Mahal dikit ngga ngaruh, biar kalian puas. Selamat membaca~
"Udah setengah jam ni ko belum nyala sih,""Iya udah pegel nunggu,""Bisa nggak sih benerin,""Ganti yang lama aja. Rugi pakai jasa mereka,""Bener ganti aja,""Iya ganti aja,"Seruan ibu-ibu membuat Jonathan hampir kewalahan. Sementara Jon hanya mengandalkan sisa-sisa keberaniannya menghadapi ibu-ibu yang brutal menyerangnya. "Saya mohon harap tenang. Semua pasti akan kembali semula," ucap Jon. "Alaaaah bacot lu. Buktiin dong omongan lu," "Iya bener,""Buk, saya mohon beri kami waktu," "Udah mending kalian pergi aja. Nyampah aja disini,"Aksi dorong-dorongan akhirnya terjadi. Jon tak kuat menahan dorongan para emak-emak yang menginginkannya pergi dari sini. Begitu riuh suasana di perumahan sampai akhirnya tak ada yang menyadari kalau semua listrik di tiap unit telah menyala seperti sedia kala. Jaringan wifi pun tersambung secara otomatis ke setiap ponsel. Hingga perhatian ibu-ibu yang menjambak rambut Jon teralihkan pada tiap anak yang memegang ponsel dalam mode lanscape. Merek
Sinar mentari mulai menyusup masuk ke setiap celah. Ruangan yang semula gelap sekarang mulai diterangi oleh warna keemasan yang lembut. Tiga mahasiswa masih terlelap dalam tidur yang pulas, tak menyadari bahwa sudah waktunya bangun. Ketukan pintu yang ringan seperti alarm dadakan yang akhirnya membangunkan Morgan dari dunia mimpinya. Dia meraih ponsel di samping tempat tidur untuk melihat jam, tapi sebelum dia sempat melihat layar, pintu utama terbuka perlahan. Krieettt.. “Kok pintunya nggak dikunci,” ucap pria yang membuka pintu. Sosok pria bertubuh kekar dengan balutan jas hitam itu berhasil membuat mata Morgan terbuka seketika. "Prof Gin," ujarnya sembari membenarkan posisi duduknya. Sementara itu, dua temannya masih tertidur pulas dalam posisi tak teratur. "Prof, mohon maaf ee s--silahkan d-duduk," Morgan masih berusaha mengembalikan kesadarannya. Baginya ia masih berada dialam mimpi melihat dosen pembimbingnya datang kesini tanpa aba-aba. "Iya-Iya, santai aja," sahut Prof
"Ini KTP saya Prof," Lirikan pria paruh baya itu jatuh seketika pada benda kotak pipih yang berisikan identitas penduduk. "Morgan Junior? Bener?" tanya Prof Gin. "Benar Prof," sahut Morgan. Alangkah senangnya Morgan lantaran telah mengganti identitasnya jauh-jauh hari sebelum mendaftar kuliah. Dengan begitu sangat kecil kemungkinannya orang bisa tau siapa dirinya yang sebenarnya. "Kalau gitu, saya butuh ATM,"Ketiga mahasiswa itu mengangkat kepalanya secara serentak. Mulut mereka sedikit terbuka. Reaksi spontan itu menunjukkan keterkejutan. "Mohon maaf Prof, tapi---" Morgan mencoba menyangga. "Salah satu aja. Nggak usah semuanya. Lagian kalau kalian dapat uang DP masa mau kalian simpan di kos?" "Oh begitu Prof," sahut Morgan sembari menganggukkan kepala. Hal yang sama juga dilakukan oleh dua temannya. "Emang kamu pikir ATM buat apa?""Mohon maaf Prof. Mungkin Morgan terlalu fokus," Dion menyanggah."Jangan terlalu fokus. Santai aja. Sama tolong ya, kalau diluar kampus nggak
"Regina, maaf ya. Datar banget. Maaf ya Regina. Lah kebalik dong. Regina maafin aku ya. Etdah kesannya aku ngemis terus," Selama di perjalanan isi kepalanya menyusun kata-kata minta maaf yang tepat. Belasan tahun sekolah, rupanya tak berguna bila tak fasih mengucapkan kata itu. "Sorry ye? Regina sorry ya. Regina Sorry banget. Sorry ye Regina. Lah kenapa jadi kayak paslon nomer dua," Beginilah dampaknya kalau keseringan nonton debat sampai lupa cara minta maaf yang baik. Lagipula bukan masalah besar jika ia tidak minta maaf karena baginya yang terjadi kemarin hanya masalah paham. "Minta maaf aja susah banget. Lagian kemarin ngapain dia disitu. Kayak kurang kerjaan aja. Yang salah tetap dialah, endingnya mancing opiniku yang enggak-enggak," Terlepas dari itu, nyatanya semalam Morgan tak bisa tidur lantaran merasa bersalah. Hingga mengalahkan egonya untuk bertekad minta maaf pada wanita itu. Hanya lampu merah yang berhasil membuat ban butut itu berhenti menggelinding. Teriknya menta
03.40 WIB~Terpantau di dalam kost Morgan sedang menatap laptop dan membuka beberapa aplikasi pengedit desain. Matanya yang lelah tak menyurutkan niatnya untuk mempromosikan projeknya. Sering kali tidur yang seharusnya menjadi keharusan kini berubah menjadi pilihan. Menurutnya lebih baik tak tidur semalam daripada proyeknya tak kunjung direalisasikan. Biarpun beberapa kali menguap, kedua matanya masih kuat melek sampai beberapa menit ke depan. Tiap detail desain yang dibuat harus rapi, masa amburadul. Apa kata dunia. Kejauhan dah. Apa kata Prof Robert bila desain mereka ternyata amburadul. Untuk ke sekian kalinya bibirnya menguap. Beruntung desainnya selesai. Setelah mengirimkan hasil desain itu pada rekannya, Morgan mengistirahatkan kepalanya sejenak. Untuk bersandar di dinding kost yang usang. Tapi beribu cerita terukir disana. Sementara di sebuah grup pribadi berisi tiga anggota ramai sekali pesannya. [Dion : Proposalnya jangan lupa diprint ya @Jon][Jonathan : Iy²][Dion : @M
Pasific Mall~Salah satu pusat perbelanjaan terkenal yang menawarkan pengalaman berbelanja yang mewah dan lengkap. Begitu melangkahkan kaki masuk ke dalam mall, udara sejuk langsung menyapa setiap pengunjung.Sistem pendingin udara yang canggih menjaga suhu di dalam mal tetap nyaman, sehingga pengunjung dapat menikmati waktu berbelanja dengan santai tanpa merasa terganggu oleh panasnya cuaca di luar.Itu dari segi suasana dan keadaan. Sedangkan infrastruktur di mall ini terlihat begitu elegan dan modern. Pencahayaan yang lembut dan desain interior yang menawan memberikan kesan mewah dan nyaman bagi para pengunjung. Aroma wangi dari berbagai toko parfum terkemuka menyambut semua orang menjelajahi lorong-lorong mall yang luas.[Prof Gin : Silahkan kalian cari properti yang kalian butuhkan]Tak lama setelah membaca pesan grup tersebut, muncul notifikasi dari bank yang berisi seseorang telah mengirim sejumlah uang. "Wei serius nih, kantor sama properti dibiayain Prof Gin," ujar Dion.
Letak perumahan yang strategis dengan jalan raya cocok dijadikan kantor sementara."Stop pak!"Truk pengangkut barang-barang berhenti di teras perumahan tersebut. Itupun dengan arahan tiga parkir dadakan yang diragukan kehandalannya. "Aku angkat PC, kamu angkat lemari," ujar Jon sembari melipat lengan bajunya. "Heh sembarangan aja. Berat!" sahut Dion. "Ya nggak papa. Itung-itung latian," bujuk Jonathan. "Latian apaan?" "Latian gepengin badan," "Enak ajaa, udah kamu aja yang angkat,""Aduh, pegel nih tangan,""Alah alesan aja,"Dua rekannya sedang berdebat, sementara Morgan membantu sopir melepaskan tali yang mengikat barang-barang diatas truk. Menyadari kedua temannya itu tak kunjung bergerak, ia berkata "Eh udah! Kita angkat bareng-bareng," teriaknya.Pusat perhatian tertuju pada Morgan yang berdiri diatas truk. "Nah ini baru bener," sahut Dion. Semuanya bekerja bahu membahu memindahkan barang-barang dari truk menuju dalam perumahan. Tak cukup disitu mereka juga menata perin
“Wooiii trio MJD,”Ketengangan di kantin sirna seketika. Saat itu hanya ada Morgan, Jonathan, dan Dion."MJD apaan?" Morgan melirik dua rekannya secara bergantian.Di tengah hiruk pikuk kampus Konoha, terdengar bentakan keras dari salah satu anggota geng yang dikenal sebagai musuh Morgan, seorang miliuner yang menyamar sebagai mahasiswa biasa. Geng tersebut terdiri dari Derren dan anak buahnya, yang telah menguasai kampus dengan perilaku intimidatif dan penindasan terhadap mahasiswa.Geng yang memerintah kampus tersebut memperlakukan mahasiswa berdasarkan status sosial dan kekayaan, bukan berdasarkan kemampuan akademik atau kepribadian. Mereka terus memperluas kekuasaan mereka tanpa ada yang berani melawan atau melaporkan tindakan mereka.Di tengah kondisi seperti itu, masih ada pertanyaan apakah ada mahasiswa lain yang berani menentang geng tersebut dan apakah ada harapan untuk mengembalikan keadilan di kampus Konoha.Dengan demikian, kehidupan kampus Konoha dipenuhi dengan keteganga