Share

bab 3

Tanpa basa-basi dan mengucap salam, mereka bertiga keluar dari rumahku.

"Awwww aduh!!!"

Aku mencubit kecil lengan Septian, meskipun cubitan nya kecil, tapi aku yakin rasanya perih.

"Kenapa sih kamu Tian!" tanya bibi Santi pada keponakanya.

"Auuwww ateu, aku dicubit Sisil huhuhu," dengan gaya khas kemayu nya, Septian mengadu pada bibi Santi.

Bibi Santi berbalik dan memelototiku, akupun hanya mengangkat kedua bahuku.

Kini keluargaku semuanya duduk di ruang tamu, adik-adikku antusias membuka koper yang aku bawa, karena di dalam koper banyak barang dan juga oleh-oleh yang aku beli.

"Waaaah kak, bagus banget ini bajunya, sepatunya juga, aku suka kak!" ucap Lisa adik bungsuku.

Aku melihat Rifki pun bahagia, tapi mungkin karna dia anak laki-laki jadinya tidak eksfresif seperti Lisa.

Aku melihat bapak duduk dan menghela nafas panjang, sebelum bapak membuka obrolan, aku terlebih dulu membuka pembicaraan.

"Bapak, kenapa bapa dengan mudah memberikan sertifikat rumah pada paman Adit?" tanyaku sambil mengusap lengan bapak dengan lembut, aku tidak ingin terkesan mengintimidasi bapak.

Akupun melihat wajah emak yang sangat kesal dan geram kepada bapak, sepertinya sebelumnya ada keributan di antara emak dan bapak.

"Maafkan bapak neng Sil, bapak merasa kasihan pada adik bapak itu, tadi dia memohon sekali pada bapak," sungguh, kali ini aku kecewa pada bapak, padahal aku yakin bahwa bapak tahu tabiat adik dan kakaknya.

"Tapi pak, apa mereka menolong kita sewaktu kita kesusahan? jika kita yang meminta tolong pada mereka, aku yakin hanya hinaan yang akan kita dapatkan," aku berbicara dengan nada bergetar menahan tangis, mengingat kekejaman dan keserakahan kakak dan adik bapak.

"Emak sudah lelah dengan sifat bapakmu yang seperti itu, entah ibu harus bagaimana lagi, haruskah ibu pulang ke rumah orang tua ibu pak?," ujar emak sambil menangis, melihat suasana yang mencekam, Lisa dan juga Rifki pun terdiam.

"Ighstifar Mak, apa yang ibu bicarakan?" tanya bapak tidak menyangka.

"Emak sudah lelah dengan bapak, apa gunanya emak di sini jika emak tidak pernah didengar sama sekali, bukannya emak tidak ingin membantu adik atau kakak bapa, tapi orang bagaimana dulu yang harus di tolong?" suara emak semakin serak.

Bapak mengusap wajahnya pelan, terlihat gurat penyesalan di wajahnya yang semakin menua.

"Bapak sayang, coba sedikit lebih tegas kepada saudara-saudara bapak, bapak lebih ingin melihat anak-anak dan istri bapak kecewa seperti ini? kelak jika nanti bapak tua, bapak akan meminta diurus kepada kami, bukan kepada saudara-saudara bapak!" aku berusaha bersuara sangat lembut supaya tidak menyinggung perasaan bapak.

"Iya bapak tau neng, bapak hanya menjalankan wasiat dari emak dan Abah, untuk saling menolong sesama adik kakak, ditambah lagi bapa anak laki-laki pertama," lagi-lagi alasan ini lagi yang di keluarkan oleh bapak.

Aku pun menghela nafas panjang untuk meredakan emosi ku.

"Pak, kakak dan adik bapak itu sudah berumah tangga, bapak sudah tidak ada kewajiban untuk membantu mereka lagi, mungkin jika membantu sedikit dan sewarajanya tidaklah menjadi masalah, tapi menurut pandangan Sisil, bapak sudah terlalu melewati batas, tanggung jawab bapak sekarang bukanlah kepada adik dan kakak bapak, melainkan pada anak dan istri," tak kuasa lagi aku menahan tangis, air mataku akhirnya tumpah.

Aku melihat kedua adikku pun menangis, bapak pun menitikkan air matanya.

"Maafkan bapak sudah dzalim pada kalian, maafkan bapak Mak, maaf, jangan pergi pulang kerumah orang tuamu, bapak sadar, sudah 30 taun emak menemani bapak hiks," bapak minta maaf memohon sambil memegang lengan ibu, memang untuk mendapatkan ku, cukup sulit untuk emak dan bapak, emak kosong kandungan selama 9 tahun.

"Emak juga minta maaf pak, tidak mungkin emak meninggalkan bapak jika tidak Allah yang memanggil emak," emak pun semakin tergugu.

Kami semua pun larut dalam tangisan bersama, tangis haru bahagia dan juga lega karena sudah menemukan akar masalah.

****

"Sil, beliin gulan ke warung Mak Esih," emak menyuruhku ke warung mak Esih untuk membeli gula, sebenarnya aku malas jika harus ke sana, karena di sana sarang ibu-ibu menggibah.

"Wahhh Sisil kemana aja? Pulang dari kota makin glowing aja nih, kerja apa sil?" tanya seorang ibu-ibu dengan nada nyinyir.

Belum aku menjawab, sudah ada ibu lain yang menimpali.

"Halaaaah, dalam waktu 2 tahun mana mungkin sukses dan jadi glowing kalo gajadi lonet di kota wkwkw!"

Aku langsung menatap ibu gibah itu tajam.

"Bu, sebaiknya jika mau menggunjing orang lain, ibu lihat dulu kedalam rumah ibu sendiri, bukanya anak ibu yang baru tamat SMP itu sekarang sudah menikah? menikah nya kan bulan Juli, kok sekarang bulan desember sudah mau melahirkan?" Ibu-ibu yang aku sindir pun memerah wajah nya, aku tau aktivitas anak nya di social media biru, entah anak itu memang belum berfikir jernih atau apa, dia selalu mengabadikan moment nya di story', tanpa berfikir bahwa itu aib.

"Kok kamu jadi nyindir saya? saya cuma menyampaikan apa yang saya tahu, tadi si Santi lewat kemari, dia bilang, kamu menyumbang uang untuk pernikahan Sintya, dan Santi bilang kamu sekarang jadi glowing dan banyak uang karna kerja sampingan jadi lonet di ibu kota!" Jawaban ibu itu membuatku menohok, bukan ucapan terima kasih yang aku dapatkan dari bibi Santi, melainkan fitnahan tajam.

"Lain kali kalau misalkan emang ibu tidak mau disindir, jangan menyebarkan omongan orang yang belum tentu benar, makanya kalau tidak mau disindir jangan pernah mencampuri urusan orang lain," aku pun pergi melengos begitu saja, Aku malas jika harus berdebat dengan ibu-ibu itu, pasti akan tidak ada ujungnya.

Begitu sampai rumah keluargaku sedang duduk di teras rumah, emak membawakan teh tawar panas dan pisang goreng.

"Wahhhh Mak, ini kayanya enak nih, Sisil kangen pisang goreng buatan emak," ucapku sambil menyomot pisang goreng.

"Pelan-pelan sil, masih panas loh," aku hanya nyengir saja.

"Teh, aku pengen daftar pelatihan polisi boleh?" tanya Rifki.

"Kenapa tidak? Jika kamu bersungguh-sungguh, teteh akan mendukungnya," jawabku tersenyum.

"Tapi kadang aku jadi pesimis dengan keadaan kita sekarang teh, nanti takutnya lagi-lagi Septian dan teman-temannya sering mengatakan bahwa aku adalah anak orang miskin yang tidak boleh mempunyai mimpi tinggi," tiba-tiba saja Rifki curhat padaku.

"Kamu jangan pernah dengerin omongan Septian, kamu tahu sendiri kan bahwa mulut Septian itu seperti wanita? Kamu tenang saja, kakak akan men-support mu dari biaya maupun penyemangat," aku memberikan semangat untuk adikku, benar-benar keterlaluan Septian itu.

"Neng, apa benar kamu kerja halal di Jakarta? bukannya emak tidak percaya padamu, tapi emak harus meluruskan kepada para tetangga di sini supaya tidak mengira bahwa kamu kerja yang haram di ibukota," tiba-tiba emak bertanya seperti itu.

"Biarkan saja apa yang tetangga bicarakan Mak, yang jelas sekarang Sisil sudah punya toko sendiri, nanti setelah acara pernikahan Sintya, aku akan ajak emak dan bapak serta adik-adikku untuk pergi ke Jakarta ya," aku menenangkan emak yang seperti terlihat sangat terganggu dengan ucapan tetangga.

"Oh iya Sil, besok pengontrak bayar kontrakan kita, kamu tagihin ya, jangan sampai keduluan sama uwak mu," titah bapak padaku sambil mencomot pisang goreng.

"Kenapa emang pak? wak Jeni ada apa dengan nya?" tanyaku heran.

"Sudah hampir 1 tahun, uwak mu yang menagih kontrakan bagian bapak, dan uang itu tidak pernah sampai, karena bapak tidak ingin menjadi ribut, bapak membiarkannya saja, tapi sekarang bapak ingin berubah menjadi lebih tegas, makanya besok kamu yang ngambil ya," ucap bapa sambil tersenyum.

Akupun membalas senyum bapak dengan getir, kenapa bapak harus diam saja ketika dimanfaatkan oleh saudara kandungnya sendiri, tapi yang sudah terjadi biarlah terjadi, anggap saja uang itu aku sedekahkan kepada fakir miskin, tapi untuk kedepannya Aku tidak akan membiarkan semua itu lagi terjadi.

"Terima kasih ya pak sudah mau berubah demi kami, aku sayang sama bapak," kami semua memeluk bapak dengan hangat, bagaimanapun kesalahan bapak, aku tetap menganggap bahwa bapak terlalu baik, makanya banyak dimanfaatkan oleh orang lain.

Malam pun berganti, di sini di Banyuresmi, ketika sudah memasuki magrib, sangatlah sepi, aku iseng membuka w******p, ternyata ada chat masuk dari Sintya.

"Sisil, makasih ya sudah mau membantu aku meskipun tidak seberapa, tapi daripada tidak sama sekali kan, soalnya yang lain menyumbang lebih besar dari kamu," aku pun tersenyum sinis membaca W******p dari Sintya.

Aku tidak berniat membalas pesan dari Sintya, aku menyimpan handphone dan bergegas tidur.

****

Keesokan pagi nya, setelah bersiap-siap, akupun pergi menagih uang kontrakan.

"Ehhh kok kamu, mau apa kesini? Ini bagian saya, pergi sana!" ternyata aku bebarengan dengan wak Jeni, yaampun sebenarnya aku malas berdebat, tapi apa boleh buat? aku harus melawan nenek lampir ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status