"Terima kasih telah bersedia menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku kelak."
Kalimat itu kudapatkan bersamaan dengan ciuman hangat di kening. Hanya selang beberapa saat, ia kembali menatap mataku dalam, memancarkan aura mendamba yang begitu kentara. Senyum indah tak luntur dari bibirnya. Kurasakan kedua pipiku yang direngkuh olehnya memanas saat menyadari ke mana arah netra itu memandang. "M-mas," cicitku gugup. Menurunkan pandangan karena tak mampu lagi menatapnya. Pria yang beberapa jam lalu resmi menjadi suamiku itu tersenyum. Mengusap suraiku dengan penuh kelembutan. Mengangkat daguku agar kembali menatapnya. Lalu berujar, "Hari ini, malam ini, kita sudah resmi dipersatukan. Kamu, istriku, akan menjadi satu-satunya wanita yang berdampingan denganku hingga akhir hayat nanti." Hatiku menghangat mendengar penuturannya. Mas Damian dengan segala kelembutannya tak akan pernah berhenti membuat jantungku berdebar. "Mas, bimbing aku agar menjadi Istri yang pantas untukmu, ya? Aku memiliki banyak kekurangan, tapi aku yakin Mas bisa membantuku menutupinya." "Bukan aku yang menutupi kekuranganmu. Tapi kamu dengan segala kelebihanmu yang akan menutupinya sendiri. Lagipula, aku tidak akan mempermasalahkan kekuranganmu. Bagiku kamu sempurna, Airin. Aku benar-benar mencintaimu." Mas Damian mengecup lembut bibirku beberapa detik, kemudian kembali tersenyum lebar seperti biasa. "Aku yakin kamu pasti bisa jadi istri dan ibu yang baik untuk anak-anakku kelak." Aku lagi-lagi tersipu mendengar perkataannya. Saat Mas Damian membingkai wajahku dengan kedua tangannya, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Ngomong-ngomong soal anak, memangnya Mas ingin berapa anak nanti?" "Umm ... empat?" jawabnya dengan raut wajah menerka-nerka. "A-apa?" mataku sedikit terbelalak mendengar jawabannya. "Banyak banget, Mas?" Mas Damian mendengus geli. "Kenapa? Menurutku itu tidak terlalu banyak kok. Dua laki-laki dan dua perempuan. Kedengarannya bagus." "Itu banyak, Mas. Aishh ...!" Aku memukul pelan dada bidangnya. Membuat Mas Damian tergelak dan menarik tubuhku untuk dipeluknya. "Baiklah-baiklah, terserah istriku saja ingin memberi anak berapa." Aku tersenyum jahil padanya. "Kalau aku tidak mau memberi anak?" "Hei, maksud kamu apa, Sayang?" Mas Damian melepaskan pelukannya. Tapi tangannya tetap melingkari pinggulku. "Tidak-tidak, aku hanya bercanda, kok!" balasku sambil tertawa pelan. Mas Damian mendengkus kemudian menarik tubuhku lagi. "Jangan bercanda seperti itu, tidak baik. Aku sangat suka anak-anak dan selalu berharap memiliki anak sendiri bersamamu." Aku tersenyum bahagia dalam pelukannya. "Iya, Mas. Aku juga ingin punya baby nanti. Kita berusaha sama-sama, ya?" "Tentu," balas Mas Damian sambil memberikan kecupan lembut di pucuk kepalaku. Setelahnya, kami benar-benar berusaha dalam artian sesungguhnya agar keinginan memiliki anak benar-benar tercapai. Bahkan ... hingga lima tahun pernikahan pun kami masih berjuang keras. Entah apa sebenarnya yang salah di sini. Apa Tuhan benar-benar mendengarkan candaanku waktu itu? Atau memang belum waktunya? Entahlah, yang pasti semuanya sudah berubah di sini. Termasuk Mas Damian. Aku tidak tahu sikap seseorang bisa berubah secepat itu. Tak ada lagi senyum hangat yang selalu terpatri setiap ia menatapku. Tak ada lagi kecupan lembut di tiap pagi dan malamnya. Tak ada lagi kata-kata mendamba yang dulu selalu ia lontarkan. Apa ... Mas Damian telah bosan kepadaku? Padahal pernikahan kami baru menginjak 5 tahun. Itu pun aku mati-matian