Walau sudah larut. Ace sama sekali tidak pulang dari rumah sakit. Ia menunggu kesempatan untuk mengambil sendal nanas milik Natasha walau harus ikut mengurus keberadaan gadis itu. Maka subuh-subuh yang berudara dingin, ia menghampiri Pamela yang terlelap di ruang inap perawatan intensif setelah melewati operasi pada tangannya yang patah.
Bergeming di samping ranjang pasien. Ace memandangi Pamela dengan leluasa. Satu persatu keindahan di wajah itu bagaikan kesempurnaan seorang bidadari. Respon itu seakan lumrah terjadi, Pamela Khandita Kilmer berparas campuran, Jawa dan Belanda-Jerman.Wajahnya putih resik, hidungnya tidak begitu mancung tapi indah di pandang. Dan, setiap kali senyumnya mengembang, pipinya terlihat menggemaskan. Terlihat chubby meski tidak berbadan gempal berisi.Ace berdecak kagum. Usia Pamela sedang ranum-ranumnya. Bibir merah muda dengan sisa lipstik merah marun yang tertinggal di sana menggugah keinginan Ace untuk mengusapnya. Lipstik itu mengusik sensualitas bibir asli Pamela. Namun di balik pesona Pamela yang menakjubkan, muncul rasa penasaran.Ace melipat kedua tangannya. Matanya menerawang jauh.“Bajingan macam apa yang tega melakukannya? Atau sebentarnya wanita ini adalah... wanita buronan?”Ace menghela napas, geraman panjang keluar dari tenggorokannya.“Dan karena menolak di rudapaksa, laki-laki tadi sampai bertindak kasar seperti ini? Aneh sekali.” tukas Ace. Bola mata berputar seakan menyadari sesuatu yang tidak penting dilakukannya.“Untuk apa aku peduli?”Tapi entah ada dorongan apa, tahu-tahu tangannya terjulur. Ace menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah sembap Pamela. Secuil hatinya iba pada keadaannya, ia tidak bisa memungkiri itu. Sebagai pria beranak perempuan, Ace sejadi-jadinya berdoa putrinya tidak akan bertemu dengan pria semacam itu dan berharap wanita itu segera pulih untuk melanjutkan hidupnya yang kelam.Ace menyelusuri garis pipinya sebelum menyentuh daging bibir bawahnya. Ace mengusapnya seolah merasakan bibir Pamela lewat telunjuknya. Naas, mata yang terpejam itu, terbuka perlahan-lahan.Sekonyong-konyong Ace berjongkok. Matanya mendelik. “Lututku!” gumamnya seraya mengelus tulangnya yang terasa nyeri itu.‘Sialan. Kenapa dia sadarkan diri?’ batinnya menyesal.“Siapa di situ?” tanya Pamela serak. Ia mengerjapkan mata, memandangi langit-langit kamar dengan pandangan yang lebih baik.”Siapa di situ?” ulangnya lagi.Sunyi.Pamela meraba-raba ranjangnya, mencari nurse call yang di berikan perawat untuk memudahkannya memanggilnya.Ace menggeleng sambil menaruh jari telunjuknya di depan bibir saat perawat terkejut melihat keadaannya yang meringkuk di bawah ranjang pasien.Ace mengatupkan kedua tangannya, memohon jangan sampai Pamela mengetahui keberadaannya.Si Perawat mengulum senyum, mengangguk samar. Ia mengenali pria itu, pria yang membayar seluruh biaya rumah sakit Pamela dan menanyakan keberadaannya tadi.Si Perawat mendekat. “Ada yang bisa saya bantu, kak?” tanya perawat setelah mengalihkan perhatiannya dari Ace.Sejenak Pamela mendalami sentuhan lembut yang merayapi kulit wajah dan bibirnya, Pamela yakin itu berasal dari sentuhan jari manusia karena ia hanya mengalami bius lokal.“Aku merasa ada yang sentuh-sentuh aku, kak. Ada yang berkunjung? Bapak Ace? Penolongku tadi atau Damian?” tukas Pamela.Wajahnya mendadak cemas setelah menyebutkan nama Damian.“Aku tidak mengizinkan seseorang menjengukku, aku tidak mau! Gak... Gak” Pamela menggeleng kepala kuat-kuat.“Tidak ada yang menjenguk kakak! Yang kakak rasakan efek dari obat bius dan keadaan yang menimpa kakak tadi. Maaf.” Perawat berusaha menenangkan dengan sabar.Pamela tidak langsung percaya, udara kamar yang terhirup olehnya bercampur dengan samar-samar aroma jas kerja Ace. Pamela mengira pria itu ada di sana, tak mungkin tidak, atau mungkin pria itu datang hanya untuk mengambil sendal yang dia pakai?Pamela menarik-embuskan napas. Dia tidak sebodoh itu, eits, hanya dengan Damian dia merasa bodoh, dia sudah invest segalanya ke dia. Kepercayaan, waktu, uang dan perhatian.Damian Airlangga adalah sumber kebahagiaan yang akan menjadi masa depannya yang gemilang. Ternyata kurang ajar. Dua tahun dia sudah menjadi pacar baik-baik dan setia pada Damian seorang meskipun saksinya sering memberitahunya sia-sia pacaran dengan Damian.Pamela menghela napas. Aroma parfum dari pria itu masih stabil di kamarnya. Pria jaman sekarang agak aneh kalau tidak berbohong, apalagi pria dengan gengsi setinggi pohon kelapa.“Mungkin benar apa yang kakak bilang, mungkin aku lagi setengah mabuk obat bius atau mungkin—”Jakun Ace bergerak. Posisinya terdesak. Napasnya sampai ia tahan untuk mencegah dugaan Pamela berlanjut. Tapi Ace tidak menyadari sesuatu dari dirinya yang membuat Pamela terlihat pintar menebak-nebak.“Mungkin emang perasaanku saja, kak. Hari ini berat banget bagiku.” imbuh Pamela dengan kesedihan yang kental dalam suaranya.“Aku mungkin butuh obat tidur kak, boleh?”‘BOLEH!’ tandas Ace dalam hati.Pamela mendesak perawatnya untuk memberi obat tidur.“Baik, tunggu sebentar. Saya perlu mendiskusikan dengan dokter jaga.”“Secepatnya, Kak. Aku semakin gelisah.” Pamela menunjuk ke arah bawah.Perawat memohon maaf atas kebohongannya dengan mengatupkan kedua tangannya sebelum keluar.Ace mengepalkan tangan, punggungnya mulai ngilu. Sikunya terasa sakit. Lebih-lebih aroma khas rumah sakit membuatnya mual dan muak berlama-lama di sana mengingat ruangan itu pasti sudah di tempati nempati berbagai pasien dengan kondisi kesehatan yang berbeda-beda.Pamela mendengus. “Semua orang jahat, semua laki-laki sama. Mata keranjang! Hu... Mama... kenapa nasibku begini, apa karena mama udah gak ada jadi gak ada doa mama yang menemani perjalanan hidupku, Ma—”Ace memejamkan matanya. Menyesali perbuatannya karena ternyata Pamela sama sepertinya. Tidak memiliki seseorang yang menguatkan dan menjadi tiang penyangga kehidupan dan kebahagiaan seorang anak.Beberapa menit kemudian, Si Perawat kembali sambil membawa baki stainles. Ia sempat menenangkan Pamela sebelum menyuntikkan obat tidur sungguhan di kantong infusnya.Pamela merasakan mata dan reaksi tubuhnya perlahan-lahan melemah. Rasa kantuk menerjangnya tanpa ampun, tanpa sempat memprotes tindakan Si Perawat yang membohonginya lagi demi melindungi Ace.“Silakan keluar, Bapak Ace!” ucap Si Perawat setelah memastikan Pamela terlelap.Ace merangkak perlahan dari sempitnya celah di bawah ranjang pasien lalu menghela napas lega. Ia berdiri, memandangi Pamela yang kembali berwajah teduh, tenang dan tidak membuatnya cemas memandangi wajahnya.“Anda memberinya obat tidur sungguhan?” tanya Ace memastikan.“Dokter menyarankan untuk membuat pasien tenang. Kondisi emosionalnya terlalu sentimentil. Kami mohon Bapak tidak mengganggunya dan segera menghubungi keluarganya untuk program kesehatan selanjutnya.”Ace tercenung, “Menghubungi keluarganya?”“Ya... Untuk kebaikan pasien!”Ace bergeming. Keluarga mana yang perlu ia hubungi? Serta-merta kehadiran Pamela yang hanya membawa diri tanpa adanya identitas diri membuatnya geram. Tapi ketidaktahuan Ace dan keengganannya untuk mencari tahu siapa Pamela dari tim informasi dan teknologi yang di miliki perusahaannya menjadi ide lain yang brilian dan gampang.Ace melesat keluar seperti udara pagi, tenang dan sempurna-next-Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace