“Tante putri duyung...”
“Tante putri duyung...”“Kiu... kiu, kukuruyukkk...”Dengan alis bertaut curiga Pamela mengerang sambil menepis tangan seseorang yang menyentuh hidungnya.“Siapa sih? Jangan ganggu aku lagi, aku ngantuk banget!” protes Pamela dengan suara kusut dan terdistorsi seperti sebuah kaset tua. Matanya masih teramat berat terbuka meski sudah berjam-jam ia terlelap sampai bala bantuan milik Ace datang pukul sembilan pagi. Asih dan Berlian.Mereka berdua tidak punya pilihan lain selain mengikuti permintaan Ace untuk menjadi keluarga palsu Pamela. Asih dan Berlina menyukainya.“Papa, Tante putri duyung boboknya nyenyak sekali. Gak bangun-bangun.” adu Berlian ke Ace yang menunggu di sofa sambil memangku laptop.Ace berhenti sejenak dari aktivitasnya memandangi laptop untuk sekedar mengusap pipi putrinya yang memakai rok tutu merah jambu dan atasan kaus tanpa lengan.Senyum Ace merekah. “Tante putri duyung masih capek. Habis operasi patah tulang dan minum obat tidur. Berlian tunggu saja sampai Tante bangun sendiri. Kasian dia!”“Yah,” Berlian memanyunkan bibir mungilnya seraya kembali ke samping ranjang pasien tanpa mempedulikan saran ayahnya.Dengan iseng Berlian menyentuh hidung Pamela lagi. Berlian semringah melihat betapa cantiknya putri duyung yang ayahnya dapatkan setelah berkali-kali Ace membuat alasan tidak berhasil menemukan putri duyung di pantai sebagai pengganti Natasha.Ya, gadis cilik itu slalu termakan oleh rayuan ayahnya jika ibunya meninggalkannya setelah melihat putri duyung ketika melakukan snorkeling. Akhir-akhir ini pun aksi film putri duyung ternama yang dia tonton berulang kali di teve bersama Asih semakin membuatnya menjadi-jadi memimpikan bertemu putri duyung. Meski tadinya Berlian kecewa karena seharusnya putri duyung itu ada di dalam air, Berlian bisa menerima alasan lain yang Asih katakan tanpa sepengetahuan Ace.‘Mama baru buat nona!’Berlian berseru melihat kegelisahan di wajah Pamela. Suara riang bocah itu mencuri perhatian Pamela yang tidak lagi sepenuhnya tertidur. Atau mungkin Pamela bukan jenis orang yang tidak bisa menoleransi sentuhan orang lain?Pamela membuka kelopak matanya perlahan bertepatan dengan Berlian yang mengambil ujung rambutnya sebelum memasukannya ke lubang hidungnya.Dalam hitungan detik, Pamela spontan bersin-bersin secara berulang kali sampai Ace menundukkan kepala sambil tersenyum geli. Ace tidak berani mengutuk tindakan putrinya, itu lucu, tapi dia malu, Berlian seenaknya sendiri memperlakukan gadis malang itu.Asih mencomot selembar tisu tanpa menghentikan tawanya yang berderai-derai.Ace berdehem. Berhenti sudah tawa Asih seketika. Ace memberikan sorot mata memperingati.Sambil cemberut Asih memberikan tisu itu ke Pamela yang mengusap-usap hidungnya yang berlendir dengan punggung tangan.“Halo bestie.” seloroh Asih.Pamela mendengus setelah mengelap ingusnya. Tatapan matanya tertuju pada Ace, pria yang kembali menyibukkan diri dengan laptop alih-alih menatap Asih atau bocah bermata bening di sampingnya.‘Udah ketauan terus bawa teman. Dasar bapak-bapak! Akalnya banyak banget.'Asih dan Berlian pun ikut memandangi Ace karena Jengkel dengan pria itu.“Itu papaku, papa Ace Andreas Wiratmaja.” ucap Berlian dengan bangga. “Akhirnya Tante putri duyung bangun. Berlian bawain kue.” imbuhnya setelah jeda menghilang.Mau tak mau Pamela tersenyum ramah kepada Berlian. Tapi lain di luar, lain di dalam. Dalam hati, Pamela menyimpulkan sendiri apa yang telah terjadi. Ace mengecapnya sebagai putri duyung yang ia janjikan tadi semalam untuk nona Berlian. Baiklah, Pamela menyadari bahwa ia telah masuk dalam sandiwara pria itu.‘Ace Andreas Wiratmaja? Namanya kayak gak asing. Tapi pernah dengar di mana ya?’Tak sempat mengira-ngira lebih lama, Pamela tersentak ketika kue dari Berlian menggantung di atas wajahnya. Kue muffin cokelat.“Tante putri duyung makan ya, biar cepat sembuh.” bujuk Berlian. Dan sorot matanya mendadak mengamati hasil kerja keras para dokter semalam. Tangan kanan Pamela di gips.“Bu guru bilang makan pakai tangan kiri gak boleh, pa... papa, Tante putri duyung gimana makannya?”Jakun Ace bergerak. Perasaannya mendadak tidak enak. Dia membasahi bibirnya sambil memandangi tiga wanita tak jauh darinya.“Tanyakan dulu pada suster jaga apakah Tante putri duyung sudah boleh makan atau belum.”Berlian mendorong tubuh Asih yang mendadak pura-pura ogah-ogahan keluar dari ruang inap Pamela. “Bibi tanyain suster!” desak Berlian.“Kenapa bukan papa aja yang tanya, Non?” tanya Asih dengan muka polos sambil memegangi gagang pintu.“Papa jagain Tante putri duyung biar nggak kabur. Papa bilang gitu waktu di taman tadi, Bi. Jadi bukan papa yang tanya, udah bibi Asih aja.”“Oh gitu toh. Papa Ace kerjaannya nambah jadi sekuriti dong sekarang. Woah... sibuknya.” seloroh Asih seraya mencelat keluar.‘Hebat sekali lelucon murahanmu, Sih.’ Ace memalingkan pandangannya dari ranjang pasien. Kursinya menjadi tidak nyaman untuk diduduki seakan ada kutu busuk yang menggigit pantatnya.‘Anakku kenapa tidak berpikir panjang bahwa itu hanya alasanku saja tidak bisa pergi berekreasi dengannya.’ batinnya jengkel.“Papa, memangnya jadi sekuriti bikin papa tambah sibuk lagi?” tanya Berlian dengan sikap kekanak-kanakan.Ace tidak bisa tidak memperhatikan Berlian. Dia menyunggingkan senyum palsu dan keangkuhannya terlihat tenang. Seakan-akan ia menjaga citra dirinya di mata Pamela yang terus-menerus menatapnya tanpa jeda.“Papa hanya menjadi sekuriti beberapa hari, dan itu tidak membuat papa sibuk, Nak.”“Tapi kalo tangannya Tante putri duyung patah dan gak bisa makan sendiri, Tante makannya gimana? Terus siapa yang jagain Tante? Terus Tante mandinya gimana, Pa?”Serentetan pertanyaan polos itu sama-sama membuat Pamela dan Ace bergelimang bingung.Ace berdehem sambil memegangi tangan Berlian. Dengan gampang dia memberikan satu pernyataan yang mudah Berlian pahami.“Nanti bibi Asih jaga Berlian dan jaga Tante putri duyung. Bagaimana? Boleh tidak bibi Asih di bagi dua?”Berlian tergelak sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Memangnya bibi Asih oreoo bisa di bagi dua, Pa.” Berlian menghentikan tawanya.“Jadi Tante putri duyung tinggal di villa kita, Pa?”‘Untuk sementara waktu.’ Ace menganggukkan kepala.Lain halnya Ace yang bersengketa dengan perasaannya sendiri sebab ia mengizinkan seseorang asing masuk di kehidupan pribadinya. Di ranjang pasien, Pamela tercenung sambil memandangi langit-langit kamarnya.‘Iya-ya, aku mandinya gimana habis keluar dari rumah sakit? Mana gak bisa ke hotel lagi, apalagi balik ke rumah. Damian pasti cari aku di sana! Terus biaya operasiku tadi malam gimana? Perawatanku setelah hari ini? Yah....’ Pamela cemberut. Kesedihan mendera bagai hujan di malam Minggu.Asih melongok ke dalam kamar, senyum sumringahnya membuat Berlian langsung menyemburkan pertanyaan sambil menariknya ke dalam.“Tante sudah boleh makan, Bi?”“Boleh, tapi syaratnya harus makan nasi dulu biar bisa minum obat. Kuenya nanti.” Asih meringis sewaktu Pamela menggosok pelipisnya.“Mbak Pamela mau disuapin siapa? Aku, Berlian atau bapak Ace?”Ace sudah menggelengkan kepalanya, tidak mau. Tidak akan!“Baguslah tidak mau, lagian harusnya punya malu tadi udah pegang-pegang bibirku. Dasar...”-next-Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace