Tanpa basa-basi dan mengucap salam, mereka bertiga keluar dari rumahku.
"Awwww aduh!!!"Aku mencubit kecil lengan Septian, meskipun cubitan nya kecil, tapi aku yakin rasanya perih."Kenapa sih kamu Tian!" tanya bibi Santi pada keponakanya."Auuwww ateu, aku dicubit Sisil huhuhu," dengan gaya khas kemayu nya, Septian mengadu pada bibi Santi.Bibi Santi berbalik dan memelototiku, akupun hanya mengangkat kedua bahuku.Kini keluargaku semuanya duduk di ruang tamu, adik-adikku antusias membuka koper yang aku bawa, karena di dalam koper banyak barang dan juga oleh-oleh yang aku beli."Waaaah kak, bagus banget ini bajunya, sepatunya juga, aku suka kak!" ucap Lisa adik bungsuku.Aku melihat Rifki pun bahagia, tapi mungkin karna dia anak laki-laki jadinya tidak eksfresif seperti Lisa.Aku melihat bapak duduk dan menghela nafas panjang, sebelum bapak membuka obrolan, aku terlebih dulu membuka pembicaraan."Bapak, kenapa bapa dengan mudah memberikan sertifikat rumah pada paman Adit?" tanyaku sambil mengusap lengan bapak dengan lembut, aku tidak ingin terkesan mengintimidasi bapak.Akupun melihat wajah emak yang sangat kesal dan geram kepada bapak, sepertinya sebelumnya ada keributan di antara emak dan bapak."Maafkan bapak neng Sil, bapak merasa kasihan pada adik bapak itu, tadi dia memohon sekali pada bapak," sungguh, kali ini aku kecewa pada bapak, padahal aku yakin bahwa bapak tahu tabiat adik dan kakaknya."Tapi pak, apa mereka menolong kita sewaktu kita kesusahan? jika kita yang meminta tolong pada mereka, aku yakin hanya hinaan yang akan kita dapatkan," aku berbicara dengan nada bergetar menahan tangis, mengingat kekejaman dan keserakahan kakak dan adik bapak."Emak sudah lelah dengan sifat bapakmu yang seperti itu, entah ibu harus bagaimana lagi, haruskah ibu pulang ke rumah orang tua ibu pak?," ujar emak sambil menangis, melihat suasana yang mencekam, Lisa dan juga Rifki pun terdiam."Ighstifar Mak, apa yang ibu bicarakan?" tanya bapak tidak menyangka."Emak sudah lelah dengan bapak, apa gunanya emak di sini jika emak tidak pernah didengar sama sekali, bukannya emak tidak ingin membantu adik atau kakak bapa, tapi orang bagaimana dulu yang harus di tolong?" suara emak semakin serak.Bapak mengusap wajahnya pelan, terlihat gurat penyesalan di wajahnya yang semakin menua."Bapak sayang, coba sedikit lebih tegas kepada saudara-saudara bapak, bapak lebih ingin melihat anak-anak dan istri bapak kecewa seperti ini? kelak jika nanti bapak tua, bapak akan meminta diurus kepada kami, bukan kepada saudara-saudara bapak!" aku berusaha bersuara sangat lembut supaya tidak menyinggung perasaan bapak."Iya bapak tau neng, bapak hanya menjalankan wasiat dari emak dan Abah, untuk saling menolong sesama adik kakak, ditambah lagi bapa anak laki-laki pertama," lagi-lagi alasan ini lagi yang di keluarkan oleh bapak.Aku pun menghela nafas panjang untuk meredakan emosi ku."Pak, kakak dan adik bapak itu sudah berumah tangga, bapak sudah tidak ada kewajiban untuk membantu mereka lagi, mungkin jika membantu sedikit dan sewarajanya tidaklah menjadi masalah, tapi menurut pandangan Sisil, bapak sudah terlalu melewati batas, tanggung jawab bapak sekarang bukanlah kepada adik dan kakak bapak, melainkan pada anak dan istri," tak kuasa lagi aku menahan tangis, air mataku akhirnya tumpah.Aku melihat kedua adikku pun menangis, bapak pun menitikkan air matanya."Maafkan bapak sudah dzalim pada kalian, maafkan bapak Mak, maaf, jangan pergi pulang kerumah orang tuamu, bapak sadar, sudah 30 taun emak menemani bapak hiks," bapak minta maaf memohon sambil memegang lengan ibu, memang untuk mendapatkan ku, cukup sulit untuk emak dan bapak, emak kosong kandungan selama 9 tahun."Emak juga minta maaf pak, tidak mungkin emak meninggalkan bapak jika tidak Allah yang memanggil emak," emak pun semakin tergugu.Kami semua pun larut dalam tangisan bersama, tangis haru bahagia dan juga lega karena sudah menemukan akar masalah.****"Sil, beliin gulan ke warung Mak Esih," emak menyuruhku ke warung mak Esih untuk membeli gula, sebenarnya aku malas jika harus ke sana, karena di sana sarang ibu-ibu menggibah."Wahhh Sisil kemana aja? Pulang dari kota makin glowing aja nih, kerja apa sil?" tanya seorang ibu-ibu dengan nada nyinyir.Belum aku menjawab, sudah ada ibu lain yang menimpali."Halaaaah, dalam waktu 2 tahun mana mungkin sukses dan jadi glowing kalo gajadi lonet di kota wkwkw!"Aku langsung menatap ibu gibah itu tajam."Bu, sebaiknya jika mau menggunjing orang lain, ibu lihat dulu kedalam rumah ibu sendiri, bukanya anak ibu yang baru tamat SMP itu sekarang sudah menikah? menikah nya kan bulan Juli, kok sekarang bulan desember sudah mau melahirkan?" Ibu-ibu yang aku sindir pun memerah wajah nya, aku tau aktivitas anak nya di social media biru, entah anak itu memang belum berfikir jernih atau apa, dia selalu mengabadikan moment nya di story', tanpa berfikir bahwa itu aib."Kok kamu jadi nyindir saya? saya cuma menyampaikan apa yang saya tahu, tadi si Santi lewat kemari, dia bilang, kamu menyumbang uang untuk pernikahan Sintya, dan Santi bilang kamu sekarang jadi glowing dan banyak uang karna kerja sampingan jadi lonet di ibu kota!" Jawaban ibu itu membuatku menohok, bukan ucapan terima kasih yang aku dapatkan dari bibi Santi, melainkan fitnahan tajam."Lain kali kalau misalkan emang ibu tidak mau disindir, jangan menyebarkan omongan orang yang belum tentu benar, makanya kalau tidak mau disindir jangan pernah mencampuri urusan orang lain," aku pun pergi melengos begitu saja, Aku malas jika harus berdebat dengan ibu-ibu itu, pasti akan tidak ada ujungnya.Begitu sampai rumah keluargaku sedang duduk di teras rumah, emak membawakan teh tawar panas dan pisang goreng."Wahhhh Mak, ini kayanya enak nih, Sisil kangen pisang goreng buatan emak," ucapku sambil menyomot pisang goreng."Pelan-pelan sil, masih panas loh," aku hanya nyengir saja."Teh, aku pengen daftar pelatihan polisi boleh?" tanya Rifki."Kenapa tidak? Jika kamu bersungguh-sungguh, teteh akan mendukungnya," jawabku tersenyum."Tapi kadang aku jadi pesimis dengan keadaan kita sekarang teh, nanti takutnya lagi-lagi Septian dan teman-temannya sering mengatakan bahwa aku adalah anak orang miskin yang tidak boleh mempunyai mimpi tinggi," tiba-tiba saja Rifki curhat padaku."Kamu jangan pernah dengerin omongan Septian, kamu tahu sendiri kan bahwa mulut Septian itu seperti wanita? Kamu tenang saja, kakak akan men-support mu dari biaya maupun penyemangat," aku memberikan semangat untuk adikku, benar-benar keterlaluan Septian itu."Neng, apa benar kamu kerja halal di Jakarta? bukannya emak tidak percaya padamu, tapi emak harus meluruskan kepada para tetangga di sini supaya tidak mengira bahwa kamu kerja yang haram di ibukota," tiba-tiba emak bertanya seperti itu."Biarkan saja apa yang tetangga bicarakan Mak, yang jelas sekarang Sisil sudah punya toko sendiri, nanti setelah acara pernikahan Sintya, aku akan ajak emak dan bapak serta adik-adikku untuk pergi ke Jakarta ya," aku menenangkan emak yang seperti terlihat sangat terganggu dengan ucapan tetangga."Oh iya Sil, besok pengontrak bayar kontrakan kita, kamu tagihin ya, jangan sampai keduluan sama uwak mu," titah bapak padaku sambil mencomot pisang goreng."Kenapa emang pak? wak Jeni ada apa dengan nya?" tanyaku heran."Sudah hampir 1 tahun, uwak mu yang menagih kontrakan bagian bapak, dan uang itu tidak pernah sampai, karena bapak tidak ingin menjadi ribut, bapak membiarkannya saja, tapi sekarang bapak ingin berubah menjadi lebih tegas, makanya besok kamu yang ngambil ya," ucap bapa sambil tersenyum.Akupun membalas senyum bapak dengan getir, kenapa bapak harus diam saja ketika dimanfaatkan oleh saudara kandungnya sendiri, tapi yang sudah terjadi biarlah terjadi, anggap saja uang itu aku sedekahkan kepada fakir miskin, tapi untuk kedepannya Aku tidak akan membiarkan semua itu lagi terjadi."Terima kasih ya pak sudah mau berubah demi kami, aku sayang sama bapak," kami semua memeluk bapak dengan hangat, bagaimanapun kesalahan bapak, aku tetap menganggap bahwa bapak terlalu baik, makanya banyak dimanfaatkan oleh orang lain.Malam pun berganti, di sini di Banyuresmi, ketika sudah memasuki magrib, sangatlah sepi, aku iseng membuka w******p, ternyata ada chat masuk dari Sintya."Sisil, makasih ya sudah mau membantu aku meskipun tidak seberapa, tapi daripada tidak sama sekali kan, soalnya yang lain menyumbang lebih besar dari kamu," aku pun tersenyum sinis membaca W******p dari Sintya.Aku tidak berniat membalas pesan dari Sintya, aku menyimpan handphone dan bergegas tidur.****Keesokan pagi nya, setelah bersiap-siap, akupun pergi menagih uang kontrakan."Ehhh kok kamu, mau apa kesini? Ini bagian saya, pergi sana!" ternyata aku bebarengan dengan wak Jeni, yaampun sebenarnya aku malas berdebat, tapi apa boleh buat? aku harus melawan nenek lampir ini."Ehhh kok kamu, mau ngapain kesini? Ini bagian saya, pergi sana!" Ternyata aku bebarengan dengan wak Jeni, yaampun sebenarnya aku malas berdebat, tapi apa boleh buat?"Maaf wak, para pengontrak juga sudah tau, kalo kontrakan ini bagian bapak, punya uwak kan di depan," jelasku dengan nada sabar sambil menunjuk ke arah kontrakan wak Jeni."Ya gabisa gitu dong, bapakmu kan sudah memberikan perintah kepada uwak untuk mengurus kontrakan ini, kok kamu main ambil alih, memang nya siapa kamu?" Hahaha lucu sekali wak Jeni ini, sudah jelas kan aku ini anak bapak."Aku? Aku anak nya lah, bapak sudah menyuruhku untuk menagih kontrakan, karena kata bapa, uang dari para pengontrak tidak pernah sampai ke tangan bapak!" jelasku dengan nada naik 1 oktaf."Wah masa iya mbak sil ga di sampaikan? Betul-betul tidak amanah ya Bu Jeni ini!" tiba-tiba saja salah satu pengontrak ikut nimbrung pada perdebatan kami.Aku melihat wajah wak Jeni merah padam, entah menahan malu, marah atau ingin buang air besar, a
