“Ck, aku sudah bilang ‘kan barusan? Selama ini aku tidak pernah menganggapmu sebagai teman. Aku mendekatimu awalnya hanya karena kesal dan penasaran, kenapa bisa para pria tertarik padamu, sedangkan ada aku yang lebih segalanya dibandingkan dirimu. Aku cantik, jauh lebih kaya dari padamu yang hanya seorang anak panti miskin, tubuhku juga lebih bagus dari padamu. Gayaku lebih modis dan lebih menarik dari padamu yang terlihat begitu kampungan, apalagi aku sudah menjadi model sedari lama. Aku heran, bagaimana bisa para pria malah lebih menyukaimu dibandingkan aku. Padahal sedari SMA, aku selalu menjadi primadona utama, tapi semenjak di kampus karena keberadaanmu, aku jadi dinomor duakan. Aku membencimu, Davita.”
Davita menggeleng tak percaya. “Jadi selama ini kamu hanya berpura-pura? Jadi selama ini hanya aku yang memiliki perasaan sayang tulus padamu?”
Hani tersenyum sinis. “Makanya kau itu bodoh! Kau merasa spesial sampai aku yang seorang model ini bersedia berteman dengan anak panti sepertimu? Cuih.”
Tangan Davita terkepal, dadanya begitu sesak. Mata gadis itu berkaca-kaca, menumpuk di pelupuk mata, siap untuk menyerbu pipi.
Davita tertawa miris, ia mengangguk pelan menahan rasa sakit yang tak dapat diungkapkan. “Hanya karena itu, kamu membenciku? Bahkan dengan tega mendekatiku hanya karena membenciku? Menipuku selama bertahun-tahun, sungguh kamu hebat, Hani. Harusnya kamu tidak hanya menjadi model, tetapi sangat cocok jadi seorang aktris, aktingmu selama ini sangat dan saangat berhasil menipuku. Selamat dan terima kasih.”
Hani hanya tersenyum sinis, ia tak merasa bersalah sama sekali. “Yah, aku memang sudah berhasil. Sekarang aku puas, apalagi selama bertahun-tahun aku sadar, kalau aku masih berada di atasmu. Buktinya, aku berhasil bermain dengan kekasihmu bahkan orang yang sudah menjadi suamimu saat ini. Aku berhasil mengikatnya, bermain dengannya, itu bukti kalau aku tak kalah darimu, bukan? Bahkan aku lebih menarik darimu, sampai kekasihmu sendiri bersedia berselingkuh denganku bertahun-tahun lamanya.”
Davita mengepalkan tangannya, mendengar kalimat itu sungguh hatinya semakin terkoyak. Matanya beralih menatap Gino yang sedari tadi diam seperti orang bodoh.
“Kamu merasa lebih baik dariku hanya karena pria ini bersedia berselingkuh denganmu selama bertahun-tahun?” Davita menunjuk Gino dengan tangan kirinya, ia kembali menatap Hani dengan ekspresi datar. “Kamu bangga karena menjadi selingkuhan? Jika memang kamu lebih menarik dan lebih baik dariku, kenapa kalian harus bersembunyi-sembunyi sedari dulu? Jika memang bagi Gino kamu adalah segalanya dan berada di atasku, bukankah seharusnya dia sedari dulu memutuskan aku dan lebih memilih berpacaran terbuka denganmu?”
Hani diam, ia menatap Davita dengan tatapan tak suka. Senyum Davita yang kembali hadir, membuat rasa senangnya berkurang. Hani seakan begitu ingin melihat Davita menderita, sehingga kalau Davita tersenyum, ia sangat benci.
“Saat Gino berusaha selama bertahun-tahun tetap mempertahankan aku sebagai kekasih utamanya, berarti bukannya dia lebih mengutamakan aku? Dia susah payah menyembunyikan hubungan kalian selama lima tahun, itu berarti dia dia takut kehilanganku, bukan?” Davita tersenyum tenang ke arah Hani.
Tangan Hani terkepal, ia menggeram menatap wajah tenang Davita.
“Lalu satu lagi, kamu terlalu bangga bisa menjadi selingkuhan. Bahkan sampai merasa kalau kamu lebih baik dari padaku, padahal satu hal penting yang tidak kamu ketahui ... laki-laki itu pada dasarnya brengsek semua. Ketika kamu memberikan mahkota berhargamu pada mereka, pasti mereka tidak akan menolak dan akan selalu bersedia bersamamu karena kamu memberikan kesenangan dunia kepada mereka. Dari sini level kita sudah beda, Hani. Aku berhasil mempertahankan Gino selama lima tahun ini tanpa ternodai, meski akhirnya Gino mencari wanita lain untuk pelampiasan. Intinya ... kamu itu sebenarnya hanya pelampiasan nafsunya, jadi jangan terlalu bangga.”
“Kau!” geram Hani marah.
Davita tersenyum tenang. “Tenang saja, kalian cocok, kok. Jika memang kamu menginginkan suamiku, ambil saja. Karena besok aku akan langsung mengurus surat perceraian.”
Mata Gino melotot. “Apa-apaan?! Siapa yang akan bercerai, Davita?”
Davita menatap Gino dengan tatapan begitu dingin. “Itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah aku dengar, Gino Antoni,” desisnya.
Gino menggeleng. “Aku tidak akan bersedia bercerai, Davita! Kita baru saja menikah, ini malam pertama kita, tapi—”
Plak ...
Satu tamparan keras menyela kalimat Gino. Wajah Gino tertoleh, tangan Davita memerah setelah beradu dengan kulit pipi suaminya. Davita bahkan tak merasakan denyut perih di telapak tangannya, padahal telapak tangan itu sudah merah. Rasa sakit di hatinya berkali lipat lebih perih dari pada itu.
“Jangan memancingku, Gino. Cukup dengan lima tahun ini, kau sungguh binatang. Aku akan melupakan ini, dan bercerai dengan baik-baik. Jangan memancingku untuk melakukan hal lebih parah dari pada ini. Aku memiliki bukti permainan panas kalian berdua.”
“Tapi aku tidak ingin bercerai, Davita!” Gino masih keras tak ingin bercerai.
Davita menyeringai, ia melirik Hani yang tampak marah. “Lihat, bahkan hingga detik ini, laki-laki ini tak ingin berpisah denganku, loh.”
Hani menggeram, ia menatap Gino dengan ekspresi marah. “Biarkan saja dia, Gino! Kenapa kamu begitu keras tidak ingin bercerai dengannya! Dia sudah menghinamu!”
“Aku tidak akan bercerai, aku akui aku salah. Aku akan berhenti berhubungan dengan Hani, asal jangan bercerai denganmu. Aku minta maaf, Davita.”
Hani ternganga tak percaya. “Gino!”
“Diam ‘lah, Hani! Kau yang sedari awal memancing dan menggodaku!”
Mulut Hani semakin terbuka lebar. “Kau sekarang menyalahkan aku? Kau juga yang gatal, kenapa tergoda? Jika memang kau mencintai Davita tulus, kau tidak akan tergoda olehku!”
“Itu karena Davita selalu tidak bersedia disentuh! Dia selalu menolak, bahkan sekadar untuk ciuman saja hanya bersedia sesekali! Jadi ketika kau menawarkan diri untuk bermain, tentu saja aku bersedia,” jawab Gino tak merasa bersalah.
Hani menggeram, tangannya semakin terkepal kuat. Kata-kata Davita tadi seakan benar, Gino hanya menjadikan dirinya sebagai cadangan untuk pemuas nafsu.
“Kau brengsek, Gino!” teriak Hani murka.
Davita berdecak, ia menepis tangan Gino yang berusaha memegangnya. “Silakan kalian lanjutkan drama kalian. Aku akan pergi, besok aku akan kirimkan surat cerainya, tunggu saja dalam waktu dekat.”
“Davita! Aku tidak akan bercerai!” teriak Gino.
Davita berhenti, ia menoleh ke belakang. Sebelah sudut bibirnya terangkat membentuk senyum miring. “Kalian cocok, sampah memang harusnya dibuang ke dalam tong sampah bukan? Hani, terima kasih karena sudah bersedia memungut sampah yang tidak layak masuk kehidupanku.”
“Kau!” geram Hani.
“Kamu menganggap aku sampah?” geram Gino, “Davita! Jangan menyesal kau! Kau hanya perempuan miskin, jangan sok!” hinanya.
Davita berdecih. “Terima kasih atas kenangan bertahun-tahun kita, meski semua itu hanya drama kalian. Intinya terima kasih atas pengalaman yang menyakitkan ini.”
“Kau pasti akan menyesal, Davita!”
“Cih, biarkan saja dia, miskin saja belagu!”
Davita bergerak pergi dari sana dengan bibir bergetar dan tangan terkepal kuat. Matanya pun kembali berkaca-kaca, gadis malang itu siap menangis. Davita memukul dadanya yang terasa begitu sesak. Andai sedari tadi tak ditahan, ia ingin sekali meraung.
“Niatnya aku ingin bercerai baik-baik dan melupakan semuanya, serta menganggap kalian tak pernah ada. Tapi melihat tingkah kalian dan kenyataan yang begitu menjijikkan ini ... membuatku ingin memberi kalian pelajaran. Aku ingin membalas semuanya, rasa sakit ini, aku ingin kalian merasakannya,” desis Davita penuh dendam.
Tangan Hani terkepal melihat tangan Angga tengah menggenggm tangan Davita. Meski Angga sedang membawa mobil, pria itu masih begitu manis menggenggam tangan Davita. Situasi itu membuat Hani benar-benar seperti orang ketiga di antara mereka, padahal dirinya ‘lah calon istri sah Angga.Pasti Hani tak pernah menyangka dan tak pernah membayangkan jika dirinya akan pernah berada di posisi itu. Mungkin perlahan balasan dan karma mulai datang, karena dulu Hani sengaja menjadi orang ketiga dalam hubungan Davita dan Gino.Davita pun senang karena perlahan balas dendamnya semakin nyata. Ia melirik ekspresi Hani dari pantulan kaca depan mobil. Davita tampak sangat puas melihat wajah marah Hani.“Emm, Kak.”Angga langsung menoleh ketika Davita memanggilnya. “Kenapa?”“Perutku sedari tadi sedikit tidak enak. Aku ingin beli es krim dulu di depan.”Angga menatap Davita yang tersenyum manis kepadanya. “Perut tidak enak, kenapa malah minta es krim? Ini sudah malam, nanti perut kamu semakin tidak enak.
“Davita ini klien Tante, sekaligus temannya Angga. Davita orang yang bertanggung jawab untuk mengurus taman bunga mansion Naradipta. Tadi baru saja selesai survei akhir, sebelum tamannya digarap sesuai denah yang Tante minta. Karna tadi sudah terlalu sore, jadi Tante minta Davita istirahat dulu di sini.” Laili menjelaskan tentang Davita kepada Hani, ia hanya tak ingin Hani berpikiran lain.Meski begitu, Hani memang sudah terlanjur geram kepada Davita. Ia pun sudah tahu jika Davita sengaja mendekati Angga untuk balas dendam kepada dirinya. Davita sendiri sudah mengaku secara terang-terangan kala itu.Hani hanya bisa tersenyum kepada Laili, untuk menjaga image-nya. “Oh begitu, Tante. Ternyata Nona Davita ini karyawan toko bunga, ya?” Hani sengaja menekan kata karyawan toko bunga, demi merendahkan Davita.Davita tersenyum tenang. “Senang sekali bisa bertemu dan berkenalan dengan Nona Candra yang katanya salah satu model terbaik di kota kita.”Hani tersenyum sinis. “Iya, aku juga senang b
“Angga, Hani sudah datang. Ayo turun.”Angga berdecak, ia keluar dari kamarnya menemui sang ibu. “Aku akan ikut makan malam kalau Davita juga ikut.”“Iya, Mama tahu. Kamu turun saja duluan, Davita akan menyusul.”“Mama tidak akan membohongiku ‘kan?”Laili mengembuskan napas pelan. “Kamu tidak percaya sama Mama? Sudah, ke bawah saja. Mama akan panggil Davita.”“Biar aku saja.”Laili menahan lengan putranya. “Biar Mama saja. Kamu tidak ingin Kakek curiga, lalu tidak suka kepada Davita ‘kan?”Angga mengembuskan napas berat. “Aku akan tunggu di bawah. Kalau Davita masih tidak turun dalam beberapa menit, aku akan menjemputnya ke kamar.”“Iya-iya, Mama tahu. Pergi ‘lah dulu ke bawah. Kakek dan Hani sudah menunggu di meja makan.”Meski terpaksa, Angga masuk ke dalam lift, menuju ke lantai bawah. Setidaknya Angga masih beruntung Laili tak menentang perasaannya untuk Davita. Seperti yang disebutkan Davita, Laili saat ini berada di posisi serba salah.Laili juga tak enak serta kasihan kepada Ha
“Angga masih tidur?” Laili mengintip ke dalam kamar Davita.Davita tersenyum kikuk, ia merasa tak enak. “I-ya, Tante. Aku akan bangunkan sekarang.”“Tidak usah.” Laili menahan pergelangan tangan Davita. Ia tersenyum, lalu menepuk pelan lengan Davita. “Tante ke sini hanya ingin mengajak kamu jalan-jalan sebentar. Masih gerimis, biarkan saja Angga tidur. Jarang sekali dia bisa tidur nyenyak begitu. Biasanya hanya tidur sebentar, lalu fokus kerja lagi. Tante senang dia bisa tidur lebih lama.”Davita terdiam. Ia ikut menoleh ke dalam kamar, meski ranjang tak terlihat jelas dari sana. “Kalau begitu ayo kita jalan-jalan sebentar, Tante.”“Lebih baik pakai ini. Karna hujan, kondisi di luar lebih dingin. Takutnya kamu masuk angin, nanti malah demam. Kalau kamu demam, Tante bisa dimarahi Angga,” canda Laili.Davita terkekeh kecil. Ia masih merasa tak enak serta canggung mempublikasikan hubungannya dengan Angga, di depan Laili. Bagaimanapun Laili pun tahu jika Angga akan segera menikah, sehingg
“Eh, Davita.” Laili terkejut melihat Angga datang bersama Davita. Ia berdiri dari duduknya, lalu mendekat ke arah Davita. “Kamu datang, kenapa tidak bilang-bilang Tante? Tahu begitu Tante siapkan sesuatu buat kita makan-makan.”Davita terkekeh kecil menanggapi itu. “Tidak usah repot, Tante. Kebetulan hari ini pekerjaan di toko lebih cepat selesai, Tante. Jadi sekalian saja datang ke sini, melanjutkan pembahasan masalah pembangunan taman bunga.”“Oh, sudah bisa dilanjutkan, ya? Kerja kamu cepat sekali, ya? Baru beberapa hari sudah selesai dan langsung ke tahap selanjutnya. Tidak heran kamu bisa menjadi bos muda.” Laili tersenyum kagum kepada Davita.Davita tersenyum tak enak. “Biasa saja, Tante. Aku masih belum apa-apa dibandingkan Kak Angga.” Ia melirik Angga yang berdiri di sampingnya.Angga tersenyum, ia mengusap puncak kepala Davita singkat. Hal itu membuat Laili terkejut. Pasalnya Angga tak pernah berlaku begitu manis dan lembut kepada orang lain, apalagi perempuan.“Kamu jauh leb
“Tante, Tuan Muda Naradipta tidak bersedia ikut untuk fitting baju.” Hani memperlihatkan wajah sedihnya di depan Laili.“Kenapa kamu memanggilnya terlalu formal begitu? Kalian sebentar lagi akan menikah. Coba biasanya lagi memanggil dengan nama. Panggil saja dia Angga, jangan panggil terlalu normal,” balas Laili.Hani tersenyum senang, tetapi ia berdeham untuk terlihat tetap polos di depan calon mertuanya. “Aku takut dia tidak suka dan marah. Jadi aku ingin lebih sopan saja, Tante.”“Mulai sekarang biasakan panggil nama saja. Atau kalian sepakati panggilan masing-masing, entah itu panggilan romantis seperti apa. Tidak bagus memanggil tuan atau nona begitu.” Laili tersenyum sembari menepuk pelan punggung tangan Hani.“Baik, Tante. Aku akan coba biasakan memanggil namanya. Nanti aku akan komunikasikan sama dia, bagusnya panggilan seperti apa di antara kami.” Hani tersenyum kepada Laili. “Tapi, aku takut dia tidak suka, Tante. Sekarang saja, dia menolak untuk datang fitting baju,” imbuhn