mempertahankannya. Di kamar ini, tepat di mana aku berdiri sekarang, lima tahun yang lalu Mas Damian mengatakan kecintaannya padaku dibumbui kecupan kecil. Saat itu malam pertama kami, Mas Damian berkata tidak akan mempermasalahkan kekuranganku. Tapi sekarang ... ia bahkan menutup mata akan kelebihanku. Kini yang kulihat di mata Mas Damian hanya ada pancaran muak dan risih. Ia seolah tak mau bertatap muka denganku lagi. Apalagi setelah vonis mengerikan dari Dokter minggu lalu, baik aku maupun Mas Damian benar-benar merasa terpukul. Pantas saja perjuangan kami selama ini terasa sia-sia. Tuhan memang telah menakdirkan kami untuk tidak memiliki anak selamanya. Rahimku takkan bisa mengandung karena suamiku tak bisa membuahinya. Mas Damian yang dulu bermimpi ingin memiliki banyak anak harus mengubur dalam-dalam mimpinya. Beberapa hari ini, pria itu benar-benar terpuruk. Ia merasa gagal menjadi seorang pria sekaligus suami. Mas Damian bahkan menolak untuk berbicara pada siapa pun. Hari ini sebenarnya adalah hari ulang tahun pernikahan kami. Jangankan merayakan dengan dinner romantis, aku bahkan belum bertemu Mas Damian sejak semalam. Ia mengunci diri di kamar tamu, seperti frustrasi dengan keadaannya sendiri. Sedangkan diriku hanya bisa menangis di kamar kami. Berdiri di balkon kamar, menatap langit malam yang lenggang. Tidak ada satu pun bintang di sana. Hanya ada bulan seorang. "Dulu ... Mas Mian suka memeluk aku dari belakang di sini. Lalu kita menatap bulan dan bintang bersama-sama." Aku menyentuh pagar pembatas yang terbuat dari besi, rasanya dingin. Begitupun dengan udara malam ini yang serasa menusuk hingga ke tulang. Ah, jika Mas Damian mendekapku sekarang, pasti rasanya akan lebih hangat. Seandainya aku boleh meminta sesuatu pada Tuhan sebagai hadiah ulang tahun pernikahanku hari ini, aku hanya ingin meminta satu hal, tidak lebih. Hanya hal sederhana, Mas Damian datang kemari dan memelukku seperti yang sering ia lakukan dulu. Tapi itu terasa mustahil, Mas Damian bahkan tak mau bertemu denganku. Aku tidak mengerti, Mas Damian nampak selalu marah. Entah pada dirinya sendiri atau padaku. Aku berusaha berpikir positif, mungkin Mas Damian masih tidak bisa menerima kenyataan. Sekitar 10 menit aku bertahan dengan posisi itu, tidak peduli udara malam bisa saja membuatku masuk angin, aku tengah menikmati kesunyian ini. Sampai akhirnya kurasakan sepasang lengan kekar membelit pinggangku, bersamaan dengan itu aroma parfum yang benar-benar familiar menyeruak. Aku kontan membelalak, tubuhku bahkan terasa membeku. "M-mas—" "Airin." Ah, suara baritone itu, aku benar-benar merindukannya. "Kita cerai saja, ya?" Duarr! Bagaikan mendengar petir di siang bolong, diriku kembali dibuat terkejut. Mataku semakin membelalak. Namun kali ini aku dengan refleks berbalik menghadapnya. "Maksud kamu apa, Mas?!" Mas Damian tersenyum kecut. Penampilannya agak berantakkan. "Kita ... lebih baik bercerai." "Mas!" "Airin, aku sudah tidak bisa lagi." Mas Damian nampak putus asa. "Kita tidak akan pernah bahagia." "Lalu Mas pikir dengan bercerai masing-masing dari kita akan bahagia?!" "Setidaknya kita bisa bebas." "Mas! Kamu sudah gila?! Semudah itu kamu menyerah?!" Mas Damian mendelik. "Terus memangnya aku bisa apa?! Aku dinyatakan mandul, Airin! Aku tidak akan bisa membuat kamu hamil!" "Setidaknya kita berusaha dulu, Mas! Tidak ada yang tidak mungkin selama Allah menghendakinya." "Apalagi yang diusahakan kalau aku saja dinyatakan positif mandul?!" "Mas, kamu jangan berbicara seperti itu. Yang penting kita berdoa saja. Medis bahkan tidak bisa berkutik kalau Allah sudah memberi kejutannya. Banyak di luar sana yang katanya mandul tapi akhirnya bisa punya anak," paparku dengan harapan Mas Damian mengubah keputusannya. "Kamu tidak akan mengerti, Airin! Kamu tidak mengerti perasaanku! Aku frustrasi dengan semua ini!" Mas Damian malah terdengar semakin marah. "Itu sebabnya aku ingin tetap di samping kamu, Mas. Aku ingin kita menghadapi ini sama-sama!" "Airin—" "Mas," selaku cepat. "Kita pasti bisa, Mas. Aku yakin kita pasti bisa memiliki anak suatu saat nanti." Mas Damian mendengkus, lalu membuang pandangannya ke arah lain. "Ini gara-gara kamu." "A-apa?" sentakku tak percaya. Kenapa tiba-tiba ia menyalahkanku? "Kamu lupa? Di sini, di malam pertama kita, kamu bercanda dengan bawa-bawa anak. Lihat sekarang? Itu benar-benar jadi kenyataan!" hardik Mas Damian dengan tatapan tajamnya. "Mas—" "Kamu secara tidak langsung berdoa tidak ingin punya anak!" "Mas, maksudku bukan seperti itu ...," lirihku dengan tatapan memelas. Berharap ia tak menganggap serius guyonanku di masa lalu. "Makanya itu, Airin. Kamu tuh kalau bercanda dikira-kira, jangan asal ceplos saja!" sembur Mas Damian, terus memojokkan aku. "Mas, kamu menyalahkan aku?" "Lalu aku harus menyalahkan siapa lagi?! Aku lelah menyalahkan diriku sendiri!" Aku menghela napas berat. Berusaha mengerti akan posisi Mas Damian dan perasaannya yang benar-benar kalut saat ini. "Kita tidak perlu saling menyalahkan, Mas. Kita hadapi ini sama-sama!" "Tapi aku tidak mau!" intonasi suara Mas Damian meninggi. "Setiap melihat kamu, aku selalu teringat bercandamu waktu itu dan kata-kata Dokter kemarin! Aku merasa kamu memang tidak ingin memiliki anak dariku, makanya Allah sampai membuat aku mandul seperti ini!" bentaknya dengan emosi menggebu-gebu. "Mas! Maksud kamu apa?!" Mas Damian menepis tanganku, ekspresinya nampak begitu muak. "Sudahlah, Airin. Aku muak denganmu." "Mas?!" "Aku sudah mengatakan ingin berpisah. Tapi kalau kamu tidak mau, terserah. Aku sudah tidak berharap apa pun dari kamu lagi," tandas Mas Damian kemudian beranjak keluar dari kamar. "Tunggu, Mas! Mau ke mana? Kita perlu bicara lebih!" Aku ingin berlari mencegat kepergian Mas Damian, tapi rasanya itu akan sia-sia saja. Yang ada Mas Damian akan semakin marah padaku. Akhirnya yang bisa kulakukan hanya sesenggukan dengan tubuh lemas hingga lunglai ke lantai. Aku tidak tahu jadinya akan seperti ini. Mas Damian ingin bercerai? Itu pun bukan karena merasa tidak pantas sebagai suami, tapi karena mengira aku pembawa sial untuknya. Ya Tuhan ... apa rumah tanggaku benar-benar akan hancur sekarang? *** Pagi harinya, aku terbangun dengan mata sembab dan wajah sedikit bengkak. "Jelek sekali," keluhku dalam hati saat bercermin. Aku segera menuju kamar mandi untuk membasuh muka dan membersihkan diri. Dua puluh menit kemudian, aku keluar dengan tubuh lebih segar. Setelah mengenakan pakaian, aku keluar dari kamar dan berhenti sejenak di depan kamar tamu. Kuketuk pintu pelan. "Mas? Mas Damian sudah bangun?" Tak ada jawaban. "Mas?" panggilku lagi. Tetap sunyi. Aku menghela napas, memilih tidak memaksanya. "Aku buat sarapan dulu, ya, Mas. Nanti kita makan bersama dan bicara lagi." Di dapur, aku menyiapkan nasi goreng. Tak butuh waktu lama, dua piring sudah tersaji di meja makan. Aku melirik pintu kamar tamu yang masih tertutup. "Haruskah aku memanggilnya?" Namun, suara bel rumah mengalihkan perhatianku. "Loh, siapa yang bertamu pagi-pagi begini? Mana hujan pula," gumamku. Aku baru hendak melangkah ke depan ketika kudengar langkah kaki di tangga. Mas Damian akhirnya keluar dari kamar, tapi ekspresinya dingin dan tak menoleh sedikit pun padaku. "Mas," panggilku, tapi ia tak merespons dan langsung membuka pintu. "Bu?" Aku tersentak mendengar suara itu. Ibu mertua berdiri di depan rumah dengan payung basah di tangannya. "Bu, kenapa tiba-tiba ke sini? Harusnya bilang dulu biar Mas Damian jemput," katanya. Aku segera maju, menyambut ibu dengan senyum hangat. Kusalam tangannya dengan hormat. "Anggap saja ini kejutan," jawab ibu, melangkah masuk. "Ibu ke sini sama siapa? Pakai apa?" tanyaku cemas. "Sama Mira. Dia masih di mobil." Aku menoleh ke luar dan melihat Mira, adik iparku, turun dari mobil dengan pakaian sedikit basah. "Mir!" Aku segera menghampirinya. "Oh, Mbak." Mira tersenyum kecil sambil mengusap lengannya. "Mbak, boleh pinjam baju? Bajuku basah, takut masuk angin." "Boleh, ayo masuk." Aku mengajaknya masuk ke dalam rumah, tapi pikiranku terus bertanya-tanya. Ada apa hingga ibu dan Mira datang pagi-pagi begini, menerobos hujan pula? Tebakanku terjawab ketika kudengar percakapan ibu dan Mas Damian di ruang tamu. "Ibu khawatir, Mas. Perasaan Ibu tidak enak dari tadi malam," kata ibu. "Itu sebabnya pagi ini Ibu langsung minta Mira mengantar ke rumah kamu." "Mas baik-baik saja, Bu. Ibu tidak perlu khawatir," balas Mas Damian lembut. Ibu menatap wajahnya dalam-dalam, lalu membingkai pipinya dengan kedua tangan. "Baik-baik saja bagaimana? Muka kamu pucat begini. Kamu sakit apa, Nak?" Aku tahu, perasaan seorang ibu tidak bisa dibohongi. Meski terhalang jarak, ikatan batin selalu membuat mereka tahu jika anaknya sedang tidak baik-baik saja. "Mas Damian hanya kurang enak badan, Bu," jawabku akhirnya. Ibu menghela napas, lalu menatapku. "Airin, kamu harus lebih perhatian. Sudah dikerokin belum?" Aku menggeleng. "Ya sudah, ambilkan minyak kayu putih dan koin. Biar Ibu saja yang mengeroki," perintahnya. "Iya, Bu." Aku mengajak Mira ke kamar sekalian mengambil bajunya. Saat memilihkan pakaian, Mira bertanya, "Mbak, ada masalah, ya, sama Mas Mian?" Aku sedikit tersentak. "Hah? Enggak, Mir. Kenapa tanya begitu?" "Mas Damian kelihatan kesal." Mira menghela napas. "Tapi juga terlihat sedih." Aku terdiam. "Kalian bertengkar lagi karena momongan?" Aku tersenyum hambar. "Lebih tepatnya, Mas Damian kecewa karena kali ini hasilnya negatif lagi." Mira menatapku prihatin. "Mbak dan Mas Mian nggak mau periksa ke dokter?" Aku terdiam sesaat. 'Sudah, Mir. Sudah. Dan hasilnya…' "Iya, nanti dicoba," jawabku akhirnya. Kami kembali ke ruang tamu. Aku menyerahkan minyak kayu putih dan koin pada ibu, lalu duduk di dekat mereka. Mas Damian hanya diam, membiarkan ibunya mengusap punggungnya dengan minyak kayu putih. "Oh iya, Ai, Ibu bawakan jamu untukmu. Diminum, ya," ujar ibu. Aku melirik tumbler di atas meja. Benar dugaanku, isinya jamu. Sejak dulu, ibu selalu membawakan jamu ini untukku. Katanya, ramuan ini ampuh untuk menyuburkan rahim. "Kamu selama ini minum jamu dari Ibu tidak, sih?" tanya ibu tiba-tiba. "Kalau iya, kenapa khasiatnya tidak bekerja?" Aku terdiam. 'Bagaimana mau bekerja, Bu? Seharusnya yang minum jamu itu Mas Damian, bukan aku. Rahimku sehat.' Aku menoleh ke Mas Damian, yang kini menunduk. 'Kasihan Mas Damian. Aku tidak tega melihatnya begini.' "Ai?" panggil ibu, menyadarkanku. "I-iya, Bu. Airin selalu minum jamu pemberian Ibu," jawabku hati-hati. "Lantas kenapa kamu belum hamil juga?" Aku tercekat, tak tahu harus menjawab apa. "Bu, sebenarnya kami sudah periksa ke dokter," tiba-tiba Mas Damian bersuara. Aku langsung menoleh padanya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Dokter bilang .…" Mas Damian menarik napas panjang. "Airin tidak akan bisa hamil. Dia … mandul." Darahku serasa berhenti mengalir. Aku membelalak, menatapnya tak percaya. 'Mas …, apa yang baru saja kamu katakan?!' Ibu juga terkejut, lalu ekspresinya berubah marah. "Sudah Ibu duga!" serunya. "Dari awal Ibu sudah curiga kalau Airin mandul! Pantas saja selama ini tidak bisa memberi keturunan!" Aku tergugu, tubuhku membeku. Kenapa … Mas Damian mengatakan ini? Kenapa ia membalikkan fakta?! "Ibu sudah bilang, kan? Seharusnya kalian periksa dari dulu! Lihat sekarang? Kamu bukan hanya terlambat, tapi memang tidak akan bisa punya anak kalau begini!" Ibu terus mengomel, sementara Mira mencoba menenangkannya. Aku menatap Mas Damian dengan kekecewaan mendalam. 'Kenapa, Mas? Kenapa malah menyalahkanku?' Ia hanya menunduk, tapi matanya melirikku sekilas—tatapan penuh permohonan. Aku ingin membantah. Aku ingin berteriak. Tapi kata-kata terhenti di tenggorokanku. Untuk saat iini aku memilih diam.Hari ini adalah hari pernikahan Mas Damian dan Anita. Ya, pernikahan yang tidak kuharapkan itu benar-benar terjadi meski aku sudah bersusah payah melakukan berbagai cara untuk membatalkannya. Tapi, ibu mertuaku yang selalu teguh pada pendirian itu tetap memaksa melaksanakan pernikahan kedua putranya bagaimanpun keadaannya. Bahkan, jika aku tengah jatuh sakit seperti ini sekalipun.Hatiku berdenyut nyeri melihat Mas Damian dengan pakaian rapinya duduk berdampingan dengan wanita lain selain diriku. Teringat dulu aku lah yang duduk di sana, di tempat Anita. Memakai kebaya putih dan tersenyum gugup melihat Mas Damian mengucapkan ijab kabul. Tapi sekarang, posisiku itu telah digantikan oleh wanita baru.Anita ... wanita itu tampak benar-benar bahagia di samping Mas Damian. Ia seolah tidak mempedulikan statusnya yang hanya menjadi istri kedua dan pernikahan ini yang hanya pernikahan siri. Anita tampak terus menatap Mas Damian dengan tatapan mendamba seolah merasa Mas Damian akan menjadi mil
"Ini Anita, anak dari almarhumah tante Ratih. Kamu masih ingat, kan, Mas sama dia? Anita ini teman kecil kamu dulu, loh."Aku menatap sendu wanita yang duduk di samping ibu. Tak kusangka, ibu akan membawanya ke rumah kami secepat ini. Wanita itu begitu cantik. Tubuhnya ramping, rambut hitamnya panjang terurai dengan poni menghiasi dahinya, bulu matanya lentik dan kedua pipinya memiliki lesung pipit. Benar-benar definis cantik sekaligus manis di saat bersamaan.Seolah tahu apa yang kurasakan, Mas Damian tiba-tiba mengambil tangan kananku dan menggenggamnya. Aku menoleh padanya, mendapati dirinya tersenyum kecil padaku dengan sorot mata penuh arti. Ia seolah memintaku untuk percaya padanya."Mas," panggil ibu dengan tampang jengkel. Mungkin ia kesal karena penjelasannya tadi tak digubris Mas Damian. "Mas Mian, ini Anita mau kenalan, lho, sama kamu.""Ibu bilang kami pernah berteman saat kecil, kan? Itu artinya, kami sudah saling mengenal. Jadi tidak perlu berkenalan lagi," balas Mas Dam
"Airin," panggil Mas Damian saat memasuki kamar kami. Aku tak menjawab panggilannya. Bersikap seolah tak mendengar suara dan tak merasakan kehadirannya. Aku yang kini berbaring di ranjang dan membelakangi pintu, tengah sibuk terisak pilu."Sayang ...."Kemudian kurasakan ranjang bergerak, menandakan Mas Damian kini mengisi tempat kosong di sampingku. Sepersekian detik kemudian lengan kekarnya sudah melilit perutku. Pria itu menarik pelan tubuhku, mendekatkan pada tubuhnya sendiri hingga kini punggungku bersentuhan dengan dada bidangnya. Aku masih tak merespon sedikit pun bahkan saat Mas Damian menenggelamkan wajahnya di ceruk leherku."Ai ...," bisiknya lirih, "sayang, Mas minta maaf."Aku tidak butuh maaf darimu, Mas! Yang kubutuhkan adalah penolakan tegasmu atas kehendak ibu!"Airin, jangan mendiamkan Mas begini." Mas Damian semakin mengeratkan pelukannya. Napasnya yang menerpa tengkukku terasa panas. Sepertinya Mas Damian masih kurang enak badan.Ah ... bahkan saat marah dan kecewa
Hari ini aku mulai mengerjakan tugas-tugasku sebagai seorang istri lantaran sudah berbaikan dengan Mas Damian. Seperti biasa, setelah sholat subuh aku tak lanjut tidur lagi, aku akan pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Lalu lanjut mempersiapkan kebutuhan Mas Damian dan kebutuhan diriku sendiri.Mas Damian hari ini sudah kembali mengajar. Katanya, banyak tugas-tugas dari mahasiswanya yang belum ia periksa. Untuk itu ia bisa menyerahkan ke asdos (asisten dosen), tapi hari ini ia juga harus mempersiapkan soal UTS para mahasiswanya. Itu sebabnya ia tetap harus ke kampus. Suamiku ini adalah dosen pengampu mata kuliah Linguistik Umum. Ia mengajar di fakultas FKIP, lebih tepatnya Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.Sedangkan aku adalah seorang pengajar di Taman Kanak-kanak. Kebetulan hari ini aku juga harus kembali mengajar setelah mengambil cuti tiga hari karena tidak bisa meninggalkan Mas Damian yang waktu itu masih terpuruk. Karena sekarang keadaan sudah membaik, kami pun haru
Fana merah jambu telah menyingsing, lukisan semesta pun tampak indah melengkung di langit setelah hujan reda. Tapi suasana hatiku begitu buruk untuk mengagumi keindahan alam saat ini. Diriku baru saja mengantar keluar ibu dan Mira yang memutuskan pulang. Sebelumnya, ibu berencana ingin menginap dan membicarakan tentang masalah rahimku yang sebenarnya sehat-sehat saja. Tapi, Mas Damian meminta mereka pulang dengan alasan ingin membicarakan sesuatu yang penting berdua bersamaku. Meski Mas Damian mengatakannya secara halus, ibu tetap merasa seperti diusir. Wanita paruh baya itu pulang dengan ekspresi kesal dan perasaan dongkol. "Mas." setelah mobil Mira dan ibu benar-benar pergi, aku langsung masuk kembali ke rumah dan menghampiri Mas Damian yang masih duduk di sofa ruang tamu. Pria itu tampak memijit pelipisnya dengan ekspresi lelah. "Apa maksud Mas Damian tadi? Kenapa berkata seperti itu pada Ibu?" tuntutku meminta penjelasan. Mas Damian bangun dari tempat duduknya dan berdiri di ha
"Terima kasih telah bersedia menjadi istriku dan ibu dari anak-anakku kelak." Kalimat itu kudapatkan bersamaan dengan ciuman hangat di kening. Hanya selang beberapa saat, ia kembali menatap mataku dalam, memancarkan aura mendamba yang begitu kentara. Senyum indah tak luntur dari bibirnya. Kurasakan kedua pipiku yang direngkuh olehnya memanas saat menyadari ke mana arah netra itu memandang. "M-mas," cicitku gugup. Menurunkan pandangan karena tak mampu lagi menatapnya. Pria yang beberapa jam lalu resmi menjadi suamiku itu tersenyum. Mengusap suraiku dengan penuh kelembutan. Mengangkat daguku agar kembali menatapnya. Lalu berujar, "Hari ini, malam ini, kita sudah resmi dipersatukan. Kamu, istriku, akan menjadi satu-satunya wanita yang berdampingan denganku hingga akhir hayat nanti." Hatiku menghangat mendengar penuturannya. Mas Damian dengan segala kelembutannya tak akan pernah berhenti membuat jantungku berdebar. "Mas, bimbing aku agar menjadi Istri yang pantas untukmu, ya? Ak