Share

Bab 4

Author: April
Setelah memesan tiket pesawat, aku mematikan layar ponsel dan memejamkan mata sejenak untuk beristirahat. Dengan nada datar, aku menjawab,

“Tadi hanya lihat-lihat berita.”

Mendengar jawabanku, ekspresi tak senang di wajah Felix semakin terlihat jelas.

Dia langsung meraih ponselku dan dengan mudah membuka kunci layar.

Aku dan dia sama-sama tertegun, karena kata sandinya adalah tanggal lahirku.

Dia mengetiknya terlalu lancar, seolah sudah sering menggunakannya.

Wajah Felix memerah karena jengkel.

Dia buru-buru mengunci kembali ponselnya, tak peduli lagi aku sedang ngobrol dengan siapa, lalu menggertak dengan galak,

“Kuperingatkan baik-baik, jangan pikirkan yang macam-macam.”

Aku hanya menggeleng pelan dan menjawab tenang, “Aku nggak mengerti apa maksudmu. Aku juga nggak memikirkan apa-apa.”

Namun, usai aku bicara begitu, wajah Felix malah tampak semakin kesal.

Tiba-tiba, Celine malah terkekeh dengan senyuman ceria di samping.

Dia memeluk lengan Felix, mengedipkan mata dengan manja, “Felix, itu hari pertama kali kita bertemu~ Hari yang sangat layak dikenang, ‘kan?”

Felix menepis tangannya. Suaranya terdengar sedikit kesal, tapi juga seolah tidak, “Iya, sudah jangan dibahas lagi. Kita pulang saja.”

Begitulah, akhirnya kami pun tiba di tempat tujuan.

Begitu ferrari berhenti, Felix melemparkan ponselnya ke pangkuanku, seolah benda itu membakar tangannya.

Dia turun lebih dulu, lalu menuntun Celine yang tampak sangat tidak nyaman kembali ke kamar utama.

“Masak beberapa hidangan yang cocok untuk Celine dan….”

Suaranya terhenti sejenak, lalu menambahkan lagi, “Tambahkan beberapa hidangan yang disukai Nana. Siapkan tiga alat makan.”

Suaranya tak terlalu keras, seolah sengaja agar aku tidak mendengarnya. Tapi, aku mendengarnya jelas.

Hanya saja, aku tak lagi tahu harus bersikap seperti apa terhadap kebaikannya.

Hari-hari saat kami saling mencintai rasanya sudah begitu jauh. Haruskah aku merasa bahagia? Atau malah dingin dan acuh tak acuh?

Aku memilih berbalik dan kembali ke kamar tamu untuk mengemas barang-barangku.

Saat membuka koper, aku terkejut melihat semua pakaian di dalamnya telah digunting menjadi potongan-potongan.

Untungnya, dokumen dan paspor yang kusimpan di lapisan tersembunyi koper masih utuh.

Setelah menyelipkan semua dokumen itu ke tubuh dan bersiap pergi, aku malah diseret oleh dua orang anak buah ke ruang bawah tanah.

Begitu tubuhku dilempar ke lantai dingin di bawah sana, aku melihat Celine berdiri di sudut ruangan.

Dia memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan sinis.

“Kamu cukup kuat juga ya, Nana,” ucapnya sambil menyeringai, seolah menikmati penderitaanku.

“Harus kuakui, kebanyakan perempuan pasti sudah kabur kalau dipermalukan sepertimu. Tapi kamu berbeda, kamu masih saja… bertahan.”

Dia pura-pura menghela napas, “Oh iya, nenek tercintamu baru saja meninggal bulan lalu, ‘kan? Sekarang, selain Felix, kamu sudah tak punya siapa-siapa lagi untuk mengadu.”

Usai bicara, tiba-tiba topik pembicaraan Celine pun berubah. Sepasang matanya berputar cepat menatapku.

“Nana, kamu masih ingat nggak? Waktu kamu menangis, meronta-ronta minta naik helikopter pribadi demi melihat nenekmu untuk terakhir kalinya di rumah sakit, tapi Felix malah menolak. Kamu tahu kenapa?”

Dia tertawa, lalu mengeluarkan ponsel yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan memperlihatkannya padaku.

“Soalnya hari itu dia sudah janji mau ajak aku ke Pantai Huga untuk melihat matahari terbenam. Romantis, ‘kan? Kamu kehilangan satu-satunya orang yang mencintaimu, sementara dia sibuk menikmati sampanye hangat.”

Tembok baja di ruang bawah tanah memantulkan kata-kata itu berulang kali ke telingaku, sangat memekakkan.

Aku tak tahan lagi dan plak! Aku menepis ponselnya sampai jatuh.

Celine malah tertawa keras. Tatapannya terlihat sangat paus saat menatapku dan berkata pelan,

“Anna, kamu tahu nggak, Felix sudah menyerahkan kendali penuh rumah ini padaku. Aku sudah menyuruh anak buah memindahkan gudang senjata ke sebelah sini.”

“Sekarang, sudah waktunya!”

Belum sempat aku bereaksi, sudah terdengar suara ledakan yang kuat bergema hebat, disusul gelombang panas yang menyapu seluruh ruangan.

Ruangan bawah tanah itu hampir hancur total. Tubuhku terhimpit reruntuhan dinding yang jatuh, membuatku nyaris tak bisa bergerak. Darah mengalir deras dari dahiku.

Celine juga tertindih puing-puing, tapi di sekelilingnya masih ada dinding yang menopang sebagian berat.

Asap tebal yang mengepul membuat tenggorokanku perih dan membuatku terus-terusan batuk.

Setiap kali menarik napas, asap itu justru semakin masuk ke dalam paru-paru, hingga rasanya menyesakkan.

Tepat saat kesadaranku mulai kabur, aku mendengar suara Felix,

“Nana!”

Lalu, terdengar suara anak buahnya yang menahannya,

“Ketua, ini sangat bahaya! Kamu nggak boleh masuk! Tim penyelamat sedang bersiap….”

“Awas! Nana masih di dalam!”

Pria itu akhirnya nekat menerobos masuk ke dalam ruang bawah tanah.

Di tengah asap hitam yang menyesakkan, Felix tak menyangka bakal menemukan Celine di dalam.

Celine tertindih reruntuhan dan dengan lemah memohon Felix, “Felix, tolong aku….”

Jantung Felix serasa berhenti sejenak. Dia segera berlari dan dengan tangan kosong membongkar reruntuhan di atas tubuh Celine.

“Celine, tahan sedikit lagi!”

Dengan panik, dia menggendong tubuh Celine yang penuh debu. Lalu saat berbalik, dia melihat diriku juga tertindih reruntuhan.

Dia terdiam sejenak, tatapan kami juga sempat bertemu.

Dengan mata yang berkaca-kaca, aku melihat dia menggertakkan gigi dan berbalik.

Meninggalkanku tetap terkubur di bawah reruntuhan, tercekik oleh asap yang begitu tebal.

Suhu panas membakar kulitku. Asap hitam masuk lewat tenggorokan, membuat napas jadi siksaan yang luar biasa.

Namun aku tahu, kalau aku menyerah sekarang, artinya benar-benar mati.

Tidak… aku harus tetap hidup.

Setidaknya untuk melihat hari di mana Felix menyesal sampai hancur terpuruk.

Aku menggertakkan gigi dan mulai merangkak, mencoba mencari celah dari tumpukan tembok yang runtuh. Mengandalkan ingatanku tentang konstruksi vila ini, sedikit demi sedikit menuju lorong rahasia di ruang bawah tanah.

Itu adalah satu-satunya bagian bangunan yang dibangun dengan batu tahan api. Saluran udaranya tersambung ke tembok belakang taman. Mungkin… masih ada harapan.

Ayo cepat, lebih cepat lagi….

Akhirnya, aku melihat cahaya.

Itu cahaya bulan dari taman, kebebasan yang tak pernah kubayangkan bisa kulihat lagi.

Aku terjatuh di dalam semak mawar, duri-durinya menggores pipiku hingga berdarah. Tapi, aku tetap tertawa, tawa lepas yang tak bisa kutahan.

Akhirnya, aku naik ke mobil rolls-royce yang entah sudah berapa lama menunggu di luar, lalu meluncur ke bandara.

