bawa perempuan itu masuk ke rumah, tetapi Gilang menghalangi langkahnya.

"Urusan saya belum selesai dengan Arini."

Wisnu menoleh pada Gilang. Dia marah pada pria itu yang sudah menyakiti Arini di depannya. Namun, Wisnu masih menahan amarahnya.

"Mau apalagi? Belum cukup kamu menyakiti perasaan Arini? Kamu itu manusia atau iblis? Enggak punya perasaan!"

"Saya harus memastikan Arini tidak mempertahankan anak itu!"

"Dasar manusia enggak punya hati! Jangan ganggu Arini lagi. Anak itu bukan anak kamu, tapi anak saya!"

Gilang tersenyum. Dia tidak menyangka ada pria lain yang mengaku jika anak itu bukan anaknya. Gilang merasa kesal pada Wisnu.

"Oh jadi Arini sengaja bilang anak itu anakku? Dasar perempuan jalang! Tidur dengan siapa pas hamil minta tanggung jawab ke orang lain. Untung kamu sudah saya pecat! Rugi perusahaan saya mempekerjakan orang seperti kamu!"

Hinaan dan makian yang dilontarkan Gilang tidak hanya menambah sakit hati Arini, tetapi juga Wisnu. Pria itu tidak rela perempuan yang dia cintai dihinakan seperti itu. Dia bawa Arini masuk rumah lalu menemui Gilang kembali.

"Pergi dari sini sekarang kalau kamu masih ingin hidup!"

Wisnu mengancam Gilang dengan penuh amarah yang sudah tidak bisa dia tahan lagi.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Aqilanurazizah
Gak kerasa, udah 5 bab aja nih baca. Lanjut ah
goodnovel comment avatar
b3kic0t
kok ada Gilang dirunah bukanya dia tadi bilang mau rapat ......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status