Pagi hari Arini bersiap akan ke kantor. Dia membuka lemari untuk memilih pakaian. Wisnu melihat itu lalu menghampiri Arini.
"Kamu mau ke mana, Rin?""Ke kantor, Mas, aku mau kerja."Dahi pria itu berkerut saat tahu istrinya tetap akan ke kantor. "Dokter bilang kamu harus istirahat di rumah. Kandungan kamu lemah, belum boleh banyak gerak dulu."Pria itu ingin Arini lebih memikirkan diri sendiri dan kehamilannya daripada memikirkan pekerjaan. Kondisi kehamilan Arini masih rentan."Aku enggak bisa diem di rumah cuma tidur-tiduran gitu. Rasanya lebih capek."Wisnu menarik lengan Arini lalu mengajaknya duduk di tepi ranjang. Dia harus membuat Arini berubah pikiran agar fokus pada kehamilannya."Lebih baik kamu di rumah ya. Mas takut terjadi apa-apa sama kandungan kamu. Kamu enggak mau kan kehilangan calon bayi kamu?"Arini diam. Apa yang dikatakan Wisnu benar. Dia belum siap kalau harus kehilangan bayinya. Walaupun anak itu tidak diterima oleh ayahnya, dia tidak boleh egois hanya memikirkan diri sendiri. Belum lama calon bayi itu berada di rahimnya tetapi dia sudah sangat menyayanginya."Aku pengen ketemu Mas Gilang, Mas. Mau tanya soal kemarin.""Kamu telepon saja dia. Jangan memaksakan diri untuk ketemu orang yang belum tentu mau ketemu sama kamu, ok?"Wajah Arini berubah murung. Dia ingin sekali melihat wajah Gilang saat menanyakan langsung pada orangnya."Ya sudah nanti aku telepon Mas Gilang.""Mas berangkat kerja dulu, ya. Kamu jaga diri baik-baik."Pria itu mencium kening Arini dengan lembut. Ia tahu Arini mampu melewati semua ini.***Siang harinya, Arini baru selesai makan dan minim obat. Sebelum kembali beristirahat, ia menelepon Gilang. Panggilan pertama tidak ada jawaban. Namun, Arini terus mencoba menghubungi Gilang. Baru pada panggilan ketiga baru ada jawaban dari Gilang."Lagi sibuk, Mas? Aku bisa ngomong sebentar?""Iya, sebentar lagi mau meeting. Mau ngomong apa?" Suara pria itu terdengar ketus."Mas Gilang masukin apa di makanan sama minuman aku kemarin?""Aku enggak masukin apa pun ke dalam makanan dan minuman kamu.""Bohong!""Aku enggak bohong, Rin.""Terus kenapa dokter bilang aku minum obat penggugur kandungan. Kemarin aku baik-baik aja, tapi setelah ketemu Mas Gilang perut aku kram dan rasanya sakit banget.""Kamu menuduh aku tanpa bukti? Mungkin saja kan kamu minum obat itu dengan sukarela."Kesabaran Arini hampir habis mendengar ucapan Gilang. Ingin rasanya dia datang ke kantor lalu menampar mulut Gilang yang kurang ajar padanya."Mas Gilang enggak merasa berdosa sama sekali?""Dosa apa? Kamu seharusnya enggak boleh hamil. Bagus kalau kamu keguguran. Aku enggak perlu capek-capek maksa kamu lagi.""Mas Gilang sekarang bukan Mas Gilang yang aku kenal dulu. Mas Gilang berubah menjadi seperti iblis yang tega sama darah daging Mas sendiri. Sekarang aku nyesel telepon kamu, Mas.""Mulai detik ini kamu enggak perlu datang ke kantor lagi. Kamu aku pecat!"Gilang menutup panggilan telepon sepihak. Arini merasa dadanya sesak. Ingin teriak, tetapi dia menahannya. Hanya tangisan keras yang bisa dia lakukan untuk mengurangi rasa sesak di dada.Ratih masuk kamar Arini setelah mendengar isak tangis anaknya. Dia peluk tubuh Arini dengan erat. Sebagai ibu, Ratih pun merasakan sakit yang dirasakan anaknya. Perempuan paruh baya itu hanya bisa menenangkan anaknya.***Pada malam hari saat pulang kerja, Wisnu melihat wajah Arini semakin murung. Dia pun ikut merasakan sakit yang dirasakan Arini. Pria itu tidak mau Arini semakin larut dalam kesedihan karena akan berbahaya untuk kehamilannya yang lemah saat ini.Ia ingin menghibur Arini agar lupa dengan kesedihan. Pria itu ingin membawa Arini liburan, tetapi kondisi Arini belum bisa untuk diajak pergi jauh."Rin, kamu lagi pengen apa beberapa hari terakhir ini? Mungkin ada makanan yang pengen kamu makan. Kali aja kamu ngidam apa gitu?"Dengan bertanya soal makanan yang mungkin saat ini ingin dimakan Arini bisa membuat Arini melupakan kesedihannya."Lagi pengen banget makan yang asem-asem, Mas. Beberapa hari ini rasanya agak mual gitu."Wisnu berpikir sejenak. "Makanan asem? Apa itu rujak? Biasanya ibu hamil suka makan rujak, kan?" tebak pria itu kemudian."Tapi aku enggak mau rujak, Mas. Maunya mangga muda.""Mau sekarang?""Iya, kalau bisa sekarang."Melihat perubahan wajah Arini menjadi sedikit ceria. Wisnu bertekad akan mencarikan mangga muda untuk Arini."Tunggu ya, Mas cariin dulu."Pria itu mengambil jaket yang tergantung di tembok, dia segera menyalakan motor untuk mencari mangga muda.Saat itu buah mangga sedang tidak masuk musimnya sehingga Wisnu harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan buah mangga di penjual buah yang dia temui di pinggir jalan.Sudah lebih dari lima pedagang buah dia datangi dan dia pun sudah pergi jauh dari rumah. Akhirnya dia menemukan penjual buah yang menjual mangga muda. Itu pun hanya ada sedikit. Pria itu membeli semua mangga muda untuk disimpan di rumah. Apabila sewaktu-waktu Arini ingin makan buah itu, tidak perlu repot mencari lagi.Wisnu kembali ke rumah. Dia tersenyum sepanjang jalan, berharap Arini pun akan menjadi bahagia mendapat mangga muda itu.Namun, saat tiba di jalan depan rumah Ratih, Wisnu melihat pemandangan yang membuat hatinya terasa sakit. Baru saja dia lihat Arini ditampar oleh Gilang hingga Arini jatuh terduduk di jalanan.Wisnu bergegas membantu Arini berdiri. Dia kemudian dia bawa perempuan itu masuk ke rumah, tetapi Gilang menghalangi langkahnya."Urusan saya belum selesai dengan Arini."Wisnu menoleh pada Gilang. Dia marah pada pria itu yang sudah menyakiti Arini di depannya. Namun, Wisnu masih menahan amarahnya."Mau apalagi? Belum cukup kamu menyakiti perasaan Arini? Kamu itu manusia atau iblis? Enggak punya perasaan!""Saya harus memastikan Arini tidak mempertahankan anak itu!""Dasar manusia enggak punya hati! Jangan ganggu Arini lagi. Anak itu bukan anak kamu, tapi anak saya!"Gilang tersenyum. Dia tidak menyangka ada pria lain yang mengaku jika anak itu bukan anaknya. Gilang merasa kesal pada Wisnu."Oh jadi Arini sengaja bilang anak itu anakku? Dasar perempuan jalang! Tidur dengan siapa pas hamil minta tanggung jawab ke orang lain. Untung kamu sudah saya pecat! Rugi perusahaan saya mempekerjakan orang seperti kamu!"Hinaan dan makian yang dilontarkan Gilang tidak hanya menambah sakit hati Arini, tetapi juga Wisnu. Pria itu tidak rela perempuan yang dia cintai dihinakan seperti itu. Dia bawa Arini masuk rumah lalu menemui Gilang kembali."Pergi dari sini sekarang kalau kamu masih ingin hidup!"Wisnu mengancam Gilang dengan penuh amarah yang sudah tidak bisa dia tahan lagi.Esok paginya, Arini baru keluar dari kamar mandi. Raut wajahnya terlihat panik setelah melihat bercak darah di pakaian dalamnya. Perempuan itu bergegas menuju kamar mencari suaminya. "Mas, pagi ini bisa anter ke dokter kandungan enggak?" Arini terlihat cemas dengan kandungannya. Wisnu terperanjat mendengar ucapan Arini. "Kenapa? Ada yang kerasa sakit?" Pria itu memang bahu Arini dengan perasaan khawatir. Arini menceritakan apa yang baru saja dia alami. Wisnu berpikir sesaat, tidak mungkin dia membawa Arini dengan motor pada kondisi kandungan istrinya yang lemah itu. "Kamu sabar dulu, ya. Mas mau telepon dokter kandungan. Nanti hasilnya Mas kasih tahu kamu." Arini menganggukkan kepala. Namun, dia juga merasa bingung, sejak kapan suaminya bisa dengan bebas menelepon dokter kandungan.Wisnu meraih ponsel di atas nakas. Dia cari nomor telepon dokter kandungan kemarin. Panggilan tersambung. "Halo, Dok. Istri saya pagi ini ngeflek. Harus dibawa ke sana untuk konsultasi apa saya bisa b
Wisnu baru pulang ke rumah. Saat dia masuk kamar melihat Arini sedang berbaring dengan mata sembab. Pria itu merasa penasaran dengan apa yang menyebabkan Arini menangis. Dia menghampiri istrinya lalu duduk di tepi ranjang. "Habis nangis?" Arini bergeming. Tidak menatap Wisnu sama sekali. "Kenapa?" tanya Wisnu lagi. "Tadi katanya mau wawancara besok, kok malah nangis?" Arini bangun lalu duduk di sebelah Wisnu dengan wajah sendu. "Aku enggak jadi aja wawancaranya, Mas." Perempuan itu mengusap wajah dengan kasar. "Ada masalah?" Pria itu terlihat khawatir pada Arini. Arini bangkit. Dia menunjukkan perut yang mulai membuncit pada suaminya. "Tadi aku coba pake kemeja sama rok yang biasanya aku pake kerja dulu, tapi perut aku keliatan kayak orang hamil, Mas." Arini menghela napas. Wisnu paham dengan maksud Arini. Dengan penampilan seperti itu dia merasa pasti tidak akan lolos wawancara. Artinya dia tidak akan diterima kerja di perusahaan itu. "Emang keliatan banget?" "Enggak terla
Arini melapor ke meja registrasi lalu mendapat nomor urut antrian wawancara. Dia duduk bergabung dengan pelamar lainnya. Perempuan itu mengamati pelamar yang ada di sana. Kebanyakan dari mereka sama dengan dia yang dulu saat baru lulus kuliah.Saat itu juga dia duduk bersama pelamar lainnya sama seperti sekarang. Namun, dulu dia begitu bersemangat. Beda dengan hari ini, dia terlihat tidak semangat dan tidak percaya diri.Perempuan itu memandangi dirinya sendiri yang tengah hamil empat bulan. Dengan perut yang mulai terlihat membuncit dan akan semakin besar seolah memaksakan diri untuk bekerja.Belum lagi saingan lainnya lebih muda dan masih belum menikah. Sebenarnya mungkin dari segi usia tidak jauh berbeda dengan Arini, tetapi kondisi Arini berbeda jauh dengan dirinya. Seandainya saja kejadian itu tidak menimpa dirinya, Arini pasti masih bekerja bersama dengan teman-temannya. Seketika dia merindukan sosok teman-teman kerjanya dulu."Berapa orang yang wawancara hari ini?" sayup Arini
Arini tengah sibuk memilih sepatu. Dia tidak tahu jika kepergiannya tadi tanpa pamit ternyata membuat sebuah masalah kecil. Dia bahkan tidak mendengar jika sedari tadi ponselnya berdering berkali-kali.Baru setelah dia selesai membayar pesanan dan keluar dari toko sepatu, Arini mendengar suara ponselnya. Dia keluarkan ponselnya dari dalam tas. "Halo, Mas Wisnu, ada apa ya?" "Kamu di mana, Rin? Kok baru angkat telepon sih?" Terdengar nada khawatir dari suara pria yang ada di seberang panggilan telepon. "Lagi di luar, Mas. Ada apa?" "Kamu pergi enggak bilang Mama. Mama khawatir banget sama kamu. Ditelepon enggak diangkat, diSMS enggak dibales. Mama takut ada apa-apa sama kamu. Mas juga ditelepon disuruh nyariin kamu. Mas bingung harus nyariin kamu ke mana." Pria itu berkata panjang lebar karena terlalu cemas dengan Arini. Arini baru menyadari jika dia tadi memang pergi tanpa pamit pada Ratih. Dia tidak menyangka jika mamanya akan panik mencarinya. "Duh, maaf ya Mas. Aku tadi lupa
Arini duduk menunggu di kantor PT. Kalingga. Sebentar lagi namanya akan dipanggil masuk. Debaran jantungnya semakin cepat karena semakin dekat dengan waktu dia akan dipanggil masuk ke ruangan wawancara kedua. Pada wawancara kedua kali ini, hanya ada dua puluh orang yang lolos. Dari seleksi terakhir ini hanya lima orang saja yang akan diterima. Arini sudah pasrah, dia sadar kesempatan dia untuk diterima di perusahaan itu sangat kecil karena dia melihat peserta lain lebih kompeten dari pada dia. Arini akan memberikan jawaban terbaik untuk wawancara terakhir ini. Dia sudah tidak berharap pada hasilnya."Arini Puspasari, silakan masuk ruangan."Namanya sudah dipanggil masuk. Arini menarik napas panjang untuk menenangkan debaran jantungnya.Perempuan itu masuk ruangan sendiri. Duduk di kursi yang ada di sana. Dia menatap lurus ke depan. Apa pun pertanyaan yang diberikan akan dia jawab dengan baik.Satu persatu pertanyaan dilontarkan pada Arini. Dia bisa menjawab dengan tenang berkat usahan
Dalam ruang pemeriksaan, Arini tengah berbaring untuk diperiksa kandungannya. Dokter memeriksa dengan alat USG. Wisnu merasa takjub melihat perkembangan janin dalam perut Arini yang terlihat tumbuh dengan baik. Walaupun itu bukan anak kandungnya, dia tetap menyayangi janin dalam kandungan Arini seperti anaknya sendiri."Perkembangan janinnya bagus. Usia kandungan 17 minggu. Kalau dilihat ini jenis kelaminnya laki-laki."Mendengar penuturan dokter membuat Wisnu merasa sangat senang. Begitu juga dengan Arini. Pancaran kebahagiaan terlihat di wajah keduanya."Nanti ke sini satu bulan lagi, ya! Saya resepkan vitamin seperti biasanya."Dokter meletakkan foto hasil USG Arini di meja. Wisnu mengambilnya. Sesaat kemudian wajahnya terlihat sedih karena melihat janin yang tidak bersalah itu hampir saja berakhir oleh ayahnya sendiri. Dia hanya bisa berharap janin dalam kandungan Arini semakin sehat dan lahir dalam keadaan sempurna."Terima kasih ya, Dokter."Wisnu dan Arini pamit pada dokter lal
Arini sudah tiba di lobi kantor PT. Kalingga. Dia menuju kantor itu dengan ojek online. Arini tidak menelepon sang suami karena dia takut suaminya tidak bisa mengantar. Perempuan itu hanya mengirimkan pesan pada suaminya jika dia mendapat panggilan dari PT. Kalingga.Sampai di sana, Arini merasa bingung harus menuju ruangan mana. Kemudian dia ingat kata-kata sekretaris direktur yang tadi menelepon dia, dia harus menelepon pria itu jika sudah tiba di kantor. Arini pun mengeluarkan ponsel lalu menghubungi nomor pria yang menelponnya tadi.Panggilan pertama tidak diangkat. Panggilan kedua juga sama. Sampai panggilan ketiga belum juga ada jawaban. Arini mulai bingung. Dia merasa sudah ditipu mentah-mentah karena ternyata sekretaris itu tidak menepati janjinya. Arini meremas ponsel sambil berpikir apa yang akan dia lakukan di sana. Tetapi menunggu atau pulang ke rumah. Sebelum memutuskan untuk pulang, Arini melihat ada meja dan seseorang yang berdiri di belakangnya. Arini mendekati meja d
Baru saja Wisnu masuk rumah. Pria itu sudah ditarik lengannya oleh Arini masuk ke kamar, dia hanya bisa pasrah. Wisnu tampak bingung dengan tingkah Arini kali ini. "Rin, ada apa sih?" "Sini deh Mas, duduk di ranjang." Wisnu menuruti keinginan Arini duduk di tepi ranjang. Dia masih belum bisa menebak apa yang akan dilakukan istrinya kemudian. "Mas sudah duduk nih. Sekarang apa?" Arini berjalan mondar-mandir di hadapan suaminya, tetapi tatapannya tidak lepas dari wajah tampan suaminya. Arini masih curiga dengan suaminya yang memang selalu terlihat bersih jika dibandingkan dengan tukang ojek kebanyakan. Bahkan tubuh pria itu selalu wangi setiap pulang ngojek. "Coba ngomong sesuatu, Mas!" "Ngomong apa sih? Kamu tuh kenapa, Rin? Emang ada yang aneh sama Mas? Masa suami baru pulang masih capek terus disuruh duduk terus ngomong. Aneh!" Baru kali ini pria itu terlihat protes pada Arini. "Suaranya mirip banget." Arini mengingat suara CEO yang dia dengar di PT. Kalingga tadi. "Mas punya