Setelah mengurus bagasi, aku pun naik ke pesawat yang akan membawaku ke Balin, Lampun sambil berbatuk-batuk.

Sebelum pesawat lepas landas, aku menerima satu pesan dari Felix,

[Aku nggak ada waktu main petak umpet. Datang temui aku sekarang juga.]

Nana yang dulu mungkin akan langsung membuang harga diri dan berlari kembali ke sisinya.

Namun, aku yang sekarang hanya mematikan ponsel, mencabut kartu SIM dan membuangnya ke tempat sampah.

Pesawat pun lepas landas, perlahan meninggalkan pemandangan Etali di kejauhan.

Felix, mulai sekarang, kita tak akan pernah bertemu lagi.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Diriku Seutuhnya   Bab 11

    Mendengar teriakan histeris dan tangisan memilukan Celine, Felix tak mengernyit sedikit pun. Dia pun menjawab dengan begitu dingin, “Celine, aku hanya membiarkanmu merasakan apa yang telah kamu lakukan pada Anna. Itu nggak keterlaluan, ‘kan?”“Oh iya, nanti juga nggak akan ada anestesi atau obat penghilang rasa sakit. Mulai sekarang, kamu juga nggak akan pernah bisa punya anak lagi. Bersiaplah.”Telepon di seberang sunyi senyap beberapa detik, lalu tiba-tiba Celine mulai memohon dengan panik,“Felix… Felix! Kamu nggak boleh melakukan itu padaku! Tolong lepaskan anak kita! Aaa….!”Mendengar jeritan tajam Celine yang tiba-tiba, tubuhku langsung gemetar.Felix menutup telepon, wajahnya masih tersenyum penuh harap padaku.Wajah Felix yang pucat luar biasa, menggenggam tanganku dan menempelkannya ke pipinya.“Anna, nanti mereka akan kirimkan rekaman video operasi itu padaku. Kalau kamu mau, aku juga bisa menyuruh mereka mengirimkan janin yang sudah mati itu ke sini. Setelah melihat dengan

  • Diriku Seutuhnya   Bab 10

    Dalam perang tanpa senjata yang terpaksa dimulai ini, orang pertama yang kehilangan kendali adalah Justin.Malam itu, sepulang dari pesta, aku dan Justin melihat Felix dari kejauhan sedang berdiri di bawah lampu gerbang, sambil memeluk biola di pelukannya.Jalan kecil menuju rumah dipenuhi taburan kelopak mawar.Begitu turun dari mobil, langit malam di belakangku tiba-tiba meledakkan puluhan ribu kembang api yang menyala bersamaan.Dalam dentuman kembang api itu, Felix memainkan lagu [Pujaan Hati] dengan biolanya.Justin pernah menyiksa dirinya sendiri dengan menonton berkali-kali rekaman saat Felix melamarku.Waktu itu, aku masih muda dan polos, mudah luluh oleh pertunjukkan kembang api yang memukau dan pertunjukkannya yang penuh perasaan.Di atas hamparan kelopak mawar yang membentuk karpet, aku pun menerima lamarannya.Kini, saat melihatku menoleh karena tertarik perhatian kembang api, akhirnya Justin tak tahan lagi dan langsung melayangkan pukulan ke wajah Felix.“Brengsek! Kenapa

  • Diriku Seutuhnya   Bab 9

    Saat Felix terbangun, jam dinding sudah menunjukkan pukul dua belas.Di nakas samping ranjang ada segelas air hangat. Felix meminum habis air itu dengan penuh suka cita, lalu berjalan keluar kamar dengan gembira, berusaha menahan rasa tidak nyaman di tubuhnya, demi bisa bertemu istrinya dan berbicara lagi dengannya.Namun, saat menaiki tangga spiral dengan keringat membasahi wajahnya dan sampai di atap.Yang dia lihat adalah istrinya tengah berciuman dengan pria bernama Justin.Seketika, jantungnya terasa nyeri seperti ditusuk.Felix menekan bibir pucatnya, melangkah maju dan mencengkeram kerah baju Justin, sambil menggertak, “Kurang ajar! Apa yang kamu lakukan pada Anna?!”Sampai di titik ini, Felix sudah tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri dengan mengira Anna hanya sekadar tertipu Justin.“Siapa yang mengizinkan kamu menyentuh Anna?!”Justin tersenyum mengejek.“Cih, kamu yakin sudah memperlakukan Anna dengan layak sebagai seorang istri?”Belum sempat Justin melanjutkan lagi,

  • Diriku Seutuhnya   Bab 8

    Merasa tubuhku menegang, Justin memelukku lebih erat.“Felix, aku tahu kamu. Kamu suaminya Nana.”Justin menatapku sambil tersenyum, “Apa yang membuatmu tertarik padanya dulu? Dari penampilannya jelas dia nggak sekeren aku.”Felix langsung merasa agak sesak napas, seolah dadanya terpukul dengan keras beberapa kali. Tatapannya terpaku pada tangan Justin yang melingkari pinggangku. Kalau ini terjadi di wilayah kekuasaannya sendiri, mungkin detik berikutnya dia sudah mengeluarkan pistol dan menembak tangan itu.Justin melepaskan tangannya dari pinggangku dan berkata, “Jangan lihat tanganku seperti itu, nggak sopan. Tapi, aku juga harus sopan dan memperkenalkan diri. Perkenalkan, namaku Justin.”Felix mengenakan setelan jas rapi, kini tampak malang dan kehilangan wibawa, “Kamu anak yatim yang diadopsi keluarga Nana, ‘kan? Hanya anak angkat saja, memangnya pantas mendekati Nana?”Justin hanya mengangkat bahunya santai, tampak tak peduli.Namun, aku mulai mengernyit, “Felix, jangan asal bica

  • Diriku Seutuhnya   Bab 7

    “Sayang, dengarkan aku dulu.”Celine memohon dengan panik, “Aku dan anak kita nggak bisa hidup tanpamu. Meskipun marah padaku, kamu nggak seharusnya membenci anak kita!”“Kalau Nana benar-benar mencintaimu, seharusnya dia bisa menerima anak ini seperti anaknya sendiri! Dia sendiri nggak bisa hamil, kamu lupa?! Lagipula, dia juga yang merusak pesta ulang tahun Harris, membuat kamu dan dia dipermalukan di depan banyak orang! Dia sudah sejahat itu, kamu masih….”Melihat wajah Felix yang membeku seperti es, suara Celine semakin lama semakin pelan.“Aku rasa kamu sudah lupa diri.”Felix merapikan lengan bajunya. Hari ini, dia sengaja memakai manset kemeja pemberian Nana, bukan dari Celine. Seolah sedang menyiratkan sesuatu. “Celine, dulu aku mengira kamu hanya agak manja, jadi aku selalu membiarkan apa pun yang kamu lakukan, pura-pura nggak lihat.”“Benar yang kamu bilang. Nana memang nggak bisa hamil, itu sebabnya aku mencari kamu. Karena anak dalam kandunganmu yang aku inginkan. Tapi, ka

  • Diriku Seutuhnya   Bab 6

    Menghadapi pertanyaan tajam Harris, Felix menekan bibirnya, lalu menjelaskan,“Belakangan ini Nana sibuk menyiapkan sesuatu, sampai kecapekan dan membuat asmanya kambuh. Dia benar-benar kecapekan, jadi aku menyuruhnya untuk istirahat dulu.”Harris menoleh ke arah Celine yang sedang berbincang dengan orang lain tak jauh dari sana. Tatapannya tajam, seolah peka dengan segalanya.Dua jam pun berlalu.Para anggota keluarga sudah selesai memberi salam dan hadiah. Felix menatap layar ponselnya yang penuh pesan belum terbaca dan semakin kuat rasa gelisah di hatinya.Dengan alasan keluar untuk merokok, Felix berjalan ke balkon dan mencoba menelepon Nana. Namun, yang dia dapat hanyalah suara operator berulang kali.Jantungnya mencelos. Dia mencoba menelepon lagi, tetap mendapat jawaban dingin yang sama.Dirinya diblokir.“Sialan!” Felix meninju dinding dengan keras.Sementara itu, di dalam aula pesta yang mewah, seorang anak buah datang menyerahkan tiga buah hadiah.Di bawah tatapan penasaran

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status