Lalu Lisa memperlihatkan gawainya padaku, Aku terperanjat kaget melihat video yang Lisa putar.Terlihat Septian sedang berjoget tik-tik menggunakan hot pants dan juga tantop merah muda."Astaga ini beneran Septian?" tanyaku kaget kepada Lisa."Iya bener, ini saudara kita tercinta kak, cantik bukan heheh?" Lisa cengengesan meledek Septian.Aku tidak menyangka bahwa Septian sudah separah ini, Aku kira dia hanya berdandan kemayu saja."Tapi Lis, kalau dilihat-lihat, ini kamar nya Septian kan? Apa uwak Jeni sama Wak Komar tidak memarahinya?" tanyaku penasara, sangat tidak mungkin orang tua tidak memarahi anak laki-lakinya berpenampilan aneh seperti ini."Kalau Wak Komar sih Lisa enggak tahu ya, tapi kalau Wak Jeni kayaknya tahu deh, soalnya di beberapa video milik kak Septian, aku liat Wak Jeni ada ikuti tik-tikan sama ka Septian." jawab Lisa sambil ngotak ngatik handphonenya, sepertinya dia akan memberikan kejutan yang lain kepadaku."Nih lihat!" akupun langsung menyambar ponsel yang dip
Haduh, bagaimana ini, aku takut emak jadi bahan Bullyan di rewang nanti!"Ya sudah nanti rewang nya Sisil temenin emak ya," aku harus menemani emak untuk ke kandang macan itu, Aku tidak mau ibu menjadi bahan bulan-bulanan mulut-mulut pedas saudara bapak."Iya sil terserah kamu saja!" timpal emak pasrah.TingTing"Mbak, nanti ada orang yang mau jadi reseller di online shop kita, kapan kira-kira Mbak bisa bertemu dengan orangnya? Katanya biar dia sekalian main ke online store kita," ada WhatsApp masuk dari salah satu karyawan ku."Mungkin sekitar tiga hari lagi, ya bilang saja biar dia janjian sama Mbak di Jakarta saja," balasku, karena untuk sekarang-sekarang aku tidak bisa kembali dulu ke Jakarta.Alhamdulillah reseller ku terus bertambah, semakin hari penjualan pun semakin meningkat, yang jelas pundi-pundi uang pun semakin banyak."Pakeeeet!" "Paket!" Suara kurir paket terdengar nyaring dari luar, akupun langsung menghampiri nya."Iya kang, atas nama siapa?" tanyaku."Teh maaf, in
"kita ga dapat bingkisan juga gapapa kok Santi, kita kesini cuma mau ikut pengajian aja, masa saudara ada acara pengajian kita ga datang." jawab emak pelan, aku tahu emak merasa harga dirinya sudah tercabik-cabik, karena bibi Santi berbicara seperti itu di depan para ibu-ibu yang lain, aku salut pada emak, beliau masih bisa berbicara lembut pada orang modelan bibi Santi."Halah masa iya, dari dulu juga kan teteh kalau misalkan ada acara apa-apa memang selalu bawa satu keluarga, gini deh aku punya penawaran," balas bibi Santi dengan nada pongah, aku masih memantau nya.Dari kami bertiga tidak ada yang menjawab ucapan bibi Santi."Kalau kalian mau dapat bingkisan, bantu beresin di sini yah, nanti aku kasih satu bingkisan satu orang," angkuh sekali wanita ini, memangnya dia fikir aku tidak mampu untuk membeli bingkisan apa?"Tak Sudi kami bantu-bantu disini, mau besar bayarannya pun kami tidak akan mau diperlakukan
"Halah kenapa harus pakai syarat segala sih teh ribet banget," sanggah paman Adit tak suka."Kalau nggak mau ya udah, cari tukang masak yang lain saja sana, saya tidak mau!" hardik emak tegas, aku suka melihat emak tegas seperti ini."Yasudah yasudah, apa syarat nya? jangan yang ribet-ribet, saya tidak ada waktu!" jawab Paman Adit tidak ada pilihan lain."Pertama, teteh mau jasa teteh dibayar sekarang, dan yang kedua, suruh istrimu untuk meminta maaf kepada teteh sekarang juga, dan suruh juga istrimu untuk meminta supaya teteh memasak di hajatan Sintya," wow, aku salut dengan persyaratan yang emak berikan kepada Paman Adit."Loh, teteh mau itung-itungan sama adik ipar sendiri? Yang mau menikah itu keponakan teteh loh, kenapa harus meminta bayaran? Dan untuk apa pula meminta Santi untuk ke sini, memangnya santi salah apa? Wajarkan Santi tidak memberi kepada kalian 3 bingkisan karena semua sudah di jatah, jangan serakah teh!" paman Adit keberatan dengan persyaratan yang emak berikan."K
Sebelum pergi ke acara pernikahan, akupun berfoto keluarga dulu di tengah rumah, menggunakan kamera baru yang aku beli senilai 10juta."Yaudah yuk keburu kesiangan!" aku dan keluargaku pun berjalan dengan santainya, baju dan sepatu yang kami gunakan pun terasa sangat nyaman,dan kompak, jujur baru pertama kali ini aku menggunakan baju yang terbilang layak dari sebelum nya."Ckkk, liat tuh Septian, ada orang kaya baru!" cibir Wak Jeni pada kami."Hehehe iya, kaya hasil nge-lonet di ibu kota biasa Bu, tapi tetep keliatan norak!" meskipun mereka berbicara saling bisik-bisik namun masih terdengar oleh telinga ku, aku melihat ada Wak Komar di sekitar mereka, dan aku juga yakin, Wak Komar mendengar gunjingan istri dan anaknya, tapi dia tidak sama sekali menegur.Ahaaaa, Aku punya cara agar membungkam mulut lemes Septian."Eh Septian, paket kemarin yang isinya dalaman wanita dan wig sudah kamu ambil kan ya? Aku lupa soalnya takutnya belum di ambil!" sengaja aku mempertanyakan hal itu pada Sep
Aku yang merasa tidak terima dan menjadi topik gunjingan bibi Santi pun merasa tidak enak dan tidak terima, aku pun lalu angkat bicara."Tidak usah berbicara soal fitnahan yang tidak terjadi, sekarang kita lihat saja faktanya apa, bahwa anak bibi yang kurang didikan sampai-sampai bisa hamil duluan!" Tukasku tajam, aku tidak ingin keluargaku dihina lagi apalagi ini di depan banyak orang."Dasar anak miskin, anak kur____!" "Sudah sudah, kenapa jadi saling bergunjing seperti ini? sekarang kita cari jalan keluarnya bagaimana, bukan nya malah seperti ini, pak Adit, sudah stop melakukan kekerasan pada Sintya!" Pak RW menengahi."Kamu? siapa namamu? kemari!" Panggil bapak pada perempuan hamil itu."Saya ayu pak!" "Hei wanita jala*n, orang tuamu dimana? cepat panggilkan orang tuamu ke sini untuk bermusyawarah!" Titah sinis bibi Santi berteriak, apa dia tidak berpikir bahwa anaknya pun sama hamil duluan seperti ayu."Ibu tidak bisa mengucapkan kalimat sarkas seperti itu kepadaku ya, apa ibu
selah makan kami mengobrol sejenak terlebih dahulu dengan Rian, dirasa sudah cukup lelah dan sangat mengantuk, kami pun memutuskan untuk pulang."Ehhh tunggu mau kemana kalian!" panggil paman Adit kepada kami yang sudah berjalan beberapa langkah meninggal kan tempat acara."Ada apa dit?" tanya bapak berbalik ke arah paman Adit."Aa dan sekeluarga bisa bantuin dulu ga? Aa dan Rifki bantuin ngangkat piring kotor, teteh, Sisil dan Lisa bantuin cuci piring!" sungguh sangat tidak sopan rasanya jika seorang adik menyuruh keluarga kakaknya, masa kita sudah menggunakan baju bagus dan dandan cantik dan ganteng disuruh-suruh seperti itu."Maaf dit, kita lelah mau istirahat!" Bapak jelas menolak permintaan Paman Adit, karena harga diri bapak pasti terluka."Loh a, dibayar kok, ayolah sayang loh, untuk beli beras kan lumayan, apalagi kerjanya 1 keluarga jadi cuan yang di dapat pasti banyak!" paman Adit terus memaksa kami untuk membantunya, gaya bicara saat menyuruh kami pun seperti menyuruh